RANCANGAN 12 JULI 2019 PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR... TAHUN 2019 TENTANG PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGAN 12 JULI 2019 PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR... TAHUN 2019 TENTANG PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT"

Transkripsi

1 Masukan kami terima paling lambat tanggal 31 Juli 2019 melalui Cc: RANCANGAN 12 JULI 2019 PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR... TAHUN 2019 TENTANG PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa untuk menjamin mutu, khasiat dan keamanan obat dan bahan obat serta untuk mencegah penyimpangan pengelolaan obat dan bahan obat, selama di peredaran perlu dilakukan pengawasan secara komprehensif; b. bahwa Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi sebagaimana yang telah ditetapkan melalui Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK Tahun 2012 sudah tidak sesuai dengan kondisi dan/atau kebutuhan terkini; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Pedoman Tindak Lanjut Pengawasan Obat dan Bahan Obat.

2 Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 180); 2. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1745); 3. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 784); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TENTANG PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. 2. Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi termasuk baku pembanding. 3. Narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

3 menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika. 4. Psikotropika adalah obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 5. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat. 6. Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan, yang selanjutnya disebut dengan Obat-Obat Tertentu, adalah obat yang bekerja di sistem susunan syaraf pusat selain Narkotika dan Psikotropika, yang pada penggunaan di atas dosis terapi dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 7. Industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. 8. Fasilitas Produksi adalah sarana yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat dan bahan obat. 9. Fasilitas Distribusi adalah fasilitas yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan obat dan/atau bahan obat. 10. Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat PBF, adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, distribusi

4 obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 11. PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, distribusi obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Instalasi Farmasi Pemerintah yang disebut juga Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Pemerintah adalah fasilitas tempat menyimpan dan menyalurkan sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. 13. Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik yang selanjutnya disebut Sertifikat CDOB adalah dokumen sah yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang merupakan bukti bahwa PBF telah memenuhi persyaratan CDOB dalam mendistribusikan obat atau bahan obat. 14. Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik yang selanjutnya disebut Sertifikat CPOB adalah dokumen sah yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang merupakan bukti bahwa industri farmasi atau sarana telah memenuhi persyaratan CPOB dalam membuat Obat dan/atau Bahan Obat. 15. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah fasilitas yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. 16. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. 17. Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah bagian dari rumah sakit yang merupakan unit pelaksana fungsional yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit. 18. Instalasi Farmasi Klinik adalah bagian dari klinik, yang dalam Undang-Undang mengenai Narkotika dan Psikotropika disebut balai pengobatan yang bertugas

5 menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian. 19. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. 20. Toko Obat/Pedagang Eceran Obat yang selanjutnya disebut Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat bebas dan obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran. 21. Pengelolaan adalah kegiatan yang mencakup pengadaan, penerimaan, penyimpanan, produksi, distribusi, penyerahan, penarikan/pengembalian, pemusnahan, pendokumentasian dan/atau pelaporan. 22. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan/atau pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan. 23. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan distribusi atau penyerahan obat dan/atau bahan obat baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, atau pemindahtanganan. 24. Distribusi adalah setiap kegiatan distribusi obat dan/atau bahan obat dalam rangka pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan. 25. Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan Obat dan/atau Bahan Obat, baik antar penyerah maupun kepada pasien dalam rangka pelayanan kesehatan. 26. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud

6 mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. 27. Penarikan adalah proses penarikan kembali obat yang telah diedarkan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat, mutu dan penandaan. 28. Pengamanan Setempat adalah tindakan yang dilakukan oleh petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan, termasuk petugas unit pelaksana teknis di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk melakukan inventarisasi, pengambilan contoh untuk uji laboratorium, dan/atau penyegelan dalam pengawasan peredaran Obat dan Makanan, termasuk bahan baku dan/atau bahan pengemas. 29. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. 30. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi dan Analis Farmasi. 31. Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas kefarmasian. 32. Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian yang selanjutnya disingkat SIPTTK adalah surat izin praktik yang diberikan kepada tenaga teknis kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian. 33. Petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan, termasuk petugas unit pelaksana teknis di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disebut Petugas, adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan, termasuk unit pelaksana teknis di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang diberi tugas melakukan pengawasan

7 peredaran Obat dan Makanan berdasarkan surat perintah tugas. 34. Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan. 35. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. BAB II TINDAK LANJUT HASIL PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Pedoman tindak lanjut pengawasan Obat dan Bahan Obat wajib menjadi acuan bagi Petugas dalam melaksanakan tugas pengawasan. (2) Tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan terhadap kegiatan pembuatan dan peredaran Obat dan Bahan Obat. (3) Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk narkotika, psikotropika, prekursor farmasi, dan obatobat tertentu. Bagian Kedua Pelaksanaan Tindak Lanjut Pasal 3 (1) Pelaksanaan Pedoman tindak lanjut pengawasan Obat dan Bahan Obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2) ayat (1) bertujuan untuk memastikan:

8 a. Obat dan Bahan Obat yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu produk yang ditetapkan; b. pengelolaan obat dan bahan obat di fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; dan c. kebenaran jalur distribusi dan penyerahan Obat dan Bahan Obat. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan oleh Petugas. Pasal 3A (1) Fasilitas Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b meliputi: a. Industri Farmasi; b. Unit Transfusi Darah; c. Pusat Plasmaferesis; dan d. Sarana Pembuatan Radiofarmaka. (2) Fasilitas Distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b meliputi: a. PBF; b. PBF Cabang; dan c. Instalasi Farmasi Pemerintah. (3) Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b meliputi: a. Apotek; b. Instalasi farmasi rumah sakit; c. Puskesmas; d. Klinik; dan e. Toko obat Pasal 4 (1) Setiap pengawasan akan diberikan tindak lanjut hasil pengawasan. (2) Tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

9 a. bimbingan teknis dan supervisi; dan/atau b. tindakan administratif. (3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan apabila terdapat pelanggaran peraturan perundang-undangan. (4) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan berdasarkan: a. hasil pemeriksaan di fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian; b. hasil kajian keamanan, khasiat, dan mutu obat; dan/atau c. hasil kajian terhadap data pengawasan dari fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian. Pasal 5 (1) Tindak lanjut hasil pengawasan berupa tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi: a. peringatan; b. peringatan keras; c. penghentian sementara kegiatan; d. pembekuan Sertifikat CPOB; e. pencabutan Sertifikat CPOB; f. rekomendasi pembekuan izin Industri Farmasi; g. pembekuan izin edar; h. pencabutan izin edar; i. rekomendasi pencabutan izin Industri Farmasi; j. rekomendasi pencabutan izin/pengakuan fasilitas distribusi; k. pencabutan sertifikat CDOB; l. rekomendasi pencabutan izin fasilitas pelayanan kefarmasian; dan/atau m. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran.

