BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN KREDIT BANK. Menjalani kehidupan sehari-hari kita sering sekali mendengar istilah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN KREDIT BANK. Menjalani kehidupan sehari-hari kita sering sekali mendengar istilah"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian Perjanjian Menjalani kehidupan sehari-hari kita sering sekali mendengar istilah perjanjian. Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan perjanjian tersebut. Untuk mengerti lebih mendalam kita harus mengetahui terlebih dahulu istilah perjanjian terjemahan dari verbintenis yang diatur dalam buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata) maupun pengertian perjanjian menurut para ahli. Istilah perikatan berasal dari bahasa Belanda yaitu Verbintenis. Namun demikian, dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menerjemahkan verbintenis. Subekti dan Tjiptosudibio, menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst. Utrecht, dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia memakai istilah perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst. Sedangkan Achmad Ichsan, menerjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst untuk persetujuan. 28 Dengan demikian, verbintenis ini dikenal memiliki tiga istilah di Indonesia, yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan untuk overeenkomst, dipakai untuk dua istilah yaitu perjanjian dan persetujuan. 28 Titik Triwulan Tutik Trianto, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 197

2 Faktanya, dalam menerjemahkan verbintenis para sarjana hukum Indonesia tidak ada kesepakatan pendapat. Tetapi ada juga sarjana yang menerjemahkan verbintenis itu hanya dengan istilah perjanjian. Jelas ini merupakan kesalahan yang prinsipil, karena perjanjian itu sendiri merupakan salah satu bentuk perutangan. Beberapa Sarjana Hukum memberikan definisi mengenai perjanjian antara lain sebagai berikut: Menurut Wiryono Projodikoro, verbintenis diterjemahkan sebagai perjanjian yang artinya adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 29 Menurut Subekti, verbintenis diterjemahkan sebagai perikatan yang artinya adalah suatu perhubungan hukum (mengenai harta kekayaan benda) antara dua orang, yang memberi hak kepada yang satu untuk menuntut sesuatu hal dari yang lainnya sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan untuk memenuhi tuntutan itu. 30 Hal tersebut berarti bahwa istilah perikatan menurut Subekti adalah tidak semua perikatan di dalam ilmu hukum disebut verbintenis. Jadi istilah perikatan terlalu luas sedangkan verbintenis hanya perikatan yang letaknya di dalam harta kekayaan. hal Wiryono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, 1989, 30 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1

3 Subekti membedakan antara perikatan dan perjanjian, yaitu: Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.dari peristiwa ini ditimbulkan suatu perhubungan antara dua orang itu yang dinamakan perikatan tadi. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janjijanji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 31 Pendapat Syahmin AK memberikan petunjuk bahwa dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 32 Berdasarkan pandangan yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dalam definisi tersebut, secara jelas terdapat konsensus antara para pihak, yaitu persetujuan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Selain itu juga, perjanjian yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan. 33 M. Yahya Harahap berpendapat bahwa perjanjian maksudnya adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. 34 Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian di atas, penulis melihat bahwa hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu hal.6 31 Ibid. 32 Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.4 34 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1986,

4 menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah suatu sumber perikatan. Dengan demikian, perjanjian adalah merupakan sumber penting dari perikatan, tetapi masih ada sumber perikatan lainnya yang dilahirkan oleh undang-undang. Perikatan itu merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah pengertian konkrit. Hal ini dapat dikatakan demikian karena kita tidak dapat melihat dengan panca indera kita wujud dari suatu perikatan itu, melainkan kita hanya membayangkan dalam pikiran saja. Sedangkan mengenai perjanjian, kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengar perkataan-perkataannya. 35 Hukum perjanjian pada dasarnya diatur dalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tantang perikatan karena perjanjian merupakan salah satu peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak dimana di satu pihak ada hak dan di pihak lain ada kewajiban. Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian merupakan peristiwa hukum yang berupa tindakan hukum yang mengakibatkan timbulnya perikatan. 36 Berdasarkan pengertian perjanjian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa unsur-unsur pejanjian adalah: Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian di Indonesia, Perpustakaan Fak. Hukum UII, Yogyakarta, 1989, hal Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal J. Satrio, Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Buku I), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 25

