SAWIT DI INDONESIA. Gary D. Paoli Piers Gillespie Philip L. Wells Lex Hovani Aisyah Sileuw Neil Franklin James Schweithelm

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SAWIT DI INDONESIA. Gary D. Paoli Piers Gillespie Philip L. Wells Lex Hovani Aisyah Sileuw Neil Franklin James Schweithelm"

Transkripsi

1 SAWIT DI INDONESIA Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan Rangkuman Untuk Pengambil Keputusan & Pelaku Gary D. Paoli Piers Gillespie Philip L. Wells Lex Hovani Aisyah Sileuw Neil Franklin James Schweithelm

2

3 SAWIT DI INDONESIA Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan Rangkuman Untuk Pengambil Keputusan & Pelaku Oleh Gary D. Paoli, Piers Gillespie, Philip L. Wells, Lex Hovani, Aisyah E. Sileuw, Neil Franklin dan James Schweithelm Diterbitkan oleh: The Nature Conservancy Indonesia Program, Jakarta Riset dan analisis ini dilaksanakan oleh Daemeter Consulting bersama The Nature Conservancy (TNC) dengan dana dari rakyat Amerika Serikat melalui U.S. Agency for International Development (USAID) dan Responsible Asia Forestry and Trade (RAFT). Para penulis bertanggung jawab atas isi laporan ini dan isi tidak serta merta mencerminkan pandangan TNC atau donor pendukung lainnya. Semua bahan yang ada dalam dokumen ini boleh disalin dan didistribusikan asalkan salinan-salinan tersebut dikutip dengan sepenuhnya dan tanpa memodifikasi, serta sumber aslinya disebutkan dengan cara yang benar. Penyebutan asal kutipan yang direkomendasikan adalah: Paoli G.D., P. Gillespie, P.L. Wells, L. Hovani, A.E. Sileuw, N. Franklin dan J. Schweithelm (2013) Sawit di Indonesia: Tata kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan. The Nature Conservancy, Jakarta, Indonesia. Foto halaman muka karya: Gary D. Paoli, Piers Gillespie, R. Harjanthi. Ucapan Terima Kasih Para penulis sangat menghargai The Nature Conservancy (TNC) yang memiliki pandangan jauh ke depan yang mendorong dilaksanakannya penelitian ini. Para penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada rakyat Amerika Serikat melalui U.S. Agency for International Development (USAID) dan RAFT yang memberikan pendanaan yang memungkinkan adanya penelitian ini. Para penulis pun menghargai kontribusi dari Andiko, Rahayu Harjanthi, Rendi Dharma, Ciska, Dr Yohannes Samosir, Elinor Benami, Elizabeth Yaap dan Erik Meijaard. Para penulis juga berterima kasih kepada para peserta seminar sehari yang diselenggarakan di Jakarta di bulan Juli 2011, namun sama sekali tidak mengklaim bahwa para partisipan tersebut telah mengabsahkan isi laporan ini.

4 4 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan DAFTAR ISI DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF 6 4 REKOMENDASI-REKOMENDASI UTAMA 37 Konteks dan Latar Belakang Pemikiran Penelitian Ini 6 Pendekatan Analitis 6 Rekomendasi-rekomendasi Utama 7 1 KONTEKS Sawit: Peluang Pembangunan Strategis bagi Indonesia 12 Tata Kelola Sawit di Indonesia 13 Tujuan dan Latar Belakang Pemikiran 17 2 PENDEKATAN PENELITIAN Mengidentifikasi Titik-Titik Keputusan Utama dan Pelaku- Pelaku yang Terlibat 18 Menggambarkan Hasil-Hasil Keputusan yang diharapkan 19 Mengembangkan Rekomendasi- Rekomendasi untuk Mendukung Tujuan-Tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau 20 Ikhtisar Laporan Sepenuhnya 20 3 Rangkuman TemuaN Keputusan-Keputusan yang Menentukan di Mana Izin Sawit Diterbitkan 23 Keputusan-Keputusan yang Mempengaruhi Dampak Lingkungan Perkebunan dan Pabrik Sawit 29 Keputusan-Keputusan yang Mempengaruhi Hubungan Perusahaan dengan Masyarakat 32 Temuan-Temuan yang Beririsan Mendukung Proses Multi-Pihak untuk Memperkuat dan Mendukung Ispo Sebagai Bagian Strategi Pembangunan Ekonomi Hijau Indonesia yang Berharga dan Diakui di Tingkat Internasional 38 Memperkuat dan Meningkatkan Sistem-Sistem Pemerintah Daerah untuk Pengelolaan Sektor Minyak Sawit 39 Memperbaharui dan Membuat Kriteria Kelayakan yang Sepenuhnya Dapat Dioperasikan yang Konsisten dengan Tujuan-Tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia Guna Memastikan Bahwa Lahan yang Tidak Sesuai Tidak Digarap 40 Meningkatkan Ketersediaan Lahan yang Sesuai dan Berdampak Rendah untuk Pengembangan Sawit 42 Mendorong Investasi untuk Meningkatkan Hasil Lahan dan Memberikan Ganjaran Atas Kinerja yang Baik Guna Mengoptimalkan Produksi Pada Perkebunan yang Sudah Ada Maupun di Masa Datang 43 Mengembangkan Alat-Alat Hukum dan Membangun Kapasitas Implementasi Guna Memperkuat Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Lahan- Lahan yang Termasuk Dalam Zona untuk Pertanian 43 Memastikan Bahwa Masyarakat Memiliki Informasi yang Memadai dan Mampu Berpartisipasi Secara Efektif Dalam Negosiasi dengan Perusahaan Sawit Sejak Tahap Pengembangan yang Paling Awal, Termasuk Konsultasi-Konsultasi Sebelum Penerbitan Izin 45 Mengembangkan Langkah-Langkah untuk Memastikan Tingkat Manfaat bagi Masyarakat Selama Penerapan Perjanjian Kemitraan dengan Petani Kecil Sesuai Dengan Syarat dan Ketentuan yang Telah Dinegosiasikan 48

5 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan DAFTAR ISI Mengembangkan Langkah-Langkah Kebijakan dan Alat-Alat Fiskal yang Inovatif dan Memberikan Ganjaran untuk Investasi Dalam Teknologi Zero Waste untuk Memaksimalkan Dampak- Dampak Positif Keseluruhan Operasi Pabrik 48 Meningkatkan Kemungkinan Bahwa Lahan Dialokasikan Kepada Perusahaan yang Bertanggung Jawab 50 LAMPIRAN 2 - Rangkuman Keputusan-Keputusan yang dievaluasi di Laporan Lengkap Di Mana Izin Diterbitkan untuk Pengembangan Sawit Hubungan Kuasa Negara, Perusahaan dan Individu- Individu 64 Batas-Batas dan Pengelolaan Kawasan Hutan Kewenangan dan Prosedur-Prosedur untuk Penerbitan Izin Lokasi 64 LAMPIRAN 1 - Kerangka hukum untuk pengembangan minyak sawit Penguasaan Tanah Oleh Negara 51 Otonomi Daerah dan Pembagian Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah 52 Undang Undang Mengenai Perkebunan - UU No. 18/ Perencanaan Tata Ruang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) 54 Perencanaan Tata Ruang Provinsi, Kabupaten dan Kementerian Kehutanan 54 Perizinan Sawit 56 Pengelolaan Dampak-Dampak Lingkungan 58 Kinerja Perkebunan dan Kepatuhan Kepada Hukum Peraturan untuk Mengevaluasi Perusahaan Perkebunan (Permentan No. 7/2009) 61 Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (Permentan No. 19/2011) Prosedur-Prosedur yang Disyaratkan Menyusul Penerbitan Suatu Izin Lokasi 65 Pendekatan-Pendekatan untuk Mengawasi Pengambilan Keputusan Mengenai di Mana Izin Sawit Diterbitkan 66 Dampak-Dampak Lingkungan Hidup Perkebunan dan Pabrik Pengambilan Keputusan Mengenai Pengembangan Perkebunan 66 Pengambilan Keputusan Soal Pengelolaan Perkebunan 67 Pengambilan Keputusan Atas Operasi Pabrik 67 Hubungan Masyarakat-Perusahaan Mendefinisikan Peran-Peran Masyarakat dan Perusahaan 67 Konsultasi Masyarakat Sebelum Menerbitkan Izin Lokasi 67 Konsultasi Masyarakat untuk Meningkatkan Kesadaran ( Sosialisasi ) Setelah Izin Lokasi Diterbitkan 67 Istilah-Istilah Utama Perjanjian Kemitraan 68 Negosiasi Kesepakatan- Kesepakatan Kemitraan 68 Operasi-Operasi Perkebunan dan Manfaat-Manfaat Petani Kecil 68

6 6 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RINGKASAN EKSEKUTIF RINGKASAN Eksekutif Konteks dan Latar Belakang Pemikiran Penelitian Ini Sawit merupakan bagian yang sangat penting dalam strategi pembangunan Indonesia dan menjadi sumber banyak manfaat pembangunan setempat. Namun, dampak-dampak sosial dan lingkungan hidup di masa lalu telah menimbulkan kritik dari dalam maupun luar negeri. Manfaat dan biaya ekonomi, sosial dan lingkungan hidup sawit ditentukan oleh berbagai rangkaian keputusan yang dibuat oleh banyak pelaku di sepanjang mata rantai pasokannya. Analisis ini dimaksudkan untuk menggambarkan proses-proses pengambilan keputusan mengenai sawit di Indonesia dengan cara yang dapat dipahami oleh berbagai pihak, termasuk pejabat pemerintah, sektor swasta, LSM, konsumen internasional, dan donor. Laporan ini bertujuan untuk (a) memberikan perspektif yang berimbang guna membantu menjembatani para pendukung dan pengecam sawit, dan (b) menggarisbawahi peluang-peluang untuk menyelaraskan pengambilan keputusan agar lebih dekat dengan tujuan-tujuan Pembangunan Ekonomi Hijau Indonesia. Penelitian ini memaparkan sebagian keputusan-keputusan utama yang diambil berbagai pelaku terkait pengembangan sawit, menjelaskan bagaimana keputusan tersebut mempengaruhi hasil pembangunan, dan merekomendasikan cara-cara untuk mendukung perbaikan kinerja. Informasi yang disajikan ini membentuk suatu dasar untuk melakukan dialog kebijakan dengan lebih memiliki informasi, dan meminta perhatian ditujukan kepada cara-cara konkrit memperbaiki keputusan-keputusan, dan dengan demikian memberi kepada para pelaku satu pemahaman mengenai peran mereka yang lebih mendalam dan bagaimana mereka dapat bekerja sama dengan lebih efektif untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Pendekatan Analitis Penelitian ini mengidentifikasi titik-titik keputusan dan pelaku-pelaku utama yang terlibat dalam proses-proses utama pembuatan keputusan di bidang sawit, dan mengelompokkan titik-titik tersebut berdasarkan keputusan yang menentukan: (a) di mana izin sawit dikeluarkan; (b) bagaimana praktik-praktik perkebunan dan pengelolaan pabrik menentukan dampak operasinya terhadap lingkungan hidup; dan (c) bagaimana kerja sama antara perusahaan dan masyarakat setempat, termasuk kesepakatan dengan petani kecil, dibentuk dan beroperasi seiring waktu. Penelitian ini secara kualitatif menggambarkan hasil dari keputusan, dengan memusatkan perhatian kepada lima jenis hasil pembangunan dari sawit yang pada umumnya digarisbawahi dalam dokumen-dokumen perencanaan pemerintah dan di tempat-tempat lain: manfaat ekonomi setempat (Kabupaten), manfaat bagi masyarakat, tata kelola sawit yang lebih baik di tingkat kabupaten, dampak-dampak pada lingkungan alam, dan emisi karbon dari pengembangan sawit. Penelitian ini memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk mendukung hasil-hasil Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang terkait dengan kelima dimensi tersebut. Karena keadaan sangat bervariasi di berbagai daerah di Indonesia dan antara perkebunan, banyak di antara rekomendasi kami sebaiknya dilihat sebagai hipotesa-hipotesa sementara yang perlu diselidiki lebih lanjut melalui penelitian, dialog kebijakan, atau program-program uji coba.

7 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RINGKASAN EKSEKUTIF 7 Rekomendasirekomendasi Utama Laporan ini menghasilkan beberapa rekomendasi utama untuk memperkuat tata kelola, praktik-praktik dan hasil-hasil pembangunan sawit, termasuk: Rangkuman rekomendasi-rekomendasi utama untuk memperkuat tata kelola sawit dan mengoptimalkan hasilhasil pembangunannya. Rekomendasi-rekomendasi dikelompokkan di bawah judul-judul yang terkait dengan yang digunakan di bawah ini untuk mengelompokkan temuan-temuan utama di Bagian 3. Rekomendasi-rekomendasi dipaparkan lebih lanjut di Bagian 4. (Catatan: KemenTan = Kementerian Pertanian, KemenHut = Kementerian Kehutanan, KemenLH = Kementerian Lingkungan Hidup, KemenKeu = Kementerian Keuangan). REKOMENDASI UTAMA REKOMENDASI DI BAWAHNYA TARGET UTAMA JANGKA WAKTU & POTENSI DAMPAK Masalah -masalah yang beririsan Bekerja sama untuk menjadikan ISPO bagian strategi pembangunan hijau di Indonesia yang berharga dan diakui di tingkat internasional. Dukungan yang luas dari para pemangku kepentingan untuk ISPO bisa sangat membantu memastikan bahwa standar tersebut diterapkan dengan efektivitas maksimal. Meningkatkan kepemimpinan dari Kamar Dagang Indonesia (KADIN) dan Indonesian Business Council for Sustainable Development (IBCSD) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk mendukung dan memperkuat ISPO. KemenTan, ISPO, programprogram multilateral KADIN, IBCSD, GAPKI Jangka pendek dan berdampak sedang Jangka pendek Memperkuat dan meningkatkan sistemsistem pemerintah daerah untuk pengelolaan sektor sawit. Badan-badan di pemerintah pusat dapat memperkuat arahan, pelatihan, dan program-program pendukung terkait untuk pemerintah kabupaten guna mengembangkan kapasitas yang lebih seragam untuk mengatur pengembangan sawit. KemenTan Jangka menengah Menyediakan pelatihan, data spasial yang lebih baik, serta alat-alat pendukung keputusan untuk perencanaan tata ruang dan pengembangan sawit di kabupaten. KemenTan, BAPLAN Jangka menengah Mendukung dan mendorong pemerintah daerah untuk mempertimbangkan manfaat dan biaya yang lebih lengkap ketika menerbitkan izin-izin sawit untuk memaksimalkan manfaat sekunder yang positif. Bupati, pemerintah setingkat Dinas Jangka menengah Keputusan-keputusan yang menentukan di mana izin sawit diberikan Memperkuat dan meningkatkan sistemsistem pemerintah daerah untuk pengelolaan sektor sawit. Mengembangkan, menguji coba, dan mengimplementasikan sepenuhnya suatu sistem pendaftaran perizinan online yang transaparan. Meninjau ulang dan memperbaharui Keputusan Bersama antara KemenTan dan Badan Pertanahan Nasional (1999) mengenai penerbitan Izin Lokasi. KemenTan, pemerintah setingkat Dinas KemenTan, Badan Pertanahan Nasional Jangka menengahpanjang Jangka menengah dan berdampak besar

8 8 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RINGKASAN EKSEKUTIF REKOMENDASI UTAMA REKOMENDASI DI BAWAHNYA TARGET UTAMA JANGKA WAKTU & POTENSI DAMPAK Memperbaharui dan membuat kriteria kelayakan yang sepenuhnya dapat dioperasikan yang konsisten dengan tujuantujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia guna memastikan bahwa lahan yang tidak sesuai tidak digarap. Mengembangkan kriteria kelayakan lahan bagi pengembangan sawit yang jelas di tingkat nasional yang mencakup pertimbangan sosial, fisik, keanekaragaman hayati dan emisi gas rumah kaca sebagai panduan bagi keputusan perizinan pemerintah daerah atas lahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian. Meningkatkan kualitas, kredibilitas, dan pengaruh proses penilaian dampak lingkungan hidup. KemenTan, KemenHut, KemenLH KemenLH Jangka menengah dan berdampak besar Jangka menengahpanjang Meningkatkan kualitas, kredibilitas, dan pengaruh proses penilaian dampak lingkungan hidup. KemenLH Jangka menengahpanjang Meningkatkan ketersediaan lahan yang sesuai dan berdampak rendah untuk pengembangan sawit. Menyederhanakan dan mempercepat mekanismemekanisme yang membuat wilayah gundul dan berkarbon rendah dalam Kawasan Hutan dapat dijadikan lahan pertanian. KemenHut, KemenTan Berdampak besar Mengeksplorasi peluang-peluang untuk pabrik yang lebih kecil yang membutuhkan basis pasokan perkebunan yang lebih kecil. KemenTan, CEO, kabupaten, CSO Jangka menengahpanjang Mengembangkan alat-alat hukum dan membangun kapasitas implementasi guna memperkuat pengelolaan kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi di lahanlahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian. Memperkuat hak sesuai hukum bagi perusahaan perkebunan untuk mempertahankan dan mengelola kawasan-kawasan konservasi yang tidak ditanami di dalam wilayah HGU perkebunan. KemenTan, KemenHut, kabupaten, ISPO Jangka menengah panjang dan berdampak besar Keputusan-keputusan yang mempengaruhi dampak lingkungan hidup perkebunan dan pabrik Mengembangkan alat-alat hukum dan membangun kapasitas implementasi guna memperkuat pengelolaan lahan bernilai konservasi tinggi di lahanlahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian. Menciptakan insentif-insentif keuangan bagi perusahaanperusahaan untuk mempertahankan kawasan-kawasan yang tidak dikembangkan dalam perkebunan. Mendorong pemerintah daerah untuk memberlakukan persyaratan tambahan untuk izin perkebunan sawit guna menjamin terlindunginya nilai-nilai lingkungan hidup atau nilai-nilai sosial setempat. KemenTan, KemenKeu, RSPO, ISPO, KADIN, CEO Pemerintah daerah, bupati, DISBUN Jangka pendek dan berdampak besar Jangka menengah Mendukung upaya-upaya yang dipimpin swasta guna membuat sasaran-sasaran yang eksplisit dan progresif untuk pengelolaan kawasan-kawasan konservasi di dalam perkebunan sawit. CEO, RSPO, KemenTan, kabupaten Jangka menengah Membuat perusahaan perkebunan lebih bertanggung jawab atas kontraktor-kontraktor yang disewa untuk membuka lahan dan memperbaiki sistem untuk mengelola kontraktor. CEO Jangka menengah Guna mengurangi tekanan penyerobotan lahan dari masyarakat setempat di wilayah-wilayah konservasi, perusahaan hendaknya mempertimbangkan untuk memberlakukan batas-batas sukarela mengenai seberapa luas lahan masyarakat yang mereka siap kembangkan sebagai perkebunan sawit. CEO, ISPO Jangka menengah