10 Pasal 6 (1) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c untuk: a. Industri Farmasi dapat dikenakan untuk sebagian kegiatan atau seluruh kegiatan sesuai dengan sertifikat CPOB. b. PBF dan PBF Cabang dikenakan untuk seluruh kegiatan. c. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dikenakan untuk seluruh kegiatan. (2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. (3) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja. (4) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja. Pasal 7 (1) Pelaksanaan pemberian tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Tindak Lanjut Pengawasan Obat dan Bahan Obat sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini. (2) Dalam hal Industri Farmasi, PBF, PBF Cabang atau Fasilitas Pelayanan Kefarmasian diberikan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, pengaktifan kembali kegiatan dapat dilakukan jika telah dilakukan tindakan perbaikan dan pencegahan terhadap temuan. (3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf f, huruf i, huruf j, dan huruf l disampaikan kepada Kementerian/Lembaga atau organisasi perangkat

11 daerah penerbit izin dengan tembusan institusi pembina instansi penerbit izin. (4) BPOM mengkoordinasikan teknis pelaksanaan tindak lanjut berupa rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf f, huruf i, huruf j, dan huruf l yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah. (5) Pelaksanaan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan melalui sistem elektronik yang terintegrasi dan berbasis web. (6) Pelaksanaan penerbitan rekomendasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diberlakukan secara bertahap dengan mempertimbangan kesiapan sarana dan prasarana. Pasal 8 Selain diberikan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2), setiap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Obat dan Bahan Obat yang termasuk pelanggaran tindak pidana juga dapat diberikan tindakan pro justicia dalam rangka penegakan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 Dalam hal pelaksanaan rekomendasi melalui sistem elektronik yang terintegrasi dan berbasis web sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) belum dapat dilaksanakan atau sistem elektronik tidak berfungsi, pelaksanaan rekomendasi dilakukan secara manual. BAB III KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku:

12 1. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK Tahun 2010 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Penerapan Cara Pembuatan Obat Yang Baik di Industri Farmasi; dan 2. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK Tahun 2012 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Diundangkan di Jakarta pada tanggal PENNY K. LUKITO DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

13 WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR

14 14 LAMPIRAN PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT. PEDOMAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam rangka menjamin khasiat, keamanan dan mutu obat dan bahan obat serta untuk mencegah penyimpangan pengelolaan obat dan bahan obat selama di peredaran, Badan POM melakukan pengawasan secara komprehensif terhadap fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian. Berdasarkan hasil pengawasan, apabila ditemukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan obat dan bahan obat, Badan POM memberikan tindak lanjut hasil pengawasan bimbingan teknis dan supervisi dan/atau tindakan administratif. Tindak lanjut tindakan administratif dapat berupa peringatan, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan, pembekuan Sertifikat CPOB, pencabutan Sertifikat CPOB, rekomendasi pembekuan izin Industri Farmasi, rekomendasi pencabutan izin Industri Farmasi, rekomendasi pencabutan izin/pengakuan fasilitas distribusi, pencabutan sertifikat CDOB, rekomendasi pencabutan izin fasilitas pelayanan kefarmasian, larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran, pembekuan izin edar, dan/atau pencabutan izin edar. Pedoman tindak lanjut pengawasan obat dan bahan obat berisi: 1. tindak lanjut hasil pengawasan obat dan bahan obat secara umum 2. pelaksanaan tindak lanjut 3. ketentuan penutup B. Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari pedoman tindak lanjut pengawasan obat dan bahan obat adalah:

15 15 1. sebagai pedoman bagi Petugas dalam melakukan tindak lanjut hasil pengawasan. 2. sebagai pedoman dalam melaksanakan koordinasi teknis pengawasan obat dan bahan obat antara BPOM dengan Kementerian/Lembaga terkait dan Pemerintah Daerah. 3. untuk menjamin transparansi pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan obat dan bahan obat. 4. untuk memastikan obat dan bahan obat yang beredar memenuhi standar dan persyaratan khasiat, keamanan dan mutu yang dibangun dengan pengelolaan obat dan bahan obat di fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. C. Definisi Operasional 1. Manajemen Risiko adalah aplikasi sistematis terhadap kebijakan manajemen mutu, prosedur, serta penerapan sampai tugas penilaian, pengendalian, komunikasi, dan peninjauan risiko. 2. Temuan adalah ketidaksesuaian (non-conformities) terhadap suatu ketentuan yang berlaku. 3. Temuan sistemik adalah temuan yang terdapat pada seluruh aspek pengelolaan obat di fasilitas pelayanan kefarmasian, CPOB, CDOB, yang dapat menyebabkan kegagalan sistem atau hanya di sebagian aspek pengelolaan obat di fasilitas pelayanan kefarmasian, CPOB, CDOB, namun akan menyebabkan kegagalan beruntun.