5 1. Perbuatan hukum Perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan menimbulkan akibat hukum, sehingga menunjukkan bahwa akibat hukumnya dikehendaki atau dianggap dikehendaki; 2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang atau lebih Dalam membuat suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang berhadap-hadapan dan saling menyatakan kehendak satu sama lain; 3. Mengikatkan dirinya Artinya dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak yang lain sehingga para pihak terikat pada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Dengan arti seperti itu, rumusan pasal 1313 KUH Perdata hanya menggambarkan perjanjian sepihak saja. Berdasarkan unsur-unsur perjanjian yang telah diuraikan di atas, menurut J.Satrio perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri. 38 Berbeda halnya dengan unsur-unsur perjanjian yang dikemukakan oleh Salim H. S., bahwa pada suatu perjanjian terdapat beberapa unsur pokok, antara lain: Adanya kaidah hukum Kaidah hukum perjanjian meliputi kaidah hukum tertulis dan kaidah hukum tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis yaitu kaidah hukum yang terdapat dalam undang-undang, traktat dan jurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum tidak tertulis yaitu kaidah yang timbul, tumbuh dan hidup dalam praktik kehidupan masyarakat (kebiasaan), seperti transaksi gadai, jual tahunan atau jual lepas. 2. Adanya subjek hukum Subjek hukum dalam hukum perjanjian terdiri dari kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang (badan hukum) yang berhak atas prestasi. Sedangkan debitur adalah orang (badan hukum) yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. 3. Adanya prestasi (objek perikatan) Prestasi merupakan apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi terdiri dari: 38 Ibid., hal Titik Triwulan Tutik Trianto, Op.Cit., hal. 200

6 a. memberikan (berbuat atau tidak berbuat) sesuatu; b. dapat ditentukan; c. mungkin dan diperkenankan; dan d. dapat terdiri dari satu perbuatan saja atau terus-menerus. 4. Dalam bidang tertentu Bidang yang dimaksud adalah bidang harta kekayaan, yaitu menyangkut hak dan kewajiban yang dapat dinilai uang. Suatu harta kekayaan dapat berwujud atau tidak berwujud. Kata perjanjian secara umum dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. 40 Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Sedangkan dalam arti sempit, perjanjian disini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata. 41 Hal ini berarti bahwa hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan sedangkan hukum perikatan merupakan bagian dari hukum kekayaan, maka hubungan yang timbul antara para pihak dalam suatu perjanjian adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan. Berdasarkan pengertian dan pendapat para ahli mengenai perjanjian yang telah dijabarkan di atas, suatu perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melakukan suatu persetujuan yang telah disepakati bersama, yang mana pengertian dari perjanjian itu sendiri telah diatur di dalam KUH Perdata. Selain itu, KUH Perdata juga mengenal bentuk-bentuk daripada perjanjian tersebut, yaitu sebagai berikut: 40 J. Satrio, Op.Cit., hal Ibid.

7 1. Perjanjian bersyarat Pasal 1253 KUH Perdata menyebutkan suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu.berdasarkan pengertian perjanjian bersyarat yang diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata, Subekti berpendapat: Jika suatu perjanjian digantungkan pada syarat, bahwa sesuatu peristiwa akan terjadi di dalam waktu tertentu, maka syarat tersebut harus dianggap tidak terpenuhi apabila waktu tersebut telah lampau dengan tidak terjadinya peristiwa yang dimaksud Perjanjian dengan ketetapan waktu Perjanjian dengan ketetapan waktu tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan Perjanjian mana suka (alternatif) Dalam perjanjian mana suka, objek prestasinya ada dua macam barang. Dikatakan alternatif karena debitur boleh memenuhi prestasinya dengan memilih salah satu dari dua barang yang dijadikan objek perjanjian. Tetapi debitur tidak dapat memaksa 42 Subekti, Op.Cit.,hal Ibid., hal. 6