9 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RINGKASAN EKSEKUTIF 9 REKOMENDASI UTAMA REKOMENDASI DI BAWAHNYA TARGET UTAMA JANGKA WAKTU & POTENSI DAMPAK Mengembangkan langkah-langkah kebijakan dan alat-alat fiskal yang inovatif dan memberikan ganjaran untuk investasi dalam teknologi Zero Waste untuk memaksimalkan dampak-dampak positif keseluruhan operasi pabrik. Meningkatkan penggunaan praktik-praktik dan teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah terkini di industri sawit, mensyaratkan bahwa pelaku-pelaku berikut ini menjalankan sebagian atau semua keputusan berikut. Menciptakan insentif fiskal dan finansial guna mempromosikan (a) penangkapan metana, (b) peningkatan penggunaan teknik-teknik Aplikasi Lahan untuk POME di mana sesuai, dan (c) teknologi-teknologi pembuatan kompos guna memanfaatkan produk sampingan berupa sampah padat secara produktif, menghasilkan listrik dan mengurangi penggunaan pupuk kimia. KemenTan, KemenLH, ISPO, CEO KemenTan, KemenKeu, ISPO, RSPO Jangka menengah Jangka menengah Meningkatkan kemungkinan bahwa lahan dialokasikan kepada perusahaan yang bertanggung jawab. Mengaitkan akses lahan untuk pengembangan sawit tambahan dengan kinerja perusahaan yang baik sebelumnya. Menjajaki mekanisme untuk menghapus keterlibatan calo-calo izin, perusahaan atau individu yang mengkhususkan pekerjaannya untuk memperoleh izin, membuka lahan dan kemudian menjual izinnya ke pihak lain. KemenTan, ISPO KemenTan, kabupaten, bupati Jangka pendek dan kemungkinan berdampak besar Jangka menengah Mendorong investasi untuk meningkatkan hasil lahan dan memberikan ganjaran atas kinerja yang baik guna mengoptimalkan produksi pada perkebunan yang sudah ada maupun di masa datang. Mendorong peningkatan hasil CPO di seluruh industri dengan mendorong pelaku-pelaku tertentu untuk menjalankan sebagian atau semua keputusan berikut. KemenTan, CEO Jangka pendek dan berdampak besar Keputusan-keputusan yang mempengaruhi hubungan perusahaan dengan masyarakat di sawit Memastikan bahwa masyarakat memiliki informasi yang memadai dan mampu berpartisipasi secara efektif dalam negosiasi dengan perusahaan sawit sejak tahap pengembangan yang paling awal, termasuk konsultasi-konsultasi sebelum penerbitan izin. Membuat pemerintah bertanggung jawab atas kewajiban menyediakan informasi yang akurat dan mudah dipahami bagi petani kecil dan anggota masyarakat. Mengembangkan panduan untuk menetapkan suatu pendekatan yang lebih terstruktur bagi pemerintah daerah untuk mendukung sosialisasi perusahaan dan kemudian negosiasi. Mengembangkan serangkaian panduan standar untuk berhubungan dengan masyarakat. KemenTan, kabupaten, bupati KemenTan, kabupaten, bupati, CSO KemenTan, ISPO, CSO Jangka menengah panjang dan berdampak besar Jangka menengah Jangka menengah dan berdampak besar Meninjau dan mengklarifikasi syarat minimum pembagian lahan antara Perusahaan dan Masyarakat sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan KemenTan No. 26 (2007). KemenTan Jangka pendek Melalui program uji coba, mengembangkan mekanisme bagi pemerintah kabupaten untuk memberikan dukungan negosiasi bagi setiap pihak selama penyusunan kesepakatan-kesepakatan pembagian manfaat, khususnya perjanjian kerja sama dengan petani kecil. KemenTan, kabupaten, bupati, CSO Jangka menengah dan berdampak besar

10 10 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RINGKASAN EKSEKUTIF REKOMENDASI UTAMA REKOMENDASI DI BAWAHNYA TARGET UTAMA JANGKA WAKTU & POTENSI DAMPAK Mengembangkan perjanjian yang jelas dan mengikat antara perusahaan dengan masyarakat mengenai di mana dan kapan lahan-lahan petani kecil akan dikembangkan. Kabupaten, CEO, CSO, ISPO Jangka pendek Mengembangkan dan mensyaratkan digunakannya model perjanjian pembebasan lahan dan perjanjian kemitraan dengan petani kecil. Kabupaten, CEO, CSO, ISPO Jangka menengah Memperjelas dan memperkuat pengawasan kewajibankewajiban perusahaan perkebunan untuk mendukung hasil petani kecil dan menciptakan insentif-insentif yang mendukung kepatuhan pada aturan-aturan yang ada. KemenTan, ISPO, CEO Jangka menengah dan berdampak besar Mengembangkan langkahlangkah untuk memastikan tingkat manfaat bagi masyarakat selama penerapan perjanjian kemitraan dengan petani kecil sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah dinegosiasikan. Mendukung pelatihan petani kecil yang efektif oleh pemerintah kabupaten, pelatihan petugas penyuluhan lapangan, perusahaan perkebunan, yang didukung pendanaannya oleh pengguna dan pembeli produkproduk sawit. Penciptaan lapangan kerja atau bentuk dukungan pendapatan masyarakat lainnya selama masa sawit tumbuh dewasa hendaknya disepakati antara perusahaan dengan masyarakat selama sosialisasi untuk pembebasan lahan Kabupaten, CEO, ISPO, RSPO, CSO KemenTan, CEO, ISPO Jangka menengah Jangka menengah Mempertimbangkan pengembangan dan penggunaan suatu sistem penentuan harga tandan buah segar (fresh fruit bunch) yang lebih fleksibel, transparan, dan mudah dipahami petani kecil serta menciptakan peluang untuk bayaran berbasis prestasi yang memberi ganjaran untuk buah berkualitas baik. KemenTan, provinsi, GAPKI Jangka menengah

11 Ikhtisar Sawit di Indonesia Industri sawit merupakan bagian yang vital sekaligus kontroversial dalam lintasan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. Pembahasan mengenai manfaat ekonomi dibandingkan dengan biaya sosial dan lingkungan hidup semakin terpolarisasi, dan situasi diperburuk oleh para pengkritik dan pendukung vokal yang bersikukuh pada posisi-posisi ekstrim untuk mengejar agenda-agenda yang sangat berbeda. Yang tersembunyi dalam perdebatan dewasa ini adalah banyaknya kesamaan antara sudut pandang yang bertentangan itu, di mana dapat dilakukan perbaikan yang signifikan dalam tata kelola sawit di Indonesia, yang akan memberikan manfaat langsung kepada lingkungan hidup, masyarakat lokal, serta kinerja dan reputasi industri ini secara keseluruhan. Penelitian ini merupakan suatu upaya untuk merebut kembali tempat di mana ada kesamaan ini dengan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pemangku kepentingan terkait mengenai bagaimana pelaku-pelaku utama membuat keputusan dalam kerangka hukum yang kompleks serta normanorma pengambilan keputusan yang muncul darinya. Kami menggarisbawahi area-area utama untuk memperbaiki dan memperkuat proses-proses pengambilan keputusan yang mendukung komitmen Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia dan merekomendasikan cara-cara untuk mendukung tercapainya hal ini. Dokumen ini merupakan ringkasan dari laporan yang lebih besar yang sedang disiapkan berdasarkan penelitian suatu tim multi disiplin yang terdiri dari peneliti nasional dan internasional serta praktisi yang bekerja untuk mendukung kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia.

12 12 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan KONTEKS 1 KONTEKS Kebun pembibitan sawit di Kalimantan Timur. Foto oleh Felicia Lasmana. 1.1 Sawit: peluang pembangunan strategis bagi Indonesia Sawit merupakan komponen vital strategi pembangunan Indonesia sekarang dan di masa depan. Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia dan CPO menjadi komponen penting bagi ketahanan pangan Indonesia dan negeri-negeri konsumennya. Permintaan dunia akan minyak sawit, yang hasil per hektarnya sepuluh kali lebih banyak daripada tanaman minyak lainnya, tumbuh dengan pesat. Kawasan perkebunan sawit di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir berlipat ganda dan kini menutupi lima persen dari total daratan negeri ini, dan pengembangan lebih lanjut sedang dilangsungkan guna memenuhi target Pemerintah untuk meningkatkan produksi CPO sebesar dua kali lipat menjadi 40 juta metrik ton per tahun pada Indonesia sangat mungkin mencapai target ini dengan adanya iklim yang mendukung, berlimpahnya lahan yang cocok, keahlian sektor swasta, dan besarnya tenaga kerja pedesaan.

13 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan KONTEKS 13 Ekspor sawit merupakan bagian yang sangat penting dari strategi pertumbuhan ekonomi Indonesia, menghasilkan milyaran dolar valuta asing setiap tahunnya dan menyediakan basis yang stabil bagi perekonomian setempat, akses ke pasar-pasar komoditi, dan lapangan pekerjaan yang sangat dibutuhkan di daerah-daerah yang kurang terjamah pembangunan di nusantara. Setidaknya tiga juta petani kecil independen membudidayakan sawit, mencakup sekitar 40% dari total wilayah yang ditanami dan sering menghasilkan pemasukan yang jauh lebih tinggi daripada petani kecil atau produsen tanaman panen lainnya. Penanaman modal swasta di sawit pada umumnya membawa peningkatan infrastruktur publik, jaringan pasar, serta layanan-layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, di samping menciptakan peluangpeluang kerja dan merangsang kegiatan ekonomi lokal. Dampak sosial dan lingkungan hidup sawit bisa besar. Meskipun menghasilkan manfaat-manfaat ekonomi, industri sawit Indonesia banyak mendapatkan kritik dari dalam dan luar negeri. Para pengkritik berargumen bahwa manfaat sawit dihasilkan dengan mengorbankan hutan dan masyarakat pedesaan yang bergantung pada hutan, menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang besar dari perubahan lahan dan merusak habitat yang kaya keanekaragaman hayati. Dalam beberapa kasus, masyarakat pedesaan dirugikan oleh pembangunan, kehilangan akses lahan dan sumber penghidupan tanpa memperoleh kompensasi atau bantuan hukum yang secukupnya. Kelompok-kelompok etnis asli bisa lebih rentan lagi sebab mereka lebih banyak bergantung pada ekosistem-ekosistem alami dan tidak berpengalaman dalam transaksitransaksi bisnis yang rumit atau berkebun sawit. Para pengkritik juga mencatat bahwa dalam banyak kasus, masyarakat setempat tidak dimintai konsultasinya dengan mencukupi sebelum izin sawit terbit, yang melemahkan posisi mereka ketika menegosiasikan kompensasi lahan dan perjanjian-perjanjian usaha dengan perusahaan. Sektor sawit merupakan bagian tak terpisahkan dari komitmen-komitmen pembangunan hijau Indonesia. Sejak tahun 1999, lebih dari 8% hutan Indonesia, termasuk hutan tropis yang kaya keanekaragaman hayati dan rawa gambut yang padat karbon, telah dimasukkan dalam zona yang akan dikonversi menjadi lahan pertanian. Sekitar 80% emisi GRK Indonesia berasal dari pemanfaatan lahan dan perubahan tutupan lahan, yang sebagian didorong oleh perluasan sawit. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menjanjikan target ganda yaitu untuk mengurangi emisi GRK nasional sebesar 26% pada tahun 2020 dengan mempertahankan pertumbuhan PDB tahunan sebesar 7% (Visi 7-26). Untuk merealisasikan visi ini, konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan dan pemanfaatan lainnya harus dikurangi. 1.2 Tata kelola sawit di Indonesia Pengambilan keputusan di sektor sawit bersifat kompleks. Pertumbuhan dan pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia dipandu oleh suatu sistem tata kelola yang berlapis dengan banyak pelaku (Gambar 1). Ada kerangka hukum yang rumit yang didefinisikan oleh Undang Undang, peraturan dan keputusan menteri yang beroperasi pada berbagai skala ruang dan diterbitkan oleh berbagai tingkat pemerintahan dan kementerian. Pemerintah, dunia usaha dan pelaku di masyarakat sering memiliki kebebasan yang cukup besar dalam mendesain dan mengelola proses pengambilan keputusan dan mengambil keputusan dalam kerangka ini. Suatu sistem perencanaan pembangunan yang didesentralisasi dan tidak terkoordinasi yang mencerminkan berbagai visi dan target ekspansi sektoral semakin memperumit upaya-upaya untuk memandu proses pembangunan tersebut dalam batas-batas kerangka tata kelola ini.

14 14 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan KONTEKS Sebagai bagian dari tata kelola Indonesia yang didesentralisasi, kewenangan besar diberikan kepada badan dan pejabat pemerintah daerah. Tata kelola sawit diimplementasikan dalam konteks sistem pemerintahan demokratis Indonesia yang didesentralisasi, yang melimpahkan banyak kewenangan pembuatan keputusan dan pengaturan kepada pemerintah-pemerintah kabupaten dan pimpinan daerah yang dipilih rakyat. Pejabat-pejabat ini memiliki pengetahuan luas mengenai kondisi-kondisi setempat, sehingga muncul peluang-peluang untuk menyeuaikan pembangunan dengan kondisi tersebut, namun prosesproses pengambilan keputusan mereka sering terhambat oleh kapasitas teknis dan sumber daya keuangan yang tidak memadai serta juga ketidakjelasan hukum dan mandat-mandat yang saling bertentangan untuk membangun dan melindungi kawasan mereka. Kerangka hukum yang ada bersifat komprehensif tetapi tidak selalu konsisten (untuk ikhtisar lihat Lampiran 1). Elemen-elemen kerangka hukum yang penting yang mempengaruhi hasil pengembangan sawit mencakup: Ketetapan Undang-Undang Dasar yang memberikan penguasaan atas tanah dan sumber daya alam kepada negara; Undang-undang desentralisasi yang melimpahkan wewenang atas berbagai fungsi layanan kepada berbagai tingkat pemerintah dan memberikan wewenang kepemimpinan terbesar atas pemberian izin perkebunan dan pabrik, pengawasan, evaluasi kinerja serta penegakan hukum kepada kabupaten; Undang-undang perencanaan tata ruang yang menetapkan persyaratan dan prosedur untuk mengalokasikan (pembuatan zona) lahan untuk berbagai pemanfaatan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten; Undang-undang terkait tanah yang menetapkan ketentuan-ketentuan di mana individu, masyarakat, dan perusahaan diberi kepemilikan atau hak guna usaha lahan; 1 Undang-undang Kehutanan serta aturan-aturan pelaksanaannya yang memberikan wewenang dan panduan untuk delineasi Kawasan Hutan Nasional, menetapkan kategori penggunaan hutan dan wewenang pengelolaan, dan prosedur untuk pelepasan lahan di Kawasan Hutan menjadi pemanfaatan non-hutan; Undang-undang Perkebunan serta aturan-aturan pelaksanaannya yang menjabarkan persyaratan khusus untuk perizinan, pengelolaan dan kinerja perkebunan sawit, termasuk pembangunan masyarakat dan pengelolaan lingkungan hidup; dan Undang-undang dan aturan-aturan pengelolaan lingkungan hidup yang menetapkan persyaratan untuk penilaian lingkungan hidup untuk perkebunan dan pabrik, termasuk perancangan, implementasi, pengawasan dan pelaporan langkah-langkah mitigasi dampak buruk. KEPUTUSAN, KEPUTUSAN Dalam kajian ini, kata keputusan digunakan dalam arti luas, termasuk keputusan atas: Ketentuan kebijakan tingkat tinggi yang ditetapkan dalam UU dan Peraturan Nasional; Tindakan-tindakan yang diambil di tingkat kabupaten guna menegakkan aturan dan undang-undang melalui prosesproses dan prosedur-prosedur di bawah wewenang mereka; Keputusan-keputusan yang dibuat perusahaan sawit terkait dengan kebijakan perusahaan atau pengembangan masingmasing perkebunan; Keputusan-keputusan yang diambil masyarakat yang dihadapkan pada pilihan untuk menerima atau menolak pengembangan sawit dan, bila menerima, dengan syarat dan ketentuan yang seperti apa. Sebagian keputusan dibuat bersama-sama melalui kesepakatan antara pemerintah daerah dan perusahaan atau antara masyarakat dan perusahaan. Dalam beberapa kasus, pelaku berwenang untuk membuat keputusan tertentu memilih untuk tidak membuatnya, memberikan wewenang kepada pihak di bawah mereka, atau membiarkan yang terjadi mengalir secara ad hoc saja.