16 16 BAB II KATEGORI TEMUAN A. Kategori temuan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di Fasilitas Produksi, Fasilitas Distribusi dan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dikelompokkan sebagai berikut: 1. Temuan Minor (Ringan) Temuan minor (ringan) adalah temuan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan baik secara teknis dan/atau administratif yang: 1.1 tidak menyebabkan penurunan mutu obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi, dan/atau obat-obat tertentu; 1.2 tidak menyebabkan potensi penyimpangan peredaran dari dan/atau ke fasilitas atau pihak yang tidak memiliki kewenangan; 1.3 tidak bersifat sistemik; dan/atau 1.4 tidak menyebabkan risiko terhadap kesehatan; 2. Temuan Mayor (Sedang) Temuan mayor (sedang) adalah temuan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan baik secara teknis dan/atau administratif yang: 2.1 menyebabkan potensi penurunan mutu obat, bahan obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi dan/atau Obat-Obat Tertentu; 2.2 menyebabkan potensi penyimpangan peredaran obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obatobat tertentu dari dan/atau ke fasilitas atau pihak yang tidak memiliki kewenangan; dan/atau 2.3 bersifat sistemik yang mengakibatkan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-

17 17 obat tertentu menjadi tidak konsisten terhadap ketentuan, standar dan persyaratan. 3. Temuan Kritis (Berat) Temuan kritis (berat) adalah temuan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan baik secara teknis dan/atau administratif yang: 3.1 menyebabkan penurunan mutu obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu; 3.2 menunjukkan terjadinya penyimpangan peredaran obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obatobat tertentu dari/ke fasilitas atau pihak yang tidak memiliki kewenangan; 3.3 melakukan kegiatan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu tanpa kewenangan; 3.4 menunjukkan adanya pembuatan, pengadaan penerimaan, penyimpanan, distribusi dan/atau penyerahan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obatobat tertentu ilegal termasuk palsu; 3.5 bersifat sistemik yang menggambarkan situasi yang berpotensi menghasilkan produk yang tidak memenuhi syarat atau mengakibatkan produk yang tidak memenuhi syarat beredar; 3.6 bersifat sistemik yang menggambarkan situasi yang dapat mengakibatkan risiko kesehatan segera atau tersembunyi; dan/atau 3.7 bersifat kecurangan, pemalsuan produk atau data. B. Selain harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf A, kategori temuan juga dapat ditentukan dengan mempertimbangkan kajian analisis risiko antara lain berupa tingkat keparahan/dampak dan tingkat intensitas/frekuensi/keberulangan suatu pelanggaran.

18 18 BAB III TINDAKAN ADMINISTRATIF Tindakan administratif terhadap hasil pemeriksaan di Fasilitas Produksi, Fasilitas Distribusi dan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian ditentukan berdasarkan kajian analisis risiko antara aspek perlindungan kepada masyarakat dan ketersediaan obat dalam penjaminan keberlangsungan akses pelayanan kesehatan di suatu wilayah. Tindakan administratif dikelompokkan sebagai berikut: 1. Tindakan administratif terhadap Fasilitas Produksi berupa Industri Farmasi dan Sarana Pembuatan Radiofarmaka: 1.1 Sanksi Peringatan, jika: a. terdapat 6 (enam) atau lebih temuan mayor (sedang); dan/atau b. terdapat satu temuan kritis (berat). 1.2 Sanksi Peringatan Keras, jika terdapat lebih dari satu temuan kritis (berat) dan/atau penyimpangan peredaran dari/kepada pihak yang tidak memiliki kewenangan dan/atau tidak ada perbaikan terhadap sanksi Peringatan sebelumnya. 1.3 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan, jika: a. berdasarkan manajemen risiko diperlukan pengurangan risiko (risk reduction) mutu produk tertentu dan memerlukan perbaikan fisik/renovasi terhadap fasilitas dengan mempertimbangkan riwayat kepatuhan fasilitas produksi terhadap sanksi yang pernah diberikan; dan/atau b. tidak ada perbaikan terhadap Sanksi Peringatan Keras sebelumnya. 1.4 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan sebagaimana dimaksud pada butir (1.3) dapat diikuti dengan Tindakan Pengamanan, jika: a. berdasarkan manajemen risiko diperlukan tindakan kehati-hatian untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko yang dapat membahayakan kesehatan dan

19 19 mengancam keselamatan hidup serta risiko pelanggaran peraturan perundang-undangan; b. sepanjang data siklus-hidup produk terbukti data yang dimiliki tidak lengkap, tidak konsisten dan tidak akurat; dan/atau c. Belum memiliki izin/pindah lokasi tanpa izin. 1.5 Sanksi Pembekuan Sertifikat CPOB, jika: a. tidak ada perbaikan bermakna selama 60 (enam puluh) hari kerja sejak sanksi Penghentian Sementara Kegiatan dengan Tindakan Pengamanan sebelumnya; b. terbukti melakukan produksi dalam masa pemberian sanksi Perintah Penghentian Sementara Kegiatan tanpa Tindakan Pengamanan sebelumnya; dan/atau c. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci diduga melakukan tindak pidana di bidang farmasi. 1.6 Sanksi Pencabutan Sertifikat CPOB, jika: a. tidak ada perbaikan bermakna selama 2 (dua) tahun sejak sanksi Pembekuan Sertifikat CPOB; b. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci telah terbukti melakukan tindak pidana di bidang farmasi; c. terbukti melakukan produksi dalam masa pemberian sanksi Penghentian Sementara Kegiatan Produksi dengan Tindakan Pengamanan; d. pernah diberikan sanksi Penghentian Sementara Kegiatan Produksi dengan Tindakan Pengamanan dan melakukan kembali pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan; atau e. sepanjang data siklus-hidup produk, terbukti data yang dimiliki tidak lengkap, tidak konsisten dan tidak akurat secara berulang. 1.7 Sanksi Rekomendasi pembekuan izin industri farmasi, jika: a. seluruh sertifikat CPOB yang dimiliki telah dicabut; atau