8 kreditur untuk menerima sebagian barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya. Jika debitur talah memenuhi salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, ia dibebaskan dan perjanjian berakhir Perjanjian tanggung-menanggung Perjanjian tanggung menanggung dapat terjadi apabila seorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang kreditur berhadapan dengan beberapa orang debitur. Dalam hal ini, setiap kreditur berhak atas pemenuhan prestasi seluruh utang dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari utangnya dan perjanjian tersebut hapus Perjanjian yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi Perikatan yang dapat dibagi-bagi terdapat lebih dari satu kali pelaksanaan pokok perikatan dengan rumusan Pasal 1296 KUHPerdata dinyatakan bahwa Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata-nyata maupun secara perhitungan. Perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau dimaksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian Titik Triwulan Tutik Trianto, Op.Cit., hal Ibid., hal Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 177

9 6. Perjanjian dengan ancaman hukuman Perjanjian dengan ancaman hukuman merupakan suatu perjanjian yang mana ditentukan bahwa debitur, untuk jaminan pelaksanaan perjanjiannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perjanjiannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai ganti kerugian yang diderita oleh kreditur akibat tidak terpenuhi perjanjian tersebut oleh debitur. 47 Hal tersebut berarti bahwa jika pihak debitur lalai terhadap kewajibannya maka ia harus melaksanakan apa yang telah ditetapkan sebagai hukumannya dalam kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. B. Syarat Sahnya Perjanjian Syarat sahnya perjanjian diperlukan untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perjanjian yang lahir dari perbuatan atau tindakan para pihak, sehingga akan berimplikasi pada akibat hukum yang timbul dari perbuatan para pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Adapun yang menjadi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat menurut undang-undang, yaitu: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Mengenai suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, 47 Subekti, Op.Cit., hal Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1320

10 sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 49 Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. 50 Agar dua kehendak bisa bertemu dan saling mengisi maka harus ada pernyataan kehendak dari satu pihak berupa penawaran dan penerimaan atau akseptasi dari pihak yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa yang dinamakan sepakat adalah suatu penawaran yang diakseptasi. Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena paksaan atau penipuan. 51 Kekhilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hak-hak yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuan. 52 Mengenai kekhilafan itu diatur lebih lanjut dalam undang-undang yang mengaturnya, yang ketentuannya adalah sebagai berikut: Ibid., hal J. Satrio, Op.Cit., hal Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal Subekti, Op.Cit., hal Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1322

11 Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut. Mengenai paksaan peraturannya adalah: 54 Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berfikiran sehat, dan apabila perbuatan itu sedemikian rupa dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Mengenai penipuan peraturannya adalah sebagai berikut: 55 Penipuan merupakan alasan untuk pembatalan persetujuan apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata, bahwa pihak lain tidak menyetujui perjanjian serupa andaikata tidak dilakukan tipu muslihat itu. Berdasarkan penjabaran tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian tidaklah sah apabila kesepakatan terjadi karena kekhilafan seperti penipuan dan pemaksaan. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1329 KUH Perdata pada dasarnya semua orang dianggap cakap untuk membuat perjanjian kecuali oleh undang- 54 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1328

12 undang dinyatakan tidak cakap. Pada umumnya orang dikatakan cakap apabila orang tersebut telah dewasa. Pasal 330 KUH Perdata menyatakan bahwa mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak telah menikah adalah belum dewasa. Secara a contrario dapat dikatakan bahwa dewasa adalah mereka yang telah berumur 21 tahun dan mereka yang telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah. 56 Dalam ketentuan pasal 47 Jo. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seseorang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum apabila telah berusia 18 tahun. Ketentuan pasal 47 Jo. Pasal 50 UUP tersebut mengesampingkan ketentuan mengenai kedewasaan yang terdapat dalam pasal 330 KUH Perdata. Hal ini berarti, bahwa anak yang telah mencapai usia 18 tahun telah lepas dari perwalian dan dianggap dewasa, yang berarti anak tersebut dapat melakukan tindakan hukum sendiri dengan sah. 57 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai orangorang yang tidak cakap berbuat yaitu tertuang dalam Pasal 1330 KUH Perdata: Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah: 1. anak yang belum dewasa; 2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undangundang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Syarat ketiga untuk sahnya melakukan suatu perjanjian adalah suatu hal tertentu. Maksud dari suatu hal tertentu ini adalah objek dari pada perjanjian. Menurut J. Satrio, objek perjanjian adalah isi dari prestasi yang menjadi pokok 56 J.Satrio, Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Buku II), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal Ibid., hal. 9