15 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan KONTEKS 15 Banyak pelaku berpartisipasi dalam pengambilan keputusan soal sawit pada tingkat lokal, provinsi maupun nasional. Para pelaku ini dapat digolongkan menjadi yang berfungsi sebagai Pelaku Primer dan Sekunder mencakup: Pejabat pemerintah pusat dan anggota DPR yang menetapkan kebijakan nasional, mengembangkan undang-undang dan peraturan, memformulasikan rencana-rencana pembangunan, mengawasi prosesproses pembuatan perundangan, menetapkan kerangka fiskal, dan menyetujui rencana-rencana tata ruang; Pejabat-pejabat kabupaten dan provinsi yang memformulasikan rencana-rencana tata ruang dan strategi-strategi pembangunan serta mengimplementasikan perizinan dan pengawasan perkebunan, baik dari sisi kepatuhan hukum maupun kinerja; Anggota DPRD tingkat kabupaten dan provinsi yang memformulasikan peraturan-peraturan lokal untuk melengkapi undang-undang dan peraturan nasional di tingkat daerah; Perusahaan-perusahaan swasta 2 yang mempengaruhi lokasi, skala dan ketentuan-ketentuan investasi sawit dan, sejak tahun 2004, memimpin negosiasi dengan masyarakat mengenai pembebasan lahan untuk dikembangkan, ketentuan-ketentuan perjanjian kemitraan dengan petani kecil dan skala investasi pembangunan masyarakat; dan Masyarakat-masyarakat setempat yang menurut undang-undang dapat menerima atau menolak pengembangan sawit di lahan yang mereka klaim dan menegosiasikan ketentuan-ketentuan kemitraan dengan perusahaan. Berbagai Pelaku Sekunder berinteraksi dengan Pelaku Primer untuk mempengaruhi keputusan yang mereka ambil. Pelaku sekunder ini di antaranya mencakup bank, kelompok-kelompok penelitian, organisasiorganisasi standar, media, konsumen internasional, dan LSM, dan masyarakat sipil. Hutan hujan dataran rendah di Kalimantan. Foto oleh Gary Paoli. 1 2 Satu keputusan penting Mahkamah Konstitusi mengenai hak-hak adat atas hutan (MK 35/2013) belum lama ini memodifikasi ketetapan Konstitusional mengenai penguasaan tanah oleh Negara dengan memberi pengakuan hukum kepada hak-hak tanah masyarakat setempat yang dapat membuktikan hak-hak adat atas wilayah hutan yang konsisten dengan definisi hukum untuk hutan adat. Istilah perkebunan dan perusahaan digunakan bergantian dengan makna yang sama dalam laporan ini.

16 16 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan KONTEKS Gambar 1. Gambaran skematis kerangka hukum yang mengatur pengembangan sawit di Indonesia. Peran pelaku-pelaku Pemerintah Pusat dan Pemda untuk memberlakukan dan menegakkan UU dan peraturan Nasional dan Daerah diperlihatkan dengan tujuh fitur utama seperti digambarkan di atas. Ukuran lingkaran terkait derajat pentingnya setiap pelaku di setiap tahap secara relatif; warna oranye mengindikasikan serangkaian UU atau peraturan terkait topik yang dicatat; kotak hijau tua mewakili agregat keseluruhan kerangka kerja tersebut. Visi dan target pengembangan sawit sangat bervariasi dan sering tidak konsisten. Para pelaku memiliki berbagai perspektif mengenai ekspansi sektoral, mencerminkan tanggung jawab kelembagaan dan aspirasi pemerintah, dunia usaha, dan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang mereka wakili. Sebagai contoh, pelaku pemerintah umumnya mendukung visi memperluas sektor sawit sesuai dengan niat melipatgandakan produksi di tahun 2020, namun mereka menyatakan target-target pertumbuhan yang berbeda-beda, baik sebagai perluasan perkebunan atau hasil produksi serta dalam penekanan pada pengamanan sosial dan lingkungan hidup. Target-target produksi yang terlalu ambisius dan ketidakselarasan antara provinsi dengan kabupaten-kabupaten di bawahnya dalam memperluas sektor ini semakin mengganggu upaya-upaya untuk mengoptimalkan hasil melalui perencanaan yang cermat.

17 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan KONTEKS Tujuan dan latar belakang pemikiran Tujuan analisis yang dirangkum dalam laporan ini adalah untuk menggambarkan proses-proses pengambilan keputusan di sektor sawit dalam bahasa yang dapat dipahami berbagai pihak, mencakup pejabat pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, konsumen internasional, peneliti, donor dan lembaga-lembaga pembangunan. Satu tantangan yang diakui ada dalam upaya untuk memperbaiki pengambilan keputusan di sektor ini adalah kompleksitasnya proses-proses keputusan serta interaksi di antaranya yang, pada akhirnya, menentukan hasil-hasil pengembangan sawit. Laporan ini bertujuan untuk: Membuat proses-proses pengambilan keputusan di sektor sawit lebih mudah dipahami berbagai pihak, dengan menata kompleksitas tersebut, dan dengan demikian menyediakan satu basis yang lebih lengkap untuk melakukan dialog kebijakan berdasarkan informasi dan mengikuti wacana di tingkat nasional dan internasional. Menyediakan perspektif yang berimbang untuk membantu menjembatani pendukung dan penentang sawit dengan menawarkan diagnosa akan penyebab-penyebab utama hasil-hasil yang dianggap tidak masuk akal oleh sebagian pengamat, berusaha menghindari komentar-komentar yang terlalu bersifat umum dan subyektif, dan menunjukkan wilayah-wilayah kolaborasi yang dapat memperoleh dukungan dari pihak pendukung maupun penentang sawit. Menggarisbawahi peluang untuk memperbaiki kerangka hukum dan proses-proses pengambilan keputusan serta menunjukkan bagaimana hal ini dapat mempercepat perbaikan praktikpraktik industri sawit di seluruh rantai pasokan. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini, kajian ini menata banyak keputusan yang dibuat berbagai pelaku di proses-proses pengembangan sawit, menjelaskan bagaimana keputusan mempengaruhi hasil, dan memberi rekomendasi cara-cara untuk meningkatkan hasil dari masing-masing keputusan atau keseluruhan proses pengambilan keputusan. Informasi ini dapat membantu dialog kebijakan yang tengah berlangsung dengan mengarahkan perhatian kepada cara-cara konkret untuk meningkatkan keputusan, dan memberi pemahaman yang lebih baik kepada para pelaku mengenai peran mereka dan bagaimana mereka dapat bekerja sama dengan lebih efektif dengan pelaku-pelaku lain guna mencapai suatu hasil tertentu.

18 18 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan PENDEKATAN PENELITIAN 2 PENDEKATAN PENELITIAN Kelapa sawit adalah tanaman bibit minyak yang paling produktif di dunia. Foto oleh Rahayu Harjanthi. 2.1 Mengidentifikasi titik-titik keputusan utama dan pelaku-pelaku yang terlibat Laporan ini berfokus pada proses-proses pengambilan keputusan utama yang mempengaruhi hasilhasil sosial dan lingkungan hidup dari pengembangan sawit. Kami menggambarkan proses, peran pengambil keputusan dan pelaku lain, kerangka hukum dan pengaturan di mana mereka beroperasi dan faktor-faktor yang berdampak pada bagaimana keputusan itu dibuat. Laporan ini mengisolasikan titik-titik keputusan dalam suatu matriks proses yang saling terkait dan pelaku yang menentukan: (a) di mana izin untuk sawit diterbitkan; (b) bagaimana praktik-praktik pengelolaan pabrik perkebunan menentukan dampak lingkungan dari operasinya; dan (c) bagaimana kemitraan antara perusahaan dan masyarakat terbentuk dan berjalan. Pendekatan ini mengisolasikan titik-titik keputusan tertentu tetapi mendorong pembaca untuk mengingat bahwa untuk memahami bagaimana suatu keputusan diambil dan hasil-hasil yang muncul membutuhkan pertimbangan yang lebih terperinci menyangkut jaringan pelaku selengkapnya, keputusan-keputusan yang terkait dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Juga diakui bahwa di beberapa daerah di Indonesia, pengambilan keputusan secara optimal di sektor sawit dirongrong oleh perilaku mencari rente dalam keputusan-keputusan tata ruang dan perizinan. Laporan ini tidak menanggapi hambatan-hambatan ini secara langsung, namun berfokus pada upaya memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai proses-proses pengambilan keputusan sebagai langkah awal untuk

19 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan PENDEKATAN PENELITIAN 19 mengidentifikasi di mana keputusan-keputusan yang rasional di masa depan dihalangi oleh perilaku mencari rente dan bagaimana mengatasinya. Ada banyak upaya yang sedang dilakukan untuk menghadapi masalahmasalah ini di tingkat nasional melalui berbagai inisiatif-insiatif pemerintah dan non-pemerintah, dan temuantemuan kajian ini dimaksudkan untuk mendukung upaya-upaya tersebut. 2.2 Menggambarkan hasil-hasil keputusan yang diharapkan Penelitian ini memperlihatkan bagaimana keputusan berpotensi untuk berkontribusi atau merusak lima jenis hasil pembangunan dari sawit yang pada umumnya digarisbawahi di dokumen-dokumen perencanaan pemerintah dan bahan-bahan industri lainnya: Manfaat Ekonomi Setempat (Kabupaten) Manfaat positif pembangunan setempat mencakup penciptaan lapangan kerja dan kemakmuran, penguatan pasar-pasar lokal, perbaikan infrastruktur dan penyediaan layanan-layanan kemanusiaan mendasar. Manfaat-manfaat bagi Masyarakat Manfaat bagi masyarakat dari sawit mencapai titik tertinggi ketika petani sawit dan anggota masyarakat mendapatkan bagian manfaat finansial yang adil melalui konsultasi yang efektif, perjanjian yang terstruktur baik, penguatan lembaga-lembaga lokal serta pembangunan kapasitas yang sesungguhnya untuk koperasi dan usaha-usaha masyarakat setempat. Tata Kelola Sawit Kabupaten Beberapa keputusan pembuatan peraturan dan penegakkannya tidak hanya berkontribusi pada membaiknya tata kelola di sektor ini namun juga menjadi katalis perubahan positif lainnya, seperti peningkatan kualitas dan transparansi layanan pemerintah dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih luas. Dampak-dampak pada Lingkungan Hidup Pengurangan dampak sawit pada keanekaragaman hayati dan layanan-layanan lingkungan hidup dapat dicapai melalui perbaikan perencanaan tata ruang, keputusan-keputusan perizinan yang berdasarkan informasi yang memadai, dan desain perkebunan yang berorientasi konservasi. Pengurangan dampak pada mutu air dan udara dapat dicapai lewat perbaikan desain dan operasi pabrik serta infrastruktur pendukungnya. Emisi Karbon dari Pengembangan Sawit Emisi dari hutan dan lahan gambut selama daur hidup produksi sawit dapat dikurangi dengan cara memberi perhatian secara eksplisit kepada potensi emisi dalam perencanaan tata ruang, keputusan perizinan, analisis mengenai dampak lingkungan hidup serta desain dan pengelolaan perkebunan dan pabrik. Hasil-hasil ini difasilitasi oleh peningkatan informasi tata ruang, kapasitas analitis, transparansi pengambilan keputusan, desain dan operasi perkebunan dan pabrik yang dilakukan dengan hati-hati serta langkah-langkah inovatif (termasuk alat-alat hukum) untuk merawat hutan-hutan dalam kawasan-kawasan yang termasuk zona untuk pertanian, di mana dapat dilakukan. Evaluasi hasil-hasil yang muncul dari keputusan-keputusan dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Dalam studi di masa depan, pendekatan kuantitatif untuk menggambarkan dan membandingkan hasil-hasil dapat dilakukan dengan cukup mudah untuk beberapa parameter (misalnya emisi GRK yang berasal dari pengembangan gambut dangkal yang dalamnya kurang dari 3 meter, atau dihindari oleh perkebunan yang menerapkan praktik-praktik pengelolaan tanpa limbah). Parameter-parameter lain belum dapat dengan mudah diteliti secara kuantitatif saat ini karena kelemahan data atau sangat beragamnya keadaan di seluruh negeri dan di antara perkebunan.

20 20 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan PENDEKATAN PENELITIAN 2.3 Mengembangkan rekomendasi-rekomendasi untuk mendukung tujuan-tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Berdasarkan tinjauan atas keputusan-keputusan dan hasil-hasil yang dipengaruhinya, laporan ini memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk memperkuat manfaat pembangunan sawit. Kami menekankan bahwa, di dunia nyata, sangatlah sulit menilai hasil-hasil dan timbal-balik di antaranya. Meski demikian, pengalaman sampai saat ini memperlihatkan bahwa hasil-hasil yang lebih mendukung komitmen Indonesia akan Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan pembangunan pedesaan dapat segera dicapai dengan meningkatkan proses-proses pengambilan keputusan melalui (a) memperkuat prosedur-prosedur yang diimplementasikan dengan tegas, (b) partisipasi yang lebih inklusif, (c) meningkatkan pengawasan lokal dan nasional, dan (d) akses informasi dan analisis yang lebih baik untuk menjadi landasan informasi keputusan-keputusan. Peningkatan signifikan dapat dicapai dalam kerangka hukum yang ada saat ini untuk membuat perbaikan bertahap di jangka pendek. Penyesuaian-penyesuaian yang lebih mendasar dalam kebijakan, khususnya rencana tata ruang dan batas-batas Kawasan Hutan, akan sangat memperbaiki hasil-hasil di masa depan, namun menuntut adanya upaya-upaya yang terfokus dan terkoordinasi selama jangka waktu yang lebih panjang. Karena keadaan di seluruh Indonesia dan di antara perkebunan sangat beragam, banyak rekomendasi kami yang seyogyanya dilihat sebagai hipotesa sementara yang perlu diselidiki lebih jauh melalui dialog kebijakan, atau penelitian dan program-program uji coba yang disesuaikan dengan kondisi lokal. Sebagian dari rekomendasi kami cukup spesifik mengenai masalah-masalah utama yang hendaknya ditangani, namun bahkan di sini, laporan ini mengakui bahwa pemahaman dapat selalu ditingkatkan melalui evaluasi kritis dan masukan dari pihak-pihak lain. Harapan kami adalah bahwa laporan ini akan menstimulasi penelitian dan pengujian rekomendasi-rekomendasi kami selama beberapa tahun ke depan oleh para pemangku kepentingan yang tertarik dengan sektor ini. 2.4 Ikhtisar Laporan Sepenuhnya Sasaran laporan sepenuhnya adalah pihak-pihak yang mencari pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai masalah-masalah yang disajikan di rangkuman ini. Laporan tersebut menggambarkan pengambilan keputusan dan hasil-hasilnya terkait (a) di mana sawit ditanam, (b) bagaimana perkebunan dan pabrik dikembangkan dan dikelola, dan (c) bagaimana perusahaan dan masyarakat membentuk persetujuanpersetujuan kemitraan yang menentukan dampak sosial dan pembangunan akibat perkebunan (Gambar 2). Di mana sawit ditanam merupakan hasil dari dua proses pengambilan keputusan yang berbeda: yang pertama menentukan di mana izin diterbitkan dan yang kedua di mana perkebunan dikembangkan di lapangan dalam kawasan-kawasan yang sudah memiliki izin untuk pemanfaatan (Gambar 3, di bawah). Laporan sepenuhnya menjawab pertanyaan ini dalam dua bab, yang pertama berjudul Di Mana Izin Sawit Diterbitkan dan yang kedua Bagaimana Perkebunan dan Pabrik Dikembangkan dan Dikelola, yang juga menggambarkan hasil-hasil yang timbul akibat keputusan-keputusan mengenai bagaimana perkebunan dan pabrik dikelola setelah mulai beroperasi. Dalam bab selanjutnya, penelitian ini menggambarkan dan menganalisis proses-proses keputusan yang mendasari bagaimana perusahaan dan masyarakat membentuk

21 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan PENDEKATAN PENELITIAN 21 dan mengimplementasikan persetujuan-persetujuan kemitraan yang mencakup perkebunan-perkebunan petani kecil dan program-program pembangunan masyarakat yang lebih luas yang dilakukan perusahaan. Bab penutup dalam laporan sepenuhnya memberikan rekomendasi-rekomendasi terstruktur mengenai bagaimana memperbaiki hasil-hasil pembangunan melalui perubahan-perubahan bertahap dalam kerangka pengambilan keputusan yang ada, atau melalui penyesuaian-penyesuaian yang lebih signifikan dengan membangun di atas rekomendasi-rekomendasi dalam rangkuman ini. Gambar 2. Wilayah tematik dan pertanyaan yang dijajaki di laporan sepenuhnya. Proses-proses pengambilan keputusan yang menentukan di mana izin perkebunan diberikan dan bagaimana perkebunan dan pabrik dikembangkan dan dikelola menentukan manfaat dan dampak pada lingkungan hidup. Pengambilan keputusan tentang di mana perkebunan dikembangkan dan bagaimana masyarakat setempat diajak berkonsultasi oleh perusahaan dalam prosesnya untuk membentuk dan mengimplementasikan kesepakatan kemitraan menentukan manfaat pembangunan setempat dan dampak sosial pada masyarakat.

22 22 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN 3 RANGKUMAN TEMUAN Pohon kelapa sawit muda di perkebunan yang sudah mapan. Foto oleh R. Harjanthi. Tiga bagian berikut menggambarkan titik-titik keputusan penting dan proses-proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hasil-hasil pembangunan sawit: Keputusan-keputusan yang menentukan di mana izin sawit diterbitkan. Keputusan-keputusan yang mempengaruhi dampak lingkungan perkebunan dan pabrik. Keputusan-keputusan yang menentukan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat terkait dengan sawit. Di dalam setiap bagian ini kami mengidentifikasi titik-titik keputusan, pelaku-pelaku yang terlibat, alternatif keputusan yang mereka hadapi, faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana keputusan diambil, dan hasil-hasil yang muncul. Bagian selanjutnya menggambarkan beberapa masalah yang beririsan yang mempengaruhi pengembangan dan implementasi kerangka yang berdampak pada keputusan-keputusan di sektor sawit.