20 20 b. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci yang telah terbukti melakukan tindak pidana di bidang farmasi, namun belum mempunyai keputusan hukum tetap. 1.8 Sanksi Pembekuan Izin Edar, jika: a. tidak melaksanakan kewajiban membuat dan mengirimkan laporan produksi atau laporan pemasukan Obat Impor kepada Kepala Badan sebanyak 4 (empat) kali secara berturut-turut; b. seluruh sertifikat CPOB dibekukan; c. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci di industri farmasi terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang farmasi, namun belum mempunyai keputusan hukum tetap; dan/atau d. izin Industri Farmasi Pemilik Izin Edar dibekukan. 1.9 Sanksi Pencabutan Izin Edar, jika: a. tidak melaksanakan produksi, importasi dan/atau peredaran obat selama 12 (dua belas) bulan berturutturut; b. seluruh sertifikat CPOB dicabut; c. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci di industri farmasi terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang farmasi, dan telah mempunyai keputusan hukum tetap; dan/atau d. izin Industri Farmasi Pemilik Izin Edar dicabut Sanksi Rekomendasi pencabutan izin industri farmasi, jika: a. tidak dilakukan perbaikan selama 1 (satu) tahun sejak sanksi Pembekuan Izin Industri Farmasi; atau b. salah satu pemilik, manajemen puncak dan/atau personil kunci terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang farmasi, dan telah mempunyai keputusan hukum tetap Sanksi sebagaimana dimaksud butir 1.2 sampai dengan butir 1.9 dapat diikuti dengan:

21 21 a. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu bila: i. hasil uji terhadap sampel yang diambil saat inspeksi tidak memenuhi spesifikasi sehingga berisiko terhadap kesehatan; ii. produk diproduksi di fasilitas yang tidak sesuai dengan Sertifikat Bentuk Sediaannya; iii. produk diproduksi tidak sesuai dengan proses kritis yang disetujui; iv. produk yang diproduksi tanpa Nomor Izin Edar dan/ atau diproduksi pada fasilitas yang tidak mempunyai Sertifikat CPOB; v. produk dengan label yang salah; vi. produk diproduksi menggunakan bahan baku yang sudah kadaluarsa tanpa didukung studi yang memadai; vii. pelulusan bets/produk tanpa dilakukan pengujian secara lengkap terlebih dahulu; dan/atau viii. berdasarkan manajemen resiko perlu dilakukan tindakan sebagaimana dimaksud huruf a; dan/atau b. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika obat atau bahan obat terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu. 2. Tindakan administratif terhadap Fasilitas Produksi berupa Unit Transfusi Darah dan Pusat Plasmaferesis: 2.1 Sanksi Peringatan, jika: a. terdapat 6 (enam) atau lebih temuan mayor (sedang); dan/atau b. terdapat satu temuan kritis (berat). 2.2 Sanksi Peringatan Keras, jika terdapat lebih dari satu temuan kritis (berat) dan/atau penyimpangan peredaran dari/kepada

22 22 pihak yang tidak memiliki kewenangan dan/atau tidak ada perbaikan terhadap sanksi Peringatan sebelumnya. 2.3 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan pembuatan, jika: a. berdasarkan manajemen risiko diperlukan pengurangan risiko (risk reduction) mutu produk tertentu dan memerlukan perbaikan fisik/renovasi terhadap fasilitas dengan mempertimbangkan riwayat kepatuhan fasilitas produksi terhadap sanksi yang pernah diberikan; dan/atau b. tidak ada perbaikan terhadap Sanksi Peringatan Keras sebelumnya. 2.4 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan pembuatan sebagaimana dimaksud pada butir (2.3) dapat diikuti dengan Tindakan Pengamanan, jika: a. berdasarkan manajemen risiko diperlukan tindakan kehati-hatian untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko yang dapat membahayakan kesehatan dan mengancam keselamatan hidup serta risiko pelanggaran peraturan perundang-undangan; b. sepanjang data siklus-hidup produk terbukti data yang dimiliki tidak lengkap, tidak konsisten dan tidak akurat; dan/atau c. belum memiliki izin/pindah lokasi tanpa izin. 2.5 Sanksi sebagaimana dimaksud butir 2.1 sampai dengan butir 2.4 dapat diikuti dengan a. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat dari peredaran bagi obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu bila: i. produk diproduksi di fasilitas yang tidak sesuai dengan Sertifikat Bentuk Sediaannya; ii. produk diproduksi tidak sesuai dengan proses kritis yang disetujui;

23 23 iii. produk yang diproduksi pada fasilitas yang tidak mempunyai Sertifikat CPOB; iv. produk dengan label yang salah; v. produk diproduksi menggunakan bahan baku yang sudah kedaluwarsa tanpa didukung studi yang memadai; vi. pelulusan bets/produk tanpa dilakukan pengujian secara lengkap terlebih dahulu; dan/atau vii. berdasarkan manajemen resiko perlu dilakukan tindakan sebagaimana dimaksud huruf a; dan/atau b. perintah pemusnahan obat, jika obat terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu. 3. Tindakan administratif terhadap Fasilitas Distribusi : 3.1 Sanksi Peringatan, jika: a. terdapat temuan mayor (sedang); dan/atau b. terdapat temuan minor (ringan) yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut. 3.2 Sanksi Peringatan Keras, jika: a. terdapat temuan mayor (sedang) yang menggambarkan situasi adanya hubungan sistemik antar temuan sehingga diperlukan tindakan yang lebih tegas dalam pemberian sanksi; b. terdapat temuan kritis (berat) dengan risiko dampak yang masih terlokalisasi; c. terdapat temuan mayor (sedang) yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut; atau d. tidak ada laporan perbaikan terhadap surat Peringatan. 3.3 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan, jika: a. terdapat temuan kritis (berat) yang mengakibatkan produk yang tidak memenuhi syarat beredar; b. terdapat temuan mayor (sedang) sistemik yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut;