13 perjanjian yang bersangkutan. Prestasi tersebut merupakan suatu perilaku tertentu, bisa berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 58 Setiap perjanjian haruslah mempunyai objek perjanjian dan hal ini diatur dalam pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata yang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah barang yang dapat diperdagangkan; 2. Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut minimal harus dapat ditentukan jenisnya; 3. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung; 4. Barang yang menjadi objek perjanjian dapat berupa barang yang baru akan ada pada waktu yang akan datang; serta 5. Tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih dalam warisan yang belum terbuka. Syarat terakhir untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah suatu sebab yang halal. Mengenai suatu sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yaitu sebagai berikut: Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. 58 J. Satrio, Op.Cit., hal. 32

14 Pasal 1336 KUH Perdata menyatakan bahwa jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain yang tidak terlarang selain dan yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah. Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Menurut Subekti, sebab (oor zaak) yang dimaksudkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri. Sebab bukanlah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada azasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang. Yang diperhatikan oleh undang-undang hanyalah tindakan-tindakan orang-orang dalam masyarakat. 59 Contoh mengenai suatu sebab yang halal yang dimaksudkan dari pada isi perjanjian misalnya perjanjian jual beli isinya pihak yang satu (si penjual) menghendaki uang, sedangkan pihak yang lain (si pembeli) menghendaki sebuah pisau. Dengan demikian jika seseorang membeli sebuah pisau di toko dengan maksud untuk membunuh orang lain menggunakan pisau tersebut, tetapi si penjual tidak mengetahui maksud pembunuhan tersebut, maka jual beli pisau tersebut mempunyai sebab yang halal. Tetapi apabila soal membunuh dimaksudkan dalam perjanjian misal si penjual hanya bersedia menjual pisaunya jika si pembeli membunuh, maka isi perjanjian tersebut menjadi suatu yang terlarang. C. Pengertian Perjanjian Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu credere yang berarti kepercayaan. Oleh karena itu dasar dari perjanjian kredit adalah kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapat fasilitas kredit 59 Subekti, Op.Cit., hal. 19

15 dari bank (kreditur), maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapat kepercayaan dari bank pemberi kredit, dan penerima kredit (debitur) pada masa yang akan datang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. 60 Berdasarkan peraturan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana tersebut di atas, suatu pinjam meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang; 2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain; 3. Adanya kewajiban melunasi utang; 4. Adanya jangka waktu tertentu; serta 5. Adanya pemberian bunga kredit. Muhammad Djumhana menyatakan bahwa perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam pengganti sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1754 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa: 62 Perjanjian pinjam pengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, 1989, hal M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 385

16 yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Mariam Darus Badrulzaman juga memiliki pandangannya sendiri tentang pengertian perjanjian kredit, ia berpendapat bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (pacta de contrahendo) oligatoir, yang dikuasai oleh undang-undang perbankan dan bagian umum KUH Perdata. 63 Hermansyah memiliki pendapat lain mengenai definisi daripada perjanjian kredit. Menurutnya, perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yeng bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa terjanjinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada debitur. 64 Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian kredit tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit dilaksanakan dengan mana para pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan perjanjian kredit yang mana pihak debitur menerima sejumlah uang dari pihak kreditur dan pihak kreditur akan menerima pembayaran atas hutang debitur dengan jumlah yang sama dengan bunga dan pada waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit tersebut.pihak debitur diberikan kredit oleh pihak kreditur didasarkan atas dasar kepercayaan bahwa pihak debitur akan melunasi hutangnya tepat pada waktunya. 63 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1989, hal Hermansyah, Op.Cit., hal. 71