23 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN Keputusan-keputusan yang menentukan di mana izin sawit diterbitkan Bagian ini mengeksplorasi proses-proses keputusan yang menentukan di mana izin sawit diterbitkan, mencakup: bagaimana keputusan tersebut dipengaruhi kerangka hukum dan peraturan saat ini; hasil-hasil dari keputusan perizinan; dan observsi-observasi mengenai bagaimana mendukung, memperkuat dan, di mana perlu, memodifikasi kerangka tersebut untuk mendukung hasil-hasil yang lebih konsisten dengan tujuan-tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia di sektor ini (perinciannya ada di laporan sepenuhnya). 3 Terkait dengan di mana izin diberikan, ada banyak peluang untuk bekerja dalam kerangka-kerangka hukum dan peraturan yang ada untuk memperbaiki perencanaan dan pengambilan keputusan, tetapi untuk beberapa masalah, mungkin akan dibutuhkan revisi kerangka kebijakan untuk sepenuhnya mencapai visi Indonesia untuk sawit sebagai suatu sektor ekonomi yang memiliki manfaat tinggi dan dampak rendah. Keputusan-keputusan yang mempengaruhi di mana sawit diberi izin dan pada akhirnya ditanam diambil di tiga skala ruang (Gambar 3): Skala makro Keputusan-keputusan Rencana Tata Ruang menentukan batas-batas Kawasan Hutan nasional dan tanah yang tersedia untuk pertanian di dalamnya (Hutan Produksi Konversi, atau HPK ) serta di luarnya (Kawasan Budidaya Non-Kehutanan, atau KBNK). Pemerintah dapat menerbitkan izin sawit pada lahan-lahan yang termasuk zona KBNK atau HPK, sementara pengembangannya bergantung pada hasil-hasil penilaian dampak yang dilakukan di skala yang lebih lokal. Skala Meso Keputusan-keputusan Perizinan Sawit menentukan kawasan-kawasan dalam zona-zona KBNK dan HPK di mana pengembangan perkebunan skala besar akan diberi izin dan pengembangannya disetujui. Penerbitan izin dan kemudian keputusan penyaringan yang dibuat pada skala meso ini mengikuti suatu proses penilaian yang dimandatkan hukum untuk mengidentifikasi (a) kawasan-kawasan lingkungan hidup yang peka berdasarkan kondisi bio-fisiknya (misalnya gambut dengan tebal lebih dari 3 meter) atau (b) faktor-faktor sosial yang menghambat pembangunan (misalnya, lahan adat yang dikelola masyarakat yang menentang pengembangan sawit). Langkah-langkah pada skala meso untuk mendasari keputusankeputusan perizinan dapat mencakup keputusan pemerintah daerah mengenai daerah-daerah yang diprioritaskan untuk produksi dan daerah yang dilindungi (misalnya mendukung pengembangan lahan hutan gundul non-gambut), atau keputusan perusahaan untuk membantu memenuhi persyaratan standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau sistem sertifikasi sukarela seperti RSPO. Skala Mikro Keputusan-keputusan Perencanaan Perkebunan yang dibuat perusahaan, sering dengan berkoordinasi dengan masyarakat setempat, menentukan batas-batas di dalam izin perkebunan mereka yang tidak boleh dikembangkan karena larangan hukum (misalnya, daerah penyangga tepi suungai, gambut yang dalamnya lebih dari 3 meter atau lereng yang terjal), keinginan anggota masyarakat setempat (misalnya lahan yang oleh masyarakat setempat direncanakan untuk kegunaan non-sawit) atau standar-standar sertifikasi sukarela (misalnya, daerah-daerah yang dalam RSPO digolongkan sebagai daerah Bernilai Konservasi Tinggi). 3 Laporan ini meneliti bagaimana penetapan letak untuk perkebunan skala besar milik swasta atau negara, dan tidak mempertimbangkan keputusan-keputusan yang menentukan di mana dikembangkan kebun-kebun independen milik petani kecil. Kebun petani kecil perlu diinvestigasi dalam penelitian yang terpisah, termasuk variasi geografis dalam norma-norma pengambilan keputusan petani kecil.

24 24 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN Proses perencanaan tata ruang di tingkat nasional menentukan batas-batas lahan yang termasuk sebagai hutan permanen (Kawasan Hutan) versus lahan untuk pemanfaatan pertanian, termasuk sawit (Gambar 4; Tabel 1) Perencanaan tata ruang diikuti oleh pengambilan keputusan oleh pemerintah daerah dan perusahaan di dalam kawasan yang termasuk dalam zona untuk pertanian untuk (a) menawarkan atau meminta pengajuan izin, (b) mengevaluasi kelayakannya berdasarkan ekosistem yang peka (misalnya gambut dalam, dataran aliran sungai yang luas) atau faktor-faktor lain yang tidak dapat dikembangkan menurut peraturan nasional maupun daerah (misalnya Kawasan Moratorium 4 atau wilayah yang pengembangannya ditentang masyarakat), dan (c) menyetujui izin-izin pengembangan (Gambar 4). Analisis yang menjadi dasar keputusankeputusan persetujuan pada skala ini biasanya dipimpin oleh pemerintah kabupaten dengan berpusat pada penilaian-penilaian dampak lingkungan yang dimandatkan oleh pemerintah serta prosedur-prosedur perizinan terkait (Gambar 5). Pengambilan keputusan sebelum perizinan semacam ini mensyaratkan agar pemerintah daerah berkonsultasi dengan masyarakat setempat bahkan sebelum Izin Lokasi (Gambar 5) diterbitkan, namun kepatuhan pada persyaratan ini bervariasi. Kualitas konsultasi sebelum pemberian izin tersebut menjadi pondasi bagi hubungan perusahaan-masyarakat di masa depan (yang dibahas lebih lanjut di Bagian 3.3), khususnya kesiapan masyarakat dan sikap terhadap sawit ketika perusahaan mengusahakan persetujuan pembebasan lahan dari mereka. Inisiatif-inisiatif keberlanjutan nasional seperti ISPO berpotensi untuk memperkuat pengambilan keputusan pada skala meso dengan cara mempengaruhi keputusankeputusan perusahaan mengenai apakah akan mencari izin-izin berisiko tinggi sejak awal menimbang kesulitan-kesulitan di masa depan yang akan muncul untuk memenuhi persyaratan hukum yang dirumuskan di bawah ISPO. Perkebunan sawit dewasa di Kalimantan. Foto oleh Bas van Balen. 4 Pada bulan Mei 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan moratorium sementara atas penerbitan izin penebangan hutan dan perkebunan baru yang mencakup wilayah seluas 65 juta ha, yang memberikan perlindungan sementara kepada hutan-hutan primer dan lahan-lahan gambut. Keputusan Presiden yang pertama berakhir di awal tahun 2013 namun diperbarui untuk dua tahun lagi sebagai bagian dari upaya luas untuk mendukung reformasi tata kelola di sektor kehutanan dan pertanian.

25 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN 25 Gambar 3. Gambar skema proses keputusan pada 3 tingkat skala keruangan yang menentukan di mana sawit ditanam. Seperti dilukiskan lebih lengkap di Bagian 3.2, pengambilan keputusan skala-meso disusul dengan keputusan skala lebih halus (mikro) di dalam wilayah-wilayah yang diberi izin sawit, guna menghindari daerah yang tidak sesuai untuk penanaman berdasarkan berbagai kriteria.

26 26 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN Gambar 4. Gambar skematis keputusan-keputusan terkait (a) Proses perencanaan tata ruang Indonesia (b) Perizinan, dan (c) Pengembangan perkebunan sehubungan dengan keputusan-keputusan skala makro, meso, dan mikro di Gambar 3. Proses perencanaan tata ruang menentukan lahan yang secara hukum diizinkan untuk pertanian versus lahan yang harus dipertahankan sebagai Kawasan Hutan untuk dilindungi atau untuk kepentingan produksi seperti penebangan kayu. Nomor mengindikasikan langkah-langkah sesuai dengan UU dan peraturan pendukung di Tabel 1.

27 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN 27

28 28 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN Gambar 5. Diagram aliran proses memperoleh izin-izin dan persetujuan utama untuk pengembangan sawit di Indonesia. Tertera di sini UU dan peraturan mendasar terkait setiap izin.

29 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN Keputusan-keputusan yang mempengaruhi dampak lingkungan perkebunan dan pabrik sawit Keputusan mengenai di mana perkebunan sawit diberikan izin menentukan besarnya potensi dampak negatif yang ditimbulkan dengan menentukan apakah hutan alam, kawasan berbukit atau lahan gambut berisiko untuk dikonversi. Namun setelah satu izin diterbitkan, berbagai keputusan lokal dibuat tentang bagaimana dan di mana perkebunan dikembangkan dan bagaimana pabrik akan dioperasikan. Keputusan-keputusan tersebut dapat mengurangi atau menambah dampak keputusan izin yang dibuat oleh pemerintah. Dengan demikian, perizinan menentukan lokasi tapak sawit, sedangkan keputusan-keputusan pengembangan menentukan ukuran dan bentuk tapak tersebut. Perusahaan sawit adalah pelaku yang membuat keputusan-keputusan yang paling penting di tahap-tahap pengembangan pasca perizinan dengan menentukan di mana perkebunan dan pabrik akan dibangun serta bagaimana pengelolaannya. Perusahaan harus menimbang berbagai tujuan dalam merancang perkebunan di atas kawasan heterogen yang luas (antara ha), sering dengan bekal data dan waktu yang tidak mencukupi untuk membuat keputusan berbasis informasi kuat. Sejauh mana persyaratan hukum memandu keputusan-keputusan perusahaan bergantung sama banyaknya pada kebijakan perusahaan terhadap kepatuhan seperti pada penegakan hukum oleh pemerintah dan persepsi risiko hukuman untuk pelanggaran. Mengurangi dampak lingkungan hidup perkebunan dan pabrik sawit perlahan tapi pasti menjadi arus utama komitmen kebijakan perusahaan sawit, mendorong investasi dalam langkah-langkah mitigasi dampak serta perlindungan hutan yang pro-aktif dan program-program konservasi. Perusahaan yang berkomitmen terhadap sertifikasi sukarela di bawah RPSO bisa jadi sangat progresif dalam hal ini, namun industri telah menunjukkan bahwa komitmen-komitmen semacam ini bukan merupakan prasyarat untuk melakukan aksi positif. Selain perusahaan-perusahaan, berbagai pelaku pemerintah dan non-pemerintah juga memainkan peran penting dalam keputusan-keputusan pasca perizinan. Aktor-aktor Pemerintah Pusat menentukan (a) prosedur untuk menilai dan menghindari dampak lingkungan hidup (AMDAL), (b) persyaratan untuk menghindari daerah berlingkungan hidup peka seperti lereng curam dan gambut dalam, (c) standar-standar pengontrol polusi, dan (d) sistem-sistem pengawasan kinerja yang diwajibkan (misalnya ISPO). Pelaku-pelaku pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk (i) menyetujui laporan AMDAL; (ii) menegakkan persyaratan pengelolaan lingkungan hidup, pengawasan dan pelaporan; dan (iii) menetapkan hukuman, langkah koreksi yang harus dilakukan, atau bahkan memulai prosedur untuk mencabut izin ketika ada ketidakpatuhan yang berat. Meskipun pada prinsipnya pejabat setempat memiliki kewenangan luas untuk mengatur kinerja perusahaan, dalam praktiknya, lembaga-lembaga daerah harus melunakkan posisinya dalam hal peraturan untuk mempertahankan suasana yang ramah bagi dunia usaha karena kabupaten-kabupaten bersaing dengan satu sama lain untuk mendapatkan investasi sawit. Masyarakat setempat juga berperan penting dalam keputusankeputusan pasca perizinan, dan dapat mengurangi atau menambah dampak-dampak pemberian izin melalui keputusan-keputusan mengenai lahan mana yang akan ditawarkan kepada perusahaan untuk ditanami dan apakah akan dan bagaimana menekan perusahaan untuk meningkatkan praktik-praktik yang berdampak pada penghidupan mereka (misalnya perlindungan erosi dan kualitas air). Pengembangan Perkebunan: Perusahaan membuat banyak keputusan saat pengembangan perkebunan yang mempengaruhi hasil-hasil dari sisi lingkungan hidup (Gambar 6). Contoh-contoh yang menonjol termasuk: (1) bagaimana dan di mana membuat pembibitan, bangunan, jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya; (ii) wilayah mana yang akan ditanami dan mana yang akan dipertahankan tutupan lahannya; (iii) bagaimana melakukan pembukaan lahan dan pembuangan sampahnya; dan (iv) apakah memanfaatkan

30 30 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN jasa kontraktor untuk membuka lahan dan bagaimana mengontrol pekerjaan mereka. Seperti disebutkan sebelumnya, perusahaan perkebunan wajib mengidentifikasi dan menghindari daerah-daerah lindung setempat yang peka lingkungan hidupnya (misalnya hutan penyangga tepi sungai dan lereng terjal dsb.) tapi dapat lebih jauh lagi mengurangi dampak negatif kumulatif di seluruh perkebunan melalui keputusan mengenai apakah akan ada wilayah untuk konservasi yang disisihkan dan dikelola secara proaktif di dalam perkebunan tersebut. Jika ada daerah yang ditentukan batasnya untuk konservasi, perusahaan harus memilih apakah akan mempertahankan wilayah tersebut dalam izin Hak Guna Usaha atau mengeluarkannya dari konsesi. Bila perusahaan mempertahankan kawasan tersebut, mereka bertanggung jawab untuk mengelola dan mempertahankan hutan di atasnya, selain harus membayar pajak tanah langkah yang sering tidak didukung dan tidak populer dengan pemerintah daerah yang memprioritaskan pengembangan lahan yang termasuk zona pemanfaatan untuk pertanian. Jika wilayah itu dikeluarkan dari konsesi, maka perusahaan bisa melobi agar kawasan tersebut dilindungi melalui rencana tata ruang tingkat Kabupaten (RTRWK) sebagai Kawasan Lindung atau bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk menjadikannya Hutan Desa. Pada akhirnya, ini tetap berarti pemerintah daerah berhak untuk menerbitkan izin lokasi lain atas lahan itu untuk perusahaan lain. Manfaat-manfaat bagi perusahaan dari pembuatan keputusan yang cermat mengenai pengembangan perkebunan dapat mencakup berkurangnya konflik dengan masyarakat setempat yang mungkin mengalami dampak dari praktik-praktik buruk, berkurangnya risiko hukuman dari pemerintah terkait ketidakpatuhan serta akses pasar yang lebih baik melalui sertifikasi ISPO atau RSPO. Namun demikian, keberhasilan tidak otomatis terjamin. Kebanyakan perusahaan memanfaatkan kontraktor untuk menyiapkan lahan untuk ditanami, dan pengalaman, profesionalisme serta pemahaman kontraktor akan persyaratan hukum sangat bervariasi. Ketentuan kontrak terkadang, tanpa disengaja, memberikan insentif kepada kontraktor untuk membuka lahan seluas mungkin, termasuk wilayah yang secara lingkungan peka. Hal semacam ini hendaknya dihindari. Wilayah yang disisihkan untuk konservasi juga berisiko mengalami tekanan-tekanan penyerobotan lahan atau kegiatan perburuan. Karena itu, agar berhasil, perusahaan harus menjadikan pengelolaan lingkungan hidup bagian utama dari perencanaan dan sistem operasional, dan ini akan menimbulkan biaya dan kerepotan yang cukup besar. Pengelolaan Perkebunan: Ketika perkebunan sudah berdiri, perusahaan membuat keputusan-keputusan pengelolaan yang tidak hanya mempengaruhi hasil-hasil agronomisnya namun juga dampak lingkungan kegiatan operasional. Keputusan-keputusan ini mencakup: (a) bagaimana hutan penyangga tepi sungai dikelola; (b) apakah tanaman penutup ditanam untuk mengurangi erosi tanah; (c) apakah digunakan pupuk organik untuk mengurangi masukan kimia; (d) bagaimana ketinggian air di lahan gambut dikelola untuk memperlambat penyusutan dan di rawa dan daerah aliran sungai dikelola untuk mengurangi terbawanya zatzat kimia perkebunan tersebut dalam aliran air; dan apakah digunakan Praktik-Praktik Pengelolaan Terbaik (BMP) untuk meningkatkan hasil. Perlu dicatat bahwa dalam hubungannya dengan emisi GRK, undangundang Indonesia mensyaratkan perkebunan di atas lahan gambut untuk mengurangi dampak hidrologis dan emisi GRK dengan mempertahankan ketinggian air pada cm di bawah permukaan. Mempertahankan air di ketinggian seperti ini mahal biayanya bagi pekerja kebun, membutuhkan investasi untuk membangun sistem kanal yang kuat, dan, dalam beberapa kasus, juga akan berdampak di berkurangnya Tandan Buah Segar (FFB) akibat stres akar. Hasil rata-rata minyak sawit mentah (CPO) di Indonesia telah stagnan sejak tahun 1970an di sekitar 3,8 ton per ha meskipun semakin banyak digunakan bahan-bahan penanaman yang lebih baik. Pada lokasi-lokasi yang baik, hasil CPO dapat ditingkatkan menjadi sedikitnya 5 ton/ha, atau meningkat sebesar 30-35% seperti didemonstrasikan di perkebunan komersil yang menggunakan Praktik Pengelolaan Terbaik (BMP) yang ada. BMP memberikan hasil pengembalian secara finansial yang besar dengan investasi yang relatif kecil. Jika semua kebun sawit yang ada dapat meningkatkan hasil CPOnya menjadi 5 ton/ha, Indonesia dapat

31 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN 31 Gambar 6. Pilihan lima keputusan utama yang dibuat perusahaan terkait perlakuan untuk Kawasan Lingkungan Hidup Peka dalam wilayah yang diberi izin untuk pengembangan perkebunan.