24 24 c. ditemukan adanya penerimaan, penyimpanan dan/atau distribusi obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu ilegal termasuk palsu; d. tidak memiliki sertifikat CDOB; dan/atau e. ditemukan hal-hal selain sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d yang berdasarkan manajemen risiko menyebabkan penyimpangan pendistribusian obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu dari/kepada pihak/sarana ilegal. 3.4 Sanksi Pencabutan Sertifikat CDOB sesuai dengan ruang lingkup Sertifikat CDOB, jika: a. fasilitas berubah fungsi dan tidak ada aktifitas pendistribusian obat dan/atau bahan obat pada alamat seperti tertuang dalam izin/pengakuan; b. tidak melakukan kegiatan pengadaan dan distribusi komoditi sesuai dengan ruang lingkup Sertifikat CDOB selama 6 (enam) bulan berturut-turut; c. melakukan kegiatan pengadaan dan/atau distribusi selama menjalani sanksi penghentian sementara kegiatan; d. telah mendapatkan 3 (tiga) kali berturut-turut penghentian sementara kegiatan; atau e. terbukti melakukan tindak pidana di bidang obat dan/atau bahan obat. 3.5 Sanksi Rekomendasi pencabutan izin /pengakuan, jika: a. tidak aktif dalam pendistribusian obat dan/atau bahan obat dalam kurun waktu 1 (satu) tahun; b. seluruh sertifikat CDOB yang dimiliki dicabut; dan/atau c. Izin PBF atau pengakuan PBF cabang sudah tidak berlaku atau dicabut. 4. Tindakan administratif terhadap Fasilitas Pelayanan Kefarmasian 4.1 Sanksi Peringatan, jika: a. terdapat temuan mayor (sedang); dan/atau

25 25 b. terdapat temuan minor (ringan) yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut. 4.2 Sanksi Peringatan Keras, jika: a. terdapat temuan mayor (sedang) yang menggambarkan situasi adanya hubungan sistemik antar temuan sehingga diperlukan tindakan yang lebih tegas dalam pemberian sanksi; b. terdapat temuan kritis (berat) dengan risiko dampak yang masih terlokalisasi; c. terdapat temuan mayor (sedang) yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut; atau d. tidak ada laporan perbaikan terhadap surat Peringatan. 4.3 Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan, jika: a. terdapat temuan kritis (berat) yang mengakibatkan produk yang tidak memenuhi syarat beredar; b. terdapat temuan mayor (sedang) sistemik yang sama dalam 2 (dua) kali inspeksi berturut-turut; c. ditemukan adanya penerimaan, penyimpanan dan/atau penyerahan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu ilegal termasuk palsu; dan/atau d. ditemukan hal-hal selain sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b dan huruf c yang berdasarkan manajemen risiko menyebabkan penyimpangan pendistribusian/ penyerahan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi dan/atau obat-obat tertentu dari/kepada pihak/sarana ilegal. 4.4 Sanksi Rekomendasi pencabutan izin, jika: a. fasilitas berubah fungsi dan tidak ada aktifitas pelayanan kefarmasian pada alamat seperti tertuang dalam izin; b. tidak aktif dalam pelayanan kefarmasian dalam kurun waktu 1 (satu) tahun; c. melakukan kegiatan selama menjalani sanksi penghentian sementara kegiatan;

26 26 d. telah mendapatkan 3 (tiga) kali penghentian sementara kegiatan; atau e. melakukan tindak pidana di bidang obat.

27 27 BAB IV CONTOH TINDAK LANJUT HASIL PENGAWASAN Contoh Tindak lanjut terhadap hasil pemeriksaan di Fasilitas Produksi, Fasilitas Distribusi, Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, meliputi : A. Contoh Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan di Fasilitas Produksi 1. Temuan Hasil Pemeriksaan di suatu Industri Farmasi : a. (Temuan Kritis) Sistem pelulusan produk jadi tidak menjamin pelaksanaan pengkajian dan penilaian terhadap semua faktor yang relevan, termasuk kondisi produksi, hasil pengujian/ pengawasan selama proses, pengkajian dokumen pembuatan (termasuk pengemasan), pengkajian penyimpangan dari prosedur yang ditetapkan sehingga berpotensi meluluskan produk jadi yang tidak memenuhi syarat ke peredaran, sesuai temuan berikut : i. Kualifikasi personil yang melakukan pelulusan produk jadi tidak memadai. ii. Protap dan form evaluasi catatan bets yang tersedia tidak secara komprehensif mencakup semua faktor yang relevan dalam pembuatan obat. Dokumen tersebut tidak mengindikasikan apakah sebelum memberi keputusan pelulusan sudah dilakukan review secara komprehensif terhadap catatan bets. b. (Temuan Kritis) Tindakan penanganan penyimpangan adanya cemaran logam pada tablet tidak dilakukan secara komprehensif dan tanpa mempertimbangkan kajian risiko pada konsumen, yaitu : i. Pada proses granulasi terdapat ayakan mesh yang patah yang telah digunakan untuk pengayakan produk tablet. ii. Tindakan yang dilakukan adalah mencari patahan dari mesh secara manual sampai ketemu dan dicocokkan dengan mesh yang patah. iii. Tidak ada tindakan investigasi, proses produksi tidak dilengkapi dengan metal detektor dan tidak ada

28 28 dokumen pemeriksaan mesh sebelum dan sesudah digunakan. iv. Produk diluluskan untuk didistribusikan. c. (Temuan Mayor) Sistem pengawasan mutu mencakup penanganan reagen, penanganan baku pembanding, penanganan media pertumbuhan mikroba dan pemantauan lingkungan laboratorium belum menjamin hasil pengujian yang valid. 2. Analisis Dampak : Temuan pada Industri Farmasi tersebut merupakan temuan kritis yang bersifat sistemik yang menggambarkan situasi yang berpotensi menghasilkan produk yang tidak memenuhi syarat atau mengakibatkan produk yang tidak memenuhi syarat beredar khususnya pada temuan (1.a) dan (1.b) serta menyebabkan potensi penurunan mutu obat, bahan obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi dan/atau Obat-Obat Tertentu. 3. Tindak Lanjut : Industri Farmasi tersebut diberikan sanksi Peringatan Keras. B. Contoh Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan di Fasilitas Distribusi 1. Temuan Hasil Pemeriksaan di suatu PBF : a. Ditemukan penerimaan obat yang jumlahnya tidak sesuai pesanan. b. Surat pesanan obat tidak diverifikasi oleh penanggung jawab. c. Tenaga kefarmasiam yang diberikan kuasa pada saat penerimaan tidak melakukan pengecekan pada saat obat datang. d. Ditemukan penyimpanan obat yang tidak sesuai dengan persyaratan penyimpanan obat. e. Tidak melakukan monitoring suhu ruang penyimpanan. f. PBF melakukan distribusi obat secara eceran (kemasan primer strip). g. Dokumen distribusi tidak diarsipkan dan tidak mudah telusur. 2. Analisis Dampak:

29 29 Berdasarkan temuan, menunjukkan bahwa pelanggaran terjadi pada beberapa aspek antara lain aspek pengadaan, penyimpanan dan dokumentasi sehingga berpotensi terjadinya diversi serta penurunan mutu obat. Sesuai hasil evaluasi temuan dikategorikan sebagai temuan Mayor dan bersifat sistemik. 3. Tindak Lanjut: PBF tersebut diberikan sanksi administratif berupa Peringatan Keras. C. Contoh Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian 1. Temuan Hasil Pemeriksaan di suatu Apotek : a. Apotek melakukan distribusi Obat Keras, Antibiotika, Obat- Obat Tertentu yang sering disalahgunakan golongan Obat Keras ke Toko Obat. b. Apotek menjual obat Narkotika dan Psikotropika tanpa resep dokter. c. Pencatatan stok dan penggunaan Narkotika dan Psikotropika tidak dilakukan dengan tertib. Seluruh obat selain Narkotika dan Psikotropika tidak dilakukan pencatatan stok dan penggunaan. d. Apotek tidak pernah menyimpan arsip dokumen pengadaan baik surat pesanan maupun faktur pembelian dengan baik. Hanya ditemukan sebagian kecil faktur pembelian obat. e. Dilakukan sampling dan pengamanan sementara produk X dengan Nomor Bets 123 karena diduga palsu secara fisik. Apotek tidak dapat menunjukkan arsip dokumen pengadaan untuk obat tersebut. f. Obat rantai dingin (vaksin, suppositoria dsb) disimpan tidak sesuai dengan suhu yang dipersyaratkan dalam waktu yang lama dan pada saat pemeriksaan vaksin telah berubah warna. g. Pada saat pemeriksaan tidak tersedia tenaga kefarmasian yang bertugas/melakukan pelayanan. Seluruh petugas pelayanan termasuk supervisor operasional apotek di bawah tenaga non farmasi.

30 30 2. Analisis Dampak : Berdasarkan temuan pada butir 1, menunjukkan bahwa pelanggaran bersifat sistemik (terdapat keterkaitan antar temuan) dan Kritikal khususnya terkait distribusi obat kepada pihak yang tidak memiliki kewenangan sesuai temuan butir (1.a). Pada temuan butir (1.a) juga menunjukkan adanya peningkatan risiko mengingat produk yang disalurkan termasuk dalam golongan obat keras. Temuan butir (1.b) menunjukkan terjadinya diversi penyerahan obat narkotika dan psikotropika. Temuan butir (1.c) dan butir (1.d) menunjukkan tidak adanya jaminan integritas rantai distribusi khususnya terkait sumber pengadaan obat. Hal ini berdampak munculnya risiko peredaran obat palsu sebagaimana dimaksud pada temuan butir (1.e). Temuan butir (1.f) menunjukkan terjadinya penurunan mutu obat. Temuan butir (1.g) menunjukkan hubungan kausalis penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran lainnya karena tidak adanya peran tenaga farmasi dalam pelayanan kefarmasian di Apotek. Risiko dampak yang terjadi dari pelanggaran-pelanggaran ini adalah kejadian penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat-obat tertentu, peredaran obat ilegal/palsu dan risiko permasalahan resistensi antibiotika atas penyerahan antibiotika secara bebas. 3. Tindak Lanjut : Apotek tersebut diberikan sanksi administratif berupa Penghentian Sementara Kesehatan.

2015, No.74 2 Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 T

2015, No.74 2 Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 T BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.74, 2015 KEMENKES. Narkotika. Psikotropika. Prekursor Farmasi. Pelaporan. Pemusnahan. Penyimpanan. Peredaran. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN, Menimbang : a. bahwa pengaturan tentang Industri Farmasi yang komprehensif

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA SERTIFIKASI CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA SERTIFIKASI CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA SERTIFIKASI CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK DENGAN

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 No.206, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR HK.03.1.34.11.12.7542 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Menimbang : a. bahwa Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk menunjang kesehatannya. Semua orang rela mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan kesehatan, bahkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1104, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pedoman. Prekursor Farmasi. Obat. Pengelolaan.

BERITA NEGARA. No.1104, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pedoman. Prekursor Farmasi. Obat. Pengelolaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1104, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pedoman. Prekursor Farmasi. Obat. Pengelolaan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pembuatan Obat. Penerapan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pembuatan Obat. Penerapan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN No.122, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pembuatan Obat. Penerapan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELAPORAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.04.1.33.12.11.09938 TAHUN 2011 TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA PENARIKAN OBAT YANG TIDAK MEMENUHI STANDAR DAN/ATAU PERSYARATAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR... TAHUN... TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN OBAT-OBAT TERTENTU YANG SERING DISALAHGUNAKAN

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR... TAHUN... TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN OBAT-OBAT TERTENTU YANG SERING DISALAHGUNAKAN Masukan dapat kami terima selambat-lambatnya tanggal 12 Februari 2018 dan diperpanjang sampai dengan 19 Februari 2018 melalui email: 1. wasnapza@yahoo.co.id 2. wasnapza@gmail.com PERATURAN BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS DENGAN

Lebih terperinci

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ( No.276, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Apotek. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal 44 Undang-Undang

Lebih terperinci

Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi. Pelatihan Napza Prekursor - IAI Kota Surabaya Oleh BBPOM Surabaya, 09-April-17

Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi. Pelatihan Napza Prekursor - IAI Kota Surabaya Oleh BBPOM Surabaya, 09-April-17 Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi Pelatihan Napza Prekursor - IAI Kota Surabaya Oleh BBPOM Surabaya, 09-April-17 RUANG LINGKUP Prekursor Farmasi Ephedrine Ergometrine

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia No.869, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Pembuatan Obat yang Baik. UTD dan Pusat Plasmaferesis. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2017

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN, Menimbang : Mengingat : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN, a. bahwa untuk melindungi masyarakat dari

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.729, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Permohonan. Hasil Pengawasan. Impor. Ekspor. Narkotika. Persyaratan. Tata Cara. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

Lebih terperinci

MASUKAN KAMI TERIMA PALING LAMBAT TANGGAL 18 OKTOBER 2017

MASUKAN KAMI TERIMA PALING LAMBAT TANGGAL 18 OKTOBER 2017 MASUKAN KAMI TERIMA PALING LAMBAT TANGGAL 18 OKTOBER 2017 RANCANGAN 28 SEPTEMBER 2017 PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGAWASAN PRODUKSI DAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 58 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot No.906, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Kefarmasian. Puskesmas. Standar Pelayanan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN OBAT-OBAT TERTENTU YANG SERING DISALAHGUNAKAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN OBAT-OBAT TERTENTU YANG SERING DISALAHGUNAKAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN OBAT-OBAT TERTENTU YANG SERING DISALAHGUNAKAN

Lebih terperinci

Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera, serta memperkuat perekonomian negara dan daya saing bisnis

Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera, serta memperkuat perekonomian negara dan daya saing bisnis Nawa Cita Inpres Nomor 6 Tahun 2016 Nomor 5: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia Nomor 6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional Nomor 7: Mewujudkan kemandirian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

Disampaikan oleh. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Yogyakarta Jl Tompeyan I Tegalrejo Yogyakarta Telp (0274) , Fax (0274) ,

Disampaikan oleh. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Yogyakarta Jl Tompeyan I Tegalrejo Yogyakarta Telp (0274) , Fax (0274) , Disampaikan oleh Pada tanggal : Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Yogyakarta Jl Tompeyan I Tegalrejo Yogyakarta Telp (0274) 561038, Fax (0274) 552250, 519052 VISI OBAT DAN MAKANAN AMAN MENINGKATKAN

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAWASAN PENGELOLAAN OBAT, BAHAN OBAT, NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Masukan dapat kami terima selambatlambatnya tanggal 12 Februari 2018 dan diperpanjang sampai dengan 19 Februari 2018 melalui email: 1. wasnapza@yahoo.co.id 2. wasnapza@gmail.com PERATURAN BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.04.1.33.12.11.09938 TAHUN 2011 TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA PENARIKAN OBAT YANG TIDAK MEMENUHI STANDAR DAN/ATAU PERSYARATAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Jalur Distribusi Obat

Jalur Distribusi Obat Jalur Distribusi Obat Berikut jalur distribusi obat: Apotik &Toko Obat Apotik & Toko Obat Pedagang Besar Farmasi RS dan Puskesmas Industri Registrasi BPOM Izin Edar Pedagang Eceran Dokter yg pny SIMO PBF

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Perencanaan. Pengadaan. Penggunaan. Dukungan Manajemen

Perencanaan. Pengadaan. Penggunaan. Dukungan Manajemen Perencanaan Penggunaan Pengadaan Dukungan Manajemen Distribusi Penyimpanan Menjamin tersedianya obat dgn mutu yang baik, tersebar secara merata dan teratur, sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

2016, No Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.498, 2016 BPOM. Obat Tradisional Tidak Memenuhi Persyaratan. Penarikan dan Pemusnahan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan Pasal 44 Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN OBAT TRADISIONAL YANG TIDAK MEMENUHI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.29, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Penerapan. Farmakovigilans. Industri Farmasi. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.1.23.12.11.10690

Lebih terperinci

KEPALA DINAS KESEHATAN KOTA PADANG dr. FERIMULYANI, M. Biomed

KEPALA DINAS KESEHATAN KOTA PADANG dr. FERIMULYANI, M. Biomed KEPALA DINAS KESEHATAN KOTA PADANG dr. FERIMULYANI, M. Biomed UNDANG-UNDANG PSIKOTROPIKA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG UNDANG-UNDANG NARKOTIKA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG KESEHATAN NOMOR 36

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TAHUN 2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TAHUN 2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TAHUN 2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN OBAT IMPOR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN OBAT IMPOR PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.3.12.11.10692 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN OBAT IMPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA UMUM Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, Kemauan,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN TAHUNAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN TAHUNAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KEBUTUHAN TAHUNAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Industri Farmasi 1. Pengertian Industri Farmasi Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 245/MenKes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.739, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pengawasan. Bahan Obat. Obat Tradisional. Suplemen Kesehatan. Pangan. Pemasukan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Industri Farmasi. Perizinan. Penyelenggaraan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Industri Farmasi. Perizinan. Penyelenggaraan. No.721, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Industri Farmasi. Perizinan. Penyelenggaraan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN SUPLEMEN KESEHATAN

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN SUPLEMEN KESEHATAN FILE EDIT 16 November 2016 Masukan dapat disampaikan kepada Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen melalui email mmi_stand_ot@yahoo.com, telp/fax 021-4241038 paling lambat

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

2017, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir No.51, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Uji Mutu Obat. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN UJI MUTU OBAT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERMENKES No.949 Th 2000

PERMENKES No.949 Th 2000 PERMENKES No.949 Th 2000 PERATURAN MENKES RI. No.949/MENKES/PER/VI/2000 Tentang REGISTRASI OBAT JADI Menimbang : a Bahwa untuk melindungi masyarakat dari peredaran obat jadi yang tidak memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR : PO.01.01.31.03660 TENTANG PENGATURAN KHUSUS PENYALURAN DAN PENYERAHAN BUPRENORFIN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa penyediaan

