IV. METODE PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. METODE PENELITIAN"

Transkripsi

1 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kota Depok tepatnya di Kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Cipayung. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kota Depok merupakan salah satu sentra produksi belimbing di Indonesia, khususnya untuk wilayah Jawa Barat. Kota Depok telah memberikan kontribusi produksi belimbing sebesar 43,66 persen dari total produksi belimbing di Jawa Barat pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2010). Selanjutnya, pemilihan Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung juga dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Pancoran Mas merupakan daerah sentra produksi utama belimbing di Kota Depok. Hal ini dikarenakan Kecamatan Pancoran Mas memberikan kontribusi produksi belimbing terbesar pertama di Kota Depok yaitu sebesar 51,35 persen dari seluruh total produksi belimbing di Kota Depok. Adapun Kecamatan Cipayung terpilih menjadi lokasi penelitian dikarenakan Kecamatan Cipayung merupakan wilayah hasil pemekaran Kecamatan Pancoran Mas pada akhir tahun 2009 yang lalu dan juga menjadi salah satu sentra produksi belimbing di Kota Depok dengan kontribusi produksi sebesar 12,40 persen dari total produksi belimbing di Kota Depok pada tahun Jumlah produksi belimbing di masingmasing kecamatan di Kota Depok pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Produksi Tanaman Belimbing di Sebelas Kecamatan di Kota Depok Tahun 2007 Kecamatan Luas Populasi Produksi Produktivitas % Areal Tanaman (ton/tahun) (ton/ha/tahun) Produksi (Ha) (pohon) Pancoran Mas ,44 51,35 Cipayung ,5 12,16 12,40 Cimanggis 8, ,71 13,36 Tapos 11, ,92 4,11 Sawangan 12, ,29 13,19 Bojongsari 1, ,33 0,70 Beji ,80 3,48 Limo dan Cinere ,00 1,41 Sukmajaya dan Cilodong n.a n.a - JUMLAH 119, ,5 169,65 100,00 Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok, 2007 (Diolah) 41

2 Dengan demikian, Kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Cipayung merupakan wilayah sentra produksi belimbing yang dapat dijadikan contoh sebagai daerah yang cocok untuk melakukan analisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010-Juni Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan terhadap kelompok tani, petani, lembaga pemasaran, pedagang input pertanian, dan lembaga penunjang. Pengambilan sampel terhadap kelompok tani dilakukan secara purposive, yaitu teknik pengambilan sampel secara sengaja berdasarkan pertimbangan dari kelompok tani yang memiliki jumlah anggota, luas areal, populasi tanaman, dan kapasitas produksi belimbing yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok tani lainnya di masing-masing kecamatan. Di Kecamatan Pancoran Mas, kelompok tani belimbing yang dipilih adalah Kelompok Tani Kali Licin. Sedangkan di Kecamatan Cipayung, kelompok tani belimbing yang dipilih adalah Kelompok tani Layungsari. Kelompok tani, jumlah anggota, luas areal, populasi tanaman, dan kapasitas produksi belimbing di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kelompok Tani, Jumlah Anggota, Luas Areal, Populasi Tanaman, dan Kapasitas Produksi Belimbing di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung Tahun 2007 Nama Kelompok Tani Jumlah Anggota (Orang) Luas Areal (Hektar) Populasi Tanaman (Pohon) Kapasitas Produksi (Kg per tahun) Kecamatan Pancoran Mas Kali Licin Sarijaya Laris Jaya RJB Rawa Denok Kecamatan Cipayung Makmur Jaya Pondok Jaya Layungsari Cipayung Jaya Persada Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok (2007) 42

3 Petani responden bersifat homogen yang dilihat dari luas areal, proses budidaya, biaya usahatani dan teknologi yang digunakan relatif sama, sehingga pengambilan sampel terhadap petani dalam penelitian ini menggunakan metode simple random sampling terhadap anggota dari kelompok tani yang telah dipilih sebelumnya. Dengan demikian, semua populasi (anggota dari kelompok tani yang telah dipilih, yaitu sebanyak 70 orang) memiliki kesempatan atau probabilitas yang sama untuk terpilih menjadi sampel. Jumlah petani yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 orang. Penentuan jumlah petani responden di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung dilakukan secara proporsional yaitu masing-masing kecamatan sebanyak 15 orang. Penentuan sampel terhadap lembaga pemasaran ditentukan secara purposive. Lembaga pemasaran yang dipilih menjadi sampel adalah Puskop dan satu pengumpul (CV. Star Fresh). Puskop dipilih dengan pertimbangan bahwa Puskop adalah lembaga pemasaran resmi yang diakui oleh pemerintah, sedangkan CV. Star Fresh dipilih dengan pertimbangan bahwa sebagian besar petani responden menjualnya kepada pengumpul tersebut dan CV. Star Fresh juga merupakan salah satu pesaing terberat Puskop. Kemudian, pengambilan sampel terhadap pedagang input pertanian juga dilakukan secara purposive. Pedagang input pertanian yang dipilih adalah satu pedagang pupuk dan obat-obatan (kios kelompok) serta satu pedagang peralatan pertanian (Pasar Parung). Pemilihan ini dilakukan dengan pertimbangan kedekatan lokasi pedagang dengan petani responden dan lokasi penelitian. Selanjutnya, pengambilan sampel terhadap lembaga penunjang pada sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok juga dilakukan secara purposive. Lembaga penunjang yang dipilih adalah Dinas Pertanian Kota Depok. Adapun pemilihan tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa Dinas Pertanian Kota Depok merupakan lembaga yang telah memberikan bantuan secara langsung kepada para petani belimbing di Kota Depok serta mampu berperan strategis dalam mendukung perkembangan agribisnis belimbing dewa di Kota Depok. Penentuan jumlah sampel dan teknik pengambilan data dalam penelitian ini didasarkan pada Pearson at al. (2005) yang menyatakan bahwa budget data 43

4 untuk PAM bisa diambil dari contoh yang tidak terlalu besar, baik terhadap petani, pedagang, pelaku usaha maupun pengolahan. Data yang dimasukkan dalam PAM merupakan modus (central tendency), bukan parameter yang diestimasi melalui model ekonometrika dengan jumlah contoh yang valid secara statistik. 4.3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan terhadap aktivitas produksi dan pemasaran belimbing yang dilakukan oleh petani dan lembaga pemasaran belimbing serta wawancara menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terbuka terhadap petani, Dinas Pertanian Kota Depok dan Pusat Koperasi Pemasaran Buah dan Olahan Belimbing Dewa Depok (Puskop) serta wawancara langsung terhadap pengumpul besar dan pedagang input pertanian. Beberapa data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain adalah data mengenai karakteristik petani, kegiatan usahatani belimbing (proses budidaya, kepemilikan lahan, penggunaan faktorfaktor produksi dan output yang diperoleh), perlakuan atau penanganan pascapanen, pemasaran belimbing, sumber modal, kebijakan pemerintah yang telah dan sedang diberlakukan, harga aktual input dan output yang berlaku di lokasi penelitian serta keikutsertaan dalam pelatihan atau penyuluhan pertanian. Pengumpulan data primer dilaksanakan pada bulan Maret-Mei Berikutnya, data sekunder diperoleh dari International Monetary Fund (IMF), Bank Indonesia, Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Badan Pusat Statistik Kota Depok, Direktorat Jenderal Hortikultura, Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Bank Mandiri, Dinas Pertanian Kota Depok, Badan Perencanaan Daerah Kota Depok serta informasi-informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari buku-buku literatur, media massa maupun media elektronik. Pengambilan data sekunder dilakukan pada bulan November 2010-Juni Beberapa data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain berupa data perolehan perkembangan volume dan nilai ekspor-impor buah Indonesia, perkembangan luas areal, produksi serta produktivitas belimbing di seluruh Indonesia dan di Kota 44