32 32 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN menghindari menanami sawit baru di lahan seluas 1,6 juta ha sampai tahun 2050 sambil tetap memenuhi pertumbuhan permintaan global yang diproyeksikan. Pemrosesan tandan buah segar (FFB) sawit menghasilkan banyak hasil sampingan padat dan cair, termasuk tandan buah kosong (EFB), residu bahan buah, cangkang buah dan rembesan cair dari pabrik minyak sawit (POME). Di masa lalu, hasil sampingan ini dianggap sebagai limbah yang perlu dibuang dan membawa risiko polusi yang cukup besar. Akhir-akhir ini perusahaan perkebunan mulai menggunakan hasil sampingan untuk memroduksi pupuk-pupuk organik padat dan cair, yang ternyata dapat memperbaiki kondisi tanah, mengurangi penggunaan pupuk kimia, menciptakan lapangan kerja dan menghemat uang. Teknologi maju untuk pemrosesan buah tandan kosong (EFB) dan rembesan cair pabrik sawit (POME) bersama-sama (dibahas di bawah) menghasilkan pupuk-pupuk organik yang kaya nutrisi, menangkap biogas sebagai hasil sampingan, dan menghilangkan emisi GRK dari pengolahan limbah konvensional. Teknologi-teknologi semacam ini membutuhkan investasi modal yang signifikan namun juga membawa manfaat yang signifikan di perkebunan untuk mendorong hasil yang lebih tinggi dan memperbaiki tanah. Operasi pabrik mencakup banyak keputusan perusahaan yang dibuat sepanjang masa hidup sebuah pabrik minyak sawit (POM) untuk mengelola produksi CPO sambil mengurangi dampak lingkungan yang negatif. Keputusan-keputusan utama termasuk: (a) apakah ada upaya untuk mengurangi volume POME dengan meningkatkan efisiensi penggunaan air; (b) apakah dipasang pembersih CO2 guna mengurangi emisi GRK di titik sumber dari mesin boiler pabrik; (c) apakah teknologi penangkapan metana atau teknik pengomposan bersama digunakan untuk mengurangi emisi GRK dari pengolahan POME; dan (d) apakah teknologi maju yang digambarkan di atas dipasang untuk menghancurkan hasil sampingan padat dan cair secara biologis. Keputusan-keputusan mengenai operasi pabrik bisa sangat berdampak pada kesejahteraan dan kesehatan masyarakat setempat, khususnya kualitas udara dan air, serta pada persepsi pemangku kepentingan internasional yang prihatin dengan emisi GRK. Teknologi-teknologi penangkap metana, khususnya biodigester, dapat mengurangi emisi dari pabrik minyak sawit dan menciptakan sumber energi terbarukan yang handal; perluasan penggunaan teknologi-teknologi menjadi prioritas pemerintah. Pabrik juga bisa mengurangi tapak air mereka, yang semakin menjadi sumber kekhawatiran, dengan signifikan melalui langkah-langkah efisiensi air dan dengan demikian mengurangi kompetisi dengan pengguna air setempat dan mengurangi tekanan pada ekosistem-ekosistem air. 3.3 Keputusan-keputusan yang mempengaruhi hubungan perusahaan dengan masyarakat Keputusan-keputusan terkait pendekatan komunikasi, bagaimana hubungan dibentuk, dan persetujuan antara perusahaan dengan masyarakat disusun, berdampak pada jumlah dan distribusi manfaat yang diperoleh masyarakat setempat (Gambar 7). Hal-hal tersebut juga menentukan nada berbagai interaksi antara perusahaan dengan masyarakat. Contoh-contoh keputusan utama yang dibuat pada saat-saat awal pembentukan hubungan perusahaan-masyarakat yang mempengaruhi hasil pembangunan mencakup: (a) ketentuan-ketentuan pembebasan lahan oleh masyarakat untuk pengembangan perkebunan, termasuk pembayaran kompensasi, rasio pembagian lahan dan kesepakatan-kesepakatan kemitraan; (b) keputusan mengenai bagaimana dan apa yang dikomunikasikan dengan masyarakat pada saat sosialisasi (peningkatan kesadaran masyarakat mengenai tujuan-tujuan pengembangan suatu perkebunan), negosiasi pembebasan lahan, serta implementasi kemitraan petani kecil; dan (c) keputusan-keputusan yang mempengaruhi bagaimana keputusan disusun dan ekspektasi dibentuk mengenai ukuran dan jadwal munculnya manfaatmanfaat dari keberadaan.

33 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN 33 Gambar 7. Gambaran skematis keempat tahapan di mana perusahaan perkebunan berhubungan dengan masyarakat dan membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi berbagai aspek hubungan antara perusahaan dengan masyarakat.

34 34 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN Pelatihan lapangan guna meningkatkan praktik-praktik pengelolaan perkebunan untuk meningkatkan hasil panen. Foto oleh Piers Gillespie Keputusan-keputusan ini menentukan, antara lain: (a) lahan mana yang akan disediakan untuk perkebunan; (b) hubungan finansial dan pembagian manfaat antara perusahaan dan masyarakat, termasuk petani kecil dan anggota masyarakat lainnya; (c) pihak setempat yang mana yang menikmati manfaat dan yang menanggung beban pengembangan; dan (d) suasana sosial keseluruhan di mana perkebunan beroperasi selama daur hidupnya, termasuk risiko konflik sosial di masa depan. Total manfaat sawit yang dinikmati masyarakat, terutama petani kecil, merupakan hasil kumulatif dari banyak interaksi antara perusahaan dan masyarakat yang terjadi selama bertahun-tahun. Keputusan-keputusan yang dibuat sepanjang proses ini banyak jumlahnya, sangat saling terkait, dan hasil-hasilnya bersifat kumulatif. Karakteristik semacam ini mengingatkan agar para pihak tidak membuat diagnosa luas mengenai hubungan perusahaan dengan masyarakat berdasarkan penelitian yang sempit dan berjangka pendek atau konsultasi terbatas. Undang-undang dan peraturan yang ada yang mengatur hubungan antara perusahaan dan masyarakat dimaksudkan untuk menjamin bahwa masyarakat memperoleh manfaat dari pengembangan sawit, tetapi juga bisa: (a) menempatkan masyarakat dalam posisi kekuasaan yang lebih rendah; (b) menciptakan insentif terbatas bagi perusahaan untuk berinvestasi pada peningkatan hasil panen dan dengan demikian penghasilan bersih para petani kecil; dan (c) memberikan wewenang dengan kebebasan yang besar di tangan pihak berwenang setempat untuk mengawasi penerapan kesepakatan perusahaan dengan masyarakat tanpa membekali pejabat setempat dengan alat-alat dan dukungan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut secara efektif. Para pelaku di pemerintah daerah dapat berpengaruh langsung pada keputusankeputusan ini berdasarkan target mereka untuk menarik investasi dari luar dan persepsi sawit sebagai pendorong pembangunan daerah.

35 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN 35 Pada umumnya hak-hak masyarakat atas tanah tidak diakui hukum, sehingga beban berada pada masyarakat untuk membuktikan hak mereka untuk menggunakan lahan dalam negosiasi. 5 Masyarakat dan perusahaan sering memiliki pandangan yang berbeda mengenai sifat dan jangka waktu hak kepemilikan yang sedang dinegosiasikan serta apa yang dianggap sebagai kompensasi yang adil bagi masyarakat yang melepaskan lahannya. Pengalaman dan kecakapan bernegosiasi para pemimpin formal dan tradisional di masyarakat merupakan penentu penting hasil-hasil negosiasi dengan perusahaan dan berimplikasi penting pada hasil-hasil keuangan petani kecil, seperti: (a) rasio lahan untuk perusahaan versus kebun petani kecil; (b) di mana lokasi petak-petak petani kecil dan kecepatan penanamannya; (c) perawatan jalan yang menghubungkan petak-petak petani kecil dengan pabrik; (d) kualitas bahan-bahan penanaman yang didapatkan petani kecil serta kualitas bantuan teknis yang disediakan perusahaan. Salah satu tantangan utama yang dihadapi petani kecil adalah bagaimana mempertahankan nafkah selama pohon-pohon sawit muda belum berbuah (umumnya tiga tahun). Selama masa ini, sebagian petani mendapatkan uang dari bekerja sebagai buruh atau mereka berhutang untuk memenuhi kebutuhan pokok, terkadang dengan ditambah hasil menanam tanaman panen lainnya. Perusahaan sering membantu petani dengan memberikan lapangan kerja (kadang-kadang jumlah pekerjaan yang dijamin melebihi kebutuhan tenaga kerja sesungguhnya) atau dengan memastikan bahwa petani mempertahankan luas lahan yang cukup untuk meneruskan kegiatan pertanian untuk kebutuhan sendiri dan/atau dijual ke pasar tanpa memberikan tekanan pada lahan-lahan lain. Keputusan-keputusan yang berhubungan dengan hal ini banyak bergantung pada kebijakan perusahaan terkait pembangunan masyarakat dan dukungan penghidupan. 3.4 Temuan-temuan yang beririsan Selain temuan-temuan yang khusus terkait dengan keputusan-keputusan mengenai di mana izin sawit terbit, bagaimana pengelolaan dampak lingkungan perkebunan dan pabrik sawit, serta bagaimana hubungan perusahaan dengan masyarakat dibentuk, ada lima isu utama yang beririsan yang relevan untuk banyak wilayah-wilayah pengambilan keputusan yang digarisbawahi dalam penelitian ini. Menanggulangi tantangan-tantangan terkait isu-isu yang beririsan ini akan membantu secara langsung menyelaraskan perluasan sektoral di masa depan dengan tujuan-tujuan Pembangunan Ekonomi Hijau Indonesia. Laporan ini mengidentifikasi isu-isu yang beririsan berikut ini: (a) Inisiatif Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sangat berpotensi untuk meningkatkan keberlanjutan minyak sawit di Indonesia karena merupakan suatu sistem sertifikasi wajib untuk keseluruhan industri dan dapat diperkuat untuk mencakup syarat-syarat baru dengan berjalannya waktu. Ketika dimulai, ISPO memperkenalkan serangkaian persyaratan progresif seperti perlunya perusahaan menyediakan lebih banyak informasi mengenai bagaimana mereka berhubungan dan mendukung masyarakat, mengawasi dan melaporkan emisi-emisi yang dihasilkan operasi perkebunan dan pabrik-pabrik, dan membuat rencana pengurangan emisi termasuk penangkapan metana untuk pengolahan POME. Penerapan ISPO di seluruh sektor perkebunan Indonesia yang luas dan terpencar di berbagai daerah dan pulau merupakan tantangan sangat besar, baik secara logistik maupun praktis, dan akan memetik manfaat dari dukungan dan kemitraan nasional dan internasional untuk memperkuat sistem dan pengakuan terhadap standar ini untuk membantu para produsen memelihara akses ke pasar-pasar bernilai tinggi. Standar 5 Sekali lagi perhatian perlu diarahkan pada keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengakuan hak-hak hutan adat (MK 35/2013) yang menangani sebagian dari ketimpangan kekuasaan yang terkait dengan status hukum hak-hak masyarakat atas wilayah-wilayah hutan adat.

36 36 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan RANGKUMAN TEMUAN legalitas kayu yang belum lama ini diselesaikan di sektor kehutanan Indonesia (SVLK) adalah contoh baik mengenai bagaimana hubungan dan komunikasi yang dipertahankan dapat menghasilkan hasil-hasil positif. Wilayah-wilayah utama penjalinan hubungan mencakup: peningkatan standar-standar; pengelolaan proses dan pelibatan pemangku kepentingan yang baik; memberikan sinyal yang jelas mengenai permintaan pasar (sebagai ganjaran) dan ekspektasi jangka panjang; serta dukungan teknis yang terus dipertahankan di mana dukungan itu diterima baik. (b) Sejumlah hambatan yang dihadapi proses berbagai keputusan menghasilkan pengambilan keputusan yang kurang optimal dalam perencanaan pengembangan sawit. Banyak keputusan pengembangan sawit tidak sepenuhnya mempertimbangkan semua faktor yang relevan karena satu atau lebih alasan di antara hambatan-hambatan berikut ini: (a) jumlah informasi, pengetahuan dan kemampuan yang bervariasi di antara pelaku yang memiliki wewenang untuk membuat keputusan; (b) keterbatasan partisipasi sejumlah pemangku kepentingan dalam keputusan-keputusan utama; (c) kerangka hukum yang di beberapa wilayah tidak konsisten dan/atau tidak lengkap; dan (d) waktu yang terbatas untuk membuat keputusan utama akibat tekanan pemerintah untuk membuat pengembangan dengan cepat. Meskipun sangat menantang, pemahaman akan persoalan-persoalan yang lazim terjadi ini dapat membantu mengidentifikasi hambatan yang, jika diatasi, akan meningkatkan berbagai hasil pengembangan sawit. (c) Peningkatan penggunaan mekanisme hukum dan peralatan peraturan yang sudah ada sangat berpotensi untuk memperbaiki hasil-hasil pembangunan sawit di jangka panjang. Satu contoh penting adalah standar sertifikasi ISPO yang baru yang, meskipun menuai kritik, mampu memulai suatu perubahan paradigma bertahap di industri sawit jika diterapkan dengan tegas dan penegakan hukum dilakukan (dibahas di bawah). Proses penilaian lingkungan hidup AMDAL pun bisa menjadi mekanisme saringan yang jauh lebih kuat bila dilakukan beberapa perubahan kecil di sisi prosedur, dan demikian juga dengan proses Kementerian Kehutanan untuk melepaskan, secara ad hoc, wilayah Hutan Konversi dalam Kawasan Hutan yang diminta untuk dikonversi menjadi pertanian. Perubahan-perubahan kecil seperti ini tidak akan berbiaya mahal dari segi pembangunan ekonomi, jumlah investasi keuangan, ataupun modal politik, dan dalam beberapa kasus akan sangat meningkatkan hasil-hasil sosial dan lingkungan hidup pengembangan sawit. (d) Beberapa rekomendasi bisa jadi akan membawa limpahan manfaat pada pengelolaan sumber daya alam pada umumnya. Ini mencakup: mengkoordinasikan perencanaan tata ruang dan pembangunan; membuat perencanaan pemanfaatan hutan dan lahan lebih fleksibel dan responsif; memperbaiki proses pemberian hak-hak pengelolaan hutan masyarakat dan kepemilikan hutan adat; harmonisasi ketentuanketentuan berbagai undang-undang dan peraturan; mengklarifikasi dan mengkoordinasi peran berbagai pelaku pemerintah dalam pengambilan keputusan; menyediakan dukungan finansial dan motivasi yang dibutuhkan agar departemen-departemen yang paling relevan dalam pemerintah melaksanakan tugas mereka dengan profesional; dan memastikan bahwa keputusan perizinan dan persetujuan izin dibuat dalam urutan yang semestinya. (e) Upaya untuk meningkatkan hasil-hasil pengembangan sawit hendaknya dilihat dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia. Banyak di antara rekomendasi di bab berikut berkontribusi kepada pemanfaatan tanah, hutan dan cadangan karbon yang lebih efisien, dan, dalam beberapa kasus, paralel dengan upaya pemerintah pusat untuk menerapkan inisiatif-inisiatif REDD+ di Indonesia. Perlu juga dilihat konteks yang lebih luas mengingat adanya tantangan terus menerus untuk mengevaluasi timbal balik antara berbagai hasil-hasil pembangunan. Penetapan timbal balik antara target-target tersebut dengan cara yang terencana pragmatis dan berprinsip dengan terus bertujuan untuk mencapai hasil-hasil yang lebih baik hendaknya menjadi prinsip yang memandu pengambilan keputusan sawit di setiap tingkatan.

37 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan 37 REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA REKOMENDASI-REKOMENDASI UTAMA 4 Spesies asli hutan dataran rendah di Kalimantan. Foto oleh Gary Paoli. Temuan-temuan yang ditampilkan di laporan ini dimaksudkan untuk meningkatkan tata kelola dan praktikpraktik pengelolaan sawit melalui beragam pendekatan termasuk perbaikan prosedural, perubahan kerangka hukum, serta adopsi praktik dan teknologi pengelolaan yang lebih baik. Walaupun pemangku kepentingan yang terkait dapat mengembangkan agenda aksi mereka sendiri berdasarkan kapasitas dan kepentingan yang bersangkutan, langkah yang terkoordinasi sangat dianjurkan untuk memperoleh dampak maksimum. Pemerintah pusat di Indonesia memiliki kapasitas yang sangat berpotensi untuk meningkatkan hasil-hasil sawit melalui kewenangannya meninjau kembali undang-undang melalui DPR, menyediakan sumber daya, melakukan koordinasi antara tingkat dan antar sektor kementerian dan memastikan bahwa pemerintah daerah patuh dan akuntabel. Provinsi-provinsi, kabupaten-kabupaten dan perusahaan-perusahaan juga telah menunjukkan bahwa peraturan-peraturan daerah yang inovatif 6 serta kebijakan-kebijakan perusahaan dapat meletakkan dasar bagi perbaikan hasil-hasil di tingkat daerah, termasuk upaya untuk melakukan praktik-praktik terbaik di industri sawit yang melampaui syarat-syarat hukum. Serombongan pelaku pendukung termasuk peneliti, donor dan organisasi masyarakat sipil, dapat berperan penting dengan menyediakan sumber daya teknis dan finansial untuk meningkatkan kapasitas pelaku-pelaku utama agar dapat membuat keputusan-keputusan yang kuat dan berlandaskan informasi yang cukup. Rekomendasirekomendasi yang ditampilkan secara garis besar di sini dimaksudkan untuk mendukung hal ini. Di sini kami menyediakan beberapa rekomendasi utama untuk meningkatkan tata kelola, praktik-praktik dan hasil-hasil pembangunan minyak sawit. Rekomendasi-rekomendasi ini juga ditampilkan dalam bentuk tabel di Ringkasan Eksekutif, disusun di bawah sub-judul Keputusan yang digunakan di Bagian 3 untuk mengatur temuan-temuan utama. 6 Lihat, misalnya, peraturan daerah terkait sawit yang berkelanjutan terbitan pemerintah provinsi Kalimantan Tengah (Perda No. 5/ 2011).