17 Jadi apabila debitur telah mengembalikan apa yang diperjanjikan maka kreditur juga berkewajiban menyerahkan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur. Dilihat dari bentuknya, umumnya perjanjian kredit perbankan menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). 65 Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Dalam praktik perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan namun demikian ada hal-hal yang tetap harus dipedomani yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum sekaligus juga harus membuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. 66 Hal-hal yang demikian perlu menjadi perhatian agar mencegah adanya kebatalan dari perjanjian yang dibuat, sehingga pada saat dilakukannya perbuatan hukum (perjanjian) tersebut jangan sampai melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian pejabat bank harus dapat memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan perjanjian kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank. Beberapa pakar yang menentang kehadiran perjanjian baku ini, di antaranya adalah: Ibid. 66 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan keempat,citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.323

18 1. Sluitjer Menurutnya perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan para pihak sama dengan pembentuk undang-undang swasta. 2. Pitlo Pitlo berpendapat bahwa perjanjian baku adalah suatu perjanjian memaksa (dwangcontract), karena terdapatnya pelanggaran atas sifat terbuka dan kebebasan para pihak dalam hukum perjanjian. 3. Eggens Dikatakan olehnya kebebasan kehendak dalam perjanjian merupakan tuntutan kesusilaan. Sebaliknya, beberapa pakar menerima kehadiran perjanjian baku sebagai suatu perjanjian, hal ini karena: Perjanjian baku sebagai perjanjian berdasarkan kemauan dan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan dirinya pada perjanjian itu; 2. Setiap pihak yang menandatangani perjanjian tersebut pasti mengetahui, menghendaki dan menyetujui isi daripada perjanjian yang telah dituangkan di dalam formulir perjanjian baku tersebut; 3. Perjanjian baku mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan berlaku di lingkungan masyarakat. Hal ini berarti bahwa keabsahan perjanjian baku terletak pada penerimaan masyarakat dan lalu lintas bisnis untuk memperlancar arus perdagangan dan bisnis. Dunia perdagangan dan bisnis sangat memerlukan kehadiran perjanjian baku guna menunjang dan menjamin kelangsungan hidup usaha perdagangan dan bisnis. Setiap perjanjian, khususnya perjanjian kredit antara bank dengan nasabah wajib menerapkan asas-asas dalam perjanjian. Bank wajib menerapkan asas 68 Ibid., hal. 324

19 keseimbangan dalam perjanjian kredit. Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Kreditur memiliki kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, tetapi kreditur juga mempunyai beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Disini dapat terlihat bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur menjadi seimbang. Kedudukan bank yang dominan di bandingkan dengan kedudukan nasabah, maka itikad baik sangat diperlukan dalam melaksanakan perjanjian kredit oleh bank hal ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang dapat mengarah pada ketidakadilan. Itikad baik sebagaimana Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, bahwa suatu perjanjian harus didasari itikad baik, artinya pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau sesuatu yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat. 69 Perjanjian kredit juga perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh pihak bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu, menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok; 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasanbatasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur; 69 Etty Mulyati, Asas Keseimbangan pada Perjanjian Kredit Perbankan dengan Nasabah Pelaku Usaha Kecil, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 1 No. 1, 2016, hal Hermansyah, Op.Cit., hal. 72

20 3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. D. Jenis Perjanjian Kredit Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, karena perjanjiankredit secara tertulis lebih aman dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan bentuktertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan, dan ini akan menjadi bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu kepada kredityang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak bank. 71 Hendrik Budi Untung memberikan penjelasan bahwa secara yuridis terdapat 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan oleh bank dalam memberikan kreditnya, yaitu: Perjanjian kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan, yaitu perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara mereka (kreditur dan debitur) tanpa notaris. Lazimnya dalam penandatanganan akta perjanjian kredit, saksi turut serta membubuhkan tandatangannya karena saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata. 2. Perjanjian kredit notariil (autentik), yaitu perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris. Dari pengertian perjanjian kredit notariil tersebut, dapat ditemukan beberapa hal, antara lain: a. Yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, terkecuali wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang lain; b. Akta otentik dibedakan dalam yang dibuat oleh dan yang dibuat di hadapan pejabat umum. Isi dari akta otentik adalah: 1) semua perbuatan yang oleh undang-undang diwajibkan dibuat dalam akta otentik; 2) semua perjanjian dan penguasaan yang dikehendaki oleh mereka yang berkepentingan. 3) Akta otentik memberikan kepastian mengenai penanggalan daripada aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut dalam akta yang bersangkutan, tahun, bulan dan tanggal pada waktu akta tersebut dibuat. 71 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit., hal H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, 2000, hal.31

21 Mengenai akta perjanjian kredit notariil atau autentik ini, terdapat beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu: Kekuatan Pembuktian, terdapat 3 (tiga) macam, yaitu: a. Pertama, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang tertulis di dalam akta. b. Kedua, membuktikan antara para pihak bahwa peristiwa yang disebutkan dalam akta sunguh-sungguh terjadi. c. Ketiga, membuktikan tidak hanya antara para pihak tetapi pihak ketiga juga telah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. 2. Grosse Akta Pengakuan Hutang Kelebihan dari akta perjanjian kredit atau pengakuan hutang yang dibuat secara notariil (autentik) adalah dapat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya disamakan dengan keputusan hakim yang oleh bank diharapkan pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses gugatan yang biasanya menyita waktu lama dan memakan biaya besar. 3. Ketergantungan terhadap Notaris Bahwa notaris sebagai pejabat umum tetap juga sebagai seorang manusia biasa sehingga di dalam mengadakan perjanjian kredit atau pengakuan hutang oleh atau di hadapan notaris, tetap dituntut berperan aktif guna memeriksa segala aspek hukum dan kelengkapan yang diperlukan. E. Hapusnya Perjanjian Kredit Pasal 1319 KUH Perdata menetapkan bahwa semua persetujuan baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lain. Mengingat bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tidak diatur di dalam KUH Perdata atau yang sering disebut dengan istilah perjanjian innominaat, dengan adanya peraturan yang tertuang dalam Pasal 1319 KUH Perdata tersebut di atas menetapkan bahwa perjanjian kredit juga harus tunduk 73 Ibid., hal. 33

22 pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH Perdata, termasuk ketentuan-ketentuan tentang hapusnya suatu perikatan atau perjanjian. Hapusnya suatu perikatan telah diatur di dalam Pasal 1381 KUH Perdata yang ketentuannya adalah sebagai berikut: Perikatan hapus: karena pembayaran; karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaruan utang; karena perjumpaan utang atau kompensasi; karena percampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini;dan karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri. Pasal 1381 KUH Perdata tersebut di atas yang mengatur cara hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh cara yang disebutkan pada Pasal 1381 KUH Perdata, umumnya perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal sebagai berikut: Pembayaran Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause). 2. Subrogasi (subrogatie) Pasal 1382 KUH Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran (pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga. Inilah yang dinamakan dengan subrogasi. Jadi subrogasi ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur lama oleh kreditur baru dengan mengadakan pembayaran. Dengan adanya subrogasi, maka segala kedudukan atau hak-hak yang dimiliki oleh kreditur lama beralih kepada pihak ketiga. 74 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal

23 3. Pembaruan utang (novasi) Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru, dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal ini bila utang lama diganti dengan utang baru, maka terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut novasi objektif. Di sini utang lama akan lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaruan ini disebut novasi subjektif pasif. Jika yang diganti itu krediturnya, pembaruan ini disebut novasi subjektif aktif. Dalam hal ini, utang lama lenyap. Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi dalam dunia perbankan adalah dengan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada. Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit banknya dengan perjanjian kredit bank yang baru. Oleh karena itu otomatis perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak berlaku lagi. Pasal 1413 KUH Perdata menyebutkan tiga cara untuk melakukan novasi, yaitu: a. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang menggantikan perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya; b. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur baru; c. mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat suatu perjanjian baru yang diadakan. 4. Perjumpaan utang (kompensasi) Kompensasi adalah perjumpaan dua utang yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, di mana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain,sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata memang tidak mengatur tentang perjanjian kredit perbankan namun setiap orang yang melakukan perjanjian kredit harus tunduk dan patuh terhadap seluruh ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian yang ada di dalam KUHPerdata. Karena bagaimanapun juga perjanjian kredit merupakan suatu hubungan hukum yang menimbulkan suatu perikatan dan ketentuan mengenai perikatan telah diatur di dalam KUHPerdata.

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Perjanjian Kredit Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala ketentuan umumnya didasarkan pada ajaran umum hukum perikatan yang terdapat

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, meskipun di dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut telah membubuhkan tanda tangannya

Lebih terperinci

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia 16 BAB 2 PEMBAHASAN 2.1. Pengertian dan Pelaksanaan Jual Beli Tanah di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah 2.1.1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian Manusia adalah makhluk sosial yang kodratnya harus

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan verbintenis, yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan.

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring. 28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku

Lebih terperinci

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT Rochadi Santoso rochadi.santoso@yahoo.com STIE Ekuitas Bandung Abstrak Perjanjian dan agunan kredit merupakan suatu hal yang lumrah dan sudah biasa dilakukan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. menyalin kedalam bahasa Indonesia, dengan kata lain belum ada kesatuan

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. menyalin kedalam bahasa Indonesia, dengan kata lain belum ada kesatuan BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Pengertian Perjanjian Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai istilah perjanjian. Mengenai istilah perjanjian dalam hukum perdata Indonesia yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Pasal 1234 KHUPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaiknya dianggap

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah penduduk di Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( ) PENGERTIAN PERJANJIAN KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) (166010200111038) FANNY LANDRIANI ROSSA (02) (166010200111039) ARLITA SHINTA LARASATI (12) (166010200111050) ARUM DEWI AZIZAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM A. Pengertian kontrak Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang bermakna perjanjian. Dalam bahasan belanda kontrak dikenal dengan kata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. hubungan antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. hubungan antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak 11 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Dasar Hukum Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian berbeda dengan perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan antara dua orang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN 31 BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN Sesuai defenisinya, suatu Penanggungan adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian 1. Pengertian perjanjian Perjanjian secara umum diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Dalam KUHPerdata Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Bangun Bagi Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang akan mengajukan pinjaman atau kredit kepada bank. Kredit merupakan suatu istilah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Koperasi Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata co yang artinya bersama dan operation yang artinya bekerja

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Uraian Teori Beberapa teori akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu pengertian perjanjian, pembiayaan leasing dan teori fidusia. 2.1.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. 1 Peranan perbankan nasional perlu ditingkatkan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan bisnis tentunya didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan suatu kata yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Dengan mendengar sebuah kata perjanjian maka kita akan langsung berfikir bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian sudah lazim dipergunakan dalam lalu lintas hidup masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris,

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis. Perjanjian merupakan terjemahan dari Toestemming yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum BAB I PENDAHULUAN Hukum perjanjian adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, karena Hukum Perdata banyak mengandung

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Secara umum pengertian perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUHPdt yaitu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK 1. Pengaturan Perjanjian Kredit Pengertian perjanjian secara umum dapat dilihat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu suatu perbuatan

Lebih terperinci

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH A. Pengaturan tentang Perikatan Jual Beli Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

Lebih terperinci

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA 53 BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Hutang Piutang Pengertian hutang menurut etimologi ialah uang yang dipinjam dari

Lebih terperinci

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan 2 Prof. Subekti Perikatan hubungan hukum antara 2 pihak/lebih, dimana satu pihak

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata : BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang ataulebih. Syarat

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK Sularto MHBK UGM PERISTILAHAN Kontrak sama dengan perjanjian obligatoir Kontrak sama dengan perjanjian tertulis Perjanjian tertulis sama dengan akta Jadi antara istilah kontrak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan paling pokok dalam kehidupan manusia. Rumah sebagai tempat berlindung dari segala cuaca sekaligus sebagai tempat tumbuh kembang

Lebih terperinci

BERAKHIRNYA PERIKATAN

BERAKHIRNYA PERIKATAN RH BERAKHIRNYA PERIKATAN Perjanjian baru benar-benar berakhir jika seluruh isi perjanjian telah ditunaikan. Isi perjanjian itu adalah perikatan. Ps 1381 KUHPdt mengatur cara hapusnya perikatan : 1. Pembayaran;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu tantangan terbesar bagi hukum di Indonesia adalah terus berkembangnya perubahan di dalam masyarakat yang membutuhkan perhatian dan pengaturan

Lebih terperinci