5 Depok, Produk Domestik Bruto, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, suku bunga deposito dan kredit, tingkat inflasi, kebijakan pupuk, kebijakan pajak, bea masuk produk pertanian khususnya untuk bahan baku pembuatan pupuk dan pestisida, tingkat pengangguran di Kota Depok, dan Tabel Input Output Indonesia. 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil penghitungan PAM dapat digunakan untuk mengukur tingkat dayasaing (keunggulan komparatif dan kompetitif) serta besarnya pengaruh kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas belimbing dewa di lokasi penelitian (Kota Depok). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan software Microsoft Excel. Berikut adalah tahapan yang dilakukan dalam penghitungan dan penyusunan model PAM dalam penelitian ini (Pearson et al. 2005) : 1) Penentuan komponen fisik untuk faktor input dan output secara lengkap dari aktivitas ekonomi (usahatani, pengolahan hasil dan tataniaga) sistem komoditas belimbing dewa selama dua puluh tahun. Dalam penelitian ini, data jumlah komponen fisik untuk faktor input dan output merupakan data rata-rata dari jumlah sampel yang diperoleh. Hasil perhitungan jumlah komponen fisik untuk faktor input dan output yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 7. 2) Penentuan harga privat atas input-output. Harga privat adalah harga yang benar-benar diterima petani dan didalamnya terdapat intervensi pemerintah. Dalam penelitian ini, harga privat yang digunakan adalah harga rata-rata input dan output yang terjadi di lokasi penelitian selama tahun 2010 dan pada saat penelitian dilakukan. 3) Penafsiran harga bayangan (sosial) atas input dan output. Menurut Oktaviani (1991), harga bayangan adalah harga pada pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada komoditas tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional. 4) Pemisahan seluruh biaya ke dalam komponen domestik dan asing (tradable) berdasarkan Tabel Input-Output Indonesia tahun ) Penyusunan budget privat dan sosial yang kemudian dipisahkan ke dalam biaya input asing privat, biaya input asing sosial, biaya input domestik privat, 45

6 biaya input domestik asing. Hasil perhitungan budget privat dan sosial dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9. 6) Proses diskonto (discounting) untuk menentukan Net Present Value (NPV) dari masing-masing bagian tersebut. Menurut Pearson et al. (2005), perhitungan untuk komoditas dalam rentang waktu yang panjang, seperti belimbing (20 tahun), memerlukan tabel PAM untuk setiap periode, kemudian menghitung NPV seluruh periode tersebut. Proses diskonto (discounting) diperlukan dalam kasus ini karena nilai penerimaan dan biaya yang akan diterima/dikeluarkan dimasa yang akan datang akan lebih kecil nilainya bila dinilai pada saat ini. Rumus untuk menghitung NPV penerimaan atau biaya menurut Pearson et al. (2005) adalah sebagai berikut : NPV R = Dimana i adalah tingkat suku bunga, Rt adalah penerimaan atau biaya pada tahun ke-t, t adalah periode waktu dan x adalah jumlah periode. Rekapitulasi budget privat dan sosial yang telah terdiskonto yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11. 7) Terakhir, tabulasi dan analisis indikator-indikator yang dihasilkan tabel PAM. Selain itu, beberapa asumsi yang mendasari penyusunan tabel PAM dalam penelitian ini antara lain yaitu : 1) Tanaman belimbing merupakan tanaman tahunan yang dapat berproduksi setelah tanaman memasuki usia tiga tahun dengan frekuensi produksi per tahun sebanyak tiga kali (tiga kali musim panen per tahun). 2) Tingkat kematian tanaman belimbing adalah nol persen. 3) Nilai tukar resmi adalah nilai tukar rata-rata yang berlaku pada tahun 2010 yakni sebesar Rp 9.143,50 per US Dollar (Bank Indonesia 2011). 4) Tingkat suku bunga yang digunakan adalah tingkat suku bunga rata-rata tertimbang (weighted average) dengan menggunakan informasi data tingkat suku bunga yang diberlakukan oleh Bank Mandiri, yaitu sebesar 6,25 persen untuk suku bunga deposito dan 11,25 persen untuk suku bunga pinjaman (kredit). 46

7 5) Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisahkan dalam komponen tradable (asing) dan non-tradable (domestik). 6) Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan, sehingga eksternalitas dianggap sama dengan nol. Selanjutnya, analisis sensitivitas dilakukan untuk mengatasi kelemahan PAM yang dalam analisisnya hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya harga dapat bervariasi. Selain itu, analisis ini juga digunakan untuk melihat pengaruh perubahan kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas belimbing di Kota Depok. Dalam penelitian ini, analisis sensitivitas dilakukan dengan empat skenario yaitu jika terjadi penurunan produksi sebesar 10 persen, jika terjadi peningkatan harga input domestik yaitu harga tenaga kerja sebesar 20 persen, jika terjadi peningkatan harga input tradable yaitu harga pupuk anorganik sebesar 10 persen, dan jika terjadi penurunan harga output belimbing dewa sebesar 15 persen. Kemudian, setelah seluruh pengolahan data dengan metode kuantitatif selesai maka langkah terakhir adalah menginterpretasikan dan mendeskripsikan angka-angka yang diperoleh dengan metode kualitatif. 4.5 Penentuan Input dan Output Input yang dimaksud dalam penelitian ini adalah input untuk usahatani, pengolahan dan proses pemasaran belimbing dewa, seperti bibit tanaman belimbing, pupuk anorganik (NPK dan pupuk cair), pupuk organik (pupuk kandang), pestisida (curacron, gandasil A dan gandasil B), lahan, tenaga kerja, peralatan kebun, peralatan pengolahan, dan tataniaga. Sedang yang dimaksud output adalah buah belimbing segar yang diklasifikasikan dalam grade A (belimbing dengan berat 250 gram per buah), grade B (belimbing dengan berat gram per buah) dan grade C (belimbing dengan berat < 200 gram per buah) Alokasi Biaya ke Dalam Komponen Biaya Domestik dan Asing Menurut Pearson et al. (2005), ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengalokasikan biaya ke dalam komponen domestik dan asing, yaitu pendekatan total (total approach) dan pendekatan langsung (direct approach). Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan 47