Lebih terperinci

Pengawasan Mutu Obat di Instalasi Farmasi

Pengawasan Mutu Obat di Instalasi Farmasi Pengawasan Mutu Obat di Instalasi Farmasi B a d a n P e n g a w a s Obat dan Makanan R a p a t K o o r d i n a s i N a s i o n a l, P r o g r a m K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n D

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 32 TAHUN 2013 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN ANALISA HASIL PENGAWASAN DALAM RANGKA IMPOR DAN EKSPOR NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR

Lebih terperinci

PEDAGANG BESAR FARMASI. OLEH REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt

PEDAGANG BESAR FARMASI. OLEH REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt PEDAGANG BESAR FARMASI OLEH REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt Obat / Bahan Obat Ketersediaan Keterjangkauan Konsumen Aman Mutu Berkhasiat PBF LAIN PBF: Obat BBF INDUSTRI FARMASI 2 DASAR HUKUM Undangundang UU

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN HK.00.05.3.00914 TENTANG PEMASUKAN OBAT JALUR KHUSUS KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN HK.00.05.3.00914 TENTANG PEMASUKAN OBAT JALUR KHUSUS KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.05.3.00914 TENTANG PEMASUKAN OBAT JALUR KHUSUS KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Menimbang a. bahwa untuk keadaan tertentu, diperlukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal 44 Undang-Undang

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan No.1167, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Uji Mutu Obat. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN UJI MUTU

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA - BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TINDAKAN PENGAMANAN SETEMPAT DALAM

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENERAPAN PROGRAM MANAJEMEN RISIKO KEAMANAN PANGAN DI INDUSTRI

Lebih terperinci

No Kode DAR2/Profesional/582/010/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 010: CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK. Dr. NURKHASANAH, M.Si., Apt.

No Kode DAR2/Profesional/582/010/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 010: CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK. Dr. NURKHASANAH, M.Si., Apt. No Kode DAR2/Profesional/582/010/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 010: CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK Dr. NURKHASANAH, M.Si., Apt. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Riset, Teknologi

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.00.05.1.3459 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN OBAT IMPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

Lebih terperinci

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI MENTERI KESEHATAN

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI MENTERI KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI MENTERI KESEHATAN Menimbang : a. Mengingat b. 1. 2. 3. 4. bahwa persyaratan tentang pedagang besar farmasi seperti

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN KOSMETIKA

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN KOSMETIKA Draft 17 November 2016 RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN KOSMETIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg No.870, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Kosmetika. Penarikan dan Pemusnahan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG KRITERIA

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N No.1490, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Pengelolaan Barang Bukti. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN BARANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.1.34.11.12.7542 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS CARA DISTRIBUSI OBAT

Lebih terperinci

REGULASI PENGELOLAAN DISTRIBUSI OBAT DAN URGENCY SERTIFIKASI CDOB

REGULASI PENGELOLAAN DISTRIBUSI OBAT DAN URGENCY SERTIFIKASI CDOB REGULASI PENGELOLAAN DISTRIBUSI OBAT DAN URGENCY SERTIFIKASI CDOB Disampaikan oleh: Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik & PKRT Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IKATAN APOTEKER INDONESIA Tangerang

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.96, 2013 KESEHATAN. Narkotika. Penggunaan. Larangan. Aturan Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR : HK.00.05.3.1950 TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa untuk melindungi

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.1.34.11.12.7542 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS CARA DISTRIBUSI OBAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.23.12.11.10052 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KOSMETIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Aspek legal. untuk pelayanan kefarmasian di fasilitas kesehatan. Yustina Sri Hartini - PP IAI

Aspek legal. untuk pelayanan kefarmasian di fasilitas kesehatan. Yustina Sri Hartini - PP IAI Aspek legal penggunaan TIK untuk pelayanan kefarmasian di fasilitas kesehatan Yustina Sri Hartini - PP IAI Disampaikan dalam Annual Scientific Meeting Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta, 23 Maret 2017

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.373, 2016 BPOM. Tindakan pengamanan. Pleksanaan. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1189/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PRODUKSI ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1189/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PRODUKSI ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1189/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PRODUKSI ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan aksesibilitas,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN KOSMETIKA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INFORMASI HARGA ECERAN TERTINGGI OBAT

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INFORMASI HARGA ECERAN TERTINGGI OBAT PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INFORMASI HARGA ECERAN TERTINGGI OBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg No.122, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMKES. TB. Penanggulangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA UU 22/1997, NARKOTIKA Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.5.12.11.09955 TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PREKURSOR FARMASI DAN OBAT MENGANDUNG PREKURSOR FARMASI

PENGELOLAAN PREKURSOR FARMASI DAN OBAT MENGANDUNG PREKURSOR FARMASI PENGELOLAAN PREKURSOR FARMASI DAN OBAT MENGANDUNG PREKURSOR FARMASI Oleh Dra. Lia Marliana, Apt., M.Kes Kasubdit Pengawasan Prekursor Direktorat Pengawasan NAPZA Badan Pengawas Obat dan Makanan DASAR HUKUM

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kesehatan merupakan hak

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN BAHAN OBAT

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN BAHAN OBAT PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.3.12.11.10693 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN BAHAN OBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN UJI MUTU OBAT PADA INSTALASI FARMASI PEMERINTAH

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN UJI MUTU OBAT PADA INSTALASI FARMASI PEMERINTAH RANCANGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN UJI MUTU OBAT PADA INSTALASI FARMASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI

MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN Nomor : 1191/MENKES/SK/IX/2002 T E N T A N G PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI MENTERI KESEHATAN Menimbang

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR : HK.00.05.1.3460 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN BAHAN BAKU OBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V TUGAS KHUSUS 5.1. Latar belakang

BAB V TUGAS KHUSUS 5.1. Latar belakang BAB V TUGAS KHUSUS Tugas khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di PT. Bayer Indonesia Cimanggis plant yang dilakukan adalah pembuatan Laporan penggunaan prekursor kepada Badan Pengawas Obat dan

Lebih terperinci