38 38 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA 4.1 Mendukung proses multi-pihak untuk memperkuat dan mendukung ISPO sebagai bagian strategi Pembangunan Ekonomi Hijau Indonesia yang berharga dan diakui di tingkat internasional. 1. Dukungan luas para pemangku kepentingan untuk ISPO dapat sangat membantu memastikan bahwa standar tersebut diimplementasikan dengan efektivitas maksimum. ISPO sangat berpotensi untuk meningkatkan tata kelola sawit Indonesia di jangka pendek. Hubungan yang positif, terkoordinasi, dan konstruktif untuk mendukung pengembangan suatu standar nasional yang kredibel dan independen sangat penting guna memenuhi potensi ini. Dukungan dari yayasan, donor multilateral, LSM dan organisasi internasional yang bergerak di segmen hulu mata rantai pasokan minyak sawit bisa menjadi penting khususnya untuk memungkinkan berlangsungnya kegiatan-kegiatan pendukung. Para pelaku hendaknya mencari cara-cara untuk berhubungan dengan ISPO di samping mendukung program-program sukarela seperti RSPO. 2. Meningkatkan kepemimpinan dari Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Indonesian Business Council for Sustainable Development (IBCSD) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk mendukung dan memperkuat ISPO. Mendorong asosiasi-asosiasi usaha terkemuka untuk memanfaatkan kemampuan mereka untuk berkumpul dan mencapai kesepakatan di antara pemimpin-pemimpin dunia usaha untuk memastikan bahwa anggota-anggota yang merupakan produsen sawit membuat pendekatan kepada kepatuhan akan ISPO dengan sungguh-sungguh dan berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya memperkuat penegakan, memperbaiki persyaratan-persyaratan standarnya, dan memelihara keketatan sistem sertifikasi. Hutan rawa gambut di Kalimantan. Foto oleh Gary Paoli.

39 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan 39 REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA 4.2 Memperkuat dan meningkatkan sistem-sistem pemerintah daerah untuk pengelolaan sektor minyak sawit. 1. Badan-badan di pemerintah pusat dapat memperkuat arahan, pelatihan, dan program-program pendukung terkait guna memastikan bahwa semua pemerintah kabupaten memiliki kapasitas yang memadai untuk mengatur pengembangan sawit. Pemerintah kabupaten memiliki wewenang untuk menerbitkan izin-izin sawit dan melakukan verifikasi atas kepatuhan perusahaan pada peraturan. Kinerja pelaksanaan tugas-tugas ini sangat beragam karena adanya berbagai tingkatan kapasitas, sumber daya, dan sikap terhadap pengembangan sawit. Daerah-daerah pelopor yang jauh dari pusat umumnya tertinggal dari daerah-daerah sawit yang sudah mapan dalam kemampuannya menghindari pengembangan wilayah-wilayah berisiko tinggi dan mengawasi kepatuhan. Standar-standar tata kelola perlu disetarakan di seluruh Indonesia, termasuk melalui sertifikasi kapasitas pemerintah daerah sebagai persyaratan untuk menjalankan wewenang perizinan sepenuhnya atau menikmati insetif-insentif dari pemerintah pusat yang diberikan berdasarkan kinerja. 2. Menyediakan pelatihan, data spasial yang lebih baik, serta alat-alat pendukung keputusan untuk perencanaan tata ruang dan pengembangan sawit di kabupaten. Hasil perencanaan tata ruang di tingkat kabupaten merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan di mana sawit akan ditanam dan potensi dampak yang akan timbul. Keputusan-keputusan alokasi lahan pada tingkat ini, terutama di daerah-daerah terpencil, sering dibuat tanpa pengetahuan teknis, data spasial dan alat-alat pendukung keputusan yang memadai. Dalam perencanaan pembangunan, analisis terstruktur untuk menilai untung rugi berbagai pilihan pemanfaatan lahan berdasarkan kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan hidup terbukti kompleks dan jarang dilakukan. Ini berarti pihak berwenang gagal merebut peluang untuk mengoptimalkan hasil pembangunan melalui perencanaan tata ruang, perizinan dan strategi-strategi pertumbuhan sektoral yang efektif. 3. Mendukung dan mendorong pemerintah daerah untuk mempertimbangkan manfaat dan biaya yang lebih lengkap ketika menerbitkan izin-izin sawit untuk memaksimalkan manfaat sekunder yang positif (misalnya, infrastruktur) dan meminimalkan biaya peluang dari alternatif yang tidak dilaksanakan. Analisis semacam ini mungkin kompleks, menyangkut banyak perhitungan timbal balik di atas lanskap-lanskap yang heterogen secara spasial. Pemerintah daerah pada umumnya tidak memiliki cukup sumber daya dan data untuk menilai pilihan-pilihan pengembangan dengan serinci ini, tetapi analisis semacam ini bisa sangat meningkatkan hasil-hasil keputusan perizinan. 4. Meningkatkan penegakan Keputusan Bersama Kementerian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional (1999) mengenai diperlukannya konsultasi resmi dengan masyarakat sebelum diterbitkannya Izin Lokasi. Peraturan pemerintah menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam keputusan mengenai di mana sawit ditanam dimulai dengan konsultasi-konsultasi yang difasilitasi pemerintah sebelum penerbitan Izin Lokasi. Kualitas dan isi konsultasi tersebut menjadi pondasi bagi hasil-hasil pengembangan di masa depan karena membuat masyarakat menyadari adanya kemungkinan pengembangan dan memberi kesempatan untuk menyuarakan keprihatinan mereka kepada pemerintah dan perusahaan sebelum izin disetujui. Konsultasi sebelum perizinan juga memberi perusahaan pengetahuan awal mengenai kompleksitas sosial di wilayah tersebut sebelum mengambil keputusan untuk mengejar terbitnya izin. Keputusan bersama ini tidak diterapkan secara luas sekarang ini.

40 40 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA Direkomendasikan untuk meninjau dan memperbaharui keputusan tersebut atau menciptakan suatu basis hukum baru yang lebih kuat mengenai syarat konsultasi sebelum perizinan. 5. Mengembangkan, menguji coba dan menerapkan sistem pendaftaran perizinan yang transparan dan dapat diakses publik yang memperlihatkan lokasi semua izin perkebunan dan melaporkan status keputusan izin pada setiap tahap proses, mulai dari konsultasi pra-izin sampai pada penerbitan HGU. Idealnya sistem ini juga mencakup status penanaman perkebunan inti (berapa ha ditanami) serta kemajuan dalam mengembangkan perkebunan-perkebunan petani kecil. 4.3 Memperbaharui dan membuat kriteria kelayakan yang sepenuhnya dapat dioperasikan yang konsisten dengan tujuan-tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia guna memastikan bahwa lahan yang tidak sesuai tidak digarap. 1. Mengembangkan kriteria kelayakan lahan bagi pengambangan sawit yang jelas di tingkat nasional yang mencakup pertimbangan sosial, fisik, keanekaragaman hayati dan emisi GRK sebagai panduan bagi keputusan perizinan pemerintah daerah atas lahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian. Keputusan bersama tahun 1999 mengenai penerbitan Izin Lokasi menetapkan bahwa kelayakan lahan merupakan salah satu kriteria persetujuan izin namun tidak mendefinisikan faktor-faktor kelayakan yang harus dipertimbangkan, kriteria evalusi faktor-faktor tersebut, ataupun ambang-ambang batas yang tidak boleh dilampaui. Di dalam kawasan yang digolongkan sebagai zona untuk pertanian, pihak berwenang setempat dibiarkan memutuskan sendiri faktor-faktor apa yang harus dipertimbangkan dan bagaimana mengevaluasinya dalam mengambil keputusan perizinan. Penciptaan suatu sistem penilaian kelayakan lahan akan menstandarkan keputusan dan mecegah terjadinya kasus dengan hasil terburuk, di mana izin diterbitkan di kawasan yang, meskipun termasuk zona untuk pertanian, berisiko membawa dampak yang parah. 2. Meningkatkan kualitas, kredibilitas, dan pengaruh proses penilaian dampak ingkungan hidup dengan cara: (i) melakukan penilaian sebelum penerbitan Izin Lokasi bukan setelahnya seperti yang terjadi saat ini; (ii) menetapkan ambang-ambang batas yang jelas untuk dampak-dampak yang berat yang tidak bisa diterima, termasuk tingkat emisi GRK, dikaitkan dengan kriteria kelayakan yang disebutkan di atas yang akan menghalangi disetujuinya AMDAL; (iii) memperbanyak barisan konsultan yang berpengalaman dan terakreditasi yang melakukan penilaian-penilaian ini; (iv) memasukkan anggotaanggota yang memiliki kualifikasi teknis, terakreditasi dan independen dalam komisi AMDAL daerah yang mengevaluasi dan menyetujui laporan AMDAL; (v) meningkatkan transparansi dan partisipasi daerah; serta (vi) memperbaiki pengawasan dan audit laporan AMDAL serta keputusan-keputusan pemerintah daerah sesudah AMDAL oleh pemerintah pusat. 3. Mengkaji ulang peraturan Menteri Pertanian tahun 2009 mengenai pengembangan perkebunan di lahan gambut dan mempertimbangkan revisi kriteria kelayakan tanam, urutan evaluasi gambut dalam proses perizinan, dan pengelolaan perkebunan di lahan gambut yang ada sekarang ini. Permentan No. 14/2009 yang mengatur pengembangan perkebunan di lahan gambut menyebutkan ketentuan-ketentuan yang mengurangi tekanan konversi pada lahan gambut dengan

41 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan 41 REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA kedalaman >3m namun masih menghasilkan emisi GRK yang signifikan dari konversi gambut dangkal (<3m) dan dampak di luar lokasi yang berdampingan dengan gambut dalam. Peraturan ini mensyaratkan bahwa perusahaan menghindari menanam di kawasan di mana >30% wilayahnya terdiri dari gambut >3m. Peraturan ini diberlakukan setelah Izin Lokasi keluar dan tidak merupakan bagian dari proses penyaringan sebelum penerbitan izin. Pemegang izin diharapkan untuk melakukan survey dan menetapkan batas-batas serta hanya menanami wilayah-wilayah yang memenuhi persyaratan sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Penerapan Permentan No. 14 setelah penerbitan Izin Lokasi sering terlambat karena perusahaan secara wajar mendapatkan tekanan untuk segera menanam, yang pada akhirnya menciptakan insentif untuk kurang melaporkan wilayah-wilayah yang tidak patuh dan membuat pemerintah daerah lebih longgar dalam evaluasinya. Keadaan ini diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum akibat kapasitas kelembagaan yang terbatas di banyak daerah. Kementerian Pertanian sementara ini memperbolehkan perusahaan untuk memetakan ketebalan gambut sendiri dan memberi wewenang kepada Dinas Perkebunan setempat untuk melakukan verifikasi atas data perusahaan melalui prosedur-prosedur yang ditetapkan dinas setempat. Idealnya, pemetaan lahan gambut yang terperinci harus dilakukan sebagai bagian dari penyaringan perizinan dan sebelum Izin Lokasi keluar. 4. Mengembangkan kriteria untuk menyaring kelayakan biofisik lahan dalam Kawasan Hutan yang dialokasikan untuk konversi sebagai syarat awal persetujuan pelepasan dari Kementerian Kehutanan. Wilayah-wilayah hutan produksi di Kawasan Hutan yang dialokasikan untuk dikonversi (HPK) dapat dilepaskan untuk pemanfaatan pertanian atas pertimbangan Kementerian Kehutanan. Kelayakan biofisik lahan tidak merupakan bagian saringan proses pelepasan; persetujuan nampaknya otomatis diberikan begitu syarat-syarat administratif dipenuhi. Memasukkan emisi-emisi GRK, dampak-dampak jasa lingkungan, kepemilikan tanah dan/atau kriteria sosial lainnya dapat membuat pelepasan HPK alat pengambilan keputusan penggunaan lahan yang efektif untuk mendukung tujuan-tujuan Pertumbuhan Ekonomi Hijau. Hutan penyangga tepi sungai yang masih ada di sebuah perkebunan sawit di Kalimantan. Foto oleh Craig Furmage.

42 42 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA 4.4 Meningkatkan ketersediaan lahan yang sesuai dan berdampak rendah untuk pengembangan sawit. 1. Menyederhanakan dan mempercepat mekanisme-mekanisme yang membuat wilayah gundul dan berkarbon rendah dalam Kawasan Hutan dapat dijadikan lahan pertanian. Daerah-daerah yang menurut hukum Indonesia termasuk Kawasan Hutan mencakup lahan-lahan gundul yang luas yang tidak boleh dijadikan lahan pertanian, sementara banyak wilayah berhutan yang luas di luar Kawasan Hutan yang menurut peraturan boleh dikonversi untuk pertanian. Mekanisme hukum untuk menggolongkan ulang lahan rendah karbon dalam Kawasan Hutan supaya bisa tersedia untuk dijadikan kebun sawit ada di Kementerian Kehutanan. Dalam praktiknya, prosesnya klasifikasi ulang ini sangat rumit, memakan waktu dan dihambat oleh proses-proses revisi rencana tata ruang yang berkepanjangan di banyak provinsi di Indonesia. Akibatnya, wilayah-wilayah padat karbon di luar kawasan Hutan sering dibuka untuk dikembangkan tanpa mempedulikan dampak lingkungan dan dampak-dampak lain. Karena itu, perbaikan proses klasifikasi ulang untuk memfasilitasi tukar lahan atau program lain untuk menjamin hutan-hutan kaya karbon di luar Kawasan Hutan dikelola sebagai hutan dan lahan gundul dalam Kawasan Hutan disediakan untuk sawit di mana layak dan didukung masyarakat setempat sangat mendesak. 2. Mengeksplorasi peluang-peluang untuk pabrik yang lebih kecil yang membutuhkan basis pasokan perkebunan yang lebih kecil. Salah satu tantangan utama pemanfaatan lahan rendah karbon yang layak di Indonesia adalah kenyataan bahwa ukuran pabrik dewasa ini membutuhkan setidaknya 3000 hektar perkebunan produktif untuk menghasilkan cukup banyak tandan buah segar untuk menjalankan pabrik dengan optimal. Ketika lahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian sudah gundul, cukup sulit menemukan 3000 ha lahan layak dalam radius pasokan yang memungkinkan, mengingat mosaik penggunaan lahan yang ada di daerah semacam itu. Di Thailand dan negeri produsen sawit lainnya, pabrik yang lebih kecil biasa digunakan, dan ini mungkin merupakan suatu opsi yang perlu diteliti untuk beberapa daerah di Indonesia. Diperlukan analisis lebih jauh untuk memahami tantangan legal dan praktis dari pendekatan ini, khususnya yang berhubungan pada skala ekonomi yang dibutuhkan yang sudah ada saat ini. Opsi ini bisa menjadi suatu pilihan yang dapat didukung pemerintah melalui insentif fiskal dan finansial. Lahan pertanian berpindah di Kalimantan. Foto oleh Gary Paoli.

43 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan 43 REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA 4.5 Mendorong investasi untuk meningkatkan hasil lahan dan memberikan ganjaran atas kinerja yang baik guna mengoptimalkan produksi pada perkebunan yang sudah ada maupun di masa datang. 1. Mendorong peningkatan hasil CPO di seluruh industri dengan mendorong pelaku-pelaku berikut ini untuk menjalankan sebagian atau semua keputusan berikut: Pemerintah Pusat mewajibkan perkebunan harus memenuhi tingkat hasil panen tertentu dan/atau mendokumentasikan penggunaan praktik pengelolaan terbaik (BMP) untuk meningkatkan hasil panen (misalnya melalui ISPO) dan menciptakan insentif-insentif fiskal untuk mendukung hal ini; asosiasi-asosiasi produsen minyak sawit mengadopsi dan mendukung standar mengenai BMP dan hasil panen di seluruh industri sawit serta memberikan arahan, dukungan dan insentif bagi anggota-anggotanya untuk memenuhi standar-standar ini; Perusahaan dan Petani kecil sawit berkomitmen untuk meningkatkan hasil panen dan mengarusutamakan adopsi BMP dalam standar operasi perusahaan dan program-program pendukung petani kecil; dan LSM menunjukkan logika ekonomi dan lingkungan hidup dalam peningkatan hasil panen dan menyediakan dukungan teknis untuk petani kecil dan, di mana layak, perusahaan kecil untuk mengadopsi BMP. 4.6 Mengembangkan alat-alat hukum dan membangun kapasitas implementasi guna memperkuat pengelolaan kawasan bernilai konservasi tinggi di lahan-lahan yang termasuk dalam zona untuk pertanian. 1. Memperkuat hak hukum perusahaan perkebunan untuk mempertahankan dan mengelola kawasan-kawasan konservasi yang tidak ditanami di dalam wilayah HGU perkebunan. Dengan dukungan Badan Pertanahan Nasional dan DPR, Kementerian Pertanian hendaknya mempertimbangkan untuk memodifikasi persyaratan-persyaratan pengembangan perkebunan sawit untuk mengakomodasikan komitmen-komitmen sukarela oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan konservasi di dalam perkebunan mereka dengan cara mempertahankan kawasan-kawasan konservasi dan secara aktif mengelolanya guna menjamin tersedianya layanan-layanan ekosistem, konservasi keanekaragaman hayati dan manfaat pada kesejahteraan nafkah penduduk setempat. 2. Menciptakan mekanisme-mekanisme hukum untuk perlindungan jangka panjang hutan-hutan yang dikhususkan untuk konservasi dalam kawasan-kawasan yang termasuk zona pertanian dalam rencana tata ruang namun belum dibebani izin. Ketika lahan di wilayah yang termasuk zona untuk pertanian diidentifikasi sebagai prioritas konservasi (misalnya karena masalah sosial atau lingkungan hidup yang tercatat di dalam proses AMDAL), maka lahan tersebut sering tidak dimasukkan dalam