8 (input tradeable), baik diimpor maupun produksi domestik dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini digunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pendekatan total mengasumsikan bahwa setiap biaya dari input yang dapat diperdagangkan (input tradable) dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input itu memiliki kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan dalam analisis dampak kebijakan pemerintah atau untuk memperkirakan biaya sosial dari struktur proteksi yang dilakukan oleh pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan total dalam mengalokasikan biaya ke dalam komponen biaya domestik dan asing. 1) Alokasi Biaya Produksi Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan secara tunai maupun yang diperhitungkan untuk menghasilkan komoditas akhir yang siap dipasarkan atau dikonsumsi. Penentuan alokasi biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non-tradable) didasarkan pada tabel Input-Output tahun Secara rinci alokasi biaya produksi ke dalam komponen domestik dan asing disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Alokasi Biaya Produksi ke dalam Komponen Domestik dan Asing Komoditas Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian, Tahun 2011 No Jenis Biaya Domestik (%) Asing (%) 1 Bibit Tanaman Belimbing Pupuk NPK Pupuk daun (cair) Pupuk Organik Pestisida Tenaga Kerja Penyusutan Peralatan Kebun Penyusutan Peralatan Pengolahan Bunga Modal Sewa Lahan Sumber : Tabel Input Ouput Indonesia tahun 2008 (Diolah) Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa input produksi yang mengandung komponen asing (tradable) dalam usahatani belimbing pada penelitian ini adalah bibit tanaman belimbing, pupuk NPK, pupuk daun (cair), dan pestisida. 48

9 Sedangkan input yang tidak mengandung komponen asing dalam penelitian ini adalah pupuk organik, tenaga kerja, penyusutan peralatan, bunga modal, dan sewa lahan. Metode perhitungan komponen domestik-asing dengan Tabel Input Output tahun 2008 adalah sebagai berikut : Keterangan: Tabel 2 Tabel 4 Kolom Baris : Transaksi Total Atas Dasar Produsen mencari komponen asing (nilai total nilai domestik) : Transaksi Domestik Atas Dasar Produsen mencari komponen domestik : Input yang digunakan dalam usahatani : Bidang Usahatani 2) Alokasi Biaya Tataniaga Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang, yaitu kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Biaya tataniaga dihitung dari seluruh biaya tataniaga dari daerah produsen sampai ke konsumen atau dari daerah produsen sampai ke pelabuhan ekspor atau dari daerah pelabuhan impor sampai ke konsumen. Dalam penelitian ini, biaya tataniaga didekati dengan menghitung seluruh biaya tataniaga di daerah produsen sampai ke konsumen. Biaya tataniaga terbagi atas biaya pengangkutan dan biaya penanganan. Biaya pengangkutan dalam penelitian ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut buah belimbing dari petani sampai ke konsumen akhir, sedangkan biaya penanganan meliputi kegiatan sortasi, grading, pelabelan, dan pengemasan. Alokasi biaya tataniaga ke dalam komponen biaya domestik dan asing disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Alokasi Biaya Tataniaga Atas Komponen Biaya Domestik dan Asing pada Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian, Tahun 2011 No Jenis Biaya Domestik (%) Asing (%) 1 Penanganan Biaya Pengangkutan Sumber : Tabel Input Output Indonesia tahun 2008 (Diolah) 49

10 4.5.2 Penentuan Harga Bayangan (Harga Sosial) Input dan Output 1) Harga Bayangan Output Harga bayangan output buah belimbing dalam penelitian ini diasumsikan sama dengan harga privatnya. Hal ini dikarenakan pertimbangan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang mengintervensi perdagangan output buah belimbing tersebut secara langsung sehingga distorsi pasar yang terjadi sangat kecil dan mendekati pasar persaingan sempurna. Berdasarkan perhitungan diperoleh harga bayangan output buah belimbing sama dengan harga privatnya yaitu untuk buah belimbing grade A senilai Rp 5.800,00 per kilogram, grade B senilai Rp 4.000,00 per kilogram dan grade C senilai Rp 1.900,00 per kilogram. Harga privat dan bayangan output buah belimbing dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Harga Privat dan Sosial Output Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian Tahun 2011 Output Satuan Harga Privat Harga Sosial Buah Belimbing Dewa grade A Rp/kg 5.800, ,00 Buah Belimbing Dewa grade B Rp/kg 4.000, ,00 Buah Belimbing Dewa grade C Rp/kg 1.900, ,00 2) Harga Bayangan Input a) Harga Bayangan Bibit Tanaman Belimbing Harga bayangan bibit tanaman belimbing dalam penelitian ini diasumsikan sama dengan harga pasarnya. Hal ini dikarenakan pertimbangan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang mengintervensi produksi dan perdagangan bibit tanaman tersebut secara langsung sehingga distorsi pasar yang terjadi sangat kecil dan mendekati pasar persaingan sempurna. Namun, berdasarkan keterangan dari petani serta penelusuran informasi di lokasi penelitian, diketahui bahwa bibit tanaman belimbing yang dikembangkan di lokasi penelitian tidak semua berasal dari pribadi petani, ada sekitar 10,83 persen bibit tanaman belimbing petani responden berasal dari bantuan pemerintah (subsidi). Berdasarkan hal tersebut, maka analisis finansial untuk bibit tanaman belimbing diasumsikan sebanyak 10,83 persen dari jumlah bibit tanaman yang dikembangkan berasal dari bantuan pemerintah, sehingga bibit tanaman yang diperhitungkan dalam analisis finansial atau budget privat hanya sebanyak 89,17 persen dari analisis ekonomi atau budget sosial. Sedangkan analisis ekonomi untuk bibit tanaman belimbing di lokasi 50

11 penelitian adalah keseluruhan jumlah bibit tanaman yang dikuasai/dimiliki oleh petani (jumlah bibit tanaman belimbing yang dibeli sendiri ditambah jumlah bibit tanaman belimbing dari pemerintah) dikalikan dengan harga bayangannya. Harga privat dan bayangan (sosial) bibit tanaman belimbing dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Harga Privat dan Sosial Bibit Tanaman Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian Tahun 2011 Uraian Satuan Nilai Harga Privat Rp/unit ,00 Harga Bayangan (Sosial) Rp/unit ,00 b) Harga Bayangan Pupuk Organik Pupuk organik yang biasa digunakan dalam usahatani belimbing di lokasi penelitian adalah pupuk kandang. Harga bayangan pupuk kandang dalam penelitian ini diasumsikan sama dengan harga pasarnya. Hal ini dikarenakan pertimbangan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang mengintervensi produksi dan perdagangan bibit tanaman tersebut secara langsung sehingga distorsi pasar yang terjadi sangat kecil dan mendekati pasar persaingan sempurna. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa harga bayangan pupuk kandang di lokasi penelitian adalah Rp 300,00 per kilogram. Harga privat dan bayangan pupuk kandang (pupuk organik) yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Harga Privat dan Sosial Pupuk Organik (Pupuk Kandang) di Lokasi Penelitian Tahun 2011 Uraian Satuan Nilai Harga Privat Rp/kg 300,00 Harga Bayangan (Sosial) Rp/kg 300,00 c) Harga Bayangan Pupuk Anorganik Beberapa jenis pupuk anorganik yang digunakan dalam usahatani belimbing di lokasi penelitian antara lain pupuk NPK dan pupuk daun (cair). Bahan-bahan baku untuk pembuatan produk pupuk anorganik biasanya berasal dari impor, sehingga border price untuk pupuk anorganik hanya mencakup harga bahan-bahan baku. Karena besarnya penggunaan bahan-bahan baku serta tingkat konversinya terhadap produk pupuk anorganik tersebut tidak diketahui secara 51

12 pasti menyebabkan penentuan harga bayangan pupuk anorganik didasarkan pada harga rata-rata aktual di lokasi penelitian dikurangi dengan bea masuk produk pertanian sebesar 5 persen 1 dan PPN sebesar 10 persen 2. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa harga bayangan pupuk NPK di lokasi penelitian adalah Rp 8.208,00 per kilogram dan harga bayangan pupuk daun (cair) di lokasi penelitian adalah sebesar Rp ,50 per liter. Harga privat dan bayangan pupuk anorganik yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Harga Privat dan Sosial Pupuk Anorganik di Lokasi Penelitian Tahun 2011 Input Satuan Harga Privat Harga Sosial NPK Rp/kg 9.600, ,00 Daun (Cair) Rp/liter , ,50 d) Harga Bayangan Pestisida Pestisida yang umum digunakan dalam budidaya belimbing di lokasi penelitian adalah curacron, gandasil A dan gandasil B. Border price untuk pestisida hanya mencakup harga bahan-bahan baku untuk pembuatan produk tersebut (Mantau 2009). Namun, karena besarnya penggunaan bahan-bahan baku serta tingkat konversinya terhadap produk pestisida tersebut tidak diketahui secara pasti menyebabkan penentuan harga bayangan pestisida didasarkan pada harga rata-rata aktual di lokasi penelitian dikurangi dengan bea masuk (pajak impor) produk pertanian sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa harga bayangan pestisida curacron di lokasi penelitian adalah Rp ,50 per liter, gandasil A sebesar Rp ,00 per kg dan gandasil B sebesar Rp ,00 per kg. Harga privat dan bayangan (sosial) pestisida yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Harga Privat dan Sosial Pestisida di Lokasi Penelitian pada Tahun 2011 Input Satuan Harga Privat Harga Sosial Curacron Rp/liter , ,50 Gandasil A Rp/kg , ,00 Gandasil B Rp/kg , ,00 1 Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/ Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun

13 e) Harga Bayangan Peralatan Kebun dan Pengolahan Peralatan kebun yang digunakan dalam usahatani belimbing di lokasi penelitian terdiri dari parang, golok, cangkul, cangkul garpu, gerobak dorong, pengki pikul, pisau, pisau okulasi, gembor, hand sprayer, power sprayer, selang air, pompa pantek, gunting pangkas, stek dan panen, gergaji, tangga, drum/bak, dan sapu lidi. Peralatan pengolahan belimbing yang digunakan di lokasi penelitian terdiri dari keranjang plastik (troy), timbangan dan mesin wrapping. Harga privat peralatan dihitung berdasarkan harga penyusutan peralatan selama satu tahun dengan menggunakan metode garis lurus dengan formulasi sebagai berikut : Tabel 14. Harga Privat dan Sosial Peralatan Kebun dan Pengolahan Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian Tahun 2011 Input Satuan Harga Privat Harga Sosial Peralatan Kebun Parang Rp/unit , ,00 Golok Rp/unit , ,00 Cangkul Rp/unit , ,00 Cangkul garpu Rp/unit , ,00 Gerobak dorong Rp/unit , ,00 Pengki Pikul Rp/unit , ,00 pisau Rp/unit , ,00 pisau okulasi Rp/unit , ,00 gembor Rp/unit , ,00 Hand Sprayer Rp/unit , ,00 power sprayer Rp/unit , ,00 Selang Air/Power Sprayer Rp/meter 5.000, ,00 pompa pantek Rp/unit , ,00 Gunting Pangkas Rp/unit , ,00 Gunting Panen Rp/unit , ,00 Gergaji Rp/unit , ,00 Tangga Rp/unit , ,00 Drum/Bak Rp/unit , ,00 Sapu Lidi Rp/unit 6.250, ,00 Peralatan Pengolahan Keranjang Plastik (Troy) Rp/unit , ,00 Timbangan Rp/unit , ,00 Mesin Wraping Rp/unit , ,00 53

14 Harga bayangan peralatan kebun dan pengolahan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan harga finansial (privat) dikurangi dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang mengintervensi produksi dan perdagangan alat-alat tersebut secara langsung, kecuali beban biaya PPN terhadap peralatan tersebut. Oleh karena itu, harga bayangan peralatan dihitung dengan mengurangi harga finasial dengan biaya PPN sebesar 10 persen. Harga privat dan bayangan (sosial) peralatan kebun dan pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 14. f) Harga Bayangan Tenaga Kerja Tenaga kerja termasuk dalam input non-tradable. Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani belimbing di lokasi penelitian umumnya adalah tenaga kerja pria tidak terdidik. Tidak ada tenaga kerja wanita yang digunakan dalam proses budidaya belimbing di lokasi penelitian. Tenaga kerja wanita hanya digunakan dalam kegiatan pengolahan belimbing menjadi produk turunan (dodol dan jus belimbing). Namun, dikarenakan kegiatan pengolahan buah belimbing menjadi produk turunan masih sangat sedikit/terbatas maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada buah belimbing segar. Kegiatan pascapanen yang dilakukan terhadap buah belimbing segar tersebut adalah kegiatan sortasi, grading, pelabelan, dan pengemasan saja. Kegiatan pascapanen tersebut pun umumnya dilakukan hanya oleh tenaga kerja pria tidak terdidik. Oleh karena itu, tenaga kerja yang digunakan dalam proses budidaya dan pascapanen belimbing di lokasi penelitian umumnya hanya menggunakan tenaga kerja pria tidak terdidik. Oktaviani (1991) menyatakan bahwa apabila pasar tenaga kerja bersaing sempurna dan tenaga kerja termasuk faktor yang langka maka penentuan harga bayangan upah tenaga kerja tidak terdidik ditentukan oleh produk marjinal tenaga kerja. Akan tetapi, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tenaga kerja bukan merupakan faktor yang langka sehingga upah tenaga kerja yang berlaku tidak mencerminkan nilai produk marjinal tenaga kerja. Dalam penelitian ini, penentuan harga bayangan upah tenaga kerja mengacu pada penelitian Wahyudi (1989), Septiyorini (2009) dan Nuryanti (2010). Septiyorini (2009) menyatakan bahwa jika di suatu daerah terdapat 54