44 44 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA HGU perkebunan, namun jarang dimasukkan dalam pengelolaan alternatif atau diklasifikasi ulang untuk perlindungannya. Alat-alat hukum untuk perlindungan jangka panjang wilayah-wilayah seperti itu tidaklah mantap namun sangat diperlukan untuk menjamin bahwa tidak ada izin yang keluar di lahan yang telah dikecualikan tersebut di masa depan. 3. Mendukung upaya-upaya sektor swasta untuk membuat sasaran-sasaran yang eksplisit dan progresif untuk pengelolaan kawasan-kawasan konservasi di dalam perkebunan sawit. Ketika perusahaan mempertahankan kewenangan pengelolaan atas wilayah yang dikhususkan untuk konservasi di dalam perkebunan mereka, maka perusahaan mematok tujuan-tujuan konservasi pada satu dari tiga tingkat berikut: (i) wilayah itu diperlakukan sebagai wilayah terlarang untuk sawit, tetapi hanya dengan memberikan perlindungan terbatas atau tanpa perlindungan; (ii) mengadopsi pendekatan konservasi pro-forma, termasuk memasang tanda rambu dan melakukan patroli serta melaporkan penyerobotan kepada pihak berwenang setempat; dan (iii) mengadopsi pendekatan proaktif dengan komitmen penuh melalui pengelolaan langsung, pengawasan, dan langkah-langkah guna mengurangi penyerobotan, termasuk dengan membina hubungan dengan masyarakat, pihak berwenang dan/atau universitas. Upaya bersama hendaknya dilakukan untuk mendorong dan mendukung perusahaan untuk membuat komitmen konservasi yang ambisius dan mendapatkan ganjaran saat berhasil, melalui insentif-insentif berbasis fiskal, finansial atau pasar. 4. Menciptakan insentif-insentif keuangan bagi perusahaan-perusahaan untuk mempertahankan kawasan-kawasan yang tidak dikembangkan dalam perkebunan. Pemerintah daerah dapat menciptakan insentif-insentif untuk mempertahankan dan memelihara wilayah-wilayah yang tidak dikembangkan dalam perkebunan melalui, misalnya, pengurangan atau penghapusan pajak tanah. Kerugian dalam uang masuk dari pajak dapat diimbangi secara potensial dengan mekanisme-mekanisme keuangan publik dan atau dibayar oelh pihak-pihak luar yang secara aktif mendukung konservasi keanekaragaman hayati dan pengurangan emisi dari lanskap-lanskap produksi (misalnya anggota mata rantai pemasok di hilir, LSM internasional, lembaga lingkungan hidup atau yayasan-yayasan). Pendanaan dari luar untuk mendukung pengelolaan bersama daerah konservasi dengan organisasi non-pemerintah atau masyarakat hendaknya jadi prioritas khusus untuk pendanaan. 5. Membuat perusahaan perkebunan lebih akuntabel atas kontraktor-kontraktor yang disewa untuk membuka lahan dan memperbaiki sistem pengelolaan kontraktor. Kontrol yang lebih baik atas prosedur-prosedur pembukaan lahan akan mengurangi risiko konflik perusahaan-masyarakat dan masyarakat-masyarakat, dan membentuk hubungan keseluruhan yang lebih baik antara para pelaku setempat di tingkat perkebunan. Perlu ada perhatian yang lebih saat berkomunikasi dengan kontraktor mengenai di mana mereka boleh dan tidak boleh membuka lahan; memberi tanda batas yang jelas di lapangan; serta memberlakukan hukuman untuk pihak-pihak yang masuk ke wilayah terlarang. Langkah lain yang mungkin diambil adalah mensyaratkan kontraktor untuk memasang perjanjian kinerja dengan pemerintah dan menggunakan alat GPS tangan untuk mengkonfirmasikan posisi mereka pada peta, termasuk kawasan terlarang. Sistem sertifikasi kontraktor berpotensi membantu hal ini. 6. Guna mengurangi tekanan penyerobotan lahan dari masyarakat setempat di wilayah-wilayah konservasi, perusahaan hendaknya mempertimbangkan untuk memberlakukan batas-batas sukarela mengenai seberapa luas lahan masyarakat yang mereka siap kembangkan sebagai perkebunan sawit. Masyarakat kadang menyepakati untuk memberi hampir 100% lahan mereka kepada pengembangan sawit guna memaksimalkan dana masuk dari pengalihan lahan dan pemasukan minyak sawit di masa depan. Ini dapat menimbulkan persoalan konservasi di dalam perkebunan, serta juga menjadi masalah pada nafkah-nafkah orang setempat, ketika masyarakat berusaha memperluas pertanian

45 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan 45 REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA rumahtangga mereka ke wilayah-wilayah di dalam perkebunan yang dialokasikan untuk konservasi. Meskipun bertentangan dengan tujuan perusahaan untuk memaksimalkan kawasan budidaya di atas lahan yang sesuai, pembatasan sukarela persentase lahan yang diterima perusahaan untuk budidaya dapat menjamin bahwa masyarakat mempertahankan cukup lahan untuk pertanian dan dengan demikian mengurangi tekanan penyerobotan. 4.7 Memastikan bahwa masyarakat memiliki informasi yang memadai dan mampu berpartisipasi secara efektif dalam negosiasi dengan perusahaan sawit sejak tahap pengembangan yang paling awal, termasuk konsultasikonsultasi sebelum penerbitan izin. 1. Membuat pemerintah daerah bertanggung jawab atas kewajiban menyediakan informasi yang akurat dan mudah dipahami bagi masyarakat setempat di daerah-daerah yang sedang dipertimbangkan untuk pengembangan sawit. Pemerintah daerah memiliki kewenangan cukup untuk mewajibkan bagaimana sosialisasi di laksanakan perusahaan saat melakukan negosiasi pembebasan lahan. Beberapa perusahaan telah menetapkan tim-tim di tingkat kebupaten, kecamatan dan desa untuk membantu sosialisasi perusahaan. Perusahaan secara hukum dibebani tanggungjawab melakukan sosialisasi namun menghadapi tujuan yang saling bertolak belakang, yakni harus menyebarkan informasi yang akurat dan obyektif mengenai rencana-rencana perkebunan sekaligus juga meyakinkan sebanyak mungkin pemilik lahan untuk membuat lahan mereka tersedia untuk perkebunan. Apapun motivasinya sangatlah menantang untuk sebuah perusahaan mengomunkiasikan perubahan-perubahan sosial dan nafkah yang positif maupun negatif yang akan berlaku menyusul pengembangan perkebunan, terlebih di pedesaan pelosok perbatasan. Faktor-faktor yang biasanya menghalangi komunikasi efektif umumnya mencakup: kebutahurufan dan bahasa pengubung yang terbatas; kesulitan mengelola suatu proses sosialisasi yang terbuka dan inklusif; keterbatasan kecakapan dalam komunikasi lintas budaya; perpecahan falsafah yang dalam dan lebar di dalam masyarakat itu sendiri; tekanan waktu; dan penggunaan sub-kontraktor untuk berhubungan dengan masyarakat. 2. Mengembangkan panduan untuk menetapkan suatu pendekatan yang lebih terstruktur bagi pemerintah daerah untuk mendukung sosialisasi perusahaan dan kemudian negosiasi di masa depan, mendefinisikan peran-peran tim-tim pemerintah dan menetapkan indikator-indikator yang terukur dan dapat diverifikasi mengenai apa yang hendaknya dicapai setiap pihak dalam proses ini. 3. Mengembangkan serangkaian panduan standar untuk berhubungan dengan masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi setempat dan ditujukan untuk menjamin agar perusahaan dan komunitas membahas serangkaian masalah yang pasti dengan cukup terperinci guna menjelaskan biaya dan manfaat sawit serta detail persetujuan-persetujuan kemitraan, khususnya soal pembayaran kembali hutang. Penilaian independen atas proses ini oleh pejabat-pejabat pemerintah pusat dapat dilakukan bersamasama dengan LSM. Penerapan sistem ini membutuhkan pelatihan intensif dan dukungan dana yang signifikan yang dapat didanai oleh swasta (terlebih para pelaku mata rantai pasokan), publik, donor, LSM, dan semua yang menunjukkan ketertarikan akan hasil-hasil petani kecil.

46 46 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA 4. Meninjau dan mengklarifikasi syarat minimum pembagian lahan antara Perusahaan dan Masyarakat sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian tahun 2007 mengenai syarat-syarat izin. Ada keperluan untuk menuntaskan peninjauan kembali atas ketentuan-ketentuan Peraturan Menteri Pertanian No. 26/2007 (lihat Lampiran 1), karena peraturan tersebut telah menimbulkan tantangan-tantangan untuk perusahaan dan masyarakat dalam menafsirkan dan menerapkan persetujuanpersetujuan pembagian lahan. Peninjauan kembali semacam itu hendaknya didasari informasi analisis sosial-politik dari hasil-hasil (outcome) yang muncul dewasa ini yang terkait dengan peraturan tersebut dan ketentuan pembagian lahan di dalamnya, dengan tujuan memahami keadaan-keadaan di mana peraturan itu telah menguntungkan perusahaan atas hasil-hasil untuk masyarakat, dan bagaimana caranya hasil-hasil yang lebih kuat dan saling menguntungkan dapat didukung melalui ketentuan-ketentuan yang direvisi Melalui program-program uji coba, mengembangkan mekanisme bagi pemerintah kabupaten untuk memberikan dukungan negosiasi bagi setiap pihak selama penyusunan kesepakatankesepakatan pembagian manfaat, khususnya perjanjian kerja sama dengan petani kecil. Pelakupelaku Pemerintah Pusat hendaknya memberikan arahan dan referensi kepada ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang ada guna mengembangkan proses-proses hubungan dengan multi-pihak yang dapat diterima yang mampu meningkatkan kualitas negosiasi antara perusahaan dengan masyarakat. Contohnya antara lain, Kode Praktik Baik untuk menentukan proses-proses Standar-Standar Sosial dan Lingkungan Hidup, serta Panduan-Panduan Bank Dunia untuk Partisipasi dan Hubungan Masyarakat. Semua pihak yang terlibat, khususnya pihak berwenang setempat, hendaknya siap menerima bahwa proses seperti ini kemungkinan akan memperlambat laju akuisisi lahan dan pengembangannya, namun sebagai gantinya akan berkontribusi pada hubungan antara perusahaan dan masyarakat yang lebih kokoh dan stabil. Perlambatan pengembangan perkebunan perlu diakomodasikan dalam batas tenggat waktu untuk pengembangan, yang merupakan bagian persyaratan perizinan saat ini. 6. Mengembangkan perjanjian yang jelas dan mengikat antara perusahaan dengan masyarakat mengenai di mana dan kapan lahan-lahan petani kecil akan dikembangkan. Pengembangan sebuah perkebunan memakan waktu bertahun-tahun, dan ini membuat pemilihan waktu bagi petani kecil menjadi suatu penentu signifikan pada hasil-hasil pembangunan masyarakat. Undang-undang Indonesia mensyaratkan perusahaan dan perkebunan petani kecil dikembangkan bersama-sama. Persyaratan ini hendaknya dilengkapi dengan pengawasan yang lebih efektif oleh pemerintah daerah guna menegakkan ketentuan tersebut dengan pengecualian hanya dibolehkan di mana ada persetujuan jelas antara pekebun dan perusahaan. 7. Mengembangkan dan mensyaratkan digunakannya model perjanjian pembebasan lahan dan perjanjian kemitraan dengan petani kecil, Model-model persetujuan pembebasan lahan yang disederhanakan dan dibuat berdasarkan blat atau klise contoh akan lebih mudah dipahami pihak-pihak terkait dan mendukung harmonisasi persetujuan-persetujuan perkebunan dalam kabupaten yang sama. Model persetujuan kemitraan paling tidak perlu memasukkan klausul-klausul yang membahas: jenis bibit yang disediakan untuk petani kecil; jenis dan jumlah bantuan teknis yang diberikan kepada petani kecil dan berapa biayanya; kewajiban-kewajiban pelunasan hutang; serta tanggung jawab pemeliharaan jalan dan pembiayaannya. Beberapa topik ini sulit diprediksi, jadi perlu ada fleksibilitas dalam persetujuan yang dibuat, namun hak-hak dan kewajiban hendaknya dipaparkan dengan jelas. 7 Peraturan ini sedang direvisi oleh Kementerian Pertanian dan revisinya diperkirakan akan selesai di tahun 2013.

47 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan 47 REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA 8. Memperjelas dan memperkuat pengawasan kewajiban-kewajiban perusahaan perkebunan untuk mendukung hasil petani kecil dan menciptakan insentif-insentif yang mendukung kepatuhan pada aturan-aturan yang ada. Penguatan komitmen perusahaan kepada hasil panen petani kecil mestinya meningkatkan produktivitas petani kecil dan pemasukan mereka. Motivasi perusahaan dan perkebunan untuk meningkatkan hasil panen petani kecil tidak seragam di seluruh Indonesia, jadi perlu diambil suatu pendekatan yang fleksibel. Upaya-upaya semacam ini hendaknya dibantu oleh dukungan yang jauh lebih intensif dan berkomitmen dari sektor swasta, khususnya yang beroperasi dalam mata rantai pasokan minyak sawit internasional (pembeli) dan pengguna akhir minyak sawit dan turunanturunannya. Program produktivitas petani kecil dapat melakukan kajian ulang di tingkat nasional mengenai derajat dan dampak benih-benih palsu dan berkualitas buruk serta menciptakan suatu pendekatan di tingkat kabupaten untuk secara bertahap mengganti pohon-pohon yang hasilnya buruk dengan menanam ulang varietas terdaftar dengan hasil panen yang lebih baik. Upaya ini akan membutuhkan kepemimpinan dari Kementerian Pertanian dan kerja sama banyak pihak, termasuk pemerintah kabupaten. Anak-anak di desa dekat perkebunan sawit di Kalimantan. Foto oleh Philip Wells.

48 48 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA 4.8 Mengembangkan langkah-langkah untuk memastikan tingkat manfaat bagi masyarakat selama penerapan perjanjian kemitraan dengan petani kecil sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah dinegosiasikan. 1. Mendukung pelatihan petani kecil yang efektif oleh pemerintah kabupaten, pelatihan petugas penyuluhan lapangan, dan perusahaan perkebunan, yang didukung pendanaannya oleh pengguna dan pembeli produk-produk sawit. Memberikan penghargaan yang bersifat nasional dan bereputasi baik kepada perusahaan perkebunan yang membuktikan peningkatan hasil panen petani kecil dan melakukan perbaikan-perbaikan nafkah yang terukur. 2. Penciptaan lapangan kerja atau bentuk dukungan pendapatan masyarakat lainnya selama masa sawit tumbuh dewasa hendaknya disepakati antara perusahaan dengan masyarakat selama sosialisasi untuk pembebasan lahan. Pemberian lapangan kerja langsung di perusahaan yang bersangkutan dapat menjadi manfaat penting bagi masyarakat setempat dengan mengasumsikan ada cukup banyak lapangan kerja dengan bayaran memadai, masa pekerjaan jelas dan bahwa peluang tersebut dibuka untuk mereka yang membutuhkan. 3. Mempertimbangkan pengembangan dan penggunaan suatu sistem penentuan harga tandan buah segar (fresh fruit bunch) yang lebih fleksibel dan transparan yang juga lebih mudah dipahami petani kecil dan yang menciptakan peluang untuk bayaran berbasis prestasi yang memberi ganjaran untuk buah berkualitas baik. Cara penentuan harga untuk Tandan Buah Segar (FFB) petani kecil saat ini didesain untuk memberikan perlindungan untuk petani kecil, namun sifatnya kompleks dan dapat menciptakan disinsentif untuk petani kecil meningkatkan kualitas FFB. Peraturanperaturan yang relevan untuk penentuan harga FFB bagi petani kecil perlu ditinjau kembali dan perlu dibentuk suatu tim yang berpengalaman, terdiri dari staff perkebunan, petani kecil, pembuat kebijakan, ahli ekonomi dan LSM untuk melihat bagaimana cara memperbaiki sistem penentuan harga yang berlaku saat ini dengan menyeimbangkan kebutuhan akan transparansi dan keseragaman dengan keadilan dan fleksibilitas. 4.9 Mengembangkan langkah-langkah kebijakan dan alat-alat fiskal yang inovatif dan memberikan ganjaran untuk investasi dalam teknologi Zero Waste untuk memaksimalkan dampakdampak positif keseluruhan operasi pabrik. 1. Meningkatkan kesadaran dan ketertarikan industri pada teknologi-teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah terkini untuk mendorong diadopsinya praktik-praktik Tanpa Limbah (Zero Waste). Hal ini dapat dicapai jika pelaku-pelaku berikut melakukan sebagian atau semua keputusan berikut: Pemerintah Pusat mewajibkan perusahaan perkebunan membuat komitmen terikat waktu untuk melakukan pengelolaan Tanpa Limbah melalui misalnya, penggunaan pengolahan bersama UFB dan POME, penggunaan bio-digester dan atau penangkapan metana; Asosiasi-asosiasi di Industri Minyak

49 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan 49 REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA Sawit mendukung standar-standar praktik Tanpa Limbah di seluruh industri sawit dan memberikan arahan, dukungan dan insentif kepada para anggotanya; Perkebunan Sawit berkomitmen untuk menggunakan pengomposan bersama dan fasilitas produksi biogas dan memasukkan investasi ini kedalam perencanaan usahanya; dan LSM menunjukkan penghematan biaya dan manfaat lingkungan hidup teknologi Tanpa Limbah dan melakukan lobi agar hal ini masuk dalam persyaratan dari pemerintah serta ada insentif-insentif positif untuk mendukung hal ini. 2. Menciptakan insentif fiskal dan finansial guna mempromosikan (a) penangkapan metana, (b) peningkatan penggunaan teknik-teknik Aplikasi Lahan untuk POME di mana sesuai, dan (c) teknologi-teknologi pembuatan kompos guna memanfaatkan produk sampingan berupa sampah padat secara produktif, menghasilkan listrik dan mengurangi penggunaan pupuk kimia. Limbah cair dan padat yang merupakan produk sampingan pengolahan minyak sawit sangat berpotensi untuk dimanfaatkan secara produktif untuk pembuatan biogas, pupuk serta serangkaian produk bermanfaat lainnya. Sumber daya-sumber daya ini sangat kurang dimanfaatkan saat ini bahkan beberapa perusahaan memandangnya sebagai beban sampah untuk dibuang. Anggota-anggota sektor investasi dapat memimpin suatu tim lintas sektor yang terdiri dari Pemerintah, lembaga-lembaga pembangunan, GAPKI dan organisasi swasta lainnya untuk mengembangkan mekanisme-mekanisme pendanaan untuk mendukung diterimanya praktik-praktik dan teknologi-teknologi Tanpa Limbah di seluruh industri sawit. Ini mensyaratkan dibangunnya hubungan antara donor, modal swasta dan perusahaanperusahaan minyak sawit untuk menjadi katalis adopsi proses-proses dan teknologi-teknologi baru dengan cepat. Kemajuan di bidang ini akan secara langsung mendukung kepatuhan kepada ISPO yang mendorong investasi di praktik-praktik dan teknologi-teknologi ini. Para pemimpin industri akan mendapatkan manfaat reputasi, keuangan serta sertifikasi. Fasilitas penangkapan methan untuk bio-energy di Thailand, milik Univanich Limited.