15 banyak pengangguran (unemployment) maka harga bayangan tenaga kerjanya sama dengan nol. Hal ini terjadi karena opportunity cost untuk tenaga kerja yang menganggur atau pengangguran tidak kentara adalah nol. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa tingkat pengangguran di lokasi penelitian (Jawa Barat) adalah sebesar 12,08 persen. Oleh sebab itu, harga bayangan tenaga kerja di Jawa Barat ditentukan sebesar 97,92 persen dari nilai upah aktualnya. Perhitungan serupa juga dilakukan oleh Wahyudi (1989) dan Nuryanti (2010) yang menetapkan harga bayangan tenaga kerja sebesar 70 persen dan 89,43 persen dari upah finansialnya karena besarnya tingkat pengangguran di lokasi penelitian mereka adalah sebesar 30 persen dan 10,57 persen. Secara umum, penentuan upah bayangan tenaga kerja yang dilakukan oleh Wahyudi (1989), Septiyorini (2009) dan Nuryanti (2010) didasarkan pada formulasi sebagai berikut : dimana, HB HA : Harga Bayangan : Harga Aktual Berdasarkan data yang diperoleh dari BAPPEDA Kota Depok, diketahui bahwa pada tahun 2010 tingkat pengangguran terbuka dan tidak kentara untuk penduduk usia 15 tahun ke atas di Kota Depok adalah sebesar 9,83 persen. Oleh sebab itu, harga bayangan upah tenaga kerja tidak terdidik di lokasi penelitian sebesar 90,17 persen dari upah finansialnya. Harga privat dan bayangan upah tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Harga Privat dan Sosial Upah Tenaga Kerja di Lokasi Penelitian Tahun 2011 Input Satuan Harga Privat Harga Sosial Pria Rp/HOK , ,00 Wanita Rp/HOK - - g) Harga Bayangan Lahan Lahan merupakan faktor produksi yang termasuk dalam input nontradable (faktor domestik) dalam usahatani belimbing. Menurut Pearson et al. (2005), harga bayangan lahan dapat ditentukan berdasarkan pendapatan bersih dari usahatani komoditas alternatif terbaik yang dapat diusahakan pada lahan tersebut. Pendapatan bersih ini diperoleh dari penerimaan usahatani alternatif 55

16 dikurangi dengan biaya produksi dan pendapatan dari usahatani sebelumnya. Asumsi dasar yang diperlukan untuk harga bayangan ini yaitu tidak ada perubahan dalam kepemilikan atau pola pengelolaannya, kecuali pengusahaan dalam usahataninya. Dalam penelitian ini, informasi mengenai penerimaan dan biaya dari usahatani komoditas alternatif terbaik tidak diperoleh. Berdasarkan kondisi tersebut, penentuan harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan pendapat Gittinger (1986), yaitu salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam menentukan harga bayangan lahan adalah nilai sewa lahan yang berlaku di masing-masing wilayah yang diperhitungkan setiap tahun. Dalam penelitian ini, pendekatan nilai sewa lahan memungkinkan untuk dilakukan karena sebagian besar petani belimbing di lokasi penelitian telah umum melakukan aktivitas sewa menyewa lahan tersebut. Rata-rata biaya sewa lahan per hektar di lokasi penelitian tergolong tinggi yaitu sebesar Rp ,00 per tahun. Hal ini dikarenakan sempitnya luasan lahan untuk pertanian di Kota Depok karena sebagian besar lahan di Kota Depok telah dikonversi menjadi pemukiman penduduk, jalan dan bangunan lainnya. Sempitnya luasan lahan untuk pertanian ini menyebabkan tingginya harga sewa lahan untuk pertanian di lokasi penelitian karena adanya kelangkaan atau keterbatasan. Harga privat dan bayangan (sosial) lahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Harga Privat dan Sosial Lahan di Lokasi Penelitian Tahun 2011 Uraian Satuan Nilai Harga Privat Rp/ha ,00 Harga Bayangan (Sosial) Rp/ha ,00 h) Harga Bayangan Modal Menurut Pearson et al. (2005), biaya modal dalam analisis PAM dikelompokkan dalam dua kategori yaitu modal kerja dan modal investasi. Modal kerja adalah biaya produksi (tunai) yang harus dibayar petani seperti pembelian input dan upah tenaga kerja dalam kurun waktu satu tahun produksi. Sedangkan modal investasi adalah pengeluaran atas asset yang memberikan kegunaan lebih dari satu tahun, namun manfaat (benefit) diterima untuk periode yang panjang. Berdasarkan hasil penelusuran informasi di lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani belimbing menggunakan sumber modal untuk membiayai kegiatan usahataninya dari kombinasi modal pribadi dan pinjaman 56

17 (lihat Tabel 29). Dengan demikian penentuan harga privat bunga modal dalam penelitian ini adalah menggunakan nilai suku bunga rata-rata tertimbang (weighted average). Berdasarkan data yang diperoleh di lokasi penelitian, proporsi sumber modal yang digunakan oleh petani responden untuk membiayai kegiatan usahataninya adalah sebesar 87,75 persen bersumber dari modal pribadi dan 12,25 persen bersumber dari pinjaman. Tingkat suku bunga deposito dan kredit yang digunakan dalam perhitungan suku bunga rata-rata tertimbang adalah tingkat suku bunga deposito dan kredit yang diberlakukan di Bank Mandiri. Bank Mandiri adalah bank yang memberikan pinjaman kepada sebagian besar petani responden. Tingkat suku bunga deposito Bank Mandiri adalah 6,25 persen dan tingkat suku bunga kredit Bank Mandiri sebesar 11,25 persen. Berdasarkan data-data tersebut maka ditemukan nilai suku bunga rata-rata tertimbang adalah sebesar 6,86 persen. harga privat bunga modal kerja dan investasi dalam penelitian ini diasumsikan sama karena sumber modal yang digunakan untuk modal kerja dan investasi dalam penelitian ini diasumsikan berasal dari sumber dan proporsi modal yang sama. Dengan demikian, tingkat suku bunga privat untuk modal kerja dan investasi dalam penelitian ini adalah sebesar 6,86 persen. Selanjutnya, penentuan harga bayangan bunga sosial dilakukan dengan menambahkan harga privat bunga modal dengan tingkat inflasi. Inflasi merupakan faktor koreksi terhadap suku bunga. Suku bunga sendiri sebenarnya sudah menghitung nilai inflasi, namun masih nilai inflasi perkiraan sehingga suku bunga tersebut harus dikoreksi. Nilai suku bunga yang sudah dikoreksi merupakan cerminan korbanan biaya bunga sosial. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bank Indonesia, tingkat inflasi Indonesia tahun 2011 adalah sebesar 5,98 persen. Sehingga harga bayangan bunga modal dalam penelitian ini adalah sebesar 12,84 persen. Harga privat dan bayangan (sosial) bunga modal yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Harga Privat dan Sosial Modal Pengusahaan Komoditas Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian Tahun 2011 Input Satuan Harga Privat Harga Sosial Modal Kerja % 6,86 12,84 Modal Investasi % 6,86 12,84 57

18 i) Harga Bayangan Tataniaga Biaya tataniaga yang digunakan dalam penelitian ini adalah biaya penanganan dan biaya angkut. Biaya penanganan yang dimaksud adalah biaya pascapanen buah belimbing yang meliputi biaya sortasi, grading, pengemasan dan pelabelan belimbing yang akan dipasarkan. Biaya angkut adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut buah belimbing dari petani sampai ke konsumen akhir. Harga bayangan tataniaga dalam penelitian ini diasumsikan sama dengan harga privatnya. Hal ini dikarenakan pertimbangan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang mengintervensi proses penanganan dan pengangkutan buah belimbing tersebut secara langsung sehingga distorsi pasar yang terjadi sangat kecil dan mendekati pasar persaingan sempurna. Berdasarkan perhitungan diperoleh harga bayangan penanganan dan biaya angkut belimbing sama dengan harga privatnya yaitu Rp 570,00 per kilogram untuk penanganan dan Rp 595,00 per kilogram untuk biaya angkut. Harga privat dan bayangan (sosial) biaya tataniaga yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Harga Privat dan Sosial Biaya Tataniaga Pengusahaan Komoditas Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian Tahun 2011 Input Satuan Harga Privat Harga Sosial Penanganan Rp/kg 570,00 570,00 Biaya Angkut Rp/kg 595,00 595,00 j) Harga Bayangan Nilai Tukar Penetapan nilai tukar rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing yang menjadi acuan (UD Dollar) pada tahun Untuk menentukan harga bayangan nilai tukar digunakan formula yang dirumuskan oleh Squire Van de Tak (1975) yang diacu dalam Gittinger (1986), bahwa penentuan harga bayangan nilai tukar mata uang ditentukan dengan menggunakan rumus berikut : dimana, SERt OERt SCFt : Nilai tukar bayangan (Rp/US$) pada tahun t : Nilai tukar resmi (Rp/US$) pada tahunt : Faktor konversi standar 58

19 Menurut Rosegrant et al. (1987), nilai faktor konversi standar merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dan dituliskan dalam rumus sebagai berikut : dimana, SCFt Xt Mt Txt Tmt : Faktor konversi standar untuk yahun ke-t : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) Nilai ekspor Indonesia untuk tahun 2010 (Xt) adalah sebesar Rp ,00, nilai impor Indonesia tahun 2010 (Mt) sebesar Rp ,00, penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (Txt) untuk tahun 2010 sebesar Rp ,00 dan penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp ,00 (Badan Pusat Statistik 2011). Nilai tukar resmi rata-rata mata uang Rupiah terhadap US Dollar pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 9.143,50. Berdasarkan data tersebut dan perhitungan dengan metode Squire Van de Tak, maka dapat diketahui nilai tukar bayangan mata uang Rupiah terhadap US Dollar (SER) adalah sebesar Rp 9.183, Analisis Indikator Matriks Kebijakan Kelebihan model PAM adalah selain diperoleh koefisien DRCR (Domestic Resources Cost Ratio) sebagai indikator keunggulan komparatif, analisis ini juga dapat menghasilkan beberapa indikator lain yang berkaitan dengan variabel dayasaing, seperti PCR (Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan kompetitif, NPCO (Nominal Protection Coefficient on tradable Inputs), EPC (Effective Protection Coefficient), PC (Profitability Coeffisient), dan SRP (Subsidy Ratio to Producers). Untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input), output, dan keuntungan dikelompokkan ke dalam harga pasar (harga privat) dan harga sosial. Dari selisih perhitungan berdasarkan kedua kelompok harga tersebut diperoleh angka transfer untuk menilai dampak dari penerapan kebijakan pemerintah yang berlaku pada komoditas belimbing dewa dan 59

20 mengukur dampak dari adanya kegagalan pasar. Tabulasi matriks analisis kebijakan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Biaya Keterangan Penerimaan Input tradable Input nontradable Keuntungan Harga Privat A B C D Harga Sosial E F G H Efek Divergensi I J K L Sumber : Monke dan Pearson, 1989 Keterangan : Keuntungan Privat (D) = A (B+C) Keuntungan Sosial (H) = E (F+G) Transfer Output (I) = A E Transfer Input (J) = B F Transfer Faktor (K) = C G Transfer Bersih (L) = D H = I (J+K) Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) = G / (E F) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E Keofesien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A B)/(E F) Koefisien Keuntungan (PC) = D/H Analisis Keuntungan Keuntungan adalah selisih antara penerimaan (nilai penjualan komoditas yang diterima) dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani. Analisis keuntungan terdiri dari keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keuntungan privat (KP) menunjukkan selisih antara penerimaan dengan biaya yang sesungguhnya diterima atau dibayarkan petani. Nilai KP yang lebih besar dari nol berarti secara finansial menguntungkan, yaitu kondisi adanya kebijakan pemerintah atau komoditas menguntungkan untuk diusahakan. Jika nilai KP kurang atau sama dengan nol maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu kegiatan usaha tidak menguntungkan pada kondisi adanya intervensi pemerintah terhadap input dan output. KP dirumuskan oleh Monke dan Pearson (1989) sebagai berikut : Private Profitability (PP); D = A (B+C) Social Profitability (SP); H = E (F+G) Keuntungan Sosial (KS) menunjukkan selisih antara penerimaan dengan biaya yang dihitung dengan harga sosial (harga bayangan). Jika nilai KS lebih 60

21 besar dari nol maka secara ekonomi, yaitu pada kondisi pasar persaingan sempurna, kegiatan pengusahaan komoditas dapat dilanjutkan karena menguntungkan atau komoditas tersebut memiliki keunggulan komparatif. Jika nilai KS kurang dari atau sama dengan nol maka kegiatan usaha tidak menguntungkan secara ekonomi atau pada kondisi pasar persaingan sempurna Analisis Efisiensi Tingkat efisiensi pengusahaan suatu komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio atau PCR) yaitu rasio antara biaya input domestik privat dengan nilai tambah privat. Jika nilai PCR lebih kecil dari satu, artinya untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu satuan. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas tersebut efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada saat ada kebijakan pemerintah. Jika nilai PCR lebih besar atau sama dengan satu maka yang terjadi adalah sebaliknya. Private Cost Ratio (PCR) = C/ (A B) Keunggulan komparatif suatu komoditas juga dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resources Cost atau DRC). Jika nilai DRC lebih kecil dari satu, maka pengusahaan komoditas efisien secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif pada kondisi tanpa ada kebijakan. Hal ini sebaliknya berlaku jika nilai DRC lebih dari satu. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) = G/ (E F) Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Dampak kebijakan pemerintah yang diidentifikasikan dari analisis PAM meliputi dampak kebijkan pemerintah terhadap output, input dan dampak kebijakan terhadap input-output. hasil matriks kebijakan yaitu baris ketiga akan menunjukan divergensi dimana apabila terdapat perbedaan nilai dari baris pertama dan baris kedua mengindikasikan adanya intervensi atau kebijakan pemerintah sehingga pasar terdistorsi. 61

22 1. Dampak Kebijakan terhadap Output Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan oleh nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output atau NPCO). Nilai TO merupakan selisih antara penerimaan privat dengan penerimaan sosial dari aktivitas produksi. Nilai transfer output yang positif menunjukan bahwa masyarakat membeli produk dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima. Jika transfer output bernilai negative, berarti terdapat kebijakan subsidi negatif yang membuat harga privat lebih rendah dari harga sosialnya. Untuk output ekspor, angka negatif menunjukan bahwa kebijakan menyebabkan harga output yang diterima produsen di dalam negeri lebih kecil dari harga pasar dunia. Berdasarkan matriks PAM, nilai TO yang dirumuskan dihitung sebagai berikut : Output Transfer (OT) = A E NPCO menunjukan dampak insentif pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Nilai NPCO negatif menunjukan bahwa akibat kebijakan pemerintah, harga privat lebih kecildari harga dunia sehingga dapat dikatakan bahwa produsen output memberikan nilai transfer kepada pemerintah (TO). Kebijakan ini dapat berupa subsidi negatif kepada produsen untuk barang ekspor. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) = A/E Sumber : Monke dan Pearson (1989). 2. Dampak Kebijakan terhadap Input Dampak kebijakan pemerintah terhadap input tradable dijelaskan dengan Transfer Input (TI) dan Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Protection Coefficient on Input atau NPCI), sedangkan dampak kebijakan input domestik dijelaskan oleh Transfer Faktor (TF). Nilai TI menunjukan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable yang mengakibatkan terjadinya perbedaan input tradable privat dan sosial. Nilai transfer input positif menunjukan kebijakan pemerintah pada input tradable menyebabkan keuntungan yang diterima secara privat lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai transfer input negatif menunjukan kebijaka pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima secara finansial lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. 62

23 Transfer Input (IT) = B F Niali NPCI lebih kecil dari satu menunjukan adanya proteksi terhadap produsen input, sementara sektor yang menggunakan input akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Nilai NPCI lebih kecil dari satu menunjukan adanya hambatan ekspor input sehingga produksi menggunakan input lokal. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) = B/F Sumber : Monke dan Pearson (1989). Nilai Transfer Faktor (TF) menujukan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada input tradable. Nilai TF menujukan besarnya subsidi terhadap input non-tradable. Bila nilai transfer faktor negatif berarti terdapat subsidi positif pada input nontradable. Factor Transfer (FT) = C G 3. Dampak Kebijakan terhadap Input-Output Pengaruh kebijakan input-output dapat dijelaskan melalui analisis Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient atau EPC), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan (PC) dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Koefisien proteksi efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditas dalam negeri. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. EPC dihitung berdasarkan rumus : Effective Protection Coefficient (EPC) = (A B)/(E F) Nilai EPC lebih besar dari satu menunjukan bahwa dampak kebijakan pemerintah memberikan dukungan terhadap aktivitas produksi dalam negeri, misalnya dengan cara menaikkan harga output atau input asing (tradable) di atas harga dunia (harga efisiennya). Artinya terdapat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi produksi dalam negeri telah berjalan efektif. Sebaliknya, jika nilai EPC kurang dari satu menunjukan bahwa kebijkan tersebut tidak berjalan secara efektif. Transfer Bersih (TB) adalah selisih antara keuntungan bersih yang benarbenar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai TB juga 63

24 mencerminkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani apakah merugikan petani atau sebaliknya. Jika nilai TB lebih besar dari satu, hal ini menunjukan terdapat tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Net Transfer (NT) = D H Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient atau PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan indikator yang menunjukan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing dan input domestik. Nilai PC yang lebih dari satu menunjukan bahwa secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Sebaliknya, jika nilai PC kurang dari satu maka berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Profitability Coefficient (PC) = D/H Rasio subsidi bagi produsen (Subsidy Ratio to Produsers atau SRP) menunjukkan proporsi penerimaan produsen pada harga sosial yang dapat menutupi subsidi dan pajak sehingga melalui nilai SRP memungkinkan membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi suatu sistem komoditas. Subsidy Ratio to Produsers (SRP) = L/(A B) Jika nilai SRP negatif, maka hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi. Jika nilai SRP positif maka yang terjadi adalah sebaliknya. 4.7 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui perubahan perhitungan biaya dan manfaat dari perubahan input atau output dari hasil analisis suatu efektivitas perekonomian. Kelenturan usaha terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian nasional dan internasional dapat dilakukan analisis untuk menguji secara sistematis apa yang terjadi pada komponen penerimaan suatu usaha jika terjadi perubahan variabel teknis maupun variabel ekonomis. 64

25 Dalam penelitian ini, analisis sensitivitas yang digunakan untuk menyimulasikan kebijakan yang dilakukan dengan mengubah suatu variabel yang dianggap berpengaruh di antaranya adalah penurunan jumlah produksi, peningkatan harga input domestik yaitu harga tenaga kerja, peningkatan harga input tradable yaitu harga pupuk anorganik (pupuk daun dan NPK), dan penurunan harga ouput. Skenario pertama yaitu adanya penurunan jumlah produksi sebesar 10 persen akibat adanya serangan organisme pengganggu tanaman yaitu ulat penggerek buah. Skenario kedua adalah adanya peningkatan harga input domestik yaitu harga tenaga kerja meningkat sebesar 20 persen dikarenakan upah tenaga kerja cenderung meningkat setiap tahunnya. Skenario ketiga adalah adanya peningkatan harga input tradable yaitu harga pupuk anorganik (pupuk daun dan NPK) sebesar 10 persen karena diasumsikan ada peningkatan persentase kebijakan bea masuk bahan baku pembuatan pupuk dan pajak pertambahan nilai (PPN). Skenario keempat adalah adanya penurunan harga output belimbing dewa akibat mekanisme pasar. 65

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukaresmi dan Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purpossive

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 51 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat di Provinsi Bangka Belitung yaitu Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif analitis. Menurut Nazir (2014) Metode deskriptif adalah suatu metode dalam

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan 33 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM VI ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu terdiri

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta

Lebih terperinci

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis

Lebih terperinci

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Krisna Setiawan* Haryati M. Sengadji* Program Studi Manajemen Agribisnis, Politeknik Pertanian Negeri

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 28 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009, mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran rendah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Samarang. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen III METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 email: mardianto.anto69@gmail.com ABSTRAK 9 Penelitian tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis terhadap tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis

Lebih terperinci

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRAK... xiii ABSTRACT...

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 Uraian Jumlah (Rp) Total Ekspor (Xt) 1,211,049,484,895,820.00 Total Impor (Mt) 1,006,479,967,445,610.00 Penerimaan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang 131 Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II No Jenis Uji Satuan 1 Cemaran Binatang 2 Warna 3 Kadar Benda Asing (b/b) 4 Kadar Biji Enteng (b/b) 5 Kadar Cemaran Kapang 6 Kadar Warna Kehitam-hitaman

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Daya Saing Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor)

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) Novi Itsna Hidayati 1), Teguh Sarwo Aji 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRAK Apel yang

Lebih terperinci

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini, RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam

Lebih terperinci

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010 Volume 12, Nomor 1, Hal. 55-62 ISSN 0852-8349 Januari - Juni 2010 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING DAN EFISIENSI SERTA KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KOMPARATIF USAHA TERNAK SAPI RAKYAT DI KAWASAN

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kota depok yang memiliki 6 kecamatan sebagai sentra produksi Belimbing Dewa. Namun penelitian ini hanya dilakukan pada 3 kecamatan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. 4.1 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya) Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya) Tirsa Neyatri Bandrang, Ronnie S. Natawidjaja, Maman Karmana Program Magister

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah

IV. METODE PENELITIAN. Fish Farm) dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian mengenai Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm) dilaksanakan

Lebih terperinci

ANALISIS SENSITIVITAS

ANALISIS SENSITIVITAS VII ANALISIS SENSITIVITAS 7.1. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perubahan kurs mata uang rupiah, harga jeruk siam dan harga pupuk bersubsidi

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih 1.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA Kustiawati Ningsih Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Madura, Kompleks Ponpes Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan,

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR Syahrul Ganda Sukmaya 1), Dwi Rachmina 2), dan Saptana 3) 1) Program

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 93 VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 7.1. Justifikasi Harga Bayangan Penelitian ini, untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat harga, yaitu harga

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena analisis dalam metode

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian. 29 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR Dede Haryono 1, Soetriono 2, Rudi Hartadi 2, Joni Murti Mulyo Aji 2 1 Program Studi Agribisnis Program Magister

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Responden 4.3. Desain Penelitian

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Responden 4.3. Desain Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Blendung, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN 7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output Perubahan-perubahan dalam faktor eksternal maupun kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR 350 PARTNER, TAHUN 21 NOMOR 2, HALAMAN 350-358 ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR Krisna Setiawan Program Studi Manajemen Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jalan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO Policy Impact of Import Restriction of Shallot on Farm in Probolinggo District Mohammad Wahyudin,

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 58 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KAIN TENUN SUTERA PRODUKSI KABUPATEN GARUT Dewi Gustiani 1 dan Parulian Hutagaol 2 1 Alumni Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen - IPB

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Denti Juli Irawati*), Luhut Sihombing **), Rahmanta Ginting***) *) Alumni

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008) 1 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PENGUSAHAAN KOMODITI JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN A. Faroby Falatehan 1 dan Arif Wibowo 2 1 Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:

III. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut: III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda pada penelitian ini, maka peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO COMPETITIVENESS ANALYSIS OF SHALLOTS AGRIBUSINESS IN PROBOLINGGO REGENCY Competitiveness analysis of shallot business in Probolinggo

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI Pendahuluan Sebelum melakukan analisis, data yang dipakai harus dikelompokkan dahulu : 1. Data Parametrik : data yang terukur dan dapat dibagi, contoh; analisis menggunakan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Analisis Pendapatan Usahatani Ubi Jalar ini dilakukan di Desa Gunung Malang yang berada di Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. menembus dengan volume 67 ton biji gelondong kering (Direktorat Jenderal

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. menembus dengan volume 67 ton biji gelondong kering (Direktorat Jenderal BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan ekspor jambu mete di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem selama Tahun 2009 mencapai volume sebanyak 57 ton biji gelondong kering dan diharapkan pada Tahun 2010

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost )

STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost ) STUDI KELAYAKAN BISNIS ( Domestic Resource Cost ) Oleh: Dr Rita Nurmalina Suryana INSTITUT PERTANIAN BOGOR Domestic Resource Cost Of Earning or Saving a Unit of Foreign Exchange (Biaya Sumberdaya Domestik

Lebih terperinci

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe Jurnal EKONOMI PEMBANGUNAN Kajian Ekonomi Negara Berkembang Hal: 141 147 EFISIENSI EKONOMI DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PENANGKAPAN LEMURU DI MUNCAR, JAWA TIMUR Mira Balai Besar Riset

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Definisi operasional dan konsep dasar ini mencakup semua pengertian yang dipergunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

IV METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cimanggis, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas Dayasaing sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu industri karena dayasaing merupakan kemampuan suatu

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yang merupakan suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun 2012... 5 2. Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2010-2012... 6 3. Luas panen, produktivitas, dan produksi manggis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Maju Bersama, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan LAMPIRAN 82 Lampiran 1. Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan No Keterangan Jumlah Satuan Harga Nilai A Penerimaan Penjualan Susu 532 Lt 2.930,00 1.558.760,00 Penjualan Sapi 1 Ekor 2.602.697,65

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT Mekar Unggul Sari, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan

Lebih terperinci

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan Muhammad Husaini Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai struktur biaya, penerimaan dan pendapatan dari kegiatan usahatani yang dijalankan

Lebih terperinci

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG Jarek Putradi Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung, Bali jarek.putradi@gmail.com

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI I Made Tamba Ni Luh Pastini ABSTRACT Rice is high-valued commodities since pre-independence era. The paper aims to analyze impact

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Pondok Menteng Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kelompok tani Suka Tani di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, propinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL 7.1. Proyeksi Arus Kas (Cashflow) Proyeksi arus kas merupakan laporan aliran kas yang memperlihatkan gambaran penerimaan (inflow) dan pengeluaran kas (outflow). Dalam penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit

METODE PENELITIAN. yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit III. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat kuantitatif, yang banyak membahas masalah biayabiaya yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit yang diterima, serta kelayakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

METODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian. III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti, serta penting untuk memperoleh

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT Yusuf 1 dan Rachmat Hendayana 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU Habitat Volume XXIV, No. 2, Bulan Agustus 2013 ISSN: 0853-5167 KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU COMPARATIVE ADVANTAGE

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang

METODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2011, bertempat di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya)

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya) Volume, Nomor 2, Hal. 09-6 ISSN 0852-8349 Juli - Desember 2009 DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya) Muhammad Farhan dan Anna

Lebih terperinci

Oleh : DEDI DJULIANSAH DOSEN PRODI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SILIWANGI

Oleh : DEDI DJULIANSAH DOSEN PRODI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SILIWANGI KELAYAKAN USAHATANI CABAI MERAH DENGAN SISTEM PANEN HIJAU DAN SISTEM PANEN MERAH (Kasus Pada Petani Cabai di Kecamatan Sariwangi Kabupaten Tasikmalaya) Oleh : DEDI DJULIANSAH DOSEN PRODI AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

DAYA SAING DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING KOMODITI KAKAO DI SULAWESI TENGAH

DAYA SAING DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING KOMODITI KAKAO DI SULAWESI TENGAH DAYA SAING DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING KOMODITI KAKAO DI SULAWESI TENGAH Competitiveness and the Role of Government to Increase Competitiveness of Cocoa in Central Sulawesi Siti

Lebih terperinci

ANALYSIS ON COMPETITIVENESS OF ARABICA COFFEE IN NORTH TAPANULI (Case Study: Bahal Batu III Village, Siborong-borong Subdistrict)

ANALYSIS ON COMPETITIVENESS OF ARABICA COFFEE IN NORTH TAPANULI (Case Study: Bahal Batu III Village, Siborong-borong Subdistrict) ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA ( Studi Kasus : Desa Bahal Batu III, Kecamatan Siborong-Borong) ANALYSIS ON COMPETITIVENESS OF ARABICA COFFEE IN NORTH TAPANULI (Case

Lebih terperinci

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA Handewi P.S. Rachman, Supriyati, Saptana, Benny Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERNGK PEMIKIRN 3.1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis berisi teori-teori dan konsep yang berkaitan dengan penelitian analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jambu biji. kerangka

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES Habitat Volume XXV, No. 1, Bulan April 2014 ISSN: 0853-5167 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES THE IMPACTS OF GOVERNMENT S

Lebih terperinci

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI

EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI Beny Rachman, Pantjar Simatupang, dan Tahlim Sudaryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT

Lebih terperinci