50 50 Sawit di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan REKOMENDASI - REKOMENDASI UTAMA 4.10 Meningkatkan kemungkinan bahwa lahan dialokasikan kepada perusahaan yang bertanggung jawab. 1. Mengaitkan akses lahan untuk pengembangan sawit tambahan dengan kinerja perusahaan yang baik sebelumnya. Jika suatu kelompok perkebunan berusaha mendapatkan banyak izin perkebunan, persetujuannya dapat dibuat dengan syarat bahwa perusahaan tersebut sebelumnya membuktikan kompetensinya dengan menunjukkan pengembangan sawit di tempat lain yang sukses dan terdokumentasi. Ada preseden untuk peraturan semacam ini di Indonesia. Contohnya, Permenhut No. 33/2010 mensyaratkan adanya bukti kepatuhan prosedural dengan peraturan-peraturan HGU dan pengembangan perkebunan sebelum suatu perusahaan induk diberi izin kedua dan seterusnya untuk permohonan pembebasan HPK (Hutan Konversi) dari Kawasan Hutan (Namun perlu dicatat bahwa klausul ini dihapus dalam Permenhut No. 17/2011 yang menggantikan No. 33/2010). Selain itu, menurut UU 18/2004, Bupati memiliki wewenang untuk menyetujui atau menolak permintaan perusahaan untuk memperluas izin yang sudah ada berdasarkan verifikasi kinerja di lapangan. Satu mekanisme yang berpotensi untuk mengaitkan persyaratan persetujuan dengan kinerja perusahaan secara formal adalah dengan sertifikasi ISPO di perkebunan yang ada. 2. Menjajaki mekanisme untuk menghapus keterlibatan calo-calo izin, perusahaan atau individu yang mengkhususkan pekerjaannya untuk memperoleh izin, membuka lahan dan kemudian menjual izinnya ke pihak lain. Pengalaman selama beberapa dasawarsa terakhir menunjukkan bahwa calo izin dapat menciptakan banyak persoalan sosial dan lingkungan bagi pembeli izin yang berikutnya sebagai akibat dari cara pembebasan lahan dari masyarakat dan wilayah-wilayah yang dibuka oleh pemegang izin sebelumnya. Salah satu opsi adalah untuk mensyaratkan dikaitkannya kinerja guna memaksimalkan kemungkinan bahwa pengembang-pengembang yang lebih baik yang terlibat dalam pengembangan minyak sawit. Cara lain adalah dengan membuat batasan-batasan pada perdagangan izin yang tidak diatur untuk mencegah pengembang membuat janji-janji palsu dan membohongi masyarakat setempat atau membuat keputusan jangka pendek mengenai pengembangan yang terlalu menekankan sasaran pengembangan jangka pendek dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat setempat. Pengolahan POME konvensional pada kolam pengendapan udara terbuka memerlukan biaya tinggi untuk pengelolaannya dan dapat menimbulkan emisi GHG yang signifikan. Foto oleh R. Harjanthi.

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA SOLUSI Masa depan perdagangan internasional Indonesia tidak harus bergantung pada deforestasi. Sinar Mas Group adalah pemain terbesar dalam sektor-sektor pulp dan kelapa sawit, dan dapat memotori pembangunan

Lebih terperinci

PENDEKATAN SERTIFIKASI YURISDIKSI UNTUK MENDORONG PRODUKSI MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN

PENDEKATAN SERTIFIKASI YURISDIKSI UNTUK MENDORONG PRODUKSI MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN PENDEKATAN SERTIFIKASI YURISDIKSI UNTUK MENDORONG PRODUKSI MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN Di sela-sela pertemuan tahunan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang ke-13 di Kuala Lumpur baru-baru ini,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditi pertanian yang sangat penting bagi Indonesia. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi kemajuan pembangunan

Lebih terperinci

PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI

PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI OLEH DIREKTUR TANAMAN TAHUNAN HOTEL SANTIKA, JAKARTA 29 JULI 2011 1 KRONOLOGIS FAKTA HISTORIS Sejak 1960-an dikalangan masyarakat internasional mulai berkembang

Lebih terperinci

Focus Group Discussion Pertama: Penyusunan Kajian Kritis Penguatan Instrumen ISPO

Focus Group Discussion Pertama: Penyusunan Kajian Kritis Penguatan Instrumen ISPO Focus Group Discussion Pertama: Penyusunan Kajian Kritis Penguatan Instrumen ISPO LATAR BELAKANG Sebaran Areal Tanaman Kelapa Sawit di Indonesia Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 2014 Ekstensifikasi

Lebih terperinci

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Peta Jalan Lahan Gambut APRIL-IPEWG Versi 3.2, Juni 2017 Kelompok Ahli Gambut Independen (Independent Peatland Expert Working Group/IPEWG) dibentuk untuk membantu

Lebih terperinci

Inisiatif Accountability Framework

Inisiatif Accountability Framework Inisiatif Accountability Framework Menyampaikan komitmen rantai pasokan yang etis Pengantar untuk periode konsultasi publik 10 Oktober 11 Desember, 2017 Selamat Datang! Terimakasih untuk perhatian anda

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai Para Peserta) Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini dibuat oleh Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) dan tidak bisa dianggap sebagai terjemahan resmi. CIFOR tidak bertanggung jawab jika ada kesalahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial

Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial 2 Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN I. Pendahuluan Rancangan Undang-Undang tentang Perkelapasawitan diajukan oleh Anggota lintas

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Laporan ini berisi Kata Pengantar dan Ringkasan Eksekutif. Terjemahan lengkap laporan dalam Bahasa Indonesia akan diterbitkan pada waktunya. LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Pendefinisian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK

PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK The New Climate Economy Report RINGKASAN EKSEKUTIF Komisi Global untuk Ekonomi dan Iklim didirikan untuk menguji kemungkinan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang

Lebih terperinci

DEKLARASI BERSAMA TENTANG KEMITRAAN STRATEGIS ANTARA PERANCIS DAN INDONESIA

DEKLARASI BERSAMA TENTANG KEMITRAAN STRATEGIS ANTARA PERANCIS DAN INDONESIA DEKLARASI BERSAMA TENTANG KEMITRAAN STRATEGIS ANTARA PERANCIS DAN INDONESIA Jakarta, 1 Juli 2011 - 1 - Untuk menandai 60 tahun hubungan diplomatik dan melanjutkan persahabatan antara kedua negara, Presiden

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Produksi minyak sawit berkelanjutanmelestarikan. masa depan hutan

Produksi minyak sawit berkelanjutanmelestarikan. masa depan hutan Produksi minyak sawit berkelanjutanmelestarikan masa depan hutan Menabur benih untuk masa depan yang lebih baik SNV menyadari besarnya dampak ekonomi dan lingkungan dari pembangunan sektor kelapa sawit

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

Forestry Options Launching, Feb 2007, p. 1

Forestry Options Launching, Feb 2007, p. 1 Leading the British government s fight against world poverty Forestry Options Launching, Feb 2007, p. 1 Mengapa Hutan penting bagi Pembangunan Indonesia (Enam alasan utama) 1. Hutan merupakan sumber mata

Lebih terperinci

Deklarasi New York tentang Kehutanan Suatu Kerangka Kerja Penilaian dan Laporan Awal

Deklarasi New York tentang Kehutanan Suatu Kerangka Kerja Penilaian dan Laporan Awal Kemajuan Deklarasi New York tentang Kehutanan Suatu Kerangka Kerja Penilaian dan Laporan Awal Ringkasan Eksekutif November 2015 www.forestdeclaration.org An electronic copy of the full report is available

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : PRESIDEN RUPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya energi

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional UNFCCC dan juga telah menyepakati mekanisme REDD+ yang dihasilkan oleh rezim tersebut dituntut

Lebih terperinci

Respon Pemantauan IFC ke. Audit CAO mengenai investasi IFC di

Respon Pemantauan IFC ke. Audit CAO mengenai investasi IFC di AUDIT PEMANTAUAN DAN LAPORAN PENUTUPAN CAO Audit IFC Kepatuhan CAO C-I-R6-Y08-F096 27 Maret 2013 Respon Pemantauan IFC ke Audit CAO mengenai investasi IFC di Wilmar Trading (IFC No. 20348) Delta Wilmar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan

Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan Untuk diterbitkan segera Siaran Pers Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan Jakarta, Singapura, 9 Februari 2011 Golden Agri Resources Limited (GAR) dan anakanak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Ringkasan Eksekutif Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia, dan sebagian

Lebih terperinci

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan INDONESIA VISI 2050 Latar belakang Anggota Dewan Bisnis Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan (IBCSD) dan Indonesia Kamar Dagang dan Industri (KADIN Indonesia) mengorganisir Indonesia Visi 2050 proyek

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah

Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah April 2015 Supported by: Dalam Konteks Indonesia dan Kalimantan Tengah Indonesia memiliki 10% dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia melalui peningkatan nilai tambah, ekspor, pengurangan kemiskinan, dan penciptaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK (Laporan Penelitian Individu 2016) Oleh Hariyadi BIDANG EKONOMI DAN

Lebih terperinci

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) Menimbang berbagai faktor utama yang menghambat pengelolaan hutan lindung secara efektif, maka pengelolaan hutan

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktek-Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBANGUN DASAR KERANGKA PENGAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Apa» Kemitraan dengan Ratah

Lebih terperinci

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia Juli 2014 Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi risiko perubahan iklim tercermin melalui serangkaian

Lebih terperinci

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA RINGKASAN Apa Pengembangan kawasan konservasi masyarakat dan pengelolaan hutan berbasis

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan

KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan INDUSTRI PERKEBUNAN SAWIT merambah Sulawesi sejak tahun 1980 an dan ekspansinya tetap

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan ruang wilayah nasional

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya Menyelesaikan Desentralisasi Pesan Pokok Pemerintah daerah (Pemda) di Indonesia kurang memiliki pengalaman teknis untuk meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 20 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 20 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 20 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan untuk mencapai

Lebih terperinci

21 Maret Para Pemangku Kepentingan yang Terhormat,

21 Maret Para Pemangku Kepentingan yang Terhormat, 21 Maret 2013 Para Pemangku Kepentingan yang Terhormat, 5 Februari 2013 mungkin merupakan hari paling penting dalam sejarah APP. Pada tanggal tersebut kami mengumumkan Kebijakan Konservasi Hutan, dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 telah

Lebih terperinci

KEPEMIMPINAN IKLIM GLOBAL PERJANJIAN KERJA SAMA (PKS)

KEPEMIMPINAN IKLIM GLOBAL PERJANJIAN KERJA SAMA (PKS) KEPEMIMPINAN IKLIM GLOBAL PERJANJIAN KERJA SAMA (PKS) I. Pernyataan Tujuan A. Perubahan iklim menimbulkan tantangan dan resiko global terhadap lingkungan dan ekonomi, membawa dampak bagi kesehatan manusia,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat. Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Daddy Ruhiyat news Dokumen terkait persoalan Emisi Gas Rumah Kaca di Kalimantan Timur

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktik-Praktik REDD+ yang Menginspirasi MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT MELALUI PENGUKURAN KARBON PARTISIPATIF DI INDONESIA Apa» Pengukuran karbon

Lebih terperinci

1. Visi BKPM Terwujudnya Iklim Penanaman Modal Yang Berdaya Saing Untuk Menunjang Kualitas Perekonomian Nasional.

1. Visi BKPM Terwujudnya Iklim Penanaman Modal Yang Berdaya Saing Untuk Menunjang Kualitas Perekonomian Nasional. RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TAHUN 2009-2014 A. Rencana Strategis BKPM Tahun 2009-2014 Rencana Strategis (Renstra) BKPM yang disusun merupakan fungsi manajemen untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Kajian Nilai Konservasi Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah

Kajian Nilai Konservasi Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah Kajian Nilai Konservasi Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah Ringkasan Eksekutif Bismart Ferry Ibie Nina Yulianti Oktober 2016 Nyahu Rumbang Evaphilo Ibie RINGKASAN EKSEKUTIF Kalimantan Tengah berada di saat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KETIKA IJIN USAHA PERKEBUNAN (IUP) BERSINGGUNGAN KAWASAN HUTAN. Oleh : Sri Sultarini Rahayu. Auditor pada Inspektorat IV Kementerian Kehutanan

KETIKA IJIN USAHA PERKEBUNAN (IUP) BERSINGGUNGAN KAWASAN HUTAN. Oleh : Sri Sultarini Rahayu. Auditor pada Inspektorat IV Kementerian Kehutanan KETIKA IJIN USAHA PERKEBUNAN (IUP) BERSINGGUNGAN KAWASAN HUTAN Oleh : Sri Sultarini Rahayu Auditor pada Inspektorat IV Kementerian Kehutanan Perkebunan merupakan salah satu penghasil devisa yang sangat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG TIM TERPADU DALAM RANGKA PENELITIAN PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

HUTAN HUJAN DAN LAHAN GAMBUT INDONESIA PENTING BAGI IKLIM, SATWA LIAR DAN MASYARAKAT HUTAN

HUTAN HUJAN DAN LAHAN GAMBUT INDONESIA PENTING BAGI IKLIM, SATWA LIAR DAN MASYARAKAT HUTAN RISIKO Jutaan hektar ekosistem hutan hujan Indonesia dan lahan gambut yang kaya karbon tetap terancam penghacuran untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp, walaupun moratorium telah di tandatangani

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perumusan masalah menjelaskan mengenai butir-butir permasalahan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. Perumusan masalah menjelaskan mengenai butir-butir permasalahan yang akan BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini diuraikan perihal mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Latar belakang

Lebih terperinci

Pendahuluan Daniel Murdiyarso

Pendahuluan Daniel Murdiyarso Pendahuluan Daniel Murdiyarso 1 Daftar isi dari presentasi ini: - Apakah toolbox itu? - Apakah IPN? - Apakah SWAMP? - Kenapa lahan gabut tropis penting? - Cakupan Toolbox IPN - Para penulis Toolbox IPN

Lebih terperinci

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PENDAHULUAN Bantuan luar negeri dapat berupa pinjaman maupun hibah luar negeri. Pinjaman luar negeri lebih mendesak dibahas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

INDONESIA YANG LEBIH BERKELANJUTAN BERINVESTASI UNTUK. Brosur Ringkasan ANALISA LINGKUNGAN INDONESIA 2009

INDONESIA YANG LEBIH BERKELANJUTAN BERINVESTASI UNTUK. Brosur Ringkasan ANALISA LINGKUNGAN INDONESIA 2009 sure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Pembangunan Berkelanjutan, Kawasan Asia Timur dan Pasifik ANALISA LINGKUNGAN INDONESIA 2009 Report No. 50762 - ID Brosur Ringkasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Sustainability Policy

Sustainability Policy Sustainability Policy Progress Report 4 Dec 2014-31 Mar 2015 Komitmen Kelestarian Kebijakan Kelestarian Musim Mas Membawa manfaat bagi masyarakat sekitar. Laporan Triwulan terhadap Perkembangan Kebijakan

Lebih terperinci

USAID LESTARI DAMPAK PELARANGAN EKSPOR ROTAN SEMI-JADI TERHADAP RISIKO ALIH FUNGSI LAHAN, LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI

USAID LESTARI DAMPAK PELARANGAN EKSPOR ROTAN SEMI-JADI TERHADAP RISIKO ALIH FUNGSI LAHAN, LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 02 I 27 Mei 2016 USAID LESTARI DAMPAK PELARANGAN EKSPOR ROTAN SEMI-JADI TERHADAP RISIKO ALIH FUNGSI LAHAN, LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI Penulis: Suhardi Suryadi Editor:

Lebih terperinci

Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) terhadap Kebijakan Pengelolaan Hutan Keberlanjutan (SFMP 2.0) APRIL

Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) terhadap Kebijakan Pengelolaan Hutan Keberlanjutan (SFMP 2.0) APRIL Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) terhadap Kebijakan Pengelolaan Hutan Keberlanjutan (SFMP 2.0) APRIL Rapat SAC ke-10 di Pangkalan Kerinci, Riau - Indonesia, 23-25 Mei 2017 ANGGOTA SAC TURUT

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi, BAB VI. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi dan arah kebijakan merupakan rumusan perencanaan komperhensif tentang bagaimana Pemerintah Daerah mencapai tujuan dan sasaran RPJMD dengan efektif dan efisien.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci