TESIS AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TESIS AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI"

Transkripsi

1 TESIS AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

2 TESIS AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI NIM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

3 AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN Tesis ini untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI NIM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

4 LEMBAR PENGESAHAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL DESEMBER 2013 PEMBIMBING I PEMBIMBING II (Prof.Dr.I Made Pasek Diantha,S.H.M.S) NIP (Dr.I.B.Wyasa Putra,S.H,M.H) NIP Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana Prof.Dr.I Made Arya Utama,S.H,M.Hum NIP Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S. (K) NIP iii

5 Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal: 12 Desember 2013 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor: 3330/UN 14.4/HK/2013 Tanggal 10 Desember 2013 Ketua: Prof.Dr.I Made Pasek Diantha,S.H., MS Anggota: 1. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,S.H., MH 2. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,S.H., MH 3. Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., MH 4. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH iv

6 PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertandatangan dibawah ini: Nama : NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI NIM : Program Studi : Magister Kenotariatan Judul Tesis : Akibat Hukum Klausula Pertelaan dalam Keadaan Memaksa (Overmacht) Terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sankasi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, Desember 2013 Yang Menyatakan, Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari NIM v

7 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), yang telah memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah: AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN. Sesuai dengan inovasi dalam perkembangan bisnis property (Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun) yang semakin kompleks membutuhkan suatu inovasi baru yang bisa mengakomodir segala permasalahan yang muncul. Begitu pula dalam hal pengaturan tentang overmacht dan akibat hukumnya, hal ini memberikan pengaruh yang amat sangat besar terhadap para pihak dalam perjanjian rumah susun tersebut, karena alasan inilah penulis tertarik untuk meneliti dan menulis hal tersebut. Penulis menyadari bahwa Tesis ini, masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisannya, hal ini disebabkan karena masih terbatasnya lingkup pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat positif dan membangun untuk penyempurnaan Tesis ini. Besar harapan Penulis semoga Tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan Tesis inipun tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para Pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.Dr.I Made vi

8 Pasek Diantha,S.H,M.S, selaku Pembimbing Utama dan terimakasih saya ucapkan kepada Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H, M.H selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan dorongan,semangat, bimbingan dan saran selama penulis menyelesaikan Tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof.Dr.dr.Ketut Suastika Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana beserta seluruh jajaran dan staf atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga ditujukan kepada Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi,Sp.S.(K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H,M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, S.H., MH, sebagai Penguji I, kemudian Bapak Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., MH, sebagai Penguji II, dan Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH, sebagai Penguji III, yang telah meluangkan waktu untuk penulis dan memberikan saran untuk penyempurnaan tesis initak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan bimbingan dan ilmunya yang sangat berharga kepada para vii

9 mahasiswa termasuk penulis, Bapak dan Ibu seluruh staf karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi, Seluruh Staff Perpustakaan Program Magister Universitas Udayana dan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan pinjaman buku-buku yang Penulis perlukan selama proses perkuliahan dan proses penyusunan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Keluarga Tercinta, Papa (Drs. I Wayan Sudana), Mama (Ni Luh Putu Juliastuti, S.H), serta Adikku Terkasih (Made Hendra Satria Nugraha), karena telah memberikan dukungan yang amat besar, begitu pengertian dengan keadaan Penulis yang selama ini belum dapat dan belum memenuhi kewajiban dengan baik, semoga dengan terselesaikannya Tesis ini membuka peluang bagi Penulis untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi Keluarga Tercinta. Tidak luput juga kekuatan dan dukungan yang amat besar, Penulis rasakan melalui setiap doa (harapan dan keluh kesah) yang Penulis panjatkan kepada Leluhur (Almarhum Kakek dan Nenek), dan sangat terasa doa itu didengarkan sehingga Penulis merasa lebih kuat untuk menyelesaikan Tesis ini dan doa restu dari Leluhur itupun sangat berarti dalam setiap langkah yang penulis lalui. Besar harapan Penulis untuk memberikan segala sesuatu yang terbaik bagi Kakek dan Nenek (sudah almarhum), semoga dibukakan jalan agar menjadi Cucu kebanggaan Kakek dan Nenek (sudah almarhum). Keluarga Besar Mama dan Papa (Wak, Om, Tante, Saudara Sepupu), yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, karena telah memberikan saran dan dukungan viii

10 yang amat berarti bagi Penulis, selalu membimbing dan menuntun Penulis akan arti penting meraih masa depan (kesuksesan). Seluruh teman-teman Angkatan III Mandiri Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu dan memberikan dorongan serta semangat dalam penulisan Tesis ini kemudian tak lupa Penulis ucapkan Terimakasih kepada senior-senior di Program Magister Kenotariatan yang dengan senang hati memberikan saran dan informasi yang bermanfaat bagi Penulis selama kegiatan perkuliahan berlangsung dan selama penyusunan tesis ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada para sahabat yang telah menguatkan hati Penulis sehingga Penulis kembali bersemangat dan tenang dalam menyelesaikan Tesis ini dan seluruh pihak yang namanya tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak mendukung dalam proses pembuatan Tesis ini. Sebagai akhir kata Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua dan semoga Tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat Denpasar,16 Desember 2013 Penulis ix

11 ABSTRAK AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN Pertelaan dibuat oleh pelaku pembangunan rumah susun (developer), selanjutnya disebut developer), dengan memuat batas dan rincian yang jelas atas satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi berwenang. Pertelaan mempunyai peranan yang amat penting sebagai dasar pengesahan akta pemisahan rumah susun dan landasan penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut HMSRS). Kepemilikan Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut SRS) bersifat perorangan dan terpisah dengan hak bersama, benda bersama dan tanah bersama, akan menjadi masalah krusial jika terhadap bangunan gedung rumah susun tersebut roboh (keadaan demikian dinamakan keadaan memaksa (overmacht), selanjutnya disebut overmacht). Pengaturan overmacht terhadap HMSRS belum diatur dalam UU Rumah Susun. Urgensi pengaturan overmacht sangat penting, untuk mengetahui sebatas mana lingkup pertanggungjawaban para pihak, sehingga tercipta keadilan berbasis kontrak. Untuk itu, perlu diteliti bagaimanakah akibat hukum klausul pertelaan dalam overmacht terhadap kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun dan apakah kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena mengkaji norma kosong dalam UU Rumah Susun mengenai overmacht. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep hukum, pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum klausul pertelaan dalam overmacht terhadap kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun yaitu terhadap overmacht absolut, perjanjian batal demi hukum sehingga tidak perlu adanya pembayaran ganti rugi sedangkan terhadap overmacht relatif, tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan hapus, hanya menunda pelaksanaan perjanjian. Lingkup kriteria overmacht dalam Buku III KUHPerdata hanya bersifat terbatas, oleh karenanya, kriteria overmacht terhadap HMSRS juga berlaku secara mutatis-mutandis terhadap yurisprudensi, peraturan perundangundangan serta kontrak-kontrak lainnya. Kriteria overmacht tersebut jangan digeneralisir namun diteliti lebih lanjut tergolong overmacht objektif ataukah subjektif. Terhadap overmacht objektif, berhubungn dengan musnahnya obyek perjanjian terjadi di luar kekuasaan pihak namun dari kuasa Tuhan. Terhadap overmacht relatif, berhubungan dengan adanya unsur kelalaian dalam melaksanakan hak dan kewajibannya dari salah satu pihak atau para pihak. Kata kunci: Akibat Hukum, Klausula Pertelaan, Kepemilikan Rumah Susun, Keadaan Memaksa x

12 ABSTRACT THE LEGAL RESULT OF HOUSING-COMPLEX DEVELOPMENT IN THE EVENT OF FORCE MAJEURE (OVERMACHT) OVER THE OWNERSHIP OF A STRATA TTLE Housing-complex development made by developer of condominiums (hereinafter is referred to as developer) is completed with the information of borders and clear details of units and Joint parts in the form of house plan, which have been legalized by an authorized institution. This information has a very important role, which serves as foundations, in legalizing "act of determining the separation of each unit of the condominiums" and for the issuance of the certificate of the right of ownership of the unit of a condominium (hereinafter is referred to as HMSRS). The ownership of a unit of a condominium (hereinafter is referred to as SRS) is individual in nature and separated from the mutual rights, objects, and land. It will be a crucial problem if the building structure is collapsed whose condition is referred to as a forced majeure (overmacht). The regulation of overmacht over HMSRS is not yet regulated in the Laws of Condominiums. The urgency of the regulation of overmacht is thus very important in order to know the scope of the responsibility of the related parties so that justice, based on the contract, is created. To that end, it is necessary to identify the results of the laws of housing-complex development related to overmacht by ownership of Strata Title and the criteria of overmacht contained in Book III of Code of Civil Law are mutatis mutandis applicable to the Strata Title. This study is a normative legal research that examining Lacuna of Norm in the Law of Condominiums. The study used legislation approaches, the legal concept and case approaches. The findings show that the outcome of the laws of housing-complex development in the event of overmacht over HMSRS (absolute overmacht), the agreement is canceled by law so that it is not necessary for the loss compensation. For relative overmacht, it is not automatic by law in the cancellation of an agreement; it only postpones the execution of the agreement. The scope of overmacht contained in Book III of Code of Civil Law is only limited in nature, therefore, the criterion of overmacht over HMSRS is mutatis-mutandis only applicable to the jurisprudence, the legislations, and other contract agreements. The criteria of overmacht should not be generalized but it must be analyzed deeply as to whether it is classifiable as subjective or objective overmact. For objective overmacht, it is related to the loss of the object agreement, which occurs beyond the capacity of the parties involved but that of God. For relative overmacht, it is related to carelessness in carrying out the rights and obligation of one of the parties or the whole parties. Key word: Legal result, law of housing-complex development, Ownership of Strata Title, Force Majeure. xi

13 RINGKASAN Tesis ini menganalisis mengenai Akibat Hukum Klausul Pertelaan dalam Keadaan Memaksa (Overmacht) terhadap Kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun. Bab I menguraikan latar belakang permasalahan yaitu pertelaan dibuat oleh pelaku pembangunan rumah susun (developer) memuat batas dan rincian yang jelas atas satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi yang berwenang. Pertelaan ini menjadi dasar perhitungan Nilai Perbandingan Proporsional serta mempunyai peranan yang amat penting dalam pemenuhan syarat administrasi pembangunan rumah susun karena pertelaan merupakan dasar untuk pengesahan akta pemisahan rumah susun dan landasan bagi penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Kepemilikan Satuan Rumah Susun adalah bersifat perorangan dan terpisah dengan hak bersama, benda bersama dan tanah bersama, akan menjadi masalah yang krusial jika terhadap bangunan gedung rumah susun tersebut roboh dan tidak dapat dihuni oleh pemilik satuan rumah susun. Berkaitan dengan bangunan gedung rumah susun yang roboh, keadaan demikian ini dinamakan keadaan memaksa (overmacht),sedangkan overmacht terhadap HMSRS belum diatur dalam UU Rumah Susun. Urgensi pengaturan overmacht sangat penting, mengingat bisnis property kian pesat dan marak sehingga diperlukan pengkajian terhadap overmacht tersebut, siapa yang akan bertanggungjawab, apa bentuk pertanggungjawabannya dan sebatas mana lingkup pertanggungjawaban yang dilakukan para pihak. Pengkajian tersebut dengan melakukan telaah terhadap kajian yuridis atas HMSRS yang tersusun dalam sistem hukum tanah dan sistem hukum benda nasional yang menjadi satu kesatuan dalam sistem hukum Nasional. xii

14 Tidak luput dari pengkajian yaitu mencermati perjanjian rumah susun secara seksama. Dari telaah tersebut akan memperoleh suatu pemahaman yang sistematis dan utuh sehubungan dengan akibat hukum dari overmacht terhadap klausul pertelaan atas kepemilikan satuan rumah susun. Selain itu, diuraikan pula mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian yang digunakan. Guna membahas permasalahan pada penulisan tesis ini, penulis menggunakan teori hukum (teori hukum umum maupun teori hukum khusus), konsep hukum dan asas hukum. Penggunaan Teori Hukum, pada permasalahan pertama, penulis menggunakan teori keadilan berbasis kontrak sebagai teori hukum umum, teori risiko tanggung gugat dalam terjadi overmacht sebagai teori hukum khusus. Selanjutnya untuk permasalahan kedua, penulis menggunakan Three Elements of Legal System Theory dari Lawrence M. Friedmann sebagai teori hukum umum, teori tahap perjanjian, teori korelasi dan teori hak milik sebagai teori hukum khusus. Penulisan ini juga menggunakan konsep hukum sebagai penyelesaian dari permasalahan yang dikemukakan. Konsep hukum yang digunakan dalam permasalahan pertama yaitu konsep tanggung jawab/ganti rugi developer terhadap konsumen dalam hal terjadinya overmacht. Permasalahan kedua menggunakan, konsep hak dan kewajiban para pihak, serta untuk konsep overmacht, konsep Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan konsep pertelaan sama-sama diterapkan terhadap permasalahan pertama maupun kedua. Selain itu, penulis juga menggunakan asas hukum dalam mengkaji permasalahan dalam tesis ini. Asas hukum yang digunakan dalam permasalahan pertama yaitu asas hukum kebendaan, asas hukum tanah, dan asas proporsionalitas selanjutnya untuk menyelesaikan permasalahan kedua penulis menggunakan asas hukum perjanjian, asas hukum perlindungan konsumen, asas kepatutan serta asas kepastian hukum. xiii

15 Bab II, menguraikan Tinjauan Umum tentang Kebendaan, Pertelaan, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Overmacht dan Perjanjian Rumah Susun. Tinjauan Umum ini dibedakan menjadi 3 (tiga) sub bab, yaitu Tinjauan Umum tentang Kebendaan, Tinjauan Umum tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta Tinjauan Umum tentang Overmacht dan Perjanjian Rumah Susun. Pada sub bab Tinjauan Umum tentang Kebendaan diuraikan mengenai Ruang lingkup Benda dan Hak Kebendaan serta Jenis-jenis Kebendaan dan Hak Kebendaan. Pada sub bab Tinjauan Umum tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diuraikan mengenai Ruang Lingkup Pertelaan dan Ruang Lingkup Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pada sub bab Tinjauan Umum tentang Overmacht dan Hukum Perjanjian Rumah Susun diuraikan mengenai Pengertian dan Unsur-unsur Overmacht, Jenis-jenis overmacht, Jenis-Jenis perikatan dan/atau perjanjian serta obyek dan subyek perikatan dan/atau perjanjian. Bab III, menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai Bagaimanakah akibat hukum klausula pertelaan dalam overmacht terhadap kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun yang diuraikan dalam 4 (empat) sub-bab, yang masing-masing sub bab, diuraikan lagi menjadi beberapa sub-sub bab, diantaranya: Sub bab Konsepsi Kepemilikan HMSRS dalam Sistem Hukum Nasional yang penulis uraikan menjadi 2 (dua) sub-sub bab yaitu mengenai Sistem Hukum Tanah Nasional dan Sistem Hukum Bangunan serta Sistem Hukum Kebendaan Nasional. Sub bab Hubungan Hukum antara Obyek kebendaan HMSRS, Tanah, dan Bangunan penulis uraikan menjadi 2 (dua) subsub bab yaitu mengenai Penerapan Asas Hukum Tanah dan Hukum Bangunan serta Penerapan Asas Hukum Kebendaan. Pada sub bab Arti penting Klausula Pertelaan dalam Pengaturan Konsepsi HMSRS, penulis uraikan menjadi 2 (dua) xiv

16 sub bab yaitu mengenai klausula pertelaan sebagai syarat dalam pemisahan HMSRS, Bentuk Penjabaran serta Penerapan Asas Proporsionalitas dan Keadilan Berbasis Kontrak, penulis juga menguraikan Bentuk Pertanggungjawaban Para Pihak dalam overmacht terhadap HMSRS, serta Pertanggungjawaban Developer kepada Konsumen dalam tinjauan Aspek Hukum Perlindungan Konsumen. Berkaitan dengan telaah tersebut, dalam pembahasan ini penulis menganalisis melalui tiga (3) segi yaitu apakah klausula pertelaan tersebut ditujukan terhadap klausula pertelaan yang tidak dilaksanakan secara keseluruhan ataukah dilaksanakan hanya sebagian saja oleh para pihak developer maupun oleh pemilik unit satuan rumah susun (konsumen), atau klausula pertelaan tersebut dilaksanakan oleh para pihak namun karena keadaan tertentu diluar kesalahan/kelalaian para pihak menyebabkan klausula pertelaan tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Keadaan tertentu diluar kesalahan/kelalaian para pihak inilah dinamakan keadaan memaksa (overmacht). Agar mengetahui sebatas mana tanggung jawab para pihak dalam hal terjadinya overmacht, lebih lanjut diteliti overmacht apa yang menimpa para pihak, apakah Overmacht Absolute ataukah Overmacht Relatif, selain itu untuk menunjang hasil penelitian ini agar menjadi satu bahasan yang utuh maka penulis juga menelaah lebih lanjut dengan mencemati objek kebendaan HMSRS berdasarkan Sistem Hukum Nasional diantaranya melalui Sistem Hukum Kebendaan Nasional dengan mencermati, tergolong jenis kebendaan apakah HMSRS ini, kemudian mencermati Sistem Hukum Tanah Nasional, yaitu mengkaji secara spesifik apakah HMSRS termasuk dalam kategori Hak Penguasaan atas Tanah dalam UUPA ataukah tergolong jenis hak atas tanah yang berdiri sendiri, dengan kata lain HMSRS tidak termasuk lingkup/cakupan dalam UUPA. Setelah penulis menganalis secara cermat dan seksama menjadi satu kesatuan utuh maka hasil penelitian dalam Bab ini xv

17 menunjukkan bahwa Akibat Hukum Klausula Pertelaan dalam Overmacht terhadap HMSRS, yaitu: terhadap overmacht absolute, perjanjian dinyatakan Batal demi Hukum dari semula dianggap tidak pernah ada perikatan, dengan beban pembuktian keadaan yang menyebabkan overmacht adalah keadaan yang menyebabkan kehilangan benda obyek perjanjian karena kuasa Tuhan. Terhadap overmacht relatif:tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan tersebut hapus, hanya menunda pelaksanaan perjanjian dan bila keadaan overmacht tersebut telah hilang maka perjanjian dapat dilaksanakan kembali, dengan beban pembuktian, salah satu pihak dapat membuktikan bahwa pihak lainnya lalai dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Bab IV, Menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai Kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun, yang diuraikan dalam 3 (tiga) sub bab kemudian sub bab tersebut diuraikan lagi menjadi beberapa sub-sub bab, diantaranya sub bab Konvergensi Penjabaran dan Penerapan Sistem Hukum Benda dan Sistem Hukum Perikatan menguraikan tentang Sistem Hukum Benda dalam kajian Obyek Kebendaan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan Sistem Hukum Perikatan dalam Kaitan Hak Kepemilikan Satuan Rumah Susun. Pada sub bab Lingkup Kriteria Overmacht, menguraikan tentang Kriteria Overmacht dalam Buku III KUHPerdata, Kriteria overmacht berdasarkan Doktrin dan Yurisprudensi serta Kriteria Overmacht dalam Peraturan Perundang-undangan dan Kontrakkontrak lainnya. Pada sub bab Urgensi Pengaturan Overmacht di Masa Datang menguraikan tentang Penerapan Asas-asas Hukum Perjanjian, Penerapan asas kepatutan serta Penerapan Asas Hukum Perlindungan Konsumen dan Asas Kepastian Hukum. Dalam pembahasan ini penulis melakukan telaah secara seksama terhadap tiga (3) aspek hukum yaitu aspek hukum benda, aspek hukum xvi

18 perjanjian dan aspek hukum perlindungan konsumen. Telaah tersebut, disatu sisi hukum benda menguasai kepemilikan HMSRS, karena HMSRS tersebut berkenaan dengan jenis penggolongaan kebendaan yang merupakan jenis kebendaan baru yaitu benda tetap berwujud yang terdaftar sehingga pengaruh hukum benda sangat krusial dalam penanganan overmacht terhadap HMSRS, disisi lain Hukum Perikatan juga memegang peran penting dalam kepemilikan HMSRS karena adanya hubungan hak dan kewajiban terhadap para pihak dalam mengadakan pengikatan terlebih-lebih dicantumkan dalam klausula pertelaan, PPJB dan AJB HMSRS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kriteria Overmacht terhadap HMSRS juga berlaku secara mutatis-mutandis terhadap kriteria overmacht dalam Yurisprudensi, Peraturan perundang-undangan lainnya serta Kontrak-kontrak lainnya. Bab V, sebagai bab penutup dari penulisan ini menguraikan mengenai simpulan dan saran. Adapun simpulan dari penelitian ini, akibat hukum Klausul Pertelaan dalam hal terjadinya overmacht terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun, yaitu: Terhadap Overmacht Absolut: Perjanjian dinyatakan Batal demi Hukum dari semula dianggap tidak pernah ada perikatan, sehingga mengakibatkan debitur tidak perlu membayar ganti rugi, asalkan para pihak dapat membuktikan bahwa keadaan yang menyebabkan overmacht tersebut adalah keadaan di luar kekuasaan pihak yaitu kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan.Terhadap Overmacht Relatif: Tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan tersebut hapus, melainkan hanya menunda pelaksanaan pemenuhan prestasi dan bila keadaan overmacht tersebut telah hilang maka kreditur dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi, asalkan para pihak dapat membuktikan bahwa pihak lainnya lalai dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Berdasarkan kriteria-kriteria overmacht dalam Buku III xvii

19 KUHPerdata yang hanya bersifat terbatas saja maka selain terhadap kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata, kriteria Overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun juga dapat diterapkan/berlaku secara mutatis-mutandis terhadap kriteria overmacht dalam Yurisprudensi, Peraturan perundang-undangan lainnya serta Kontrak-kontrak lainnya, dengan mencermati substansi objek kebendaan HMSRS dan relevansinya terhadap perjanjian rumah susun. Saran yang dapat penulis kemukakan terhadap kedua permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian tesis ini adalah pada prinsipnya, Pertelaan dan Akta Pemisahan dibuat dan ditetapkan oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun (Pengembang/ Developer), namun demikian agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari, disarankan kepada Kantor Pertanahan terlebih dahulu melakukan pengecekan secara uji petik terhadap beberapa unit Satuan Rumah Susun untuk mendapatkan luas lot dan selanjutnya diadakan kesesuaian antara data-data mengenai bagian bersama, benda bersama sehingga luas unit satuan rumah susun yang tercantum dalam draft pertelaan dan akta pemisahan sebanding dengan kondisi fisik di lapangan dalam rangka memperoleh besaran imbangan NPP, sehingga adanya transparansi dalam menetapkan Rincian Pertelaan. Setelah mendapat kesesuaian data rincian pertelaan, disarankan pula kepada Kantor Pertanahan agar memberikan arahan draft pertelaan dan akta pemisahan, sehingga tidak adanya penetapan bentuk draft pertelaan dan akta pemisahan secara sepihak oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun (pengembang/developer) sekaligus mencegah adanya itikad buruk dari Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun (pengembang/ Developer). Kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebelum menetapkan SK Pengesahan Pertelaan sepatutnya melakukan telaah secara seksama dan cermat terhadap rincian pertelaan, lampiran persyaratan administratif dan teknis dalam pembangunan rumah susun serta akta xviii

20 pemisahan dan ada baiknya juga selain diadakan Rapat Koordinasi terhadap instansi berwenang, Pemerintahan Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dalam melakukan pengesahan Pertelaan juga mengadakan Rapat dengan Pihak Pengembang dan Pemilik Unit Satuan Rumah Susun agar tercipta transparansi didalam proses Pengesahan Pertelaan. Kepada Instansi berwenang dan pejabat berwenang sebelum mengeluarkan Izin terkait, Izin Laik Huni, sebaiknya melakukan pengecekan secara cermat terhadap uji kelayakan bangunan, kesesuaian konstruksi bangunan meliputi Rancang Bangun, Arsitektur Bangunan, Intensitas Bangunan terhadap kesesuaian perbandingan dengan Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Lantai Bangunan dan Koefisien Benda Bersama agar tahan terhadap risiko bencana. Untuk mendukung bisnis properti dalam hal ini Kepemilikan Satuan Rumah Susun serta dalam hubungannya dengan perlindungan pemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, disarankan kepada pembuat kebijakan perihal pengaturan konsepsi Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebaiknya dipisahkan dari Undang-undang Rumah Susun dan dibuatkan Undang-undang tersendiri yaitu Undang-undang Pertelaan yang khusus mengatur mengenai Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun karena Undang-undang Rumah Susun menggabungkan konsepsi pengaturan. Disarankan pula dalam pembentukan Undang-undang Pertelaan dicantumkan pengaturan mengenai overmacht, meskipun memang dicantumkan atau tidaknya overmacht dalam perjanjian tergantung atas kesepakatan para pihak namun untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan demi terwujudnya keadilan berbasis kontrak, sepatutnya overmacht diatur dalam bentuk Undang-undang. xix

21 DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... PRASYARAT GELAR... LEMBAR PENGESAHAN... PENETAPAN PANITIA PENGUJI... PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... UCAPAN TERIMAKASIH... ABSTRAK... ABSTRACT... RINGKASAN... DAFTAR ISI... DAFTAR SINGKATAN... i ii iii iv v vi x xi xii xx xxv DAFTAR LAMPIRAN... xxvii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penulisan Manfaat Teoritis Manfaat Praktis xx

22 1.5 Landasan Teoritis Teori Hukum Teori Hukum Umum a. Three Element of Legal System Theory b. Teori Keadilan Teori Hukum Khusus a. Teori Korelasi b. Teori Tahap Penyusunan Kontrak c. Teori Pertanggungjawaban Risiko Tanggung Gugat dalam overmacht d. Terjadinya Hak Milik Konsep Hukum Konsep Pertelaan dan Konsep Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Konsep Hak dan Kewajiban Para Pihak Konsep Overmacht Konsep Tanggungjawab Developer/Ganti Rugi Terhadap Konsumen Dalam Hal Terjadinya Overmacht Asas Hukum Asas Hukum Perjanjian Asas Perlindungan Konsumen Asas Proporsionalitas Asas Kepatutan xxi

23 Asas Hukum Tanah Asas Hukum Kebendaan Metode Penelitian Jenis Penelitian Jenis Pendekatan Sumber Bahan Hukum Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik Analisis Bahan Hukum BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEBENDAAN, PERTELAAN, HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN, OVERMACHT DAN PERJANJIAN RUMAH SUSUN Tinjauan Umum tentang Hak Kebendaan Ruang Lingkup Benda dan Hak Kebendaan Jenis-jenis Kebendaan dan Hak Kebendaan Tinjauan Umum tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Ruang Lingkup Pertelaan Ruang Lingkup Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Tinjauan tentang Overmacht dan Hukum Perjanjian Rumah Susun Pengertian dan Unsur-unsur Overmacht Jenis-jenis Overmacht Jenis-Jenis Perikatan dan/atau Perjanjian Obyek dan Subyek Perikatan dan/atau Perjanjian xxii

24 BAB III AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN 3.1 Konsepsi Kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam Sistem Hukum Nasional Sistem Hukum Tanah Nasional dan Sistem Hukum Bangunan Sistem Hukum Kebendaan Nasional Hubungan Hukum antara Obyek kebendaan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Tanah, dan Bangunan Penerapan Asas Hukum Tanah dan Hukum Bangunan Penerapan Asas Hukum Kebendaan Arti penting Klausula Pertelaan dalam Pengaturan Konsepsi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Klausula Pertelaan sebagai Syarat dalam Pemisahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Bentuk Penjabaran dan Penerapan Asas Proporsionalitas dan Keadilan Berbasis Kontrak Bentuk Pertanggungjawaban Para Pihak dalam hal terjadinya Overmacht terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun Akibat Hukum Overmacht dari Segi Buku III KUHPerdata dan Doktrin Akibat Overmacht Berdasarkan Yurisprudensi Akibat Overmacht Menurut Peraturan Perundangundangan dan Kontrak Akibat Overmacht dari Segi Pertanggungjawaban Developer Kepada Konsumen Berdasarkan Aspek Hukum Perlindungan Konsumen xxiii

25 BAB IV KRITERIA OVERMACHT TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN Konvergensi Penjabaran dan Penerapan Sistem Hukum Benda dan Hukum Perikatan Sistem Hukum Benda dalam kajian Obyek Kebendaan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Sistem Hukum Perikatan dalam Kaitan Hak Kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun Lingkup Kriteria Overmacht Kriteria Overmacht dalam Buku III KUHPerdata Kriteria Overmacht Berdasarkan Doktrin dan Yurisprudensi Kriteria Overmacht dalam Peraturan Perundangundangan dan Kontrak-kontrak lainnya Urgensi Pengaturan Overmacht di Masa Datang Penerapan Asas-asas Hukum Perjanjian Penerapan Asas Kepatutan Penerapan Asas Hukum Perlindungan Konsumen dan Asas Kepastian Hukum BAB V PENUTUP Simpulan Saran-Saran DAFTAR PUSTAKA. 240 LAMPIRAN-LAMPIRAN xxiv

26 DAFTAR SINGKATAN AJB : Akta Jual Beli GS : Gambar Situasi HGB : Hak Guna Bangunan HGU : Hak Guna Usaha HMSRS : Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ILH : Izin Layak Huni IMB : Izin Mendirikan Bangunam Ka BPN : Kepala Badan Pertanahan Nasional KB : Koefisien Bagian Bersama KDB : Koefisien Dasar Bangunan Kepmenpera : Keputusan Menteri Perumahan Rakyat KLB : Koefisien Lantai Bangunan KP SRS : Kredit Pemilikan Satuan Rumah Susun KUHD : Kitab Undang-undang Hukum Dagang KUHPerdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata NPP : Nilai Perbandingan Proporsional Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri PICC : Principles of International Commercial Contracts PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah PPJB : Perjanjian Perikatan Jual Beli PPRS : Perhimpunan Penghuni Rumah Susun SHM SRS : Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun xxv

27 SIPPT : Surat Izin Penunjukkan dan Penggunaan Tanah SPP : Survey Pengukuran dan Pemetaan SRS : Satuan Rumah Susun SU : Surat Ukur UU NRI Tahun 1945 : Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 UU LPM PUTS : Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat UUPA : Undang-undang Pokok Agraria UUPK : Undang-undang Perlindungan Konsumen xxvi

28 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Contoh Surat Permohonan Pengesahan Pertelaan Lampiran 2 : A. Contoh Berita Acara Penelitian Pertelaan Rumah Susun B. Contoh Berita Acara Pemeriksaan Fisik Rumah Susun Lampiran 3 : Contoh Surat Pengantar SK Pengesahan kepada Bupati/Walikota/Gubernur untuk DKI Jakarta Lampiran 4 : Contoh Draft SK Pengesahan Lampiran 5 : Contoh Gambar Denah Satuan Rumah Susun Lampiran 6 : Tata Urutan Penyusunan Halaman Gambar Pertelaan A. Keterangan Muka Peta dan Bidang Gambar Pertelaan B. Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan Satuan Lingkungan C. Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan Tanah Bersama D. Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan Bagian Perseorangan dan Bagian Bersama E. Denah Bangunan Lantai F. Denah Satuan Rumah Susun Lampiran 7 : Contoh Uraian Pertelaan Rumah Susun Lampiran 8 : Anggaran Dasar Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Lampiran 9 : Daftar Isian dalam Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah susun Lampiran 10 : Bagan Alur Proses Sertipikasi Satuan Rumah Susun Lampiran 11 : Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan berkaitan dengan Pendaftaran, Peralihan dan Balik Nama terhadap kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Lampiran 12 : Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pedoman Pengisian Akta Pemisahan Rumah Susun. Lampiran 13 : Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata cara pembuatan Buku Tanah serta penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan A. Akta Pemisahan Rumah Susun B. Gambar Denah Lampiran 14 : Contoh Draft Akta Jual Beli Satuan Rumah Susun Lampiran 15 : Contoh Buku Tanah (Sertipikat) Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun xxvii

29 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Klausula Pertelaan merupakan persyaratan administratif dalam pembangunan rumah susun yang wajib dibuat oleh pelaku pembangunan rumah susun (developer) dengan memuat batas dan rincian yang jelas atas satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi berwenang. Pertelaan mempunyai peran penting sebagai dasar pengesahan akta pemisahan rumah susun dan landasan penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut HMSRS). Pembangunan rumah susun merupakan kebutuhan utama atau primer manusia akan terpenuhinya perumahan atau pemukiman. Secara implisit, kebutuhan tersebut diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD NRI Tahun 1945) yang menegaskan bahwa : Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

30 2 Ditegaskan pula dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1) bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat". Rumusan ini menyiratkan bahwa salah satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap Warga Negara Indonesia. Bertolak dari uraian tersebut, untuk peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta meningkatkan efektivitas penggunaan tanah terutama pada lingkungan atau daerah yang padat penduduknya, maka dilakukan penataan atas tanah, dan mulai terpikirkan untuk melakukan pembangunan suatu bangunan yang digunakan untuk hunian dengan bangunan tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dengan masyarakat lainnya, sehingga terbentuklah adanya rumah susun. 1 Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah kebutuhan pemukiman dan perumahan pada lokasi yang padat dan tanah yang tersedia sangat terbatas sehingga perlu dikembangkan pembangunan perumahan dan pemukiman dalam bentuk rumah susun yang lengkap, seimbang, dan serasi dengan lingkungannya. 2 Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi 1 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I) hal Arie S. Hutagalung, 2007, Condominium dan Permasalahannya, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.2.

31 3 dengan bagian bersama, benda-benda bersama dan tanah bersama. Melalui pembangunan rumah susun, optimalisasi penggunaan tanah secara vertikal sampai beberapa tingkat akan lebih efektif daripada optimalisasi penggunaan secara horizontal. 3 Landasan Hukum dari Pembangunan Rumah Susun adalah Undangundang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun bagi penyelenggaraan pembangunan rumah susun di Indonesia, serta adanya tiga Peraturan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Permendagri) yaitu Permendagri Nomor 14 Tahun 1975, tentang Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian-bagian Bangunan Yang Ada Diatasnya Serta Penerbitan Sertifikatnya, Permendagri Nomor 14 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada Diatasnya, serta Permendagri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan Secara Terpisah Bagian-bagian pada Bangunan Bertingkat. Selain ketentuan tersebut, ada ketentuan lain yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1998 tentang Rumah Susun yang telah diundangkan pada tanggal 26 April Pada tanggal 31 Desember 1985 diundangkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Dalam kepustakaan hukum undang-undang tersebut disebut Undang-undang Kondominium Indonesia. 4 3 Ridwan Halim, 2000, Sendi-Sendi Hukum Hak Milik, Kondominium, Rumah Susun Dan Sari-Sari Hukum Benda, Puncak Karna, Jakarta, hal Boedi Harsono, 1990, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan- Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta (selanjutnya disebut Boedi Harsono I), hal. 340.

32 4 Dengan berlakunya Undang-undang Rumah Susun, berbagai masalah hukum yang sebelum itu dipertentangkan dan diragukan pemecahannya mendapat jawaban yang pasti. Undang-Undang ini mengatur hal- hal yang bersifat pokok saja, sedangkan ketentuan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan yang lain. Sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang dimaksud yang telah ada yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut PP Rumah Susun), Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 (selanjutnya disebut Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989) tentang Bentuk dan Tatacara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 (selanjutnya disebut Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989) tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Proses penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, terlebih dahulu harus memenuhi syarat administratif yaitu melalui pengesahan akta pemisahan rumah susun dan pertelaan merupakan salah satu syarat untuk pengesahannya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun Perihal Klausula pertelaan sebelumnya telah ditegaskan dalam Pasal 31 PP Rumah Susun, pada intinya menegaskan bahwa Developer sebagai penyelenggara pembangunan rumah susun wajib meminta pengesahan pertelaan yang menunjukkan batas yang jelas dari masing-masing satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama beserta uraian nilai

33 5 perbandingan proporsionalnya. Pertelaan ini memuat mengenai Gambar dan Uraian Pertelaan, Nilai Perbandingan Proporsional (selanjutnya disebut NPP) yang berisi mengenai hak dan kewajiban para pihak serta sistem perhitungan NPP berdasar Nilai Jual Pertama dan Luas Satuan Rumah Susun. 5 Mencermati uraian diatas, maka pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan teknis dan administratif karena pembangunan rumah susun lebih berat dengan spesifikasi rumah susun yang memiliki bentuk dan keadaan khusus yang berbeda dari perumahan biasa (landed house) serta merupakan gedung bertingkat yang akan dihuni oleh banyak orang sehingga perlu dijamin keamanan, keselamatan dan kenikmatan dalam penghuniannya. 6 Dalam perkembangannya, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang dalam penghunian, kepemilikan, dan pemanfaatan rumah susun. Karena sumirnya pengaturan tentang rumah susun maka lahirlah Undang-undang baru tentang Rumah Susun yakni Undang-undang Nomor 20 Tahun Setelah disahkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut UU Rumah Susun) ini ternyata menuai kritik dari praktisi hukum di bidang properti. UU Rumah Susun ini seakan mencampuradukkan konsep kondominium dan strata title dalam kepemilikan rumah susun. Padahal, dua konsep ini berbeda secara konstruksi yuridis. Kondominium itu menyangkut kepemilikan bersama termasuk tanah, sedangkan strata title adalah kepemilikan bersama tak termasuk 5 Pasal 31 PP 4 Tahun 1988 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Arie S.Hutagalung, op.cit, hal

34 tanah yaitu konsep hunian vertikal maupun horizontal di mana hak kepemilikan atas suatu ruang dalam gedung bertingkat dibagi-bagi untuk beberapa pihak. Diterbitkannya UU Rumah Susun ini juga memberikan peluang untuk dibuatnya klausula pertelaan sebelum bangunan itu selesai, yang pada dasarnya klausula pertelaan tersebut dibuat setelah bangunan selesai. Dari sisi pengembang perumahan, ini sangat merugikan karena pengembang perumahan hanya memenuhi kewajiban mereka. Persyaratan pembangunan rumah susun ditegaskan dalam Pasal mengenai persyaratan administratif dan Pasal berkaitan dengan persyaratan teknis. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam melakukan pembangunan rumah susun, pelaku pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yaitu persyaratan izin usaha dari perusahaan pembangunan perumahan, meliputi: 1) Status hak atas tanah dan izin mendirikan bangunan (selanjutnya cukup ditulis IMB) 2) Izin Layak Huni (selanjutnya cukup ditulis ILH) Pelaku pembangunan harus membangun rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatannya, harus mendapatkan izin dari bupati/walikota. Khusus untuk Provinsi DKI Jakarta, rencana fungsi dan pemanfaatan mendapatkan izin Gubernur 3). Permohonan ILH yang diajukan oleh pelaku pembangunan dengan melampirkan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Rumah Susun yaitu : a. sertifikat hak atas tanah; b. surat keterangan rencana kabupaten/kota; c. gambar rencana tapak; d. gambar rencana arsitektur yang memuat denah, tampak, dan potongan rumah susun yang menunjukkan dengan jelas batasan secara vertikal dan horizontal dari sarusun; e. gambar rencana struktur beserta perhitungannya; f. gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama; dan g. gambar rencana utilitas umum dan instalasi beserta perlengkapannya. 6

35 4). Adanya Klausula Pertelaan dan Akta Pemisahan Pelaku pembangunan setelah mendapatkan ILH dan IMB wajib meminta pengesahan dari pemerintah daerah tentang pertelaan yang menunjukkan batas yang jelas dari setiap sarusun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama berserta uraian NPP. 7 Mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun 8, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 35 UU Rumah Susun, terdiri atas: a. tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi serta intensitas dan arsitektur bangunan; dan b. keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Pemilikan Satuan Rumah Susun (selanjutnya ditulis SRS) adalah bersifat perorangan dan terpisah dengan hak bersama, benda bersama dan tanah bersama. Akan menjadi masalah yang krusial jika terhadap bangunan gedung rumah susun tersebut roboh atau terbakar dan tidak dapat dihuni oleh pemilik atau penghuni satuan rumah susun. Berkaitan dengan bangunan gedung rumah susun yang roboh atau terbakar, keadaan demikian ini dinamakan keadaan memaksa (overmacht). Selanjutnya dalam penulisan ini cukup ditulis overmacht. Overmacht diatur dalam buku III KUHPerdata, dalam pelaksanaannya, Buku III KUHPerdata ini bersifat 7 7 UU Rumah Susun Pasal 28-30, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Persyaratan teknis pembangunan rumah susun yaitu persyaratan yang berkaitan dengan sruktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan. (Vide Pasal 24 huruf b UU Rumah Susun).

36 8 anvullenrecht (pelengkap). Overmacht diatur dalam Buku III bagian VII tentang Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata). Mengacu dan menilik uraian serta substansi dari aturan-aturan hukum yang telah dijabarkan diatas, dapat diungkapkan bahwa masalah mendasar dari penelitian ini yaitu adanya norma kosong dalam UU Rumah Susun berkaitan dengan overmacht. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, secara eksplisit, pengaturan overmacht telah dirumuskan dalam Buku III KUHPerdata bagian VII tentang musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata). Berdasarkan konsepsi dasar pengaturan overmacht ini maka muncullah dasar pemikiran penulis untuk mengkaji secara mendalam kriteria dari overmacht yang tercantum dalam Buku III KUHPerdata, yang pada hakikatnya bersifat aanvullend recht akankah berlaku secara mutatis mutandis dalam penyelesaian overmacht dalam rumah susun dengan mencermati substansi obyek kebendaan dari rumah susun itu sendiri. Menjadi permasalahan, di sisi lain kebendaan ini bersifat dwingend recht sebagaimana diatur dalam Buku II KUHPerdata. Telaah lebih lanjut terhadap kriteria dari overmacht, tentunya akan memberi akibat hukum terhadap klausula pertelaan dalam kepemilikan atas satuan rumah susun yang memiliki peranan yang teramat penting sebagai syarat pemisahan rumah susun. 9 Penulis selain mencermati substansi obyek kebendaan rumah susun dalam sistem hukum benda nasional, hal yang begitu penting pula untuk dicermati lebih lanjut dalam kepemilikan atas SRS yaitu berkenaan dengan sistem hukum tanah 9 Syarat pemisahan rumah susun tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 PP Rumah Susun jo Pasal 2 Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 jo Pasal 25 ayat (1) UU Rumah Susun.

37 9 nasional dan dari aspek perlindungan terhadap konsumen akibat dari adanya overmacht tersebut. Hal ini menjadi konstruksi pemikiran dari penulis, oleh sebab Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun itu termasuk klasifikasi kebendaan apa dalam sistem hukum benda nasional dan dalam sistem hukum tanah nasional, apakah termasuk jenis tanah yang tergolong dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dari pemikiran tersebut akan memperoleh suatu pemahaman yang sistematis dan utuh sehubungan dengan akibat hukum dari overmacht terhadap klausul pertelaan atas kepemilikan satuan rumah susun. Bertolak pada konstruksi pemikiran diatas, sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks membutuhkan suatu inovasi baru yang bisa mengakomodir segala permasalahan yang muncul. Begitu pula dalam hal pengaturan tentang overmacht juga mengalami perkembangan. Masyarakat tentu saja dapat menerima perkembangan overmacht sesuai dengan proporsinya masing-masing asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan. Dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis proposal tesis dengan judul: Akibat Hukum Klausula Pertelaan dalam Keadaan Memaksa (Overmacht) terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun. Keaslian Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan karena sebelumnya tidak ada yang melakukan penelitian terhadap tulisan ini, hanya saja ada beberapa penelitian yang bersinggungan dengan penelitian ini, yaitu:

38 10 A) Penelitian tesis atas nama Desy Eka Widyantari, Mahasiswi Pascasarjana Univeritas Udayana, Magister Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Tahun Penelitian; 2012, dengan judul penelitian: "Mekanisme Penerbitan Akta Pemisahan Rumah Susun Sebagai Alas Hak Lahirnya SHM SARUSUN/ SKGB Berikut Peralihan dan Pembebanannya", dan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah akibat hukumnya bila dalam pembangunan rumah susun pada tahap selanjutnya mengalami perubahan rencana bangun yang mengakibatkan perubahan terhadap nilai perbandingan proporsional Akta Pemisahan Rumah Susun? 2. Apakah Satuan Rumah susun (Sarusun) dan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun)/Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun) dapat dijadikan jaminan kredit dan bagaimana penerapan roya parsial dalam kredit konstruksi rumah susun? B) Penelitian Tesis atas nama Elmaliza ( / MKn), Tahun Penelitian 2010, Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: "Kepemilikan Terhadap Tanah Pertapakan dan Bangunan Rumah Susun yang dikuasai dengan Sistem Strata Title" dan rumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana dasar hukum (payung hukum) kepemilikan rumah susun dengan sistem strata title di Indonesia?

39 11 2. Bagaimana hak kepemilikan tanah dan bangunan atas rumah susun menurut sistem pertanahan di Indonesia? 3. Bagaimana tanggungjawab para pemilik satuan rumah susun dengan sistem strata title dalam pemeliharaan hak atas tanah dan bangunan serta fasilitas rumah susun? C) Penelitian Tesis yang ditulis oleh Muchairani, mahasiswi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1) Hak-hak atas tanah apa saja yang dapat dipergunakan penyelenggara pembangunan rumah susun untuk membangun rumah susun? 2) Apakah Undang-Undang Rumah Susun menganut asas pelekatan atau asas pemisahan horizontal? Beranjak dari paparan permasalahan yang diteliti oleh peneliti sebelumnya, dapat dicermati adanya perbedaan yang sangat mendasar dari penelitian ini, maka dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah. 1.2 Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah, sebagaimana dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan 2 (dua) permasalahan pokok yaitu sebagai berikut: 1) Bagaimanakah akibat hukum klausula pertelaan terhadap kepemilikan Satuan Rumah Susun dalam keadaan overmacht?

40 12 2) Apakah kriteria overmacht dalam Buku III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis terhadap keadaan overmacht dalam kepemilikan Satuan Rumah Susun? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum, penulisan ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses) yaitu untuk pengembangan ilmu hukum dalam bidang pertanahan (Agraria) dan bidang property terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Tujuan Khusus Tujuan khusus pada dasarnya berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Tujuan khusus dalam penulisan ini yaitu: 1) Untuk menganalisis dan mengetahui akibat hukum klausul pertelaan dalam overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun 2) Untuk menganalisis dan mengetahui kriteria dari overmacht dalam Buku III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis terhadap keadaan overmacht dalam kepemilikan Satuan Rumah Susun Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Secara teoritis, penulisan ini, diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan di bidang hukum pertanahan (agraria) dan bidang property (rumah susun) mengenai akibat hukum klausul pertelaan dalam hal terjadinya overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

41 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada pemerintah (pusat dan/atau daerah), developer (pengembang) dan masyarakat dalam memberikan kepastian hukum siapa yang bertanggung jawab atas keadaan overmacht, selain itu juga penulisan ini memberikan manfaat bagi penulis serta bagi pembuat kebijakan, yang diuraikan sebagai berikut: 1. Bagi developer, adanya keterbukaan bagi masyarakat dalam pembuatan klausul pertelaan terhadap Hak Milik atas Satuan Rumah Susun; 2. Bagi pemilik unit satuan rumah susun, dalam keadaan overmacht terhadap kepemilikan satuan rumah susun, akan memberikan perlindungan hukum dan menjamin kepastian hukum dalam kepemilikan satuan rumah susun; 3. Bagi Penulis, untuk menambah wawasan di bidang hukum pertanahan (agraria) dan bidang property (rumah susun) mengenai klausul pertelaan serta dapat memahami kriteria overmacht terhadap obyek kebendaan rumah susun tersebut, sehingga penulis dapat mengkaji secara mendalam mengenai akibat hukum klausul pertelaan dalam hal terjadi overmacht terhadap Hak Milik atas satuan Rumah Susun; 4. Bagi pembuat kebijakan, maka diharapkan agar ketentuan UU Rumah Susun ditinjau kembali dan pengaturannya lebih dipertegas mengenai kriteria overmacht terhadap Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

42 Landasan Teoritis Teori Hukum Teori Hukum Umum a Three Elements of Legal System Theory Membahas permasalahan pertama, peneliti menggunakan Three Elements of Legal System Theory dari Lawrence M. Friedmann. Menurut Lawrence M. Friedmann, dengan teorinya tersebut mengajarkan, hukum itu harus dipersepsikan sebagai suatu sistem, artinya hukum itu bukan anasir tunggal melainkan eksistensinya mesti didukung oleh beberapa unsur yang saling mempengaruhi. Unsur dimaksud, menurutnya, adalah: legal structure (struktur hukum), legal substance (substansi hukum), dan legal culture (budaya hukum). 10 Mencermati Three Elements of Legal System Theory dari Friedmann dalam membahas permasalahan pertama mengacu pada substansi hukumnya. Friedmann, menjelaskan substansi hukum adalah "the actual rules, norms, and behavior pattern of people inside the system" 11 (yakni pada aturan-aturan dalam sistem hukum tersebut, norma-norma termasuk pola perilaku manusia didalam sistem) b Teori Keadilan Tujuan Negara Indonesia yaitu kesejahteraan (welfare state) dan kesejahteraan dapat dinikmati jika keadilan sudah diperoleh. 12 Berbicara mengenai keadilan terdapat makna yang beragam dari berbagai kalangan. Suatu 10 Lawrence M. Friedmann, 1985, American Law, W.W.Norton & Company New York-London, hal Ibid, hal Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, Laksbang Justitia, Surabaya, hal.70.

43 gejala tertentu disebut keadilan bukan merupakan tugas definisi keadilan melainkan dengan bantuan teori keadilan. Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan dari Aristoteles yang berdasar pada prinsip persamaan, keadilan terlaksana terhadap hal-hal yang sama diperlakukan sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama secara proporsionalitas (justice consist in treating equals equally and unequals unequally in proportion to their inequality). 13 Aristoteles membedakan keadilan menjadi: (1). Keadilan universal (umum) yaitu keadilan yang terbentuk bersamaan dengan perumusan hukum; (2). Keadilan partikular diidentikkan dengan kejujuran (fairness atau equalitas). Keadilan partikular ini dibedakan menjadi: a. Keadilan distributif adalah keadilan proporsional; b. Keadilan rektifikatoris disebut juga keadilan remedial, keadilan korektif ataupun keadilan kompensatoris yaitu keadilan didalam hubungan hukum antarpersona pada suatu transaksi bisnis atau kontrak yang didalamnya termuat pengertian equalitas. 14 Sejalan dengan pendapat Aristoteles, Thomas Aquinas mengemukakan definisi keadilan yaitu "justita est constans et perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi" (keadilan adalah kecendrungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). 15 Aquinas membedakan antara keadilan dalam arti umum (iustitia generalis) atau keadilan legal (iustitia legalis) dengan keadilan khusus. Aquinas menyatakan keadilan universal sebagai iustitia Aristoteles dalam E. Sumaryono, 2002, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, hal Ibid. 15 Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung (selanjutnya disebut Bahder Johan Nasution II), hal 104.

44 ad alterum yakni hubungan antara individu dengan masyarakat secara keseluruhan (ordo partium ad totum). 16 Sedangkan keadilan dalam arti khusus berlaku dalam dua cara yaitu: (1). Keadilan komutatif (iustitia commutativa) Hubungan yang mengatur hubungan timbal balik diantara individu yang satu dengan individu lainnya. (2). Keadilan distributif (iustitia distributiva) Mengatur hubungan antara masyarakat secara keseluruhan dengan setiap individu (ordo totius ad partes) yaitu keadilan dalam memberikan kepada seseorang secara sebanding atau secara proporsionalitas dengan apa yang seharusnya ia terima (praeter proportionem dignitas ipsius). 17 Teori lainnya mengenai keadilan yang relevan dalam menganalisis permasalahan pertama pada penulisan ini yaitu teori yang dikemukakan oleh John Rawls, dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak, dalam artian bahwa suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas yang dipilih merupakan kesepakatan bersama secara bebas. Melalui pendekatan kontrak maka teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang Teori Hukum Khusus a. Teori Korelasi Teori ini menyatakan selalu ada hubungan timbal-balik antara hak dan kewajiban. Teori korelasi ini dianut oleh pengikut utilitarianisme. Mereka berpendapat tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi dan terhadap E.Sumaryono, op.cit, hal E.Sumaryono, op.cit, hal Andre Ata Ujan, 1999, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), Kanisius, Yogyakarta, hal.21.

45 hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya tidak pantas disebut hak. Berikut pandangan dari teori korelasi: 1). Dipandang dari segi kewajiban Terhadap teori korelasi ini, diakui bahwa memang terdapat hubungan timbal-balik antara hak dan kewajiban, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa hubungan itu mutlak tanpa pengecualian. John Stuart Mill memberikan pembedaan yang begitu menarik antara duties of perfect obligation (kewajiban sempurna) dan duties of imperfect obligation (kewajiban tidak sempurna). Kewajiban sempurna selalu berkaitan dengan hak orang lain sedangkan kewajiban tidak sempurna tidak berkaitan dengan hak orang lain. 2). Dipandang dari segi hak. Hubungan korelasi antara hak dan kewajiban paling jelas terlihat dalam kasus hak-hak khusus. Dalam hal ini setiap seseorang mempunyai hak terhadap orang lain, maka orang lain tersebut mempunyai kewajiban terhadap seseorang b Teori Tahap Penyusunan Kontrak Menurut Van Dunne, tahap-tahap yang harus diperhatikan dalam penyusunan kontrak, yaitu: a) Tahap pracontractual merupakan tahapan awal dimana terjadi penawaran dan penerimaan diantara para pihak; b) Tahap contractual merupakan keseluruhan hubungan hukum antara para pihak sesuai dengan kesepakatan; c) Tahap post contractual yaitu tahap pelaksanaan kontrak yang mengikat para pihak serta menimbulkan akibat hukum c Teori Pertanggungjawaban Risiko Tanggung Gugat dalam terjadinya Overmacht Terdapat beberapa teori menurut Agus Yudha Hernoko untuk membahas risiko tanggung gugat dalam terjadi overmacht yang mencoba memberikan argumentasi masing-masing, meliputi: K.Bertens, 2004, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal Salim H.S, 2009, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.6, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Salim H.S I), hal.4.

46 1. Teori Objektif yang bertitik tolak dari asumsi bahwa prestasi tidak mungkin bagi setiap orang, artinya ketidakmungkinan mutlak bagi setiap orang (vide Pasal 1444 KUHPerdata). 2. Teori Subjektif bertitik tolak dari asumsi bahwa prestasi tidak mungkin bagi debitor yang bersangkutan, terkait dengan ketidakmungkinan relatif (dengan mengingat keadaan pribadi atau subjek debitor). J.F. Houwing dengan Teori Usahanya (Inspanningsleer theorie) merupakan pendukung teori subjektif. Teori ini beranjak dari pemikiran bahwa overmacht mulai di mana kesalahan berhenti artinya debitor harus dihukum membayar ganti rugi apabila tidak dapat membuktikan bahwa, ia telah melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya berdasar pada pendapat dalam lalu lintas masyarakat dan/atau makna yang wajar dari kontrak tersebut. 3. Teori Risiko dari J.L.L. Wery, beranjak dari pemikiran bahwa overmacht mulai diterima di mana risiko berhenti, artinya debitor harus dihukum membayar ganti rugi apabila tidak dapat membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Dengan kata lain, meskipun debitor tidak bersalah, debitor memikul risiko tanggung gugat. Teori ini menimbulkan teori ambil-alih risiko (Gevaarzetting Theorie) merupakan contoh dari teori risiko, bahwa di sini debitor telah mengambil risiko untuk pemenuhan prestasi tersebut d. Teori Hak Milik Menurut Rasjidi, hak milik adalah hubungan seseorang dengan suatu benda yang membentuk hak pemilikan terhadap benda tersebut, sehingga hubungan antara subyek dan benda yang memberikan wewenang kepada subyek untuk mempertahankan benda tersebut dari tuntutan pihak lain. 22 Dari pernyataan tersebut, maka terdapat beberapa teori hak milik untuk mempertahankannya, yaitu: (1) Teori Hukum Alam (Natural Law Theories) Ajaran Hugo Groutius dan Samuel Pufendorf dipandang sebagai teori hukum alam yang tertua mengenai milik, dikatakan bahwa pada Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian:Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, Cet.II, Kencana Predana Media Group, Jakarta, hal Rasjidi dalam Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 186.

47 awalnya semua benda adalah res nullius 23, kemudian atas suatu persetujuan, perjanjian timbal-balik lahirlah penguasaan individu. (2) Teori Metafisik (Metaphysical Theories) Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant, memberikan gagasan mengenai suatu benda adalah kepunyaannya, dalam artian hak milik adalah hak mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Teori ini menekankan pada unsur pendakuan dan perjanjian. (3) Teori Sejarah (Historical Theories) Teori sejarah didasarkan pada prinsip Von-Savigny bahwa semua hak milik berdasar atas kepunyaan yang dirugikan oleh daluarsa. (4) Teori Positif (Positive Theories) Teori positif mengenai milik ini dikemukakan oleh Spencer bahwa suatu hukum kebebasan yang dideduksi yang dibenarkan atas dasar fakta dalam masyarakat primitif, yang nantinya akan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban. (5) Teori Psikologis (Psychological Theories) Mendasarkan pada insting manusia untuk menguasai benda-benda dalam alam milik pribadi. (6) Teori Sosiologis (Sociological Theories) Mendasarkan pada pendapat mengenai adanya interaksi dari kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Teori sosiologis dibedakan atas: a). Teori Sosiologis Psychologis yaitu mencari dasar milik didalam suatu insting kehendak untuk memperoleh harta benda dan atas dasar itu memandang hak milik sebagai suatu perkembangan sosial atau lembaga sosial. b). Teori Sosiologis Positif, menunjukkan terjadinya sosialisasi dalam hak milik, tidak berarti bahwa hak milik berubah menjadi hak kolektif tetapi hak milik sebagai fungsi sosial. c). Teori Sosiologis Utilitis menjelaskan dan membenarkan milik sebagai suatu lembaga yang menjamin tercapainya kepentingan dan sebagai usaha untuk pembangunan masyarakat Konsep Hukum Konsep hukum yang digunakan dalam permasalahan pertama yaitu konsep tanggung jawab developer terhadap konsumen dalam hal terjadinya Res nullius yaitu barang yang pemiliknya tidak diketahui (Lihat L.Sumartini, et.al, 1999, Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda- Bahasa Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta, hal.126). 24 Roescou Pound dalam Aslan Noor, 2006, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, hal

48 overmacht. Permasalahan kedua menggunakan, konsep hak dan kewajiban para pihak, serta untuk konsep overmacht, konsep Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan konsep pertelaan sama-sama diterapkan terhadap permasalahan pertama maupun kedua, berikut uraiannya: Konsep Pertelaan dan Konsep Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Konsep bangunan rumah susun bangunan bertingkat, yang dapat dihuni bersama, dimana satu-satuan dari unit dalam bangunan dimaksud dapat dimiliki secara terpisah yang dibangun baik secara horizontal maupun secara vertikal yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. 25 HMSRS adalah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersifat perseorangan dan terpisah, meliputi hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan yang terdiri atas kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama. (dua) yaitu : Sistem pemilikan atas suatu gedung bertingkat dapat dibagi menjadi 2 1. Pemilikan tunggal (single ownership); Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung bertingkat itu berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan pemilik gedung. 2. Pemilikan bersama (joint ownership). Adapun sistem pemilikan bersama dibagi dua dengan melihat adanya atau tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik gedung bertingkat itu, yaitu sebagai berikut: a. Pemilik bersama yang terikat, yaitu adanya ikatan hukum lebih dahulu antara pemilik. Dasar pengaturannya Permendagri No. 14 Tahun Vide Pasal 1 angka 3 UU Rumah Susun.

49 b. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para pemilik tidak ada hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik untuk dipergunakan bersama. Dasar pengaturannya UURS juncto PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun. Sistem pemilikan bersama yang bebas inilah yang dikenal sebagai condominium. 26 Sesuai dengan konsep diatas, maka UU Rumah Susun telah merumuskan jenis kepemilikan perorangan dan pemilikan bersama satu kesatuan jenis pemilikan yang baru yang disebut Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Dengan demikian, kepemilikan hak atas tanah pada Sarusun di dalam kerangka hukum benda mengacu kepada sistem kondominium sebagaimana yang diatur dalam buku II KUHPerdata, dimana terdapat pemilikan individual atas Sarusun yang merupakan hak penghuni, disamping itu terdapat hak kepemilikan bersama atas tanah dimana bangunan tersebut terletak (common areas) dan hak milik bersama atas saranasarana bangunan (common elements). 27 Berikut gambaran dari bagian kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun: 21 Gambar 1: Sistem Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sesuai dengan UU Rumah Susun yang penulis kutip dari Buku Panduan Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2009, Jakarta. 26 Imam Kuswahyono, 2004, Hukum Rumah Susun, Bayumedia Publishing, Malang, hal Ibid.

50 Pelaku pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, pemisahan ini memberikan kejelasan atas : a. Batas satuan rumah susun yang dapat digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik. b. Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi hak setiap satuan rumah susun, dan c. Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak setiap satuan rumah susun. 28 Pemisahan atas satuan rumah susun wajib dituangkan dalam Gambar dan Uraian Pertelaan, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Gambar Pertelaan, yaitu gambar yang memperlihatkan batas-batas kepemilikan perseorangan maupun kebersamaan yang distrukturkan secara vertikal maupun horizontal yang merupakan satu kesatuan fungsi dalam kegunaannya, yang mengandung nilai perbandingan proposional (NPP). 2) Uraian Pertelaan Uraian Pertelaan adalah penjelasan secara deskriptif dari gambar pertelaan mengenai kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersamayang dilengkapi dengan spesifikasi teknis yang mengandung nilai perbandingan proporsional (NPP) yang perhitungannya dilakukan oleh penyelenggara pembangunan dan disahkan oleh Bupati/Walikota dan khusus untuk wilayah DKI Jakarta disahkan oleh Gubernur. 29 Berdasar uraian diatas, maka jelas Pertelaan memiliki peranan yang penting sebagai salah satu syarat untuk pengesahan Akta Pemisahan Rumah Susun sebelum diterbitkannya Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Vide Pasal 25 UU Rumah Susun. 29 Vide Pasal 26 UU Rumah Susun.

51 Bagan 1.1. Prosedur Penerbitan Sertipikat HMSRS Sumber: UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun yang diolah dan penulis kutip Buku Panduan Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2009, Jakarta Konsep hak dan kewajiban para pihak Hak merupakan terjemahan dari bahasa Latin, digunakan istilah ius, right dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Perancis istilah hak merupakan terjemahan dari droit sedang dalam bahasa Belanda, istilah hak sama dengan istilah hukum yaitu recht 30, yaitu apa yang dimiliki atau melekat pada diri seseorang. Keadilan atau iustitia akan terbentuk jika seseorang menerima apa yang seharusnya ia miliki atau melekat pada dirinya C.S.T Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal E.Sumaryono, op.cit, hal.161.

52 24 Hak merupakan seperangkat kewenangan yang diperoleh seseorang baik berupa hak yang melekat sejak ia lahir sampai meninggal. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kewenangan seseorang dan kekuasaan kepadanya untuk bertindak memenuhi kepentingannya secara terukur. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak. Jadi, tidak semua kewenangan masyarakat itu dikatakan sebagai hak, hanya kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang dikatakan sebagai hak. 32 Lili Rasjidi mengatakan bahwa hak sama halnya dengan kesalahan dan kewajiban, bersifat moral dan hukum. Dari segi moral, hak merupakan suatu kepentingan yang diakui dan dan diatur oleh ketentuan moral. Dari segi hukum, hak merupakan kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh suatu peraturan perundang-undangan. 33 Selain itu, pengertian hak dapat dijumpai juga dalam teori mengenai hakekat hak (teori kehendak dan teori kepentingan) yang telah diuraikan sebelumnya. Paton dan Meijers berpendapat bahwa esensi hak bukanlah kekuasaan yang dijamin oleh hukum melainkan kekuasaan yang dijamin hukum untuk memenuhi suatu kepentingan. Selanjutnya, oleh K.Bertens, hak dikatakan sebagai klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan, dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Hal ini berarti bahwa orang yang mempunyai hak bisa saja menuntut bahwa orang lain akan 32 Zainuddin Ali, 2008, Filsafat Hukum, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, hal.81. Bandingkan pula dengan L.J.Van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oetarid Sadino, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 31, Pradnya Paramita, Jakarta, hal Lili Rasjidi dalam Abdul Rachmad Budiono, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.I, Banyumedia, Malang, hal.72.

53 25 memenuhi dan menghormati hak itu. 34 Sesuatu menjadi hak, apabila dapat menuntut agar sesuatu itu diberikan kepada pemilik hak dan apabila orang lain wajib memberikan apa yang dituntut tersebut. 35 Thomas Aquinas menyatakan, hak pada dasarnya merupakan akibat keberlakuan hukum. Jika hukum berlaku, maka dalam keberlakuannya terkandung keharusan (necessitas) bagi subyek untuk menaatinya dengan maksud untuk mewujudkan kebaikan umum yakni hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi juga mengandung unsur keharusan yang diterapkan pada kehendak secara bebas. Jika hukum memaksakan keharusan moral untuk melakukan secara bebas, maka terdapat kekuatan moral dalam melakukan hal tersebut. Oleh Thomas Aquinas kekuatan moral inilah disebut sebagai hak. 36 Mencermati uraian diatas mengenai pengertian hak dari para ahli hukum, ciri-ciri yang melekat pada hak dan unsur-unsur dari hak maka dapat dipahami bahwa hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan tetap dapat dipertahankan. Oleh karenanya, setiap hak yang melekat pada seseorang wajib untuk dihormati/dilindungi, jika merasa kepentingannya dirugikan maka seseorang yang dirugikan tersebut berhak untuk mengajukan tuntutan. Sehingga dapat dipahami bahwa hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat erat. Kewajiban merupakan hal yang mutlak dibutuhkan oleh seseorang yang ingin haknya terpenuhi. Seseorang dapat menuntut haknya apabila ia telah 34 K.Bertens, loc.cit. 35 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum:Refleksi Kritis terhadap Hukum, 2011, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal E.Sumaryono, op.cit, hal.237.

54 menyelesaikan kewajibannya. Kewajiban adalah bentuk pasif dari tanggung jawab. Sesuatu yang dilakukan karena tanggung jawab adalah kewajiban. Hak dan kewajiban dari para pihak tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Hak dan kewajiban Pemilik SRS A. Hak Pemilik SRS Sudah dengan sendirinya pemilik SRS berhak untuk menghuni SRS yang dimilikinya serta menggunakan bagian-bagian bersama, tanah bersama dan benda-benda bersama, masing-masing sesuai dengan peruntukannya; Ia juga berhak untuk menyewakan SRS yang dimilikinya kepada pihak lain yang akan menjadi penghuni, asalkan tidak melebihi jangka waktu berlakunya hak atas tanah bersama yang bersangkutan; Ia juga berhak untuk menunjuk HMSRS yang dimilikinya sebagai jaminan kredit membebaninya dengan Hak Tanggungan; HMSRS dapat beralih karena pewarisan; Juga dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui jual-beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan atau legaat. B. Kewajiban Pemilik SRS Para pemilik SRS berkewajiban membentuk Perhimpunan Penghuni yang bertugas mengurus kepentingan bersama para pemilik SRS dan penghuninya yang bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya agar terselenggara kehidupan bersama yang tertib dan aman dalam lingkungan yang sehat dan serasi Pembiayaan kegiatan perhimpunan penghuni dan Badan Pengelola ditanggung bersama oleh para pemilik SRS dan para penghuni, masing-masing sebesar imbangan menurut nilai perbandingan proporsionalnya; Jika jangka waktu hak atas tanah bersama berakhir, para pemilik SRS berkewajiban untuk bersama-sama mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang bersangkutan Hak dan kewajiban developer Hak Developer: Developer dapat memindahkan hak dan kewajiban dalam pengikatan jual-beli tersebut kepada pihak lain melalui pemberitahuan tertulis kepada pembeli. Kewajiban Developer: a. Melampirkan detail dan spesifikasi bangunan. b. Tanggal selesainya pembangunan dan tanggal penyerahan unit apartemen yang bersangkutan akan diberitahukan oleh developer kepada pemesan/pembeli Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Cet. XII, Djambatan, Jakarta (selanjutnya disebut Boedi Harsono II), hal

55 c. Menjadi tanggung jawab developer untuk menyelesaikan pembangunan dan memperbaiki kerusakan yang terjadi dalam jangka 14 hari setelah tanggal ditandatangani Berita Acara Serah Terima, dengan ketentuan bahwa: 1) tanggung jawab developer tersebut dibatasi oleh desain dan spesifikasi unit apartemen, dan 2) kerusakan-kerusakan yang terjadi bukan disebabkan oleh kesalahan developer. d. Developer atau pihak yang ditunjuk oleh developer akan menjadi pengelola sementara Apartement Tower sebelum terbentuk Perhimpunan Penghuni dan menunjuk pengelola setelah perhimpunan penghuni terbentuk. e. Developer akan mengasuransikan pekerjaan pembangunan tersebut selama berlangsungnya pembangunan. f. Jika terjadinya force majeur (keadaan kahar) yang di luar kemampuan para pihak selama berlangsungnya pembangunan, developer dan pembeli akan mempertimbangkan penyelesaiannya sebaik-baiknya, dengan dasar pertimbangan utama adalah dapat diselesaikan pekerjaan pembangunan unit apartemen. g. Developer atas biaya pembeli, akan menyiapkan akta jual-beli Hak Milik Atas Unit Apartemen bersama-sama dengan pembeli. Akta ditandatangani pembeli dihadapan Notaris/PPAT yang berwenang yang kemudian akan mengurus agar pembeli dapat memperoleh Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Satuan Rumah Susun atas namanya sendiri dari Kantor Badan Pertanahan setempat. h. Jika developer tidak dapat menyelesaikan pembangunan unit apartemen pada tanggal yang telah ditentukan, developer diberi kesempatan menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka waktu 120 hari. Jika tidak terlaksana dalam jangka waktu tersebut, maka kepada pembeli akan dibayar denda setiap bulannya oleh developer Konsep Overmacht 27 Konsep overmacht ditemukan dalam KUHPerdata pada pasal-pasal berikut ini: Pasal 1244 KUH Perdata Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya. 38 Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995 tentang Pedoman Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun.

56 Pasal 1245 KUH Perdata Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digan tinya, apabila karena keadaan memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Pasal 1444 KUH Perdata (1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. (2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya. (3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu. (4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya. Pasal 1445 KUH Perdata Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya. Alinea pertama Pasal 1444 ini mencerminkan tunduknya perjanjian kepada ketentuan tentang overmacht yang diluar kendali para pihak dan tidak membebaskan pihak yang mempunyai kewajiban untuk tetap memberi penggantian kepada pihak yang berhak, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1445 KUH Perdata. Overmacht yang diatur dalam Pasal 1244, Pasal 1245, Pasal 1444 dan Pasal 1445 KUH Perdata tersebut, diartikan secara berbeda oleh para ahli hukum kontrak, antara lain: 28

57 29 Munir Fuady mengungkapkan pendapatnya tentang overmacht, yaitu suatu keadaan yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan yang tidak diduga pada saat dibuatnya perjanjian, keadaan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditor karena keadaan debitur tidak dalam keadaan beritikad buruk. 39 R. Subekti menyatakan untuk dapat dikatakan suatu overmacht, selain keadaan itu di luar kekuasaannya si debitur dan memaksa, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si debitur. 40 Merujuk pasal-pasal dalam KUHPerdata dan pendapat hukum kontrak, dapat disimpulkan bahwa pengertian overmacht adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko. Risiko adalah suatu ajaran tentang siapakah yang harus menanggung ganti rugi apabila debitur tidak memenuhi prestasi dalam keadaan overmacht 41. Kewajiban menanggung kerugian tersebut sebagai akibat dari suatu peristiwa atau kejadian yang menimpa objek perjanjian dan bukan karena 39 Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal R.Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet.29, Intermassa, Jakarta (selanjutnya disebut Subekti I), hal.l Salim H.S, 2009, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet.6, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Salim H.S II), hal.185.

58 kesalahan dari salah satu pihak/diluar kesalahan para pihak. 42 Dalam hal diluar kesalahan ini, sudah pasti bahwa apabila ingkar janji terjadi karena kesalahan debitur, maka ganti rugi ditanggung gugat oleh debitur tersebut, tetapi lain halnya apabila tidak dipenuhinya suatu prestasi adalah diluar kesalahan debitur dalam hal ini terjadinya overmacht dan karena ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Dengan ajaran risiko inilah dapat diselesaikannya masalah bagaimana caranya membayar ganti rugi dalam hal terjadinya overmacht. 43 Mariam Darus Badrulzaman juga memberikan beberapa pandangan mengenai risiko di mana beliau mengacu pada ketentuan-ketentuan di dalam KUH Perdata, yang membaginya sebagai berikut: 1. Risiko pada Perjanjian Sepihak Risiko dalam perjanjian sepihak diatur dalam Pasal 1237 KUH Perdata diatur siapa yang menanggung. Perikatan sepihak adalah perikatan yang prestasinya hanya ada pada salah satu pihak. Ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata diperluas lagi dalam suatu ketentuan lain, yaitu dalam Pasal 1444 KUH Perdata. Dari asas yang terkandung di dalam Pasal 1237 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa dalam perikatan sepihak apabila terjadi ingkar janji karena overmacht, risiko ada pada kreditur. 2. Risiko dalam Perjanjian Timbal Balik Dalam bagian umum dari KUH Perdata tidak diatur tentang risiko dalam perjanjian timbal balik. Para pengarang mencari penyelesaian hal ini di dalam asas kepatutan (billijkheid). Asas kepatutan didalam KUH Perdata diatur dalam ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. 44 Dari kedua ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa didalam perjanjian timbal-balik, apabila terjadi keadaan memaksa, maka risiko adalah tanggungan dari pemilik. Bahwa adalah merupakan suatu keadilan dan pantas Rahmat S.S Soemadipradja, 2010, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa (Syarat-syarat pembatalan perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa/force majeure), Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hal Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal

59 untuk perjanjian tersebut dimana pihak yang lain dibebaskan dari kewajibannya menyerahkan barang. Berdasarkan uraian mengenai akibat dari overmacht berupa risiko terhadap perjanjian, dewasa ini mengalami perkembangan yang semakin kompleks meskipun tidak secara menyeluruh. Pada dasarnya, berpedoman pada ketentuan dalam KUH Perdata, yaitu dalam Pasal 1237 KUH Perdata, Pasal 1460 KUH Perdata, Pasal 1545 KUH Perdata, dan Pasal 1553 KUH Perdata yang mengatur tentang risiko Konsep Tanggung Jawab Developer/Ganti Rugi Terhadap Konsumen Dalam Overmacht. Tanggung jawab merupakan hasil yang ditimbulkan dari suatu perbuatan. Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan maka perbuatan itu akan berdampak pada orang lain, dampak atau akibat itu harus ditanggung oleh orang yang melakukan perbuatan tersebut. Tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang bertanggung jawab dan sebatas mana tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Sebelum mengetahui sebatas mana pertanggungjawaban yang akan dibebankan, perlu dicermati, kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha melalui doktrin berikut ini: 1). Let the buyer beware (cavet emptor) Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Dengan adanya UUPK, kecendrungan caveat emptor mulai diarahkan kepada caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhatihati). 31

60 2) The due care theory Doktrin ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a contario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha, seseorang harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut melanggar prinsip kehati-hatian. 3) The privity of contract Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal tersebut dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin hubungan kontraktual. 4) Prinsip kontrak bukan syarat Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract ini tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. 45 Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: (1) Prinsip tanggung jawab karena kesalahan (Liability Based on Fault), menegaskan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. (2) Prinsip praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability Principle), menegaskan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. (3) Prinsip praduga selalu tidak bertanggung jawab (Presumption of Nonliability Principle), menegaskan bahwa tergugat tidak selamanya bertanggungjawab. (4) Tanggung jawab mutlak (strict liability), menegaskan bahwa tergugat harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya. (5).Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability), menegaskan bahwa pelaku usaha diuntungkan karena mencantumkan klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, hal N.H.T Siahaan, 2005, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta,hal

61 Secara teoritis dikatakan oleh Gunawan Widjaja, didalam UUPK, diatur beberapa macam tanggung jawab sebagai berikut: (1) Contractual Liability (Tanggung Jawab Kontrak), dalam hal ini terdapat adanya hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan atas perjanjian/ kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan. (2) Product Liability (Tanggung Jawab Produk), dalam hal ini tidak terdapat perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen namun tanggung jawab perdata secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya. (3) Professional Liability (Tanggung Jawab Professional), dalam hal ini terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen tetapi prestasi pemberi jasa tersebut tidak terukur sehingga tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada professional liability, (4) Criminal Liability, yaitu tanggung jawab pidana dari pelaku usaha atas tergangguna keselamatan dan keamanan konsumen. 47 Mengkaji permasalahan kedua pada penulisan ini dapat diselesaikan melalui strict liability. Berbeda dalam penerapan pada tanggung jawab mutlak 33 terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (developer) dan kerugian yang dideritanya. 47 Gunawan Widjaja, 2000, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (selanjutnya disebut Gunawan Widjaja I), hal

62 Asas Hukum Asas hukum perjanjian 1). Asas Konsensualisme (concensualism) Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata bahwa sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu adanya persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak dan mengikat para pihak. 48 Asas konsensualisme hanya berlaku untuk perjanjian konsensuiil dan perjanjian ini bersifat obligatoir yakni melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian tersebut. 49 2). Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sutan Remy Sjahdeini, mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. Menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya; d. Kebebasan menentukan obyek perjanjian; e. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan; f Menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat optional (aanvullend, optional) Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja I), hal Ahmadi Miru, 2008, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal Sutan Remy Sjahdeini yang dikutip dari Johannes Gunawan, Kajian Ilmu Hukum tentang Kebebasan Berkontrak dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-butir pemikiran dalam Hukum: Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, 2010, Refika Aditama, Bandung, hal.270.

63 35 3). Asas Kepastian Hukum/Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda) Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga wajib menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Hal ini disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. 51 4). Asas Itikad Baik (good faith) Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi: Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Terkait dengan hasil penelitian oleh Johannes Gunawan, maka ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menunjukkan bahwa para pihak bebas membuat suatu perjanjian dengan pembatasan, sejauh perjanjian tersebut dibuat (prakontraktual) dan dilaksanakan (pasca kontraktual) dengan dilandasi itikad baik. 52 Jadi, itikad baik harus selalu ada disetiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya. 5). Asas Kepribadian (personality) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata Salim H.S II, op.cit, hal Johannes Gunawan dalam Sri Rahayu Oktaberani dan Niken Savitri, op.cit, hal Salim H.S I, op.cit, hal.12.

64 Asas perlindungan konsumen Asas dalam perlindungan konsumen secara implisit diatur dalam Pasal 2 UUPK dan Penjelasannya, yaitu: (1) Asas manfaat yaitu perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan; (2) Asas keadilan yaitu memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil; (3) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual; (4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan; (5) Asas kepastian hukum yaitu pelaku usaha maupun konsumen menaati hukumdan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum Asas proporsionalitas Menurut Agus Yudha Hernoko, dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian:Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, untuk mencari makna asas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofis keadilan berkontrak. Landasan pemikiran Agus Yudha Hernoko, mengenai asas proporsionalitas ini mengacu pada pemikiran P.S.Atiyah yang memberikan landasan pemikiran bahwa dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil transaksi tersebut dilakukan oleh para pihak yang berkontrak sesuai dengan apa yang diinginkan. Pada dasarnya asas proporsionalitas ini perwujudan doktrin keadilan berkontrak yang mengoreksi asas kebebasan berkontrak, dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Asas proporsional ini sangat 54 N.H.T Siahaan, op.cit, hal.83.

65 37 berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak, jadi disini adanya pembagian hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual. 55 Berdasar uraian diatas, maka dapat dirumuskan asas proporsionalitas yang diterapkan dalam rumah susun ini mengandung makna bahwa untuk dapat mencapai perhitungan yang seadil-adilnya mengenai porsi hak, porsi kewajiban dan tentunya juga porsi tanggung jawab pribadi yang bersatu dalam kesatuan konstruksi dengan hak milik para "mede eigenars" lainnya, sebagaimana dituangkan dalam NPP yaitu porsi hak/ porsi kewajiban/ porsi tanggung jawab pribadi tiap-tiap "mede eigenars" dapat dihitung besarnya secara proposional terhadap porsi nilai dan harga keseluruhan obyek Satuan Rumah Susun yang menjadi milik mereka Asas Kepatutan Asas kepatutan dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuau yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Asas kepatutan berkaitan dengan overmacht dituangkan di dalam ketentuanketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Dari kedua ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian timbal balik, apabila terjadi overmacht maka risiko adalah atas tanggungan dari pemilik dan pihak yang lain dibebaskan dari kewajibannya untuk menyerahkan barang. Jadi, jika ada overmacht maka perjanjian batal demi hukum dan risiko ada pada para pihak. 55 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal

66 Asas hukum tanah Didalam hukum tanah nasional terdapat dua asas yang harus dicermati, yakni asas pelekatan dan asas pemisahan: 1. Asas pelekatan ( accessie beginsel); Asas pelekatan diatur dalam Buku II KUHPerdata, yang terdiri atas: a). Asas Pelekatan secara mendatar/horizontal (Horizontal Accessie Beginsel) Asas ini diatur dalam Pasal 588 KUHPerdata yang pada intinya menyatakan melekatkan suatu benda sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya dan segala apa yang melekat pada suatu benda menurut ketentuan Undang-undang dianggap sebagai pemiliknya. b). Asas Pelekatan secara tegak lurus/vertikal (Vertikal Accessie Beginsel) Asas ini diatur dalam Pasal 571 KUHPerdata dan Pasal 601 KUHPerdata, yang pada intinya menyatakan bahwa maksud dari asas pelekatan vertikal ini adalah pemilikan atas tanah berarti juga memiliki bangunan atau rumah dan segala seuatu yang melekat pada tanah itu beserta segala sesuatu yang ada dalam tanah tersebut Asas pemisahan horizontal (Horizontal Scheiding Beginsel) Asas pemisahan horizontal ini dianut oleh hukum adat, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 5 UUPA. Pengertian asas pemisahan horizontal dalam hukum adat, tanah yuridis dipandang terlepas dari bangunanbangunan atau tanaman-tanaman diatasnya, hal ini mengandung maksud bahwa bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan sehingga hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada diatasnya begitupun dengan perbuatan hukum atas tanah tersebut. 57 Sehubungan asas hukum tanah yang digunakan dalam Rumah Susun ini. Ridwan Halim menyatakan pendapatnya yaitu sebagai berikut: a. Dikatakan bahwa asas pemisahan vertikal dikenal dalam hukum rumah susun yang membagi-bagi secara terpisah-pisah suatu bangunan rumah susun itu atas satuan-satuan rumah susun yang saling terpisah, dengan 56 Djuhaendah Hasan, 2011, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta, hal Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, (selanjutnya disebut Titik Triwulan Tutik I) hal.178.

67 tujuan agar tiap-tiap satuan rumah susun itu dapat dimiliki ataupun dihuni secara tersendiri, terpisah dari satuan-satuan rumah susun lain. b. Dikatakan bahwa asas pemisahan horizontal dikenal juga dalam hukum rumah susun yang membagi, memisahkan dan membedakan antara status satuan-satuan rumah susun yang merupakan hak milik pribadi masing-masing dari para "mede-eigenars" dengan tanah dimana gedung rumah susun mereka itu berdiri yang merupakan hak milik bersama dari para mede-eigenaars tersebut Asas Hukum Kebendaan Hukum benda adalah sub sistem dari Hukum Nasional yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara 39 subyek hukum dengan benda dan hak kebendaan. 59 Asas Hukum Benda yang menjadi dasar penormaan Hukum Kebendaan, yaitu: 1) Hukum kebendaan merupakan hukum memaksa/tidak dapat disimpangi (dwingend recht), maka ketentuan-ketentuan dalam Hukum Kebendaan yang telah diatur dalam undang-undang tidak dapat disimpangi oleh seseorang atau beberapa pihak. 60 2) Hak kebendaan dapat dipindahtangankan/dialihkan kepada siapapun asalkan yang bersangkutan mempunyai kewenangan untuk itu 61 sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang,kesusilaan dan ketertiban umum, hak milik atas kebendaan dapat dialihkan oleh pemiliknya kepada pihak lain. 3) Asas individualitas (individualitet) / asas specialitas Individualiteit berarti bahwa yang dimiliki sebagai kebendaan adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat ditentukan (individueel bepaald) 62 harus ditunjukkan dengan jelas wujud, batas, letak dan luas tanah Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Hak Milik Kondominium, Rumah Susun dan Sari-sari Hukum Benda (Bagian Hukum Perdata), Puncak Karna, Jakarta, hal Mariam Darus Badrulzaman, 2010, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Cet.3, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal Rachmadi Usman, 2011, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Rachmadi Usman I), hal Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.38.

68 4) Asas totalitas/menyeluruh atas benda (totalitet), memberikan kepada pemiliknya suatu kepemilikan secara menyeluruh atas setiap bagian dari suatu kebendaan. Atas bagian yang tidak tersendiri itu dapat diadakan hak kebendaan, sesudah bagian itu menjadi benda yang berdiri sendiri. 64 5) Asas accessie dan asas pemisahan horizontal Suatu benda lazimnya terdiri atas bagian-bagian yang melekat menjadi satu dengan benda pokok (asas accesie), KUHPerata mengenal asas perlekatan vertikal dalam Pasal 571, 600, 601,603 s/d 605. UUPA tidak menganut asas perlekatan saja akan tetapi menganut pemisahan horizontal dari Hukum Adat. 6) Asas hak mengikuti benda (zaaksgevlog, droit desuite) Asas ini menyatakan bahwa hak kebendaan mengikuti bendanya dimana saja dan dalam tangan siapapun benda itu berada. 7) Asas prioritas (prioritet) Hak prioriteit adalah hak yang lebih dahulu terjadinya dimenangkan dengan hak yang terjadi kemudian dan memberikan akibat bahwa seseorang itu hanya dapat memberikan hak yang tidak melebihi apa yang dipunyai (asas nemoplus) 65 8) Asas percampuran (vermenging) Asas pencampuran merupakan kelanjutan dari pemberian jura in re aliena dimana, hak kebendaan terbatas tidak mungkin menjadi pemegang hak kebendaan terbatas tersebut, jika demikian maka hak kebendaan tersebut demi hukum menjadi hapus. 66 9) Asas publisitas (publiciteit); Asas publisitas (publiciteit), adanya fungsi dan kewajiban pencatatan dan publisitas 67 terhadap hak atas benda tetap terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan nyata benda itu ) Asas perlindungan, dibedakan dalam dua jenis yaitu perlindungan untuk golongan ekonomi lemah dan kepada pihak yang beritikad baik (to goeder trouw) ) Sifat Perjanjiannya sebagai perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) menjadi makin penting dalam pemberian hak kebendaan yang terbatas (jura in re aliena) yang dimungkinkan oleh undang-undang Frieda Husni Hasbulla dan Surini Ahlan Syarif dalam Rachmadi Usman I, op.cit, hal Rachmadi Usman I, op.cit, hal Herlien Bodiono, op.cit, hal Herlien Boediono, loc.cit. 68 Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal Herlien Boediono, loc.cit.

69 41 Bagan 1.2: Bagan Alur Konstruksi Berpikir Terhadap Relevansi Teori Hukum, Konsep Hukum dan Asas Hukum yang digunakan dalam Menganalisis Permasalahan Teori Hukum Konsep Hukum Asas Hukum Teori hukum umum Teori umum khusus Konsep klausul - Teori keadilan berbasis kontrak - Three elements of legal system theory - Teori risiko tanggung gugat dalam terjadi overmacht - Teori tahap perjanjian, - Teori korelasi - Teori hak milik petelaan dan hak milik atas satuan rumah susun Konsep overmacht Konsep tanggung jawab developer terhadap konsumen dalam hal terjadinya overmacht. Konsep hak dan kewajiban para pihak Asas hukum tanah Asas hukum benda Asas perlindungan konsumen Asas kepatutan Asas kepastian hukum Asas proporsionalitas 1.6. Metode Penelitian Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan

70 42 penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban) Jenis Penelitian Mengkaji permasalahan penulisan ini dengan menggunakan penelitian Yuridis Normatif karena pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangundangan (law in books) 71. Berkaitan dengan masalah mendasar dari penulisan ini adanya Norma Kosong dalam UU Rumah Susun mengenai overmacht. Dalam hal ini, penulis mengkaji secara mendalam mengenai pengaturan overmacht mengingat overmacht itu sendiri telah diatur dalam Buku III KUHPerdata, sehingga dapatkah overmacht dalam Buku III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis dalam Undang-Undang Rumah Susun. Hal ini, tentunya dengan mencermati substansi obyek kebendaan dari hak milik atas satuan rumah susun Jenis pendekatan Untuk membahas permasalahan yang penulis kemukakan dalam penulisan ini, menggunakan pendekatan : 1) Pendekatan perundang-undangan (statute approach) 72, khususnya: - Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945; - Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria; 71 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), hal.93.

71 43 - Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman; - Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun; - Kitab Undang-undang Hukum Perdata. - Kitab Undang-undang Hukum Dagang. - Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun; - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama Dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan yang Ada di Atasnya Serta Penerbitan Sertifikatnya; - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada di Atasnya. - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan Dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara Terpisah Bagian Bagian Pada Bangunan Bertingkat; - Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun; - Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

72 44 2) Pendekatan konsep hukum (conseptual approach) Pendekatan konsep berawal dari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin yang berkembang dalam ilmu hukum sehingga akan melahirkan konsep hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. 73 Pendekatan konsep yang dilakukan dengan menelaah dan menganalisis permasalahan hukum pada penulisan ini yaitu melalui konsep yang berhubungan dengan klausula pertelaan, overmacht serta konsep tanggung jawab Developer. 3) Pendekatan kasus (case approach) Pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Pendekatan kasus ini mengkaji decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan, yang nantinya akan dijadikan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum Sumber Bahan Hukum Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa suatu penelitian hukum normatif menggunakan: 1. Bahan hukum primer (bahan hukum yang bersifat mengikat), yang digunakan dalam penulisan ini berkaitan dengan peraturan perundangundangan yang relevan untuk menelaah isu hukum terkait. Peraturan perundang-undangan dimaksud sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendekatan perundang-undangan. 73 Mukti Fajar N.D dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal Peter Mahmud Marzuki II, ibid, hal.94. Lihat juga Mukti Fajar N.D dan Yulianto Achmad, Ibid, hal

73 45 2. Bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer), terdiri atas penjelasan undang-undang, hasil penelitian literature, jurnal ilmiah, dan berbagai tulisan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 3. Bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder), seperti Kamus Hukum, Internet dengan menyebut nama situsnya Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penulisan ini yaitu melalui teknik telaah kepustakaan (study document) dengan sistem kartu (card system) yakni setelah mendapat semua bahan yang diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal-hal yang dianggap penting bagi penelitian yang digunakan. 76 Sistem kartu yang digunakan dalam penulisan ini adalah kartu kutipan untuk mencatat nama pengarang/penulis, judul buku, halaman dan mengutip hal-hal yang dianggap penting agar bisa menjawab permasalahan dalam penulisan ini. Dalam penerapan teknik telaahan kepustakaan ini didukung pula dengan penggunaan teknik bola salju (snow ball) yakni dengan menemukan bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari satu literature ke literature lainnya Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian dalam penulisan ini menggunakan Penelitian Yuridis Normatif, dengan metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier, maka penelitian ini 75 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.l3. 76 Ibid.

74 46 menggunakan teknik deskriptif analitis, menganalisis peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi obyek penelitian dan bahan hukum ini bersifat: 77 a). Deskripsi Tahapan pendeskripsian atau penggambaran dengan menguraikan proposisi-proposisi hukum sesuai dengan pokok permasalahan yang dikaji yakni dengan adaya akibat hukum dari klausula pertelaan oleh sebab adanya overmacht pada Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. b). Sitematisasi Dalam proses sistematisasi ini terbentuk atau dirumuskan sejumlah aturan umum dan pengertian-pengertian hukum atau konsep hukum (legal consept) yang digunakan untuk memudahkan pengolahan bahan hukum dalam proses sistematisasi bahan hukum tersebut. 78 c). Evaluasi Tahapan evaluasi atau analisis dengan memberi penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah syah atau tidak syah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. d). Argumentasi. Teknik argumentasi, teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. 77 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cet.lI, Sinar Grafika, Jakarta, hal Bernard Arief Sidharta, op.cit, hal.154.

75 47 Mengacu pada paparan diatas,dalam mengkaji permasalahan ini, penulis melakukan telaah secara cermat dan seksama, dari aspek hukum benda nasional, aspek hukum tanah nasional, aspek hukum perjanjian rumah susun dan aspek perlindungan konsumen. Secara ringkas penulis dapat mengemukakan, bahwa berkenaan dengan akibat hukum klausula pertelaan dalam hal terjadinya overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, penulis mencoba mengupas permasalahan tersebut dengan menganalisis secara mendalam dari konteks sistem hukum benda dan hukum tanah nasional dan sebagaimana diketahui sistem hukum kebendaan nasional bersifat tertutup/ memaksa (dwingend recht) dan telaah lebih lanjut terhadap kriteria overmacht dalam Buku III KUHPerdata akan berlaku mutatis mutandis dalam UU Rumah Susun ataukah tidak, penulis mencoba mengupasnya secara cermat dengan melakukan telaah dari aspek hukum perjanjian rumah susun dan aspek hukum perlindungan konsumen. Berkenaan dengan kriteria overmacht tersebut, penulis juga melakukan telaah secara seksama terhadap doktrin-doktrin, yurisprudensi, peraturan perundangundangan lainnya dan kontrak-kontrak lainnya agar nantinya secara spesifik dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap kriteria dari overmacht itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa overmacht dan perjanjian itu sendiri berkaitan dengan Buku III KUHPerdata. Jadi dalam hal ini terhadap musnahnya objek kebendaan HMSRS dan akibat hukumnya terhadap klausula pertelaan, penulis melakukan analisis secara seksama di satu sisi dari sudut pandang Buku II KUHPerdata dan di sisi dari sudut pandang Buku III KUHPerdata, sebatas mana Sistem Hukum tersebut memegang peranan penting dan sebatas mana daya kerja dari masing-masing sistem hukum tersebut. Setelah melakukan analisis secara seksama kemudian sampailah pada tahap simpulan.

76 48 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEBENDAAN, PERTELAAN, HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN, OVERMACHT DAN HUKUM PERJANJIAN RUMAH SUSUN 2.1. Tinjauan Umum tentang Hak Kebendaan Ruang Lingkup Benda dan Hak Kebendaan Istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak. 79 Benda dalam arti ilmu pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum karena berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum. 80 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perdata: Hukum Benda menegaskan pengertian benda secara yuridis yaitu segala sesuatu yang dapat menjadi obyek eigendom (hak milik). Sebagaimana halnya ditegaskan dalam Pasal 499 KUHPerdata yang menyatakan: menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. 81 Lebih lanjut, Subekti memberikan pengertian benda menjadi tiga bentuk yaitu: 79 S.Wojowasito, 2003, Kamus Umum Belanda Indonesia:Belanda Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disebut Titik Triwulan Tutik I), hal Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Cet.IV, Liberty, Yogyakarta, hal Lihat pula Gunawan Widjaja, 2006, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Gunawan Widjaja II), hal.16.

77 1) Benda (zaak) dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang lain, disini benda berarti sebagai obyek hukum; 2) Benda dalam arti sempit adalah sebagai barang yang dapat terlihat saja, dan; 3) Benda yang berarti kekayaan seseorang yang meliputi pula barangbarang yang tak terlihat yaitu hak-hak. 82 Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa dalam perspektif KUHPerdata, pengertian benda yang dimaksud meliputi segala sesuatu yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh subyek hukum baik itu berupa barang (goed) 83 maupun hak (recht) 84 sepanjang obyek dari hak milik itu dikuasai oleh subyek hukum. Meskipun demikian, lain halnya terhadap penguasaan benda yang bernilai ekonomis, walaupun benda tersebut dapat dimiliki tetapi pada kenyataannya tidak memiliki nilai ekonomis maka benda tersebut tidak dapat dikatakan sebagai benda dalam konteks tersebut. Sebaliknya segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki atau dikuasai oleh subyek hukum berarti bukanlah termasuk benda dalam perspektif hukum. Beranjak pada pembedaan benda dalam KUHPerdata dan pendapat dari Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang mengenal adanya benda yang tidak berwujud, berbeda dalam sistem hukum adat yang tidak mengenal adanya benda yang tidak berwujud (onlichamelijk zaak). Bukannya tidak ada sama sekali dalam hukum adat melainkan ada perbedaan yang mendasarinya yaitu dalam perspektif hukum adat, hak atas suatu benda tidak dibayangkan terlepas dari benda yang berwujud Subekti I, op.cit, hal S.Wojowasito, op.cit, hal.237, Lihat Pula Thermorshuizen, et.al, 1999, Indonesisch-Nederlands Juridisch Wordenboek: Hukum Benda/Goederenrecht, Centre for International Legal Cooperation, hal Thermorshuizen et.al, ibid, hal.531.

78 50 sedangkan dalam perspektif Hukum Perdata Barat, hak atas suatu benda seolaholah terlepas dari bendanya (merupakan benda tersendiri). 85 Hukum benda dalam sistem KUHPerdata merupakan bagian dari hukum kekayaan dan hukum kekayaan ini terdiri atas hak benda (ius in re) dan hak dalam perikatan (ius ad rem). 86 Menurut Buku II KUHPerdata (Pasal KUHPerdata) tentang Benda (Van Zaken) meletakkan dasar peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum dengan benda. Hubungan Hukum dengan orang menimbulkan hak kebendaan (zakelijkrecht) yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak menguasai suatu benda dalam tangan siapapun juga benda itu berada. 87 Dari paparan diatas, dinyatakan bahwa hukum benda dalam KUHPerdata merupakan hak absolute, Mahadi mengemukakan ciri-ciri dari hak absolute (ius in re) tersebut yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun, orang yang bersangkutan mempunyai hak dan kewenangan terhadap benda tertentu, orang lain siapapun dia harus menghormati hak itu sedangkan hak relatif (ius ad rem) hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu saja yaitu hak perorangan. 88 Sementara itu, Titik Triwulan Tutik, mengemukakan pengertian hukum benda sebagai berikut: 85 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang hak-hak atas Benda dalam H.Riduan Syahrani, 2006, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal Mahadi dalam Djuaendah Hasan, op.cit, hal Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal Mahadi dalam Djuaendah Hasan, op.cit, hal.81.

79 Hukum harta kekayaan mutlak adalah suatu ketentuan yang mengatur tentang hak-hak kebendaan dan barang-barang tak berwujud (immaterial). Hukum harta kekayaan mutlak disebut juga dengan hukum kebendaan yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara seseorang dengan benda. Hubungan hukum ini melahirkan hak kebendaan (zakelijk recht) yakni hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak menguasai sesuatu benda di tangan siapapun benda itu. 89 Setiap benda memberikan kepada subyek hukum yang memiliki hubungan hukum dengan benda tersebut yakni hak-hak kebendaan. Menurut Subekti, suatu 51 hak kebendaan (zakelijk recht) 90 merupakan suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, kekuasaan mana dapat dipertahankan terhadap tiap orang. 91 Hak kebendaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Merupakan hak mutlak yang dapat dipertahankan kepada siapapun juga; b) Mempunyai zaakgevolg atau droit de suite (hak yang mengikuti), hak itu terus mengikuti dimanapun bendanya berada c) Lebih diutamakan (droit de preference) memberikan kedudukan yang diutamakan, hak mendahului, hak istimewa pada pemegang hak kebendaannya; d) Mengenal tingkatan, hak kebendaan yang lebih tua menduduki peringkat yang lebih tinggi dari Hak kebendaan yang timbul setelahnya; 89 Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal Lihat diantaranya M.Budiarto, et.al, 2004, Kamus Hukum Umum, Badan Pembinaan Hukum Naisonal, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, hal.270 dan Thermorshuizen,et.al, op.cit, hal Subekti I, op.cit, hal.62. Lihat juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit, hal.24.

80 52 e) Dapat dipindahkan atau diasingkan, hak kebendaan dapat dipindahkan atau diasingkan kepada siapapun juga dibandingkan dengan hak perseorangan yang terbatas; f) Setiap pemegang hak kebendaan dapat mengajukan gugatan kebendaan terhadap siapapun juga yang mengganggu atau berlawanan dengan hak kebendaan yang dipegangnya. 92 Selain itu juga ditemui hak perseorangan yang mempunyai sifat hak kebendaan, yaitu: a) Absolut (mutlak); Dapat dipertahankan atau dilindungi terhadap setiap gangguan dari pihak ketiga b) Droit de suite; Mengikuti bendanya dimanapun bendanya berada c) Prioritas Hak yang lebih dulu tejadi dimenangkan dengan hak yang terjadi di kemudian. 93 Mengenai hak kebendaan ini Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja memberikan penjelasan dengan menarik kesimpulan bahwa: 1. Hak kebendaan adalah hak yang diberikan oleh undang-undang. Orang tidak boleh atau tidak dapat menciptakan hak-hak kebendaan lain selain yang telah ditentukan oleh undang-undang; 2. Hak kebendaan bersifat memaksa dan mengikat semua orang dan tidak dapat dikesampingkan oleh siapapun juga; 3. Hak kebendaan adalah droit de suite yang berarti hak kebendaan mengikuti kemanapun benda tersebut beralih/dialihkan; 4. Hak kebendaan yang paling luas yaitu hak milik; 5. Hak milik yang dimiliki oleh sesorang atas kebendaan tertentu memberikan kepadanya hak untuk memberikan hak-hak kebendaan lain diatasnya baik yang bersifat umum maupun yang bersifat terbatas (jura in re aliena); 6. Terhadap benda bergerak hak menguasai atau pemegang kedudukan memiliki hak yang sama dengan seorang pemegang hak milik; 92 Surini Ahlan Sjarif dalam Rachmadi Usman I, op.cit, hal Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit, hal

81 7. Terhadap kebendaan bergerak, pemberian hak kebendaan baik yang umum maupun terbatas dalam bentuk jura in re aliena harus dilakukan dengan penyerahan kebendaan bergerak tersebut; 8. Terhadap kebendaan tidak bergerak, seorang pemegang kedudukan berkuasa hanya memperoleh hak kebendaan secara terbatas hingga dimungkinkan melalui daluwarsa ia menjadi pemilik dari benda tersebut; 9. Bagi kebendaan tidak bergerak, pemberian hak kebendaan baik yang umum maupun yang terbatas dalam bentuk jura in re aliena harus dilakukan dengan pendaftaran dan pengumuman akan pemberian hak tersebut; 10. Hak-hak kebendaan yang bersifat umum yang merupakan pemberian hak hak lebih lanjut dari hak milik tersebut memungkinkan pemegang hak kebendaannya untuk menikmati, menyerahkan atau mengalihkan dan membebani kembali hak kebendaan tersebut dengan hak kebendaan yang bersifat terbatas; 11. Hak-hak kebendaan yang bersifat terbatas tersebut hanya memberikan hak kepada pemegangnya untuk menikmati atau hanya untuk memperoleh pelunasan sebagai atau dalam rangka jaminan utang; 12. Dalam hal pemegang hak kebendaan lebih lanjut (jura in re aliena) adalah juga pemegang hak kebendaan terhadap mana hak jura in re aliena tersebut diberikan, maka hak jura in re aliena tersebut hapus demi hukum; 13. Pemberian hak kebendaan adalah bersifat menyeluruh untuk seluruh bagian dari benda tersebut yang merupakan satu kesatuan termasuk kebendaan yang berdasar asas pelekatan menjadi satu dengan kebendaan tersebut; 14. Hak kebendaan yang diberikan kemudian dapat dipisahkan, maka hak kebendaan tersebut demi hukum mengikuti semua bagian dari kebendaan yang telah dipisahkan tersebut; 15. Khusus terhadap hak kebendaan tebatas yang diberikan sebagai jaminan utang maka hak kebendaan tersebut memiliki sifat droit de preference Jenis-jenis kebendaan dan hak kebendaan Jenis-jenis kebendaan dapat dicermati dari ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata. Kebendaan tersebut dibedakan menjadi: (1). Benda bergerak (roerende zaken) dan benda tidak bergerak (onroerende zaken); (2). Benda berwujud (lichamelijk zaken) dan benda tidak berwujud (onlichamelijk zaken); (3). Benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) dan benda yang tidak dapat dihabiskan (onverbruikbare zaken); Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Harta Kekayaan: Kebendaan pada Umumnya, Cet.2, Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II), hal

82 (4). Benda yang dapat diganti (vervangbare zaken/wisseling zaken) dan kebendaan yang tidak dapat dibagi (onvervangbare zaken/onwisseling zaken); (5). Kebendaan yang dapat dibagi (deelbare zaken) dan kebendaan yang tidak dapat dibagi (ondeelbare zaken); (6). Kebendaan yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan kebendaan yang akan ada (toekomstige zaken) ; (7). Kebendaan dalam perdagangan (zaken in de handel) dan kebendaan di luar perdagangan (zaken buiten de handel); (8). Kebendaan yang terdaftar (geregistreerde zaken) dan kebendaan yang tidak terdaftar (ongeregistreerde zaken) (9). Jenis kebendaan berdasarkan totalitas bendanya; (10). Jenis kebendaan berdasarkan kepemilikannya. 95 Telaah seksama terhadap jenis-jenis kebendaan dalam perspektif KUHPerdata, yaitu sebagai berikut: 1. Benda bergerak (roerende zaken) dan benda tidak bergerak (onroerende zaken). Dalam perspektif hukum perdata, pembedaan benda bergerak dan tidak bergerak diatur dalam ketentuan Pasal 504 KUH Perdata, kemudian 54 dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal KUH Perdata. Berkenaan dengan benda bergerak diatur dalam Pasal 509-Pasal 518 KUH Perdata. Berkaitan dengan pasal tersebut, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan membedakan kebendaan bergerak kedalam empat golongan, yaitu: (1). Golongan pertama, yang dinamakan benda bergerak adalah benda yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan, dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa mengubah wujud, bentuk dan kegunaan dari benda tersebut sebagai satu kesatuan dalam hal ini yaitu benda bergerak yang berwujud; (2). Golongan kedua, benda bergerak meliputi kapal-kapal, perahu-perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang diatas perahu atau terlepas. Dalam konteks kapal dan perahu sebagai benda bergerak yang berwujud sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 314 KUHD. Hanya bagi kapal-kapal yang tidak terdaftar dengan ukuran kurang dari duapuluh meter kubik isi kotor dianggap sebagai kebendaan yang bergerak; 95 Rachmadi Usman I, op.cit, hal

83 (3). Golongan ketiga, menunjuk pada hak-hak yang mengikuti kebendaan bergerak yang berwujud seperti hak hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak, hak-hak atas bunga yang diperjanjikan baik hak yang diabadikan maupun hak atas bunga cagak hidup, Perikatan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih, surat utang yang diterbitkan atas beban atau tanggungan Negara, Surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal. (4). Golongan keempat merujuk pada benda-benda yang berada dalam rumah dan dipergunakan untuk pelaksanaan jalannya rumah tangga sehari-hari, seperti;perkakas rumah tangga, mebel-mebel atau perabot rumah. 96 Berbeda dengan Kartini Muljadi dan Gunawan Widajaja, Rachmadi Usman mengkategorisasikan kebendaan bergerak atas dua jenis yaitu: a) Kebendaan bergerak karena sifatnya bergerak, bahwa kebendaan tersebut dapat berpindah atau dipindahkan tempat (verplaatsbaar), misalnya kendaraan (sepeda, sepeda motor, mobil), alat-alat perkakas (kursi, meja, alat-alat tulis) dikecualikan sebagai benda bergerak yaitu kapal dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20m3 atau dinilai sama dengan itu, karena termasuk kebendaan tidak bergerak (kebendaan tetap). b) Kebendaan bergerak karena ketentuan undang-undang yang telah menetapkannya sebagai kebendaan bergerak yaitu berupa hak-hak atas benda bergerak, yang meliputi: - Hak pakai hasil (vruchtgebruik) dan hak pakai (gebruik) atas benda bergerak; - Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan; - Penagihan atas piutang atas benda bergerak; - Saham-saham dalam persekutuan perdagangan atau perusahaan - Surat-surat berharga lainnya; - Tanda-tanda perutangan yang dilakukan dengan Negara-negara asing. 97 Sementara itu berkenaan dengan kebendaan tidak bergerak, diatur lebih lanjut dalam ketentuan-ketentuan Pasal 506, Pasal 507, dan Pasal 508 KUH Perdata serta Pasal 314 KUHD, kebendaan tidak bergerak tersebut dikategorikan ke dalam tiga golongan yaitu: Gunawan Widjaja II, op.cit, hal Lihat juga Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal Rachmadi Usman I, op.cit, hal Riduan Syahrani, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal.109, Lihat juga Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Intermasa, Jakarta, hal dan Titik Triwulan Tutik, op.cit, hal

84 1). Kebendaan yang karena sifatnya tidak bergerak, artinya kebendaan tersebut tidak dapat berpindah atau dipindahkan tempat yakni tanah dengan segala sesuatu yang melekat dengan tanah. Kebendaan ini meliputi: a) Tanah; b) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta bercabang (tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang belum dipetik); c) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan diatas tanah yaitu karena tertanam atau terpaku seperti bangunan. 2). Kebendaan yang karena peruntukannya atau benda tidak bergerak menurut tujuannya disebut juga benda pembantu (hulpzaken) yaitu benda yang walaupun sebenarnya bukan benda tetap namun dibuat untuk selalu membantu benda tetap tersebut, meliputi: a) Pada pabrik: segala macam mesin-mesin, katel-katel dan alatalat lain yang berada disitu digunakan untuk menjalankan pabrik; b) Pada suatu perkebunan: segala sesuatu yang digunakan sebagai rabuk bagi tanah, ikan dalam kolam, dan lain-lain; c) Pada rumah kediaman yaitu cermin-cermin, lukisan-lukisan dan perhiasan lainnya sepanjang barang-barang itu diletakkan pada papan yang merupakan bagian dinding, dan barang-barang itu tidak tertancap atau terpaku; d) Barang-barang reruntuhan dari suatu bangunan, apabila diperuntukan guna mendirikan lagi bangunan itu. 3). Kebendaan yang karena undang-undang ditetapkan sebagai kebendaan tidak bergerak yaitu berupa: a) Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak; 99 b) Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas (WvK). Pengolongan kebendaan tersebut diatas, memperlihatkan kepada kita semua bahwa yang secara fisik dianggap sebagai benda tidak bergerak adalah tanah dan segala sesuatu yang karena alam, tindakan manusia dan karena peruntukan atau tujuannya melekat pada tanah dengan pengertian bahwa benda-benda tersebut dijadikan dan merupakan satu-kesatuan dengan tanah sedemikian rupa sehingga benda-benda tersebut tidak mungkin dapat dipisahkan dari tanah dimana benda tidak bergerak tersebut melekat, dapat diketahui pula bahwa selain perlekatan dalam KUHPerdata juga mengenal Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal

85 benda tambahan sebagai akibat dari tindakan atau perbuatan manusia yang disengaja, benda yang semula bukan merupakan benda tidak bergerak akan menjadi benda bergerak karena peruntukannya semata-mata. 100 Pembedaan macam kebendaan tersebut yaitu pembedaan kebendaan berdasar totalitas bendanya yang diatur dalam ketentuan pasal 500 dan pasal 501 KUHPerdata. Dengan merujuk kepada ketentuan Pasal 500 dan pasal 501 KUHPerdata dapat diketahui bahwa KUHPerdata membedakan antara benda pokok (utama) dengan benda perlekatan. Dalam doktrin keilmuan hukum, selain benda perlekatan, dikenal pula jenis benda: 1). Benda tambahan yang merupakan buah-buah atau hasil-hasil dari status benda pokok, yang dalam hal ini hasil tersebut dapat terwujud dalam bentuk hasil alam, hasil pekerjaan manusia dan hasil perdata yang telah dapat ditagih yang dapat terwujud dalam bentuk hasil alam, hasil pekerjaan manusia dan hasil perdata. Dalam konteks benda tambahan tersebut, berbeda dari benda hasil perlekatan yang tidak dapat dipisahkan dari benda pokoknya, pemilik dari benda tersebut dapat menjual benda pokoknya tanpa menjual benda tambahannya, demikian pula sebaliknya. 2). Benda ikutan, yang mengikuti status benda pokok yang tanpa benda pokok tersebut, benda ikutan tidak mempunyai arti meskipun benda ikutan itu sendiri tidak melekat pada benda pokoknya; 3). Benda pelengkap yang dapat dipegunakan secara bersama-sama dengan benda pokoknya, misalnya mebel-mebel dalam suatu hotel yang melengkapi penggunaan hotel tersebut Benda-benda pelengkap ini bergantung pada tujuan penggunaannya, kadang kala dapat menjadi benda ikutan terhadap benda pokok, tetapi pada saat lain dapat menjadi benda pokok sendiri yang lepas dari benda pokoknya. 4). Di luar benda tersebut di atas, Undang-undang juga memungkinkan diciptakannya suatu benda baru yang berasal dari benda lain. Dengan terciptanya benda baru ini, maka demi hukum pula benda lama ini hilang eksistensinya. Dalam hal ini, maka pemilik benda asal ini akan menjadi pemilik dari benda baru ini. Sedangkan jika benda baru Gunawan Widjaja II, op.cit, hal. 80 dan 82.

86 ini tercipta karena alam, maka benda baru ini adalah milik bersama dari pemilik benda asal tersebut, menurut keseimbangan harga dari benda asal tersebut Benda berwujud (lichamelijk zaken) dan benda tidak berwujud (onlichamelijk zaken). Pembedaan kebendaan atas benda berwujud dan tidak berwujud tercantum dalam Pasal 503 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap kebendaan adalah berwujud (bertubuh) atau tidak berwujud (tidak bertubuh). Benda berwujud (tangible movables) yaitu kebendaan yang dapat dilihat dengan mata dan diraba dengan tangan.benda tidak berwujud (intangible movables) yaitu kebendaan yang berupa hak-hak atau tagihan. Pembedaan benda berwujud dan tidak berwujud berkaitan dengan penyerahan dan cara mengadakannya. Penyerahan benda bergerak yang berwujud dilakukan dengan penyerahan langsung (dari tangan ke tangan) sedangkan penyerahan benda tidak bergerak yang berwujud dilakukan dengan balik nama yang diadakan dalam register umum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 612 dan 616 KUHPerdata Gunawan Widjaja II, op.cit, hal Lihat Juga Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Seri Hukum Harta Kekayaan: Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik (Dalam Sudut Pandang KUHPerdata), Cet.2, Kencana, Jakarta (selanjutnya Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja III), hal Pembedaan antara benda berwujud dan benda tidak berwujud, masih dikenal dibeberapa Negara modern dewasa ini, dalam Hukum Inggris dikenal pembedaan atas benda berwujud (tangible movables) dan benda bergerak tidak berwujud (intangibles movables). Didalam Hukum Amerika juga dikenal perbedaan tangibles dan intangible property (Rachmadi Usman I, op.cit, hal.81-82). Oleh Djuaendah Hasan sebagaimana dikutip dari Pitlo, Hartkamp, Jac Hijma dan M.M Othof, Code Civil On Taiwan, Code Civil of Japan dan Major Laws bahwa Pembedaan benda atas benda bergerak dan tidak bergerak dikenal di Negara-negara lain, Belanda dalam BW Barunya (NBW) membedakan antara roerende dan anroerende, Perancis membedakan antara meuble dan immeuble, di Taiwan dalam Code Civilnya membedakan pula atas movables dan immovables dan begitu pula di Jepang membedakan atas movables dan immovables. (Djuaendah Hasan, op.cit, hal.76)

87 Berkaitan dengan pembagian benda berwujud dan tidak berwujud, dalam hukum Inggris dikenal pula beberapa benda lainnya, diantaranya: a. Personal Property and Real Property Personal Property is defined by process of exclusion. The term personal property is used in contrast to real property. Real property is the earth s crust and all things firmly attached to it. For example, land, office buildings and houses are considered to be real property. All others objects and rights that may be owned are personal property.clothing, books and stock in a corporation are examples of personal property. Real property may be turned into personal property if it is detached from the earth. Personal property if attached to the earth, becomes real property. For example, marble in the ground is real property. When the marble is quarried, it becomes personal property, but if it is used in constructing a building, it becomes real property again. b. Tangible and Intangible Personal Property Personal Property may be either tangible or intangible. Tangible Property has a physical existence. Cars, animals and computers are examples. Property that has no physical existence is called intangible property. For example, rights under a patent, copyright, or trademark would be intangible property. The distinction between tangible and intangible property is important primarily for tax and estate planning purposes. Generally, tangible property is subject to tax in the state in which it is located, whereas intangible property is usually taxable in the state where its owner lives. c. Public and Private Property Property is also classified as public or private, based on the ownership of the property. If the property is owned by the government or a governmental unit, it is public property. If it is owned by an individual a group of individuals, a corporation or some other business organization, it is private property. 103 Berkaitan dengan pembagian benda berwujud dan tidak berwujud, dalam hukum Inggris dikenal pula beberapa benda lainnya, diantaranya Terjemahan bebasnya berarti : a. Properti Pribadi dan Properti Riil Properti pribadi didefinisikan oleh proses eksklusi. Istilah properti pribadi digunakan secara kontras dengan properti riil. Properti riil adalah permukaan bumi dan segala sesuatu yang secara tegas melekat Jane P.Mallor,et.al, 2007, Business law:the Ethical, Global and E- Commerce Environment, Thirteenth Edition, McGrawHill Companies, New York, hal.561.

88 padanya. Misalnya, tanah, gedung perkantoran dan rumah-rumah dianggap properti riil. Semua benda-benda dan hak-hak lain yang dapat dimiliki merupakan properti. Pakaian, buku dan saham di sebuah perusahaan adalah contoh dari properti pribadi. Properti riil dapat berubah menjadi properti pribadi jika terlepas dari bumi. Properti pribadi jika melekat pada bumi maka menjadi properti riil. Misalnya, marmer di tanah adalah propertir riil. Ketika marmer tersebut digali, maka itu menjadi properti pribadi, tetapi jika digunakan dalam membangun sebuah bangunan, kembali menjadi properti riil lagi. b. Properti Pribadi Nyata dan Properti Pribadi Tidak Nyata. Properti Pribadi dapat berupa nyata ataupun tidak nyata. Properti nyata memiliki sebuah eksistensi fisik. Mobil, hewan dan komputer adalah contohnya. Properti yang tidak memiliki eksistensi fisik disebut properti tidak nyata. Contohnya, hak paten, hak cipta, atau merek dagang merupakan properti tidak nyata. Perbedaan antara properti nyata dan tidak nyata penting terutama untuk tujuan pajak dan perencanaan harta. Secara umum, properti nyata terkena pajak di negara tempat properti tersebut berada, sementara properti tidak nyata biasanya terkena pajak di negara tempat pemiliknya tinggal. c. Properti Publik dan Swasta Properti Properti juga diklasifikasikan sebagai publik atau pribadi, berdasarkan kepemilikan properti. Jika properti dimiliki oleh pemerintah atau unit pemerintah, itu adalah properti publik. Jika dimiliki oleh seorang individu atau sekelompok individu, sebuah perusahaan atau organisasi bisnis lainnya, maka itu adalah properti pribadi. 3. Benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) dan benda yang tidak dapat dihabiskan (onverbruikbare zaken). Pembedaan kebendaan atas benda yang dapat dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan diatur dalam ketentuan Pasal 505 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap kebendaan yang bergerak adalah dapat dihabiskan atau tidak dapat dihabiskan. Pembedaan ini mempunyai arti penting berkaitan dengan pembatalan perjanjian. Perjanjian yang obyeknya benda yang dipakai habis apabila dibatalkan mengalami kesulitan dalam pemulihan keadaan semula. Penyelesaiannya harus diganti dengan benda lain yang sejenis dan senilai. Tidak demikian dengan perjanjian yang obyeknya benda yang tidak dipakai habis, apabila dibatalkan tidak begitu mengalami kesulitan dalam pemulihan keadaan semula karena bendanya masih ada dan dapat diserahkan kembali. 60

89 4. Benda yang dapat diganti (vervangbare zaken/wisseling zaken) dan kebendaan yang tidak dapat diganti (onvervangbare zaken/onwisseling zaken). Perbedaan antara benda yang dapat diganti dengan benda yang tidak dapat diganti tidak disebut secara tegas dalam KUHPerdata. Namun pembedaan ini dapat ditemukan dalam beberapa literatur. Menurut Riduan Syahrani, pembedaan tersebut dapat dicermati dalam ketentuan pasal yang mengatur tentang perjanjian penitipan barang. 104 Sedangkan Tan Thong Kie, memberikan kriteria antara benda yang dapat diganti dengan benda yang tidak dapat diganti, dikatakan sebagai benda yang dapat diganti, apabila benda tersebut ditentukan oleh macamnya yang ditetapkan berdasarkan pada kualitas dan/atau jumlahnya. Selain itu, benda dapat pula ditentukan secara individual, karena benda tersebut memiliki ciri tersendiri yaitu dapat dibedakan dari yang lainnya. Lebih lanjut Tan Thong Kie menyatakan bahwa sebuah benda dikatakan sebagai benda yang dapat diganti ataupun tidak bukanlah bergantung pada sifatnya melainkan dari maksud dan kehendak para pihak Kebendaan yang dapat dibagi (deelbare zaken) dan kebendaan yang tidak dapat dibagi (ondeelbare zaken). Pembedaan kebendaan yang dapat dibagi ataupun tidak dapat dibagi diatur dalam ketentuan Pasal 1296 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Suatu perikatan dapat dibagi-bagi ataupun tidak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan Riduan Syahrani, op.cit, hal Periksa juga Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Rachmadi Usman II), hal Tan Thong Kie, op.cit, hal.154.

90 tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi ataupun tidak dapatdibagi baik secara nyata maupun secara perhitungan. 106 Kemudian dalam Pasal 1297 KUHPerdata dinyatakan Suatu perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi, meskipun barang atau perbuatan yang dimaksudkan karena sifatnya dapat dibagi-bagi, jika barang atau perbuatan tadi menurut maksud perikatan tidak boleh diserahkan atau dilaksanakan sebagian demi sebagian Kebendaan yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan kebendaan yang akan ada (toekomstige zaken). Pembedaan atas benda yang sudah ada maupun yang akan ada penting bagi pelaksanaan dan pelunasan jaminan hutang, sebagaimana tersirat dalam Pasal 1334 KUHPerdata. 108 Terhadap benda yang baru akan ada di kemudian 62 hari selanjutnya dibedakan lagi menjadi benda yang sama sekali secara absolut belum ada pada saat ini dan benda yang secara relatif belum ada saat ini. Benda yang absolute belum ada saat ini berarti benda tersebut sama sekali tidak ada, tidak tampak yang masih harus tumbuh atau lahir, misalnya hasil tanaman atau anak hewan yang belum lahir. Terhadap benda relatif yang belum ada saat ini, berarti benda itu belum ada bagi seseorang atau belum dikuasainya. Hal ini berakibat mungkin saja suatu benda belum ada bagi seseorang tetapi bagi orang lain sudah ada Lihat diantaranya, Rachmadi Usman I, op.cit, hal.88, Riduan Syahrani, op.cit, hal.113, Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal Rachmadi Usman I, op.cit, hal, Rachmadi Usman I, loc.cit. 109 Tan Thong Kie, op.cit, hal.154.

91 7. Kebendaan dalam Perdagangan (Zaken In De Handel) dan Kebendaan di Luar Perdagangan (Zaken Buiten De Handel) Pembedaan kebendaan dalam perdagangan dan diluar perdagangan diatur dalam Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan saja yang menjadi pokok perjanjian. Ini berarti bahwa obyek perjanjian hanyalah kebendaan yang dapat diperdagangkan. Pada dasarnya, semua kebendaan yang menjadi milik subyek hukum dapat dijadikan obyek perjanjian sehingga kebendaan tersebut secara bebas dapat diperdagangkan dan bahkan dihibahkan ataupun diwariskan. Sebaliknya, suatu kebendaan dikatakan sebagai benda diluar perdagangan bila benda tersebut dilarang dijadikan sebagai obyek perjanjian sehingga benda tersebut tidak dapat dihibahkan atau bahkan diwariskan. Kebendaan tersebut dilarang atau bahkan tidak dapat menjadi obyek perjanjian karena peruntukannya, dilarang oleh hukum atau undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum Kebendaan yang Terdaftar (Geregistreerde Zaken) dan Kebendaan yang Tidak Terdaftar (Ongeregistreerde Zaken). Pembedaan kebendaan atas benda terdaftar dan tidak terdaftar tidak diatur dalam KUHPerdata namun KUHPerdata mewajibkan adanya pendaftaran dan publikasi atas benda tertentu sebagai bukti pemilikannya, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 584, 616, 617, 618, 621, 622 dan 623 KUHPerdata. 111 Dari ketentuan pasal tersebut, jelas bahwa setiap penyerahan Rachmadi Usman I, op.cit, hal.91. Berkenaan dengan kebendaan diluar perdagangan lihat juga Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.30, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal Rachmadi Usman I, ibid, hal

92 dan pembebanan terhadap kebendaan yang tidak bergerak harus didaftarkan dan dipublikasikan dalam register umum sebagai syarat telah terjadinya perbuatan hukum atas kebendaan yang bersangkutan.tidak dilakukannya pencatatan dan oleh karena publikasi akan mengakibatkan tidak mengikatnya perbuatan hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak terhadap pihak ketiga. Dengan adanya publikasi, tentu tidak dapat digunakan untuk merugikan hak ataupun kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik, tidak demikian halnya bila tidak diadakan publikasi, hal ini membawa konsekuensi terhadap para pihak tentunya para pihak tidak dapat mendalilkan hubungan yang terjadi diantara para pihak terhadap pihak ketiga Kebendaan berdasarkan Kepemilikannya Pembedaan jenis kebendaan berdasarkan kepemilikannya, diatur dalam ketentuan pasal 519 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Ada kebendaan yang bukan milik siapapun juga, kebendaan lainnya milik Negara, milik badan kesatuan atau milik seseorang. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 519 KUHPerdata, maka suatu kebendaan dapat merupakan: 113 1). Kebendaan bergerak yang tidak ada pemiliknya (res nullius) 114 ; 2). Kebendaan yang tidak bergerak, berupa: a). Kebendaan milik Negara; b). Kebendaan milik badan kesatuan yaitu kebendaan milik bersama dari perkumpulan-perkumpulan; c). Kebendaan milik seseorang yaitu kebendaan milik satu orang atau lebih dalam perseorangan Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal Rachmadi Usman I, op.cit, hal Res Nullius dalam perspektif KUHPerdata, hanya terdiri atas benda bergerak dapat dimiliki oleh orang perorangan atau badan kesatuan melalui proses pendakuan atau perlekatan. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.53).

93 65 Dalam konsepsi UUPA, semua tanah di Negara Republik Indonesia, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi Negara tidak memiliki tanah tetapi hanya menguasainya untuk kepentingan seluruh rakyat. 115 Berbeda dengan hukum adat, pembedaan kebendaan tidak berdasarkan atas benda bergerak dan tidak bergerak yang lazim dikenal dalam KUHPerdata, tetapi pembedaan kebendaan didasarkan atas benda tanah dan benda selain tanah. Pembedaan atas benda tanah dan benda bukan lain selain tanah disebabkan oleh hukum adat menempatkan tanah sebagai benda utama dimana tanah memiliki kedudukan istimewa dalam masyarakat hukum adat. 116 Dengan dikeluarkannya UUPA menjadikan hukum adat sebagai dasar dari hukum agraria nasional, maka terdapat pembedaan kebendaan baru yaitu benda tanah dan benda bukan tanah. Pembedaan atas dengan benda tanah dan benda bukan tanah akan diuraikan sebagai berikut: 1. Benda tanah hanya berkaitan dengan tanahnya saja dan tidak berkaitan dengan lain yang melekat pada tanah tersebut. Benda tanah ini dibedakan atas: a. Benda tanah terdaftar adalah benda yang secara yuridis terdaftar pada instansi tertentu yang diberi wewenang atau berfungsi sebagai tempat pendaftaran dengan adanya pendaftaran tersebut benda tanah yang bersangkutan memenuhi aspek publisitas dan spesialitas, meliputi Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai. b. Benda tanah tidak terdaftar meliputi hak atas tanah berupa Hak Sewa. 2. Benda bukan tanah adalah semua benda selain tanah. Benda bukan tanah dibedakan atas: 115 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, loc.cit. 116 Rachmadi Usman I, op.cit, hal.63.

94 a. Benda bukan tanah tetap misalnya bangunan, rumah, satuan rumah susun, dermaga, tanaman, benda benda bergerak. Benda bukan tanah tetap ini, dibedakan lagi atas: i. Benda bukan tanah tetap terdaftar yaitu benda bukan tanah tetap yang telah terdaftar secara resmi pada instansi pendaftaran yang diberi wewenang untuk itu, misalnya rumah terdaftar dan satuan rumah susun yang harus dibuktikan dengan sertifikat pemilikan rumah. ii. Benda bukan tanah tetap tidak terdaftar. b. Benda bukan tanah tanah bergerak, dibedakan atas: i. Benda bukan tanah bergerak berwujud (tangible), misalnya kendaraan bermotor, perahu, mebel, pesawat udara, dan lain sebagainya. Benda bukan tanah bergerak berwujud, dibedakan lagi atas: - Benda bukan tanah bergerak berwujud yang terdaftar merupakan benda bergerak berwujud yang telah terdaftar secara resmi pada instansi pendaftaran yang diberi wewenang untuk melakukan pendaftaran. - Benda bukan tanah bergerak berwujud yang tidak terdaftar ii. Benda bukan tanah bergerak tidak berwujud (intangible), misalnya surat berharga, hak tagih, saham, surat piutang, hak tuntut (claims). Benda bukan tanah bergerak tidak berwujud, dibedakan lagi atas: a. Benda bukan tanah bergerak tidak berwujud yang terdaftar adalah benda bergerak tidak berwujud yang terdaftar secara resmi pada instansi pendaftaran bagi surat-surat berharga, misalnya saham yang terdaftar (listed) di bursa efek. b. Benda bukan tanah bergerak tidak berwujud yang tidakterdaftar Djuaendah Hasan, op.cit, hal Bandingkan dengan Rachmadi Usman I, op.cit, hal.65. Dalam keputusan Seminar Hukum Jaminan Nasional yang diselenggrakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dari tanggal 9-11 Oktober 1978 di Yogyakarta, menyepakati untuk membagi benda dalam tiga golongan yaitu: (i). benda tak bergerak (ii), benda bergerak (iii). Benda tak berwujud atau hak-hak. Terhadap benda tetap demikian pula terhadap benda bergerak dibedakan dalam benda terdaftar dan tidak terdaftar. Penggolongan dalam tiga macam benda ini harus dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum jaminan yang akan datang.

95 Skema 2.1 Jenis-jenis Kebendaan

96 Berkenaan dengan hak kebendaan, diatur dalam ketentuan Pasal 528 KUHPerdata, yang merumuskan bahwa hak kebendaan yang dapat diperoleh atas suatu benda meliputi: 1. Keadaan berkuasa atau bezit atas benda; 2. Hak milik atas benda; 3. Hak waris atas benda; 4. Hak pakai hasil; 5. Hak pengabdian tanah; 6. Hak Gadai; 7. Hipotek. 118 Merujuk pada ketentuan pasal 528 KUHPerdata, maka secara garis besar dalam perspektif KUHPerdata hak kebendaan dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk genootsrecht) Hak yang diberikan kepada pemilik untuk menikmati suatu benda baik terhadap bendanya sendiri maupun benda milik orang lain. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri misalnya hak menguasai (bezit) dan hak milik (eigondom). Hak kenikmatan yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain misalnya hak memungut hasil, hak pakai dan hak mendiami. 2. Hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk zekerheidsrecht) Hak yang diberikan kepada pemegangnya untuk didahulukan pemenuhan utang atas jaminan benda milik orang lain. Secara garis besar, hak kebendaan sebagai jaminan, dibedakan atas; a). Cara terjadinya: i. Karena Undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata ii. Karena diperjanjikan, sebagai bagian dari asas konsesualitas dalam hukum perjanjian, undang-undang memungkinkan para pihak untuk melakukan perjanjian assesoir yaitu penjaminan yang ditujukan untuk menjamin pelunasan atau pelaksanaan kewajiban debitor kepada kreditor. b). Obyeknya: i. Berobyek benda bergerak; ii. Berobyek benda tidak bergerak/benda tetap; iii. Berobyek benda berupa tanah Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal

97 c. Sifatnya i. Jaminan umum, jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditor dan menyangkut semua harta debitor sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. ii. Jaminan khusus, jaminan dalam bentuk penunjukkan atau penyerahan barang secara khusus sebagai jaminan atas pelunasan kewajiban/utang debitor kepada kreditor tertentu yang hanya berlaku untuk kreditor tertentu tersebut baik secara kebendaan maupun perorangan. iii. Bersifat kebendaan, yaitu adanya benda tertentu yang dijadikan jaminan (zakelijk). iv. Bersifat perorangan (personlijk), yaitu adanya orang tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi jika debitor cidera janji. d. Kewenangan menguasai benda jaminannya i. Menguasai benda jaminannya ii. Tanpa menguasai benda jaminannya. 119 Apabila dikaji lebih lanjut kandungan materi hukum kebendaan yang diatur dalam Buku II KUHPerdata dan dihubungkan dengan berlakunya UUPA, maka hak kebendaan dapat dibedakan atas: a) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk genootsrecht) kepada pemilik atau empunya, baik terhadap bendanya sendiri maupun benda milik orang lain seperti hak bezit, hak milik, hak memungut hasil, hak pakai dan hak mendiami. b) Hak kebendaan yang memberi jaminan (zakelijk zekerheidsrecht) kepada pemegangnya yaitu seperti gadai (pand) untuk jaminan kebendaan bergerak, hipotik untuk jaminan kebendaan atas kapal laut dan pesawat terbang, hak tanggungan untuk jaminan kebendaan bagi tanah atau fidusia untuk jaminan kebendaan bergerak yang tidak dapat digadaikan atau untuk jaminan kebendaan bagi tanah yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan; c) Hak yang memberi jaminan tetapi bukan lembaga hak jaminan kebendaan namun hak yang bersangkutan tersebut mempunyai sifat kebendaan seperti hak prevelige, hak retensi dan cessie. 120 Dengan berlakunya UUPA, pengaturan hukum kebendaan yang berkaitan dengan tanah tidak lagi tunduk pada Buku II KUHPerdata melainkan tunduk Gunawan Widjaja II, op.cit, hal Lihat pula Rachmadi Usman I, op.cit, hal Rachmadi Usman II, op.cit, hal.65.

98 70 pada hukum kebendaan sebagaimana diatur dalam Hukum Agraria Nasional. Dalam hal ini, UUPA tidak mengatur tentang penataan tanah belaka tetapi mengatur mengenai agrarian dalam arti luas yaitu mengatur tentang bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya sehingga memberikan pengaruh yang besar terhadap hukum kebendaan yang diatur dalam Buku II KUHPerdata Tinjauan tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Ruang Lingkup Pertelaan Penyelenggara pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi yang berwenang. Batas dan rincian yang jelas tersebut dituangkan dalam bentuk Gambar dan Uraian, sebagai berikut: 1. Gambar Pertelaan, yaitu gambar yang memperlihatkan batas-batas kepemilikan perseorangan maupun kebersamaan yang distrukturkan secara vertikal maupun horizontal yang merupakan satu kesatuan fungsi dalam kegunaannya, yang mengandung nilai perbandingan proposional (NPP). Gambar pertelaan meliputi : a. Satuan lingkungan tanah bersama yang mengambarkan benda bersama. b. Tanah bersama (sesuai GS/SU lampiran sertipikat). c. Denah masing masing lantai, terdiri dari bagian bersama dan bagian perseorangan. d. Tampak bangunan Rusun dari segala arah. 121 Rachmadi Usman II, op.cit, hal.16.

99 71 e. Potongan dari dua arah vertikal dan horizontal terhadap bangunan Rusun. f. Potongan dari 2 (dua) arah antara unit Satuan Rusun dengan unit lainnya, antara unit Satuan Rusun dengan bagian bersama (kuzen, dinding, plafon) secara tipikal. Gambar pertelaan dibuat dan ditetapkan oleh penyelenggara pembangunan serta ditanda tangani untuk diketahui oleh Kepala Kantor Pertanahan Kab/Kota sedangkan untuk wilayah DKI oleh Kepala Bidang Survey Pengukuran dan Pemetaan (SPP) Kanwil BPN DKI. Gambar pertelaan dapat diartikan sebagai peta dasar pendaftaran karena merupakan dasar pembuatan gambar denah dalam penerbitan sertipikat HMSRS oleh Kantor Pertanahan. Sebelumnya dilakukan pengecekan uji petik terhadap unit-unit tipikal oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk mengetahui luas pendekatan sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. 2. Uraian Pertelaan Adalah penjelasan secara deskriptif dari gambar pertelaan mengenai kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama (tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama) yang dilengkapi dengan spesifikasi teknis yang mengandung nilai perbandingan proporsional (NPP) yang perhitungannya dilakukan oleh penyelenggara pembangunan dan disahkan oleh Bupati/ Walikota dan khusus untuk wilayah DKI Jakarta disahkan oleh Gubernur.

100 Tanda Bukti pemisahan tersebut di tuangkan dalam bentuk Akta Pemisahan. Berkenaan dengan akta pemisahan di atur dalam Peraturan Kepala 72 Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang Tata cara pembuatan dan pengisian akta pemisahan ruman susun. Tatacara pembuatan dan pengisian akta tersebut adalah sebagai berikut: a. Akta pemisahan dibuat dan diisi sendiri oleh penyelenggara pembangunan rumah susun. b. Akta pemisahan rumah susun berisikan : 1. Hari, tanggal, bulan dan tahun pembuatan akta pemisahan. 2. Nama lengkap pembuat/penandatangan akta pemisahan yang dilengkapi dengan jabatan dan tempat kerja (kantor) yang bersangkutan. 3. Nama badan hukum/instansi penyelenggara pembangunan rumah susun. 4. Status tanah dimana rumah susun didirikan. 5. Sistem pembangunan rumah susun, apakah dilaksanakan secara mandiri atau terpadu. 6. Penggunaan/pemanfaatan rumah susun, untuk hunian atau bukan hunian. 7. Jumlah blok rumah susun dalam kesatuan sistem pembangunan yang dilaksanakan pada tanah bersama. 8. Uraian tiap blok rumah susun, misalnya blok 1 terdiri dari 10 (sepuluh) lantai. Lantai 1 terdiri dari 15 (lima belas) satuan rumah susun, lantai 2 (dua) terdiri dari 10 (sepuluh) satuan rumah susun dan sebagainya.

101 73 9. Macam-macam bagian dan benda bersama sesuai dengan pertelaan yang telah disahkan. 10. Status tanah bersama, nomor hak dan nomor surat ukur serta batas-batas tanah. 11. Perbandingan proporsional antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian, benda dan tanah bersama. 12. Tempat/kota dimana akta pemisahan tersebut dibuat dan tanggal penandatanganannya. 13. Jabatan si penandatangan akta pemisahan. 14. Tanda tangan pembuat akta pemisah dan nama terangnya. 15. Tempat, tanggal, bulan dan tahun serta Instansi yang mengesahkan akta pemisah. c. Setelah akta tersebut dibuat, penyelenggara pembangunan wajib meminta pengesahan isi akta tersebut kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten/Kotamadya setempat atau kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, apabila pembangunan rumah susun terletak di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. d. Akta pemisahan setelah disahkan harus didaftarkan oleh penyelenggara pembangunan pada Kantor Pertanahan setempat dengan dilampiri : Sertifikat hak atas tanah. Ijin Layak Huni. Warkah-warkah lainnya yang diperlukan.

102 74 e. Akta pemisahan beserta berkasnya-berkas lampirannya dipergunakan sebagai dasar untuk penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun Ruang Lingkup Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut HMSRS) meliputi hak pemilikan perseorangan yang digunakan secara terpisah, hak bersama atas bagian-bagian bangunan, hak bersama atas tanah, semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan. Hak milik Perseorangan yang digunakan secara terpisah merupakan ruangan yang mempunyai luas dan batas tinggi tertentu yang memisahkan hak milik perseorangan terhadap hak milik orang lain yang tidak selalu dibatasi oleh dinding. Apabila ruangan dibatasi oleh dinding, maka permukaan dalam diri dinding pemisah, permukaan bagian bawah dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur adalah merupakan batas pemilikannya. Dalam hal sebagian ruangan tidak dibatasi oleh dinding maka batas bagian atas setinggi permukaan bagian bawah dari langitlangit struktur merupakan batas pemilikannya, sedangkan apabila keseluruhan ruangan tidak dibaatsi oleh dinding maka batas pemilikan dapat dilakukan dengan memberi tanda yang jelas dan tidak dapat dihapus. 122 Pemilikan atas SRS dapat dilakukan oleh perseorangan maupun badan hukum. Apabila pemilikan dilakukan oleh perseorangan maka yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama sesuai dengan status tanah didirikannya HMSRS baik itu tanah hak milik, hak guna bangunan 122 Andi Hamzah,et.al, 2000, Dasar-dasar Hukum Perumahan, Cet.3, Rineka Cipta, Jakarta, hal (Lihat juga Pasal 41 PP Rumah Susun).

103 75 atau hak pakai atas tanah Negara maupun hak guna bangunan atau hak pakai diatas hak pengelolaan. Sedangkan untuk badan hukum yang dapat memiliki satuan rumah susun yang dibangun diatas tanah milik bersama adalah badan hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 diantaranya adalah Bank-Bank yang didirikan oleh Negara, Badan-badan sosial dan keagamaan koperasi dan lain-lainnya. 123 Sebagai tanda bukti kepemilikan HMSRS maka Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat HMSRS.Tata cara penerbitan sertifikat dan pembuatan buku tanah HMSRS diatur dalam Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun Menurut Peraturan Ka BPN tersebut, buku tanah terdiri atas 4 halaman yaitu: a. Halaman muka atau halaman pertama; b. Halaman kedua, bagian pendaftaran pertama c. Halaman pertama dan kedua dipergunakan untuk pendaftaran HMSRS untuk pertama kalinya; d. Halaman ketiga dan keempat disediakan untuk pendaftaran peralihan hak, pembebanan dan pencatatan lainnya, tiap halaman terbagi atas 5 (lima) ruang. Setiap HMSRS didaftar dalam satu buku tanah HMSRS. Untuk pendaftaran HMSRS, disamping mempergunakan daftar isian yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran, diperlukan pula beberapa daftar tambahan yaitu: a. Daftar Buku Tanah HMSRS yang dibuat per Desa/Kelurahan b. Daftar Gambar Rumah yang diberi Nomor urut per tahun per Kabupaten atau persatuan Wilayah Kerja Kantor Pertanahan. 123 Ibid, hal.39.

104 76 Terhadap HMSRS yang telah dibukukan dapat diterbitkan sertifikat, kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dijilid dalam satu sampul dokumen yang merupakan alat bukti HMSRS yang dimilikinya. Penerbitan SHM SRS dilakukan oleh Kantor Pertanahan Setempat. Sertifikat itu harus sudah dibuat oleh perusahaan penyelenggara pembangunan rumah susun sebelum satuan rumah susun tersebut dijual 124 HMSRS dapat beralih dengan cara pewarisan 125 ataupun dengan cara pemindahan hak. 126 HMSRS dapat pula berakhir atau hapus, karena: Hak atas tanahnya hapus menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, Tanah dan bangunannya musnah, Terpenuhinya syarat batal dan Pelepasan hak secara sukarela Tinjauan tentang Overmacht dan Hukum Perjanjian Rumah Susun Pengertian dan Unsur-unsur Overmacht Konsep overmacht dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) ditemukan dalam pasal-pasal berikut ini: 124 Andi Hamzah, op.cit, hal Marihot P.Siahaan, 2005, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan: Teori dan Praktik, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal Periksa juga Pasal 47 ayat (3) dan (4) UU Rumah Susun. 125 Peralihan hak HMSRS dilakukan melalui pewarisan, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan dengan melampirkan: (a). Sertifikat HMSRS; (b). Surat Keterangan Kematian Pewaris; (c). Surat Wasiat atau Surat Keterangan Waris sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; (d). Bukti kewarganegaraan ahli waris; (e). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni; (f). Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pewarisan (Vide Pasal 42 ayat 2 PP Rumah Susun). 126 Pemindahan HMSRS dan pendaftaran peralihan haknya dilakukan dengan melampirkan (a). Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Berita Acara Lelang; (b). Sertifikat HMSRS yang bersangkutan; (c). Anggaran Dasar Rumah Tangga perhimpunan penghuni; (d).surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pemindahan hak; dan (e). ahli waris (Vide Pasal 42 ayat 1 PP Rumah Susun ). 127 Vide Pasal 50 PP Rumah Susun.

105 77 Pasal 1244 KUH Perdata Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya. Pasal 1245 KUH Perdata Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Pasal 1444 KUH Perdata (1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. (2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya. (3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu. (4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya. Pasal 1445 KUH Perdata Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya. Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHPerdata sebagaimana disebutkan di atas, unsur-unsur overmacht meliputi:

106 78 a. Peristiwa yang tidak terduga; b. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur; c. Tidak ada itikad buruk dari debitur; d. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur; e. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi; f. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan; g. Keadaan di luar kesalahan debitur; h. Debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang); i. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitur maupun pihak lain); j. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian. Dalam khazanah hukum Indonesia, konsep overmacht lebih banyak dijelaskan oleh pendapat ahli-ahli hukum Indonesia, antara lain berikut ini. 1. R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian overmacht yaitu adanya hal yang tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan 128 Lebih lanjut Subekti menekankan arti overmacht pada dua pasal yaitu pasal 1244 dan pasal 1245 KUHPerdata. Menurutnya, pengertian kedua pasal tersebut merupakan doublure yaitu mengatur hal yang sama hanya saja kalau ditilik lebih lanjut dari perumusannya, maka penekanannya terletak pada Pasal 1244 KUHPerdata karena dianggap paling tepat menunjukkan keadaan overmacht. Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cet.19, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut Subekti II) hal

107 79 kepada seseorang sedangkan yang bersangkutan dengan segala usahanya secara patut memenuhi kewajibannya Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F. A. Vollmar menyatakan bahwa overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang (relative overmacht) Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya Munir Fuady mengemukakan pendapatnya tentang overmacht, dimana keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan yang tidak terduga, keadaan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditor karena keadaan debitor tidak dalam keadaan beritikad buruk R.Setiawan memberikan pengertian keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dalam hal ini debitor tidak dapat 129 Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam Rahmat S.S Soemadipradja, op.cit, hal Purwahid Patrik dalam Rahmat S.S. Soemadipradja, ibid. 132 Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal.113.

108 dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta hal tersebut tidak dapat diduga pada waktu persetujuan dibuat. 133 Dari uraian doktrin diatas, maka dapat dirumuskan unsur-unsur dari overmacht sebagai berikut: 1. Suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan 2. Disebabkan adanya suatu peristiwa yang menyebabkan obyek yang diperjanjikan musnah; 3. Peristiwa yang mendasari overmacht tersebut terjadi di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. 4. Dimana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko. 5. Debitur tidak beritikad buruk Jenis-jenis overmacht jenis yaitu: Dalam perkembangannya, overmacht dapat dibedakan menjadi beberapa A). Berdasarkan sifatnya 1).Overmacht tetap yaitu overmacht yang mengakibatkan perjanjian selamanya tidak mungkin untuk dilaksanakan atau tidak dapat dipenuhi sama sekali, sehingga dalam keadaan tersebut otomatis perikatan akan berakhir karena tidak mungkin dapat dipenuhi lagi. 2).Overmacht sementara, mengakibatkan pelaksanaan perjanjian ditunda dari waktu yang ditentukan semula dari perjanjian tersebut R.Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.6, Putra Abardin, Bandung, hal.27.

109 81 Dalam hal ini, perikatan itu tidak berhenti/tidak batal, namun pemenuhan prestasinya tertunda dan jika kesulitan yang dihadapi oleh debitor tidak ada lagi maka pemenuhan prestasinya dapat diteruskan. 134 B). Berdasarkan obyek 1). Overmacht lengkap artinya mengenai seluruh prestasi itu tidak dapat dipenuhi oleh debitur. 2). Overmacht sebagian artinya hanya sebagian dari prestasi itu yang tidak dapat dipenuhi oleh debitur. 135 C). Berdasarkan subyek 1). Overmacht obyektif didasarkan pada ajaran ketidakmungkinan (imposibilitas), dalam hal ini adanya ketidakmungkinan pemenuhan prestasi oleh siapapun. 2). Overmacht subyektif dalam hal ini menimbulkan kesulitan pelaksanaan bagi debitor tertentu. Ajaran overmacht subyektif disini berhadapan dengan difficulties (kesulitan-kesulitan), dalam hal ini debitor masih mungkin untuk memenuhi prestasi namun dengan pengorbanan yang besar dan tidak seimbang atau menimbulkan kerugian yang besar bagi debitur. 136 D). Berdasarkan ruang lingkupnya 1) Overmacht umum dapat berupa iklim, kehilangan, dan pencurian. 2) Overmacht khusus, dapat berupa berlakunya suatu peraturan (UU 134 Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal Rahmat S.S.Soemadipradja, op.cit, hal Rahmat S.S. Somadipradja, loc.cit.

110 atau Peraturan Pemerintah). Dalam hal ini bukan berarti prestasi tidak dilakukan tetapi prestasi tidak boleh dilakukan, Sumpah, Tingkah Laku Pihak Ketiga dan Pemogokan Jenis-Jenis Perikatan dan/atau Perjanjian yaitu: meliputi: Jenis-jenis perikatan oleh CST Kansil dibedakan menjadi (enam) jenis, (1). Perikatan Sipil (Civile Verbentenissen) atau Perikatan Wajar (Natuurlijke Verbentennissen). (2). Perikatan yang dapat dibagi (deelbare verbintenissen) dan Perikatan yang tak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissen); (3). Perikatan Pokok (Principale atau hoofdverbintenissen) dan Perikatan Tambahan (Accessoire atau Nevenverbintenissen); (4). Perikatan Spesifik (Spesifieke Verbintenissen) dan Perikatan Generik (Genericke Verbintenissen); (5). Perikatan Sederhana (Eenvoudige Verbintenissen) dan Perikatan Jamak (Meervoudige Verbintenissen) ; (6). Perikatan Murni (Zuivere Verbintenissen) dan Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk Verbintenis). 138 Yahya Harahap membedakan perjanjian menjadi sembilan (9) jenis, 1. Perjanjian Positif dan Negatif 2. Perjanjian Sepintas lalu (voorbygaande) dan berlangsung terus (voortdurende) 3. Perjanjian Alternatif (Alternatif Verbintenis ) Pembedaan overmacht berdasarkan ruang lingkupnya merupakan pembedaan yang diberikan oleh Mariam Darus Badrulzaman. (Mariam Darus Badrulzaman et.al,op.cit,hal.28).berbeda dengan Mariam Darus Badrulzaman, Munir Fuady menggunakan istilah force majeure untuk menerjemahkan overmacht. Oleh Munir Fuady, force majeure terhadap suatu kontrak dapat dibedakan menjadi: 1). Dilihat dari segi sasaran yang terkena force majeure, dibedakan menjadi: (a). Force Majeure Objektif disebut juga dengan physical impossibility dan (b).force Majeure Subyektif; (2). Dilihat dari segi kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam kontrak, force majeure dibedakan atas: (a). Force Majeure Absolut atau sering disebut dengan impossibility dan (b). Force Majeure Relatif atau sering disebut dengan impracticality; dan (3). Dilihat dari segi jangka waktu berlakunya force majeure dibedakan atas: (a). Force Majeure Permanen dan (b). Force Majeure Temporer. Munir Fuady I, op.cit, hal C.S.T Kansil, op.cit, hal

111 4. Perjanjian Kumulatif atau Konjungtif (cumulatieve of conjungtieve) 5. Perjanjian Fakultatif 6. Perjanjian Generik dan Spesifik 7. Perjanjian yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi (deelbare en ondeelbare verbintenisen) 8. Perjanjian hoofdelijke atau solider 9. Perjanjian bersyarat (voorwaardelijke verbintenis). 139 Perikatan-perikatan tersebut oleh Tan Thong Kie dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: (1). Jenis Perikatan berdasarkan Prestasi, dibagi menjadi; a. Perikatan dengan Prestasi Positif dan Prestasi Negatif. b. Perikatan dengan Prestasi yang memakan waktu tidak lama atau prestasi terus-menerus. c. Perikatan dengan prestasi sederhana dan prestasi kompleks. d. Perikatan dengan prestasi yang dapat dibagi dan prestasi yang tidak dapat dibagi. e. Perikatan dengan Prestasi yang ditentukan atau Prestasi yang tidak ditentukan. Prestasi yang tidak ditentukan dibedakan menjadi Perikatan Alternatif dan Perikatan Generik. f. Perikatan dengan Prestasi Prinsipal atau Assesor. (2). Jenis Perikatan Berdasarkan waktu prestasi a. Perikatan Bersyarat Syarat dalam ilmu hukum dibedakan menjadi: 1. Syarat positif dan syarat negatif; 2. Syarat yang bergantung pada salah satu pihak; 3. Syarat menangguhkan dan syarat batal. b. Perikatan dengan atau tanpa ketentuan waktu 140 Berbeda dengan Tan Thong Kie, R.Setiawan membedakan perikatan menjadi 3 kelompok yaitu: 1). Isi daripada prestasinya a). Perikatan positif dan negatif. b). Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan. c). Perikatan alternatif. d). Perikatan fakultatif. e). Perikatan generik dan spesifik. f). Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. 2). Subyek-subyeknya a). Perikatan solider atau tanggung renteng Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal Tan Thong Kie, op.cit, hal

112 84 b). Perikatan principle atau accessoire. 3). Mulai berlakunya dan berakhirnya perikatan a). Perikatan bersyarat dan b). Perikatan dengan ketetapan waktu. 141 Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, et.al, membedakan perikatan dalam empat kelompok, yaitu: (1). Berdasarkan obyeknya (prestasinya), perikatan dibagi menjadi: (a). Perikatan untuk memberikan sesuatu; (b). Perikatan untuk berbuat sesuatu; (c). Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu; (d). Perikatan mana suka (alternatif); (e). Perikatan fakultatif; (f). Perikatan generik dan spesifik; (g). Perikatan yang dapat dibagi (deelbaar) dan yang tidak dapat dibagi (ondeelbaar); (h). Perikatan yang sepintas lalu (voorbijkgaande) dan terus menerus (voortdurende). (2) Berdasarkan subyeknya, perikatan dibedakan menjadi: (a). Perikatan tanggung-menanggung (hooflijk atau solider); dan (b). Perikatan pokok (principle) dan perikatan tambahan (accessoir). (3) Berdasarkan daya kerjanya, perikatan dibedakan menjadi: (a). Perikatan dengan ketetapan waktu; dan (b). Perikatan bersyarat. (4) Berdasarkan Undang-Undang, perikatan dibedakan menjadi: (a). Perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu; (b). Perikatan bersyarat; (c). Perikatan dengan ketetapan waktu; (d). Perikatan manasuka (alternatif); (e). Perikatan tanggung-menanggung; (f). Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi; dan (g). Perikatan dengan ancaman hukuman. 142 Bertolak dari pembedaan penggolongan perikatan dari para ahli, pada dasarnya pandangan para ahli terhadap perikatan tersebut tidak jauh berbeda karena substansi dari perikatan itu diatur dalam KUHPerdata, berikut uraian dari perikatan-perikatan yang dimaksud, antara lain: 141 R.setiawan, op.cit, hal Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal

113 85 1. Perikatan untuk memberikan sesuatu. Mengenai perikatan untuk memberikan sesuatu, Undang-Undang tidak merumuskan gambaran yang sempurna. Pasal 1235 KUH Perdata, menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban diberi utang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa perikatan untuk memberikan sesuatu adalah perikatan untuk menyerahkan (leveren) dan merawat benda (prestasi), sampai pada saat penyerahan dilakukan Perikatan untuk berbuat sesuatu Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1239 KUH Perdata bahwa tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban, memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. Selanjutnya Pasal 1240 KUHPerdata menyatakan: Pada saat itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang dengan tidak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal Pasal 1240 KUHPerdata mengandung pedoman untuk melakukan eksekusi riel pada perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal Lihat Pula Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal

114 86 3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu Tidak berbuat sesuatu artinya tidak melakukan perbuatan seperti yang telah diperjanjikan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 1242 KUH Perdata bahwa jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan karena itupun saja, berwajiblah ia akan penggantian biaya, rugi dan bunga Perikatan Murni (zuivere verbintenis) dan Perikatan Syarat (Voorwaardelijke Verbintenissen). Perikatan Murni yaitu Perikatan yang pemenuhan prestasinya tidak digantungka pada suatu syarat (condition) dan seketika itu juga wajib dipenuhi, 146 sedangkan perikatan syarat 147 dalam Hukum Perikatan adalah suatu peristiwa yang belum terjadi tetapi akan mungkin terjadi, yang menentukan apakah perikatan itu dapat diterima atau tidak. yaitu: Syarat dalam beberapa ilmu hukum harus memenuhi beberapa ketentuan, a. Harus mengenai suatu peristiwa yang belum terjadi b. Peristiwa itu harus belum tentu terjadi c. Harus mungkin tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan undang-undang d. Tidak boleh semata-mata tergantung pada kemauan seorang yang terikat Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 18, Lihat pula Titik Triwulan Tutik, op.cit, hal Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal.208 dan 213. Lihat pula C.S.T Kansil, op.cit, hal Yahya Harahap, op.cit, hal.45. Lihat pula diantaranya: Tan Thong Kie, op.cit, hal.375, C.S.T Kansil, op.cit, hal.248, R.Setiawan, op.cit, hal Tan Thong Kie, op.cit, hal.376. Bandingkan pula dengan Yahya Harahap, op.cit, hal. 47.

115 87 Menurut Setiawan, perikatan bersyarat dapat digolongkan kedalam: 1). Perikatan bersyarat yang menangguhkan, perikatan baru berlaku setelah syaratnya dipenuhi, diatur dalam ketentuan Pasal 1268 KUHPerdata. 2). Perikatan bersyarat yang menghapuskan, diatur dalam ketentuan Pasal 1265 KUHPerdata, perikatan hapus jika syaratnya dipenuhi: a). Keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak terjadi perikatan b). Hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya Perikatan Sederhana (Eenvoudige verbintenissen) dan Perikatan Jamak (meervoudige Verbintenissen). Perikatan sederhana yaitu, perikatan yang hanya ada satu prestasi yang harus dipenuhi oleh debitor. Adapun perikatan jamak yaitu perikatan yang pemenuhannya oleh debitor lebih dari satu macam prestasi. Perikatan jamak dibagi menjadi antara lain: (a). Perikatan kumulatif atau konjungtif (cumulatieve verbintenissen atau kumulatieve of conjunctieve )yaitu perikatan bersusun atau prestasi yang dibebankan terhadap debitur terdiri dari bermacammacam jenis. (b) Perikatan boleh pilih/manasuka/perikatan alternative (Alternatieve Verbintenis) Perikatan alternatif adalah suatu perikatan dimana debitur berkewajiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan. 150 (c). Perikatan Fakultatif (facultatieve verbintenissen) yaitu perikatan yang telah ditentukan prestasinya, akan tetapi jika karena sesuatu sebab tidak dapat dipenuhi, maka debitor berhak memberi prestasi yang lain.suatu perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang obyeknya hanya berupa suatu prestasi dimana debitur dapat menggantikan dengan prestasi lain. Perjanjian fakultatif hanya mempunyai satu objek prestasi R.Setiawan,op.cit hal Lihat pula diantaranya Yahya Harahap,op.cit, hal.47-48, Titik Triwulan Tutik, op.cit,hal , Tan Thong Kie, op.cit, hal.376, Mariam Daruz Badrulzaman, et.al, op.cit, hal Lihat diantaranya R.Setiawan, op.cit, hal.35, Yahya Harahap, op.cit, hal R.Setiawan, op.cit, hal.37.

116 88 6. Perikatan dengan ketetapan waktu (verbintenis met tijdsbepaling) Menurut Pasal 1268 KUH Perdata, bahwa suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Perikatan dengan ketetapan waktu, mengakibatkan kreditor tidak berhak untuk menagih pembayaran sebelum waktu yang diperjanjikan itu tiba, tetapi apa apa yang telah dibayar sebelum waktunya tiba tidak dapat dimintakan kembali. 152 Perikatan dengan ketetapan waktu, dibedakan menjadi: a). Ketentuan waktu yang menangguhkan, diatur dalam Pasal 1268 sampai dengan 1271 KUHPerdata. b).mengenai ketentuan waktu yang menghapuskan tidak/diatur oleh masing-masing secara umum. Dengan dipenuhinya ketentuan waktu, maka perikatan menjadi hapus. Perikatan dengan ketentuan waktu yang menghapuskan tidak berlaku surut. Jika waktunya telah dipenuhi maka debitur tidak lagi terikat akan tetapi prestasinya pada waktu yang lalu tidak perlu dikembalikan Perikatan sepintas lalu (Voorbygaande) dan berkelanjutan/ berlangsung terus (Voortdurende) Perikatan sepintas lalu yaitu dalam pemenuhan perikatan cukup hanya dilakukan dengan satuperbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai sedangkan perikatan berkelanjutan yaitu prestasinya bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu.disebut perjanjian sepintas lalu, apabila pemenuhan prestasi berlangsung sekaligus dalam waktu yang singkat dan dengan demikian perjanjianpun berakhir.lain halnya pada 152 Lihat diantaranya Titik Triwulan Tutik, op.cit, hal.216 dan Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal Lihat diantaranya R.Setiawan, op.cit, hal dan Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal.45.

117 perjanjian yang berlangsung terus. Disini kewajiban pemenuhan dan pelaksanaan prestasi berlangsung dalam jangka waktu yang lama Perikatan Pokok (Principale, atau Hoofdverbintenissen) dan Perikatan Tambahan (accessoire atau nevenverbintenissen). Perikatan Pokok, yaitu perikatan yang dapat berdiri sendiri tidak bergantung pada perikatan-perikatan lainnya; misal, jual beli, sewa menyewa sedangkan Perikatan Tambahan, yaitu perikatan yang merupakan tambahan dari perikatan lainnya dan tidak dapat berdiri sendiri Perikatan spesifik (spesifieke verbintenissen) dan Perikatan Generik (genericke verbintenissen). Perjanjian generik atau soort-verbintenis ialah perjanjian yang hanya menentukan jenis dan jumlah voorwerp atau benda/barang yang harus diserahkan debitur seperti yang diatur dalam Pasal 1392 KUHPerdata. Sesuai dengan ketentuan pasal diatas; pada perjanjian generikdebitur dalam memenuhi kewajibannya guna membebaskan dirinya atas pemenuhan prestasi. Lain halnya dengan perikatan spesifik (Pasal 1391KUHPerdata). Apabila benda yang menjadi objek perjanjian yang ditentukan hanya ciri-ciri 89 khususnya saja, maka dinamakan perjanjian spesifik. Dengan kata lain Perikatan spesifik adalah perikatan yang secara khusus ditetapkan macamnya prestasi Lihat diantaranya R.setiawan, op.cit,hal.34, Yahya Harahap, op.cit, hal.34-35, Tan Thong Kie,op.cit, hal C.S.T Kansil, op.cit, hal Ibid,Lihat juga diantaranyayahya Harahap, op.cit, hal R.Setiawan, op.cit,hal.37.

118 10. Perikatan yang dapat dibagi (deelbare verbintenissen) dan Perikatan yang tidak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissen). Perikatan yang dapat dibagi (deelbabhre verbintenissen), yaitu perikatan yang menurut sifat dan maksudnya dapat dibagi-bagi dalam memenuhi prestasinya. Adapun Perikatan yang tidak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissen) yaitu perikatan yang menurut sifat dan maksudnya tak dapat dibagi-bagi dalam melaksanakan prestasinya. 157 Perjanjian dikatakan sebagai perjanjian yang tidak dapat dibagi disebabkan oleh dua hal : 1. Menurut Pasal 1296 KUH Perdata, bahwa perikatan tidak dapat dibagi-bagi, jika obyek dari pada perikatan tersebut yang berupa penyerahan sesuatu barang atau perbuatan dalam pelaksanaannya tidak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata ataupun secara perhitungan.oleh karena "sifat" prestasi tidak dapat dibagi-bagi dan objek prestasi mutlak tidak terbagi, maka sifat ondeelbare yang demikian dinamakan absolut ondeelbare atau individuitas necessaria 2. Berdasar kekuatan tujuan/maksud penjanjian. Penjanjian ondeelbare yang didasarkan atas kekuatan tujuan atau maksud (strekking) disebut ondeelbar relative dan sering juga disebut individuitas obligatione. Untuk menentukan tujuan/maksud tadi dapat dilihat dari tiga segi yaitu dari maksud/tujuan para pihak sendiri, dari penentuan yang jelas dalam perjanjian dan dari hakekat perjanjian itu benar-benar tidak mungkin dibagi-bagi. Ondeelbare relatif yang didasarkan pada tujuan ini diatur dalam Pasal 1297 KUHPerdata Perikatan Solider atau Tanggung Renteng (perjanjian Hoofdelijke/ solidary obligation) Perikatan tanggung renteng dapat terjadi apabila seorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditor atau seorang kreditor beberapa C.S.T Kansil, op.cit, hal Yahya Harahap, op.cit, hal Bandingkan dengan R.Setiawan, op.cit, hal.39, Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal.53, Titik Triwulan Turik, op.cit, hal , dan Subekti II, op.cit, hal.9.

119 orang debitor dalam hal ini setiap kreditor berhak atas pemenuhan prestasi seluruh utang dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi debitor dibebaskan dari utangnya dan perikatan hapus. Berdasarkan hal tersebut, maka perikatan tanggung renteng dibedakan menjadi: a).tanggung renteng aktif, yaitu setiap kreditur dari dua atau lebih kreditur-kreditur dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur dengan pengertian bahwa pemenuhan terhadap seorang kreditur dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur dengan pengertian bahwa pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan debitur dari kreditur-kreditur lainnya. b).tanggung renteng Pasif, yaitu setiap debitur dari dua atau lebih debitur, debitur berkewajiban terhadap kreditur atas keseluruhan prestasi.dengan dipenuhinya prestasi oleh seorang debitur, membebaskan debitur debitur lainnya. 159 Dari uraian diatas, jika dicermati maka nampaknya terdapat perbedaan mendasar antara hoofdelijke dan ondeelbare, oleh Yahya Harahap perbedaan tersebut secara garis besar terbagi atas: (1). Hoofdelijk bersumber dari persetujuan (overeenkomst) atau oleh karena ketentuan undang-undang; Ondeelbare bersumber dari sifat prestasi atau objek perjanjian. (2). Hoofdelijk terletak pada subjeknya sedang pada ondeelbare terletak pada objeknya (3).Sifat perjanjian hoofdelijk/solider adalah perjanjian yang berbentuk beberapa orang subjek. Setiap kreditur berhak menagih/menuntut pelaksanaan pemenuhan prestasi secara keseluruhan pada hoofdelijk aktif, dan pada hoofdelijk pasif setiap debitur berkewajiban memenuhi tagihan/tuntutan pelaksanaan prestasi perjanjian Perikatan dengan Ancaman Hukuman Ancaman hukuman dijelaskan dalam Pasal 1304 KUH Perdata bahwa ancaman hukuman itu ialah untuk melakukan sesuatu apabila perikatan tidak R.Setiawan, loc.cit. Bandingkan dengan Yahya Harahap, op.cit, hal Yahya Harahap, op.cit, hal.41-42, Bandingkan dengan Tan Thong Kie, op.cit, hal.374.

120 dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman menurut Pasal 1307 KUH Perdata adalah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi. Pada dasarnya perikatan dengan ancaman hukuman memuat suatu ancaman terhadap debitor apabila ia lalai, tidak memenuhi kewajibannya. Syarat ancaman hukum (penal caluse) memiliki dua maksud, yaitu: (1) untuk memberikan suatu kepastian atas pekaksanaan isi perjanjian seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat para pihak; dan (2) sebagai usaha untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul-betul tejadi wanprestasi. 161 Selain perikatan tersebut diatas terdapat juga pembedaan atas jenis-jenis persetujuan Obligatoir, diantaranya: 1. Persetujuan sepihak dan timbal-balik Persetujuan merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Persetujuan timbal-balik adalah persetujuan yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak. Persetujuan sepihak adalah persetujuan dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. 2. Persetujuan dengan Cuma-cuma atau atas beban Persetujuan atas beban adalah persetujuan dimana terhadap prestasi pihak yang satu terhadap prestasi pihak lain, antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan hukum satu dengan lainnya. Persetujuan dengan Cuma-cuma adalah persetujuan dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak lain secara Cuma-cuma. 3. Persetujuan konsesuil, Riil dan formil Persetujuan konsesuil adalah persetujuan yang terjadi dengan kata sepakat. Persetujuan riil adalah persetujuan, dimana selain diperlukan kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang. 4. Persetujuan bernama, tidak bernama dan campuran Persetujuan bernama adalah persetujuan-persetujuan dimana oleh undang-undang telah diatur secara khusus dalam Bab V s/d XVIII KUHPerdata, sedangkan persetujuan tidak bernama adalah persetujuan tidak diatur secara khusus Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal.60, Titik Triwulan Tutik, op.cit, hal R.Setiawan, op.cit, hal

121 Obyek dan Subyek perikatan dan/atau perjanjian Obyek perikatan atau prestasi berupa memberikan sesuatu, berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk mernberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau memberikan kenikmatan; berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu dan tidak berbuat sesuatu adalah jika debitur berjanji untuk tidak melakukan perbuatan tertentu misalnya, tidak akan membangun sebuah rumah. Suatu perjanjian haruslah mempunyai obyek tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan, obyek perjanjian ialah hal yang diwajibkan kepada pihak berwajib dan hal terhadap mana pihak berhak mempunyai hak (Een overeenkomst moet een bepaald of tenminste bepaalbaar voorwerp hebben, Het object van een verbintenis is datgene waartoe de schuldenaar verplicht is en waartoe de schuldeiser gerechtigd ). KUHPerdata memberikan batasan Obyek perikatan harus memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu: 1. Harus tertentu atau dapat ditentukan. Dalam Pasal 1320 ayat 3 KUHPerdata menyebutkan sebagai unsur terjadinya persetujuan suatu obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat ditentukan. Karena perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah. 2. Obyeknya diperkenankan. Menurut Pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika/obyeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang oleh Undang-undang.

122 Berkaitan dengan subjek perikatan, hanya dapat dilakukan oleh subjek 94 hukum. 163 Subjek hukum atau person dalam bahasa Inggris merupakan suatu bentukan hukum artinya keberadaannya karena diciptakan oleh hukum. Salmond menyatakan: "So far as legal theory is concerned, a person is being whom the law regards as capable of rights and ditties. Any being that is so capable is a person, whether a human being or not, and no being that is not so capable is a person, even though he be a man". Dari apa yang dikemukakan oleh Salmond tersebut jelas bahwa baik manusia maupun bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum atau person 164 kalau dimungkinkan oleh hukum. 165 Selanjutnya menurut Salmond, A legal person is any subject matter other than human being to which the law attributes personality. Karakteristik badan hukum adalah didirikan oleh orang, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri dan pengurusnya, mempunyai hak dan kewajiban terlepas dari hak dan kewajiban pendiri atau pengurusnya Istilah subjek hukum merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda Rechtssubject. Kata Subject dalam Bahasa Belanda dan Inggris, berasal dari Bahasa Latin Subjectus yang artinya di bawah kekuasaan orang lain (subordinasi). Berdasarkan pengertian dalam Bahasa Latin ini Franken menyatakan, bahwa Subject memberikan gambaran yang pasif dalam arti lebih banyak menerima kewajiban daripada mempunyai hak. Dalam Bahasa Inggris, dikenal istilah Person untuk menyebut sesuatu yang mempunyai hak. Menurut Paton, istilah Person berasal dari Bahasa Latin Persona yang ekuivalen dengan Bahasa Yunani Prosopon (Franken dan Paton dalam Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.241). 164 Person dapat dibedakan antara manusia dan bukan manusia. Manusia dalam literatur Bahasa Inggris biasanya disebut Natural Person atau Bahasa Belanda Natuurlijke Persoon atau dalam Bahasa Indonesia disebut Orang, sedangkan yang bukan manusia dalam Bahasa Inggris disebut sebagai Legal Person atau bahasa Belanda Rechtspersoon dan dalam Bahasa Indonesia disebut Badan Hukum. (Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.243). 165 Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.243.

123 95 Dari pengertian Subyek Hukum sebagaimana telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Subyek Hukum, yaitu orang yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan Hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. 167 Berkaitan dengan perjanjian rumah susun maka para pihak yang terlibat (stakholders) dalam pengelolaan rumah susun meliputi; 1). Penghuni atau pemilik SRS 2). Badan pelaksana 3). Perhimpunan penghuni 4). Badan pengelola 5) Penyelenggara Pembangunan rumah susun atau developer. 1). Pemilik dan Penghuni Rumah Susun Adapun pengertian antara pemilik dan penghuni rusun mempunyai definisi yang berbeda. Pemilik adalah perseorangan atau badan hukum yang memiliki Satuan Rumah Susun yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Sedangkan penghuni adalah perseorangan yang bertempat tinggal dalam Satuan Rumah Susun. Para penghuni dalam suatu lingkungan rumah susun baik untuk hunian maupun bukan hunian wajib membentuk perhimpunan penghuni untuk mengatu dan mengurus kepentingan bersama yang bersangkutan sebagai pemilikan, penghunian dan pengelolaannya. 167 Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, Ed.1, Cet.13, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.128.

124 Setiap penghuni rumah susun memiliki hak yang patut diperolehnya, diantaranya : yaitu: berikut: a. Memanfaatkan rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama secara aman dan tertib; b. Mendapatkan perlindungan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; c. Memilih dan dipilih menjadi Anggota Pengurus Perhimpunan Penghuni. 168 Setiap penghuni rumah susun memiliki kewajiban yang harus dipenuhinya, a. Mematuhi dan melaksanakan peraturan tata tertib dalam rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; b. Membayar iuran pengelolaan dan premi asuransi kebakaran; c. Memelihara rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. 169 Setiap penghuni rumah susun dilarang untuk melakukan hal-hal sebagai a. Melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan, ketertiban, dan keselamatan terhadap penghuni lain, bangunan dan lingkungannya; b. Mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan di luar satuan rumah susun yang dimiliki tanpa mendapat persetujuan perhimpunan penghuni ). Perhimpunan Penghuni Adapun perhimpunan penghuni adalah badan hukum yang beranggotakan para pemilik atau penghuni sarusun. Perhimpunan-perhimpunan anggotanya terdiri dari para penghuni yang mempunyai tugas dan wewenang pengelolaan yang meliputi penggunaan, pemeliharaan, dan perbaikan terhadap bangunan, Vide Pasal 61 ayat 1 PP Rumah Susun. 169 Vide Pasal 61 ayat 2 PP Rumah Susun. 170 Vide Pasal 61 ayat 3 PP Rumah Susun.

125 bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Perhimpunan penghuni memiliki fungsi yaitu: a). Membina terciptanya kehidupan lingkungan yang sehat,tertib dan aman; b). Mengatur dan membina kepentingan penghuni; c). Mengelola rusun dan lingkungannya. 171 Perhimpunan penghuni rumah susun mempunyai tugas pokok, antara lain sebagai berikut: a. Mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang disusun oleh pengurus dalam rapat umum perhimpunan penghuni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2); b. Membina para penghuni ke arah kesadaran hidup bersama yang serasi, selaras, dan seimbang dalam rumah susun dan lingkungannya; c. Mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; d. Menyelenggarakan tugas-tugas administratif penghunian; e. Menunjuk atau membentuk dan mengawasi badan pengelola dalam pengelolaan rumah susun dan lingkungannya; f. Menyelenggarakan pembukuan dan administratif keuangan secara terpisah sebagai kekayaan perhimpunan penghuni; g. Menetapkan sanksi terhadap pelanggaran yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. 172 Kewajiban perhimpunan penghuni, yaitu: mengurus kepentingan bersama para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan, kepemilikan benda bersama, bagian bersama, tanah bersama penghunian. 173 Pasal 54 ayat (3) PP Rumah Susun menentukan kewenangan perhimpunan penghuni adalah dapat mewakili para penghuni dalam melakukan perbuatan hukum baik kedalam maupun keluar pengadilan. Pengertian dapat mewakili berarti bahwa Vide Pasal 56 PP Rumah Susun. 172 Vide Pasal 59 PP Rumah Susun. 173 Vide Pasal 75 ayat 3 UU Rumah Susun.

126 dalam hal mengurus kepentingan bersama untuk melakukan perbuatan hukum perhimpunan penghuni harus mendapat persetujuan para penghuni. 3). Badan Pelaksana Badan pelaksana dibentuk oleh Pemerintah untuk mewujudkan penyediaan rumah susun yang layak dan terjangkau bagi MBR. Pembentukan badan pelaksana, bertujuan untuk: a). Mempercepat penyediaan rumah susun umum dan rumah susun khusus, terutama di perkotan; b). Menjamin bahwa rumah susun umum hanya dimiliki dn dihuni oleh MBR; c). Menjamin tercapainya asas manfaat rumah susun; d). Melaksanakan berbagai kebijakan di bidang rumah susun umum dan rumah susun khusus. 174 Badan pelaksana mempunyai fungsi: pelaksanaan pembangunan, pengalihan kepemilikan dan distribusi rumah susun umum dan rumah susun khusus secara terkoordinasi dan terintegrasi. 175 Badan pelaksana bertugas: a). Melaksanakan pembangunan rumah susun umum dan rumah susun khusus; b). Menyelenggarakan koordinasi operasional lintas sektor, termasuk dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum; c). Melaksanakan peningkatan kualitas rumah susun umum dan rumah susun khusus; d). Memfasilitasi penyediaan tanah untuk pembangunan rumah susun umum dan rumah susun khusus; e). Memfasilitasi penghunian, pengalihan, pemanfaatan serta pengelolaan rumah susun umum dan rumah susun khusus; f). Melaksanakan verifikasi pemenuhan persyaratan terhadap calon pemilik dan/ atau penghuni rumah susun umum dan rumah susun khusus; dan g) Melakukan pengembangan hubungan kerjasama dibidang rumah susun dengan berbagai instansi didalam dan di luar negeri Vide Pasal 72 ayat 2 UU Rumah Susun. 175 Vide Pasal 73 ayat 3 UU Rumah Susun. 176 Vide Pasal 72 ayat 4 UU Rumah Susun.

127 99 4. Badan Pengelola Adapun mengenai badan pengelola Rusun adalah badan yang bertugas untuk mengelola rusun. Perhimpunan penghuni dapat membentuk atau menunjuk badan pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan pengelolaan yang meliputi pengawasan terhadap penggunaan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersaman. Badan pengelola ini diatur dalam Peraturan Pemerintah. Badan pengelola mempunyai tugas: a. Melaksanakan pemeriksaan, pemeliharaan, kebersihan dan perbaikan rumah susun dan lingkungannya pada bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama; b. Mengawasi ketertiban dan keamanan penghuni serta penggunaan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sesuai dengan peruntukannya; c. Secara berkala memberikan laporan kepada perhimpunan penghuni disertai permasalahan dan usulan pemecahannya. 177 Dalam aspek perlindungan konsumen developer dapat dikatakan sebagai pelaku usaha dan pemilik satuan rumah susun dikatakan sebagai konsumen. Kata konsumen berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yakni consumer, atau dalam bahasa Belanda "consument", "konsument". Konsumen secara harafiah adalah orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan, pemakai atau pembutuh. Pengertian tentang konsumen secara yuridis telah diletakkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU No 8 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan 177 Vide Pasal 68 PP Rumah Susun.

128 100 Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU LPM PUTS). Kedua UU ini memberikan definisi atau pengertian tentang konsumen. Pasal 1 UUPK merumuskannya sebagai berikut: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Rumusan UUPK di atas berbeda dengan rumusan dalam Pasal 1 UU LPM PUTS, yang memberikan pengertian konsumen sebagai berikut: Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain. 178 Batasan Pasal 1 tersebut sudah jelas mengatakan, "...barang dan/atau jasa yang tersedia... dan tidak untuk diperdagangkan," sehingga setiap pedagang/pengecer atau pembeli untuk kemudian dijual lagi, tidak dapat disebut sebagai konsumen. UUPK sendiri dalam penjelasan Pasal 1 butir 2 mengatakan bahwa konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Maka jelas kiranya, yang menjadi wilayah pengaturan dari UUPK adalah konsumen akhir. 178 Perbedaannya yang nampak dari rumusan kedua UU tersebut adalah, batasan yang diberikan UUPK sedikit lebih rinci dibandingkan dengan batasan yang dibuat oleh UU LPM PUTS. Rumusan UUPK mengenai definisi konsumen mengartikannya juga bagi pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, yang bukan saja bagi kepentingan manusia, tetapi juga makhluk hidup lain. Makhluk hidup selain manusia adalah hewan atau tumbuh-tumbuhan dan makhluk mikroorganisme.

129 101 Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil. Dalam pengertian yuridis, istilah produsen disebut dengan pelaku usaha. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan pelaku usaha dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 3 UUPK dan Pasal 1 butir 5 UU LPM PUTS. Menurut Pasal 1 butir 3 UUPK, pelaku usaha dimaksudkan sebagai berikut: Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi. Sementara Pasal 1 butir 5 UU LPM PUTS memberikan batasan yang hampir tidak ada perbedaan berarti dari pengertian yang dikandung UUPK. Adapun pengertian tersebut dapat dilihat seperti berikut:"pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi." Batasan yang diberikan oleh kedua undang-undang di atas sangat luas karena pelaku usaha tidak hanya terbatas kepada pemilik perusahaan yang terdaftar sebagai badan hukum, tetapi pemilik perusahaan yang kecil-kecil. Kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut.

130 Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak, penyedia dana lainnya, dan sebagainya. 2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan bahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri atas orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya. 3. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya N.H.T Siahaan, op.cit, hal

131 103 BAB III AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM OVERMACHT TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN 3.1. Konsepsi Kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam Sistem Hukum Nasional Berbicara mengenai sistem hukum, hendaknya harus diketahui terlebih dahulu arti dari sistem itu sendiri. Menurut Subekti, sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang tersusun secara teratur berdasar suatu rencana untuk mencapai suatu tujuan dan dalam suatu sistem yang baik, tidak boleh terjadi suatu tumpang tindih (overlapping) diantara bagian-bagian itu. 180 Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian sistem Sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana dibangun tertib hukum. Asas-asas itu diperoleh melalui konstruksi yuridis (kongkrit), yaitu dengan menganalisis (mengolah) data-data yang sifatnya nyata untuk kemudian mengambil sifat-sifatnya yang sama atau umum (kolektif) atau abstrak. Proses ini dapat juga dikatakan mengabstraksi. 181 Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa Esensi dari suatu sistem 182 adalah terdapat ciri-ciri tertentu yaitu terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan secara teratur serta terintegrasi. Setiap sistem mengandung 180 Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal Mariam Darus Badruzaman I, loc.cit. 182 Sistem berasal dari terjemahan Inggris yaitu System: systema (keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian). Beberapa pengertian sistem: Kumpulan hal-hal yang disatukan kedalam suatu keseluruhan yang konsisten karena saling terkait (saling terkait yang teratur dari bagian-bagiannya); kumpulan hal-hal (objek-objek, ide-ide, kaidah-kaidah) yang tersusun dalam suatu tatanan yang koheren menurut suatu prinsip rasional atau yang dapat dimengerti. (Lorens Bagus, 2000, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.1015).

132 104 beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya, dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Dengan demikian, sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang keseluruhan komponennya dalam hubungan yang fungsional. Jadi hukum adalah suatu sistem. 183 Hukum sebagai sistem masih dipertanyakan tentang kualifikasi dan isi dari sistem hukum itu. Apakah sistem hukum itu murni dari unsur yuridis sehingga bersifat tertutup atau sistem hukum itu terpengaruh dari hal-hal di luar hukum sehingga sistem hukum dapat disempurnakan dan untuk mengetahui itu semua ada kiranya mengetahui makna atau arti dari sistem hukum itu sendiri. Menurut J.H. Merryman dalam bukunya The Civil Law Tradition : An Introduction to the Legal System of Western Europe and Latin America sebagaimana dikutip oleh Abdul R.Saliman, menyatakan bahwa Legal system is an operating set oe legal institution, procedures and rules (Sistem hukum adalah seperangkat lembaga hukum, prosedur, aturan-aturan hukum yang beroperasi). 184 Mengenai pengertian sistem hukum itu sendiri, Bellefroid menyatakan bahwa Rechts system is een aan eensluitend geheel vanrechts regels, die naar beginselen geordend zijn (Sistem hukum adalah suatu susunan keseluruhan aturan-aturan yang disusun sesuai dengan azas-azasnya). Bruggink menjelaskan bahwa sistem hukum ialah aturanaturan hukum dan putusan-putusan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dalam suatu hubungan dan saling berkaitan. 185 Meuwissen mengartikan sistem hukum sebagai konstruksi (teoritis) yang didalamnya pelbagai norma/kaidah hukum dipikirkan dalam suatu hubungan logis-konsisten menjadi 183 R.Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Hukum Indonesia: Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal Abdul R.Saliman, loc.cit. 185 Bruggink dalam Arief Sidartha, op.cit, hal.139.

133 105 satu kesatuan tertentu 186 Menurut Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, sistem hukum merupakan satu kesatuan sistem yang besar yang tersusun atas sub-sistem yang lebih kecil, yang pada hakikatnya merupakan sistem tersendiri dengan proses tersendiri pula. 187 Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa dalam membicarakan Sistem Hukum Nasional berarti membahas hukum secara sistematik yang berlaku secara Nasional. Secara sistematik berarti hukum dilihat sebagai suatu kesatuan yang unsur-unsur, sub-sistem atau elemen-elemennya saling berkaitan, saling mempengaruhi serta saling memperkuat atau memperlemah antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. 188 HMSRS itu sendiri tersusun dalam sistem hukum tanah dan sistem hukum benda nasional yang menjadi satu kesatuan dalam sistem hukum Nasional, berkaitan dengan kajian yuridis atas satuan rumah susun oleh karena tanah dan bangunan adalah benda maka pengaturannya dari aspek keperdataan berada dalam sistem hukum benda, yang dapat dikhususkan lagi menjadi sub sistem hukum agraria dan sub sistem bangunan. Hukum Benda adalah sub sistem dari Hukum Nasional, sebagai sub-sistem, ia mengandung seluruh asas-asas yang terdapat dalam Hukum Nasional, demikian juga halnya dengan kedudukan agraria dalam arti sempit (hukum tanah) dalam sistem hukum nasional. Sistem hukum agraria (hukum tanah) merupakan satu kesatuan dengan sub-sub sistem lainnya yang bekerja secara sistematis dalam satu tatanan sistem hukum nasional. 186 Meuwissen sebagaimana dikutip oleh Titon Slamet Kurnia dalam Pengantar Sistem Hukum Indonesia, 2009, Alumni, Bandung, hal Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, 2003, Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, hal Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.6.

134 106 Membicarakan sistem hukum nasional dalam UU Rumah Susun, maka berdasarkan ketentuan penutup UU Rumah Susun pada pasal 118 ayat (b), dinyatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan Undang-Undang Rumah Susun Nomor 20 Tahun Bertolak dari ketentuan tersebut, maka segala peraturan pelaksana terkait dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 masih tetap diberlakukan sepanjang peraturan pelaksana dari UU Rumah Susun Nomor 20 Tahun 2011 belum diterbitkan, sehingga segala peraturan pelaksana yang terkait, diantaranya PP Rumah Susun dan Permendagri yang terkait penulis jadikan acuan dalam menganalisis permasalahan yang akan dikaji. Berdasarkan pada Sistem Hukum Nasional, terdapat beberapa aturan dalam sistem Hukum Benda dan Hukum Tanah Nasional yang berkaitan dengan pemilikan HMSRS. Menteri Dalam Negeri mengeluarkan 3 Peraturan, yang memungkinkan diterbitkannya surat tanda bukti pemilikan atas bagian-bagian yang dimaksudkan itu, yaitu: a. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama Dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan yang Ada di Atasnya Serta Penerbitan Sertifikatnya. b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada di Atasnya. c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan Dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas

135 107 Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara Terpisah Bagian Bagian Pada Bangunan Bertingkat. 189 Peraturan-peraturan di atas berpangkal pada tafsiran bahwa dalam Hukum Indonesia dimungkinkan pemilikan secara pribadi bagian-bagian tersebut, karena Hukum Indonesia menggunakan apa yang disebut asas pemisahan horizontal, yaitu asasnya Hukum Adat, yang merupakan dasar Hukum Tanah Nasional kita. Dalam rangka asas tersebut, setiap benda yang menurut wujud dan tujuannya dapat digunakan sebagai satu kesatuan yang mandiri, dapat menjadi obyek pemilikan secara pribadi. Maka bagian-bagian suatu bangunan gedung bertingkat yang menurut wujud dan tujuannya masing-masing dapat digunakan secara mandiri, menurut Hukum kita dapat dimiliki secara pribadi. Sehubungan dengan itu, dalam Penjelasan Permendagri Nomor 14/1975 tersebut dinyatakan bahwa peraturan ini bukan menciptakan hukum materiil baru, melainkan hanya menyempurnakan, melengkapi ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dewasa ini. Maka obyek utama yang didaftar adalah tanahnya. Surat tanda bukti hak yang diterbitkan berupa sertifikat hak tanah yang dipunyai bersama, dengan penunjukan secara khusus bagian yang dimiliki secara individual oleh pemegang sertifikat. Ada sertifikat induk yang disimpan di Kantor Pertanahan dan ada sertifikat pemilikan bersama tanahnya, yang masing-masing menunjuk pada bagian tertentu yang dimiliki secara pribadi Boedi Harsono II, op.cit, hal , Lihat juga Boedi Harsono I, op.cit, 13 Kode C 19, C 21, dan C Boedi Harsono II, op.cit, hal.353.

136 108 Peraturan yang mengatur lebih lanjut prihal kepemilikan HMSRS, yaitu melalui: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun; 3. Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun 4. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat selaku Ketua Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional Nomor 6/KPTSBKP4N/1995 tentang Pedoman Pembuatan Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni Rumah Susun. Berkaitan dengan aturan diatas, pada intinya sistem kepemilikan HMSRS, meliputi unsur yang secara terpisah dan berdiri sendiri berikut unsur-unsur yang dimiliki bersama dan kedua jenis unsur kepemilikan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pemilikan HMSRS dikaitkan dengan status tanah dimana rumah susun tersebut didirikan (Pasal 17 UU Rumah Susun). Ini berarti yang dapat menjadi subjek HMSRS yaitu mereka yang memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah bersama bersangkutan, kemudian sebagai tanda bukti kepemilikan atas SRS diterbitkan SHM SRS (Pasal 47 ayat 1 UU Rumah Susun). Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan diatas, maka yang perlu dipahami dalam kepemilikan SRS yaitu:

137 SRS dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah; 2. HMSRS adalah hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan terpisah; 3. HMSRS meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan; 4. Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan hak atas tanah bersama didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama Sistem Hukum Tanah Nasional dan Bangunan Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama yaitu hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret beraspek publik dan privat yang dapat disusun secara sistematis hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. 191 Di dalam ruang lingkup Hukum agraria, tanah dalam pengertian yuridis menurut UUPA yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Jadi dalam hal ini hukum tanah tidak mengatur tanah dari segala aspek namun hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan tanah. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak 191 Urip Santoso, 2013, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Cet.2, Kencana, Jakarta, hal.11.

138 penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem yang disebut dengan hukum tanah. 110 Selain tanah, bangunan juga sangat penting bagi kehidupan manusia. Pentingnya bangunan membuat manusia membangun berbagai macam bangunan untuk memenuhi kebutuhannya. Perkembangan teknologi konstruksi dan rancang bangun membuat manusia dapat membangun bangunan sesuai dengan keinginannya baik secara horizontal,vertikal maupun didalam tanah. Berbeda dengan tanah yang sulit untuk dinyatakan bentuknya, bangunan dapat dikenali dengan mudah dari bentuk bangunan yang ada. Bangunan merupakan suatu benda yang terdiri atas ruang dalam pengertian yuridis yang terbatas, memiliki ukuran tiga dimensi yaitu panjang, lebar dan tinggi. Sedangkan terhadap hak atas tanah, hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Selain itu, bangunan juga memiliki berbagai ruang yang dapat difungsikan sesuai dengan keinginan pemilik atau pengguna bangunan. Bangunan menjadi benda tidak bergerak karena disatukan dengan tanah tempat bangunan tersebut didirikan. Karena umunya, bangunan menyatu dengan tanah, bangunan sebagai benda yang penting bagi kehidupan manusia selalu dikaitkan dengan tanah. 192 Macam-macam hak atas tanah dalam hukum tanah nasional, termuat dalam rumusan Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA, yaitu: 1. Hak atas tanah yang bersifat tetap Hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Jenis-jenis hak atas 192 Marihot P.Siahaan, op.cit, hal.29.

139 111 tanah ini, diantaranya: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Membuka Tanah, Hak Sewa untuk Bangunan dan Hak untuk Memungut Hasil Hutan. 2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang, yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan ditetapkan dengan undang-undang. 3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, bersifat sementara dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifatsifat pemerasan, mengandung sifat feudal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Jenis-jenis hak atas tanah ini, diantaranya Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. 193 Dari paparan diatas, maka dapat dicermati melalui pendapat Boedi Harsono yang menyatakan bahwa HMSRS bukan hak penguasaan atas tanah, melainkan hak atas satuan rumah susun tertentu, yang menurut UU Rumah Susun meliputi juga satu bagian tertentu sebesar nilai perbandingan proporsionalnya dari hak atas tanah bersama diatas mana rusun yang bersangkutan berdiri. 194 Berbeda dengan Urip Santoso, yang menyatakan bahwa secara implisit,hmsrs diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu hak atas tanah dapat diberikan kepada sekelompok orang secara bersama-sama dengan orang lain. Pada HMSRS bidang tanah yang diatasnya berdiri rumah susun, hak atas tanahnya dimiliki atau dikuasai secara bersama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun. Hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara bersama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Negara Urip Santoso, op.cit, hal Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA tidak bersifat limitatif, artinya disamping hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA, nanti dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan undang-undang. 194 Boedi Harsono II, op.cit, hal Urip Santoso, op.cit, hal.86.

140 112 Berkenaan dengan sistem pemilikan atas suatu gedung bertingkat, membedakannya menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Pemilikan tunggal (single ownership); Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung bertingkat itu berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan pemilik gedung. 2. Pemilikan bersama (joint ownership). Adapun sistem pemilikan bersama dibagi dua dengan melihat adanya atau tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik gedung bertingkat itu, yaitu sebagai berikut. a. Pemilik bersama yang terikat, yaitu adanya ikatan hukum lebih dahulu antara pemilik. Dasar pengaturannya Permendagri No. 14 Tahun b. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para pemilik tidak ada hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik untuk dipergunakan bersama. Dasar pengaturannya UURS juncto PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun. Sistem pemilikan bersama yang bebas inilah yang dikenal sebagai condominium. 196 Oleh Ridwan Halim, Kepemilikan bersama dibedakan menjadi Hak Milik bersama dengan penggunaan fisik secara bersatu atau bersama pula (samengestelde mede eigendom), berdasarkan definisi yang diberikan oleh Ridwan Halim, tidak jauh berbeda dengan pemilikan bersama yang bebas. Selain itu Ridwan Halim membedakan hak bersama kedalam Hak Milik bersama dengan penguasaan fisik secara terpisah (aparigestelde mede eigendom) yaitu hak milik bersama (mede eigendom) dari pemilik bersama (mede eigenaars) atas obyek hukum yang masing-masing obyek hukum tersebut mempunyai bagian-bagian atau satuan-satuan bagian tertentu yang dikuasai secara terpisah antara para pemiliknya. Dengan perkataan lain, tiap-tiap pemilik akan menguasai satu atau 196 Imam Kuswahyono, loc.cit. (Perihal kepemilikan bersama, lihat juga diantaranya Adrian Sutedi I, op.cit, hal , Arie S.Hutagalung I, op.cit, hal.20-21, Ridwan Halim, op.cit, hal ).

141 113 beberapa bagian tertentu yang menjadi hak miliknya sendiri dari obyek hukum tersebut, dan terpisah dari bagian milik pemilik lainnya secara yuridis (aparigestelde), meskipun secara fisik bagian-bagian tersebut tetap menimbulkan hak milik bersama (mede eigendom) Sistem Hukum Kebendaan Nasional Hukum benda nasional telah menyerap sebagai basisnya adalah hukum adat dan diasimilasikan dengan pembagian benda dalam sistem KUH Perdata serta pembagian benda dalam sistem hukum anglo saxon. Sistem hukum benda merupakan sub sistem dari sistem hukum perdata. Demikian pula sistem hukum perdata merupakan sub sistem hukum nasional. Adapun HMSRS dalam UU Rumah Susun merupakan suatu lembaga pemilikan baru sebagai suatu hak kebendaan yaitu sebagai berikut: (a). HMSRS adalah hak milik yang bersifat perorangan dan terpisah; (b). HMSRS meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan dengan SRS yang bersangkutan; (c). Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan hak atas tanah bersama didasarkan atas luas atau nilai SRS yang bersangkutan pada waktu SRS diperoleh pemiliknya yang pertama. 198 Terkait dengan Sistem Hukum Kebendaan, benda tanah dapat dikelompokkan atas benda tanah yang terdaftar dan benda tanah yang tidak terdaftar. Benda bukan tanah yang terdaftar dapat berupa benda tidak bergerak dan benda bergerak Benda bukan tanah yang terdaftar berupa benda tidak bergerak. Benda bukan tanah yang terdaftar berupa benda bergerak, selain itu 197 Ridwan Halim, op.cit, hal M.Rizal Alif, 2009, Analisis Kepemilikan Hak atas Tanah Satuan Rumah Susun didalam Kerangka Hukum Benda, CV Nuansa Aulia, Bandung, hal.135.

142 114 terdapat pembedaan benda baru oleh Subekti yaitu Tanah dan Benda Bergerak berdasarkan pada pemikiran bahwa tanah telah diatur dalam UUPA. Berdasarkan uraian diatas,diatas, maka dapat dipahami pembedaan benda sebagai berikut: - Dalam KUHPerdata secara mendasar membedakan benda yang dapat menjadi obyek hak milik menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak dan juga berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud - UUPA berdasarkan hukum adat, maka membedakan benda berdasarkan hak milik atas tanah menjadi benda tanah dan benda bukan tanah. - Berdasarkan uraian mengenai pembedaan benda dan hak atas tanah tersebut, dengan demikian dapat dipahami bahwa HMRSS merupakan benda bukan tanah sekaligus benda tanah, dapat dicermati dari asas hukum tanah dalam hak milik atas satuan rumah susun yang berdasar pada asas horizontal dan asas accessie vertikal. Ditinjau dari Buku II KUHPerdata HMSRS termasuk benda tidak bergerak yang berwujud. Oleh karena HMSRS didaftarkan pada Kantor Pertanahan sehingga HMSRS termasuk benda terdaftar. Sehingga dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa HMSRS termasuk benda bukan tanah tidak bergerak terdaftar.

143 115 Dari paparan diatas, untuk memahami penggolongan HMSRS dalam hukum benda, maka penulis sajikan dalam bentuk bagan berikut ini: Buku II KUHPerdata Benda Bergerak Benda berwujud Benda tidak bergerak Benda tidak berwujud UUPA dan Hukum Adat Benda Tanah Benda bukan Tanah Benda Terdaftar Benda Tidak Terdaftar Skema 3.1. HMSRS dalam Hukum Benda Sumber: Buku II KUHPerdata dan UUPA yang penulis olah dalam bentuk bagan Hubungan Hukum antara Obyek kebendaan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Tanah, dan Bangunan. Pembahasan mengenai hubungan antara tanah, bangunan rumah susun dimulai dengan pembahasan berkaitan dengan tanah karena konsep pemilikan rumah susun di Indonesia amat bergantung kepada status tanah tempat rumah susun tersebut dibangun. Kejelasan status tanah tempat rusun yang akan didirikan merupakan salah satu syarat administratif yang harus dimiliki oleh penyelenggara pembangunan untuk mendirikan bangunan. Menurut UU Rumah Susun, rumah susun hanya dapat dibangun diatas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan. Setelah menyelesaikan pengurusan hak atas tanah, maka penyelenggara pembangunan memulai aktifitas pembangunan rumah susun.

144 Penerapan Asas Hukum Tanah dan Hukum Bangunan Hubungan hukum antara tanah dan bangunan merupakan suatu hal yang penting dipahami karena menyangkut kewenangan pemanfaatan bangunan yang berada diatas tanah. Perbuatan hukum yang berkaitan dengan satuan rumah susun selalu dihubungkan dengan tanah dimana rumah susun itu dibangun. Karena rumah susun tidak terlepas dari tanah maka titik tolak pengaturannya berdasarkan Sistem Hukum Tanah Nasional. Menurut Djuhaendah Hasan, salah satu aspek yang penting dalam hukum tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena hal ini menyangkut pengaruh yang sangat luas terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya. Dengan demikian,kepastian hukum akan kedudukan HMRSRS sangat penting dalam kerangka hukum tanah. 199 Telah dipaparkan sebelumnya bahwa obyek hukum tanah yakni hak penguasaan atas tanah, terdiri atas Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum dan Hak Penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret. Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, terdapat dua asas yang berpengaruh dalam hubungan hukum yang berkaitan antara tanah dan benda yang melekat padanya yaitu: 1. Asas accessie atau asas perlekatan (accessie beginsel) Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah merupakan satu kesatuan, bangunan dan tanaman merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. 199 Djuaendah Hasan, op.cit, hal.65.

145 Dengan demikian, Hak atas tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah yang dihaki, kecuali ada kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau menanamnya. Hal ini berarti bahwa perbuatan hukum mengenai tanah dengan sendirinya karena hukum juga meliputi bangunan dan tanaman yang ada diatasnya Didalam KUHPerdata, dikenal adanya asas perlekatan yaitu asas yang melekatkan suatu benda pada benda pokoknya. Asas perlekatan ini terdiri atas: a). Asas perlekatan vertical (vertical accessie) Asas accessie vertical ini ditemukan dalam rumusan pasal 571 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah mengandung arti didalamnya atas segala apa yang ada diatas dan didalam tanah. Hal ini berarti bahwa asas pelekatan secara vertikal adalah perlekatan secara tegak lurus yang melekatkan semua benda yang ada diatas maupun didalam tanah sebagai benda pokoknya. Selain itu pula, dalam pasal ini mengandung makna asas sifat mengikuti, dalam hal ini, sifat mengikuti tanah, lebih luas lagi sifat mengikuti kedudukan yuridis tanah. Dengan lain perkataan, segala barang yang melekat pada tanah, mengikuti kedudukan yuridis tanah. b). Asas perlekatan horizontal (horizontal accessie) Berdasarkan Pasal 507KUHPerdata, asas perlekatan yang dipergunakan adalah asas perlekatan horizontal. Dengan asas perlekatan horizontal ini, KUHPerdata memperlakukan semua benda-benda yang dilekatkan pada benda tidak bergerak (yang bukan tanah) berupa bangunan, sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dengan benda tidak bergerak (bangunan baik berupa pabrik maupun rumah tinggal) tersebut Asas Horizontal Scheiding atau asas pemisahan horizontal Urip Santoso menyatakan bahwa dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah bukan merupakan bagian dari tanah. Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. 200 Urip Santoso, op.cit, hal.12. Bandingkan antara lain Boedi Harsono II, op.cit, hal.17. Bachsan Mustafa, 1985, Hukum Agraria dalam Perspektif, Cet.2,Remadja Karya, Bandung, hal.23. Oleh Bachsan Mustafa dikatakan bahwa asas perlekatan ini berasal dari istilah aslinya yaitu Natrekking Beginsel. Bandingkan pula dengan Djuaendah Hasan,op.cit, hal Kartini Muljadi III, op.cit, hal

146 118 Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya, meliputi bangunan dan tanaman milik yang punya tanah yang ada diatasnya. Jika perbuatan hukumnya dimaksudkan juga meliputi bangunan dan tanamannya, maka hal ini secara tegas harus dinyatakan dalam akta yang membutikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan. 202 Bachsan Mustafa menyatakan bahwa asas pemisahan horizontal yaitu suatu asas yang memisahkan kedudukan benda-benda yang ada diatasnya dan melekat dengan tanah dari benda itu berada. Disebut benda saja karena hukum adat tidak mengenal pembagian benda kedalam benda bergerak dan benda tak bergerak. 203 Namun berkenaan dengan pembagian benda dalam hukum adat oleh Djuaendah Hasan yang dikutip dari Wiryono Prodjodikoro, membedakannya atas benda tanah dan benda bukan tanah. Yang dimaksud dengan tanah memang hanya berkaitan tentang tanah saja, lain halnya dengan segala sesuatu yang melekat pada tanah termasuk dalam benda bukan tanah dan terhadapnya tidak berlaku ketentuan tentang benda tanah. 204 Berkaitan dengan asas hukum tanah, M.Rizal Alif menyatakan bahwa Hak Milik atas sebidang tanah mengandung arti didalamnya kepemilikan segala apa yang ada diatas dan didalam tanah. Dengan kata lain asas perlekatan vertikal diartikan bahwa pemilikan atas tanah berarti juga memiliki bangunan atau rumah dan segala sesuatu yang melekat pada tanah itu serta yang ada didalam tanah tersebut. Sedangkan asas pemisahan horizontal atau horizontal scheiding adalah asas yang dianut dalam hukum adat 202 Urip Santoso, op.cit, hal Bachsan Mustafa, op.cit, hal Wiryono Prodjodikoro dalam Djuaendah Hasan, op.cit, hal

147 119 yang merupakan dasar dari UUPA dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang ada diatas tanah itu adalah terpisah. 205 PEMISAHAN Horizontal Vertikal Gambar 2. Asas Pemisahan Horizontal dan Vertikal Sumber: Seminar IPPAT-Hotel Sahid, pada tanggal 25 Oktober 2011 oleh Chairul Basri Achmad dengan judul Pendaftaran Tanah dan Rumah Susun Sehubungan asas hukum tanah yang digunakan dalam Rumah Susun ini. Ridwan Halim menyatakan pendapatnya yaitu sebagai berikut: a. Dikatakan bahwa asas pemisahan vertikal dikenal dalam hukum rumah susun yang membagi-bagi secara terpisah-pisah suatu bangunan rumah susun itu atas satuan-satuan rumah susun yang saling terpisah, dengan tujuan agar tiap-tiap satuan rumah susun itu dapat dimiliki ataupun dihuni secara tersendiri, terpisah dari satuan-satuan rumah susun lainnya. b. Dikatakan bahwa asas pemisahan horizontal dikenal juga dalam hukum rumah susun yang membagi, memisahkan dan membedakan antara status satuan-satuan rumah susun yang merupakan hak milik pribadi masing-masing dari para "mede-eigenars" dengan tanah dimana gedung rumah susun mereka itu berdiri yang merupakan hak milik bersama dari para mede-eigenaars tersebut M. M.Rizal Alif, op.cit, hal Ridwan Halim, op.cit, hal

148 120 Pengaturan tentang hak-hak atas tanah bersama, telah diletakkan kerangkanya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1975 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun Dalam Penjelasan Permendagri No. 14/1975, secara eksplisit dinyatakan bahwa Surat Tanda Bukti Hak atas sertifikat yang penerbitannya diatur dalam peraturan ini. hanya mengenai tanda bukti hak atas tanah bersama tersebut. Sedangkan, pemberian/penerbitan tanda bukti hak atas satuan rumah susun atau bagian dari bangunan bertingkat tersebut, tidak/belum diatur dalam peraturan ini. 207 Ketentuan tersebut menyiratkan hukum tanah kita menganut asas pemisahan horizontal," karena memakai dasar hukum adat. Sedangkan asas perlekatan vertikal dianut dalam hukum pertanahan Indonesia sebelum lahirnya UUPA 1960, hal ini tercantum dalam Pasal 571 KUHPerdata yang menegaskan: Hak milik atas tanah mengandung di dalamnya pemilikan atas segala apa yang di atasnya dan di dalam tanah (superficies cedit solo). Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja dari seluruh pasal-pasal yang berkaitan dengan asas perlekatan sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik, diantaranya melalui: a. Menurut KUHPerdata, untuk dapat berlakunya asas perlekatan sebagai salah satu dasar untuk memperoleh hak milik,maka harus ada penyatuan antara kebendaan yang melekat tersebut dengan kebendaan yang merupakan dasar kebendaan di mana perlekatan terjadi. Untuk dapat dianggap bahwa telah terjadi penyatuan dan karenanya berlaku asas perlekatan. b. Sehubungan dengan asas perlekatan tersebut KUHPerdata memberikan kedudukan yang lebih tinggi bagi tanah dibandingkan dengan kebendaan lainnya. c. Dalam pandangan KUHPerdata, setiap kebendaan yang melekat pada tanah, baik yang terjadi sebagai akibat kegiatan alam maupun sebagai 207 Yakob Mohsin, Pranata-Pranata Hukum yang Baru dan Tinjauan terhadap Undang-undang Rumah Susun dalam Hukum dan Pembangunan, Agustus 1986 Vol.XVI No.6, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal.361.

149 121 akibat perbuatan manusia, akan menjadi milik dari pemilik tanah tersebut. d. Terhadap perlekatan dari kebendaan yang sejak semula tidak dimiliki oleh siapa pun, yang terjadi karena alam, terhadap kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu pemilik, maka undang-undang menganggap keuntungan tersebut adalah bagi seluruh pemilik kebendaan tersebut menurut imbangan dari kebendaan asal milik mereka, di mana perlekatan telah terjadi. e. Terhadap suatu perlekatan dari kebendaan yang sejak semula merupakan milik dari beberapa pemilik, yang terjadi karena perbuatan manusia, yang dilakukan oleh bukan pemilik dari salah satu kebendaan yang melekat tersebut, maka undang-undang memungkinkan pada orang ini untuk menjadi pemilik dari kebendaan setelah perlekatan dilakukan (yang tidak dapat dipisahkan kembali). f. Setiap perlekatan yang menyebabkan hapusnya atau hilangnya atau musnahnya kebendaan yang melekat tersebut, yang terjadi karena perbuatan manusia, untuk mereka yang dirugikan sebagai akibat hapusnya atau hilangnya atau musnahnya kebendaan yang melekat tersebut KUHPerdata memberikan hak kepada mereka ini untuk memperoleh ganti rugi, biaya dan bunga dari orang yang karena perlekatan tersebut memperoleh keuntungan sebagai pemilik kebendaan hasil perlekatan tersebut. g. Selanjutnya dalam hal perlekatan antara dua atau lebih benda, yang menghapuskan identitas dari benda asal, terjadi karena alam, maka benda baru ini adalah milik bersama dari pemilik benda asal tersebut, menurut keseimbangan harga dari benda asal tersebut. 208 Asas pemisahan horizontal, pada dasarnya mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut : 1. Pemilik bangunan tidak otomatis sebagai pemilik tanah di mana bangunan itu didirikan. Atau dengan kata lain adanya hak memiliki bangunan di atas tanah orang lain. 2. Hak membangun didasarkan atas persetujuan dengan pemilik tanah. Bangunan dianggap dan diperlakukan sebagai benda bergerak. 3. Tanah dan bangunan merupakan dua benda yang terpisah (zelfstandige zaak) dan dapat dialihkan. 208 Kartini Muljadi III, op.cit, hal

150 122 Asas pemisahan horizontal dalam kaitannya dengan hubungan antara tanah dan bangunan di atasnya, apabila kita cermati rumusan UU Rumah Susun, mempunyai makna, yaitu: 1). Satuan rumah susun dimiliki oleh setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah 2). HMSRS adalah hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan terpisah termasuk juga terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan 3). Hak atas bagian bersama, benda bersama dan hak atas tanah bersama berdasarkan atas NPP yaitu berdasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama kalinya untuk memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan dan untuk menentukan harga jualnya 209 Telaah seksama terhadap asas hukum tanah tersebut maka dapat dijelaskan pada bagan berikut ini: Bagan 3.2. Penerapan Asas Hukum Tanah terhadap HMSRS. Sumber : Urip Santoso, UUPA, KUHPerdata, UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun telah dimodifikasi penulis dalam bentuk bagan. (Cetak tebal dan garis bawah oleh penulis). PENERAPAN ASAS HUKUM TANAH TERHADAP HMSRS UUPA dan Hukum Adat Asas Pemisahan Horizontal (Horizontal Scheiding Beginsel) Diatur dalam Pasal 5 UUPA, yang pada dasarnya hukum tanah yang dianut oleh UUPA bertumpu pada hukum adat, yang dimaksud dengan asas pemisahan horizontal, dimana hak atas tanah tidak dengan KUHPerdata Asas Perlekatan (Accesie Scheiding Beginsel ), diatur dalam rumusan pasal 500, 5006 dan 507 KUHPerdata, pada intinya asas perlekatan yaitu asas yang melekatkan suatu benda pada benda pokoknya, maka secara yuridis berdasarkan asas accesi maka benda- UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun Asas Pemisahan Horizontal(Horizontal Scheiding Beginsel) dan Asas Perlekatan (Accesie Scheiding Beginsel ), diatur dalam rumusan pasal: a) Pasal 1 angka 1 UU Rumah Susun jo Pasal 46 ayat 1 UU Rumah Susun jo Pasal 41 PP Rumah Susun, yang merumuskan bahwa : 209 Vide Pasal Pasal 46 ayat 1 dan 2 UU Rumah Susun jo Pasal 41 angka 1 PP Rumah jo Pasal 47 ayat 2 UU Rumah Susun.

151 sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. benda yang melekat pada benda pokok harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya. a) Asas perlekatan Vertikal (Vertical Accesie Beginsel ) Pasal 571 KUHPerdata b) Asas Perlekatan Horizontal (Horizontal Accesie Beginsel), diatur dalam perumusan Pasal 588 KUHPerdata dan Pasal 589 KUHPerdata 123 Rumah Susun tersebut distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal - HMSRS meliputi hak pemilikan perseorangan yang digunakan secara terpisah, hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang kesemuanya itu merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan. - Hak kepemilikan perseorangan merupakan ruangan ruangan dalam bentuk geometrik tiga dimensi yang tidak selalu dibatasi oleh dinding - Dalam hal ruangan dibatasi oleh dinding, permukaan bagian dalam dari dinding pemisah permukaan bagian bawah dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur merupakan batas pemilikannya - Dalam hal ruangan sebagian tidak dibatasi dinding, batas permukaan dinding bagian luar yang berhubungan langsung dengan udara luar yang ditarik secara vertikal merupakan pemilikannya - Dalam hal ruangan, keseluruhannya tidak dibatasi dinding, garis batas yang ditentukan dan ditarik secara vertikal yang penggunaannya sesuai dengan peruntukannya merupakan batas pemilikannya.

152 124 b) Pasal 25 ayat 3 jo Pasal 26 ayat 1 UU Rumah Susun Pemisahan rumah susun menjadi satuan rumah susun, terdiri atas pemisahan terhadap: - Batas sarusun yang dapat digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik - Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi hak setiap sarusun - Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak setiap sarusun c) Pasal 46 ayat 2 UU Rumah Susun jo Pasal 41 angka 1 PP Rumah Susun jo Pasal 1 angka 13 UU Rumah Susun jo Pasal 1 angka 7 PP Rumah Susun Hak atas bagian bersama, benda bersama dan hak atas tanah bersama berdasarkan atas NPP yaitu berdasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama kalinya untuk memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan dan untuk menentukan harga jualnya Penerapan Asas Hukum Kebendaan Untuk dapat memahami sistem hukum kebendaan Indonesia maka lebih dahulu perlu dipahami asas-asas hukum yang menaunginya. Karena sistem hukum kebendaan nasional diikat oleh asas-asas hukum yang mengandung nilai etis

153 125 sebagai dasar pembuatan perundang-undangan sampai kepada peraturanperaturannya. Asas hukum berfungsi sebagai pengikat peraturan-peraturan hukum yang nampaknya berdiri sendiri-sendiri dan berserakan dalam pelbagai jenis dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah tingkatannya. Oleh karena itu, maka dikenal adanya pertingkatan peraturan-peraturan hukum yang memberikan keabsahan kepada masing-masing jenis peraturan-peraturan hukum tersebut dan karena pertingkatan peraturan-peraturan tersebut lahirlah pula pelbagai peraturanperaturan hukum, yang dibentuk oleh kelembagaan yang berwenang. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifanya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam atau di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positip dan data diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut, dengan demikian asas hukum dan cita hukum inilah yang menjadi perekat bagi pelbagai peraturan peraturan hukum positip yang ada, yang pada gilirannya membentuk suatu sistem hukum. Hukum benda adalah sub system dari Hukum Nasional yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda dan hak kebendaan. 210 Mengacu pada penulisan ini yaitu mengenai obyek kebendaan hak milik atas satuan rumah susun. 210 Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.44.

154 126 Asas Hukum Benda yang menjadi dasar penormaan Hukum Kebendaan, yaitu: 1) Hukum kebendaan merupakan hukum memaksa/tidak dapat disimpangi (dwingend recht) 2) Hak kebendaan dapat dipindahtangankan/dialihkan 3) Asas individualitas (individualitet) / asas specialitas 4) Asas totalitas/menyeluruh atas benda (totalitet) 5) Asas accessie dan asas pemisahan horizontal 6) Asas hak mengikuti benda (zaaksgevlog, droit desuite) 7) Asas prioritas (prioritet) 8) Asas percampuran (vermenging) 9) Asas publisitas (publiciteit); 10) Asas perlindungan 11) Sifat Perjanjiannya sebagai perjanjian kebendaan (zakelijke recht) Terkait dengan asas-asas hukum benda yang telah dipaparkan diatas, diterapkan pula pada Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dapat diuraikan sebagai berikut: Objek kebendaan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun karena ditentukan oleh Undang-Undang Rumah Susun, bukan terjadi karena kesepakatan antara para pihak, oleh karena Hukum Benda menganut azas Sistem tertutup sehingga HMSRS memenuhi syarat sebagai Hak Kebendaan. Rumah Susun sebelum dipisahkan menjadi Satuan Rumah Susun harus dibuatkan Pertelaan yang memberikan kejelasan atas: (a). Batas sarusun yang

155 127 dapat digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik; (b). Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi hak setiap sarusun dan (c). Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak setiap sarusun. Di dalam Akta Pemisahan Rumah Susun juga disebutkan masing-masing Satuan Rumah Susun berikut Nilai Perbandingan Proporsionalnya, kesemuanya itu untuk memenuhi azas spesialitas. 211 Satuan-Satuan Rumah Susun yang dapat dimiliki secara terpisah dan Bagian Bersama, Benda Bersama serta Tanah Bersama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan dengan demikian memenuhi azas Totalitas. 212 Pemisahan/Pertelaan yang jelas dituangkan dalam bentuk Gambar dan Uraian untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk Akta Pemisahan. 213 Adapun Akta Pemisahan harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan dengan maksud untuk memenuhi azas publisitas dan dengan dialihkannya pemilikan HMSRS kepada orang lain, maka Penyelenggara Pembangunan dapat melaksanakan jual beli. Jika Satuan Rumah Susun tersebut dibeli oleh peminatnya, maka dengan akta PPAT Vide Pasal 39 PP Rumah Susun jo Pasal 25 ayat 1 dan ayat 3 UU Rumah Susun. 212 Vide Pasal 46 UU Rumah Susun. 213 Vide Pasal 25 dan 26 UU Rumah Susun. 214 Setelah pembangunan rumah susun selesai maka proses jual beli dapat dilakukan melalui Akta PPAT (Akta Jual Beli), hal ini dapat dilakukan bilamana telah diterbitkannya Sertifikat Laik Fungsi dan SHM Sarusun (Pasal 44 Rumah Susun), dan proses jual beli sarusun juga dapat dilakukan sebelum pembangunan rumah susun itu selesai, dalam hal ini dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat dihadapan Notaris, hal ini dapat dilakukan bila telah memenuhi persyaratan kepastian atas (a). status kepemilikan tanah; (b). kepemilikan IMB; (c). ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum; (d). keterbangunan paling sedikit 20% (duapuluh persen); dan (e). hal yang diperjanjikan (Pasal 43 UU Rumah Susun).

156 128 dilakukan pemindahan haknya, agar perbuatan hukum tersebut mengikat pihak ketiga serta memenuhi azas publisitas. Guna menjamin kepastian hak bagi pemilikan Satuan Rumah Susun, maka diberi alat pembuktian yang kuat berupa sertipikat HMSRS yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, Sertipikat HMSRS yang dimaksud terdiri dari: a. Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur Tanah bersama menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (sekarang Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). b. Gambar Denah Lantai pada Tingkat Rumah Susun yang bersangkutan yang menunjukkan sarusun yang dimiliki c. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas Bagian Bersama, Benda Bersama dan Tanah Bersama. 215 Disamping memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemegang haknya juga sekaligus memberikan perlindungan hukum, dalam hal ini diterapkan asas perlindungan. 216 Semua tahapan-tahapan mulai dari perolehan tanah yang menjadi Tanah Bersama dan dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang hingga pendaftaran Hak Milik atas Satuan Rumah Susun harus dipenuhi karena hak kebendaan bersifat mutlak (azas absolut). Hak Mutlak yang diberikan terhadap pemilikan SRS tersebut, dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Jangka waktu HMSRS sesuai dengan jangka waktu tanah hak bersama dimana rumah susun didirikan; 215 Vide Pasal 47 ayat 3 UU Rumah Susun. 216 Vide Pasal 47 ayat 4 UU Rumah Susun.

157 Turun temurun, apabila pemiliknya meninggal dunia HMSRS beralih kepada ahli warisnya karena hukum; 3. HMSRS dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani hak tanggungan; 4. HMSRS dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui perbuatan hukum pemindahan hak; 5. Batas-batas kepemilikan HMSRS ditetapkan secara pasti dalam sertipikatnya. 217 Hak Milik Atas Satuan Rumah susun disamping dapat dialihkan haknya juga dapat dijadikan jaminan hutang untuk setiap pemberian kredit konstruksi dengan dibebani Hak Tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 218 Selanjutnya Pasal 27 UU Hak Tanggungan, menegaskan bahwa HMSRS dapat ditunjuk sebagai jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, dimana setiap pembeli HMSRS dapat memperoleh fasilitas KPR/Kredit Pemilikan Satuan Rumah Susun tersebut dapat pula dibebani Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan atas KP-SRS yang bersangkutan apabila luas lantainya 70m2 atau lebih. 219 Setelah terjadinya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dapat dialihkan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Berita Acara Lelang juga bisa terjadi peralihan hak karena pewarisan. 220 Dengan demikian HMSRS memenuhi azas kebendaan yaitu azas dapat diserahkan dan azas Hak mengikuti Benda (Zaaksgevolg, droit de suite). 217 Otom Mustomi dan Mimim Mintarsih dalam Reformasi Hukum, Aspek Hukum Sewa-Menyewa Rumah Susun di Wilayah DKI Jakarta, Vol.VI No.1 Januari-Juni 2003, Universitas Islam Indonesia,Jakarta, hal Vide Pasal 47 ayat 5 UU Rumah Susun. 219 Otom Mustomi dan Mimim Mintarsih, Op.cit, hal Vide Pasal 54 ayat 2 huruf a UU Rumah Susun jo Pasal 42 PP Rumah Susun.

158 130 Telaah seksama penerapan asas hukum benda terhadap HMSRS, penulis dapat uraikan dalam bagan berikut ini: Bagan 3.3: Bagan Penerapan Asas Hukum Benda terhadap HMSRS. Sumber: Mariam Darus Badrulzaman I, UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun yang penulis olah sendiri dalam bentuk bagan (Cetak tebal dan garis bawah oleh penulis). PENERAPAN ASAS HUKUM BENDA TERHADAP HMSRS Asas Hukum Benda HMSRS dalam UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun 1). Asas Totalitas Pasal 46 UU Rumah Susun, menyatakan bahwa Satuan Rumah Susun dapat dimiliki secara terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang kesemuanya itu merupakan satu kesatuan hak yang tidak dapat dipisahkan. 2). Asas Spesialitas Pasal 25 ayat 1 jo 3 UU Rumah Susun jo Pasal 39 PP Rumah Susun, yang menyatakan bahwa sebelum satuan rumah susun dipisahkan, dibuatkan pertelaan yang memuat rincian kejelasan atas: Batas sarusun yang dapat digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik, batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi hak setiap sarusun serta Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak setiap sarusun. 3). Asas Publisitas Pasal 25 UU Rumah Susun jo Pasal 26 UU Rumah Susun jo Pasal 47 ayat 4 UU Rumah Susun, Setelah diadakan pemisahan terhadap satuan rumah susun, kemudian dibuatkan Akta pemisahan dan Akta Pemisahan tersebut selanjutnya didaftarkan pada kantor pertanahan dengan maksud agar diketahui siapa pemilik sarusun yang telah mendaftar pertama kali pada kantor pertanahan, sehingga nantinya diketahui oleh pihak ketiga dan oleh karenanya HMSRS tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh pihak ketiga. 4). Asas Perlindungan Pasal 47 ayat 3 dan 4 UU Rumah Susun jo Pasal 44 PP Rumah Susun, pada intinya setelah diadakan peralihan hak kebendaan rumah susun maka untuk menjamin kepastian hak dan perlindungan hak dalam pemilikan satuan rumah

159 5). Asas hak kebendaan dapat dialihkan dan droit de suite (mengikuti bendanya) 6). Asas kebendaan bersifat mutlak (asas absolut) 131 susun maka diterbitkanlah sertifikat HMSRS yang terdiri atas: - Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur Tanah - Gambar Denah Lantai pada Tingkat Rumah Susun yang menunjukkan sarusun yang dimiliki - Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan tanah bersama Pasal 47 ayat 5 jo Pasal 54 ayat 2 huruf a UU Rumah Susun jo 42 ayat 1 PP Rumah Susun, Hak Milik atas Satuan Rumah susun disamping dapat dialihkan haknya juga dapat dijadikan jaminan hutang untuk setiap pemberian kredit konstruksi dengan dibebani Hak Tanggungan. Setelah terjadinya HMSRS yang dapat dialihkan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (Jual Beli) atau Berita Acara Lelang (peralihan hak karena pewarisan). - Jangka waktu HMSRS sesuai dengan jangka waktu tanah hak bersama dimana rumah susun didirikan - Turun-temurun, apabila pemiliknya meninggal dunia HMSRS beralih kepada ahli warisnya karena hukum; - HMSRS dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani hak tanggungan; - HMSRS dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui perbuatan hukum pemindahan hak; - Batas-batas kepemilikan HMSRS ditetapkan secara pasti dalam sertipikatnya. 7). Asas Sistem Tertutup Objek kebendaan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun karena ditentukan oleh Undang-Undang Rumah Susun, bukan terjadi karena kesepakatan antara para pihak, oleh karena Hukum Benda menganut asas Sistem tertutup sehingga HMSRS memenuhi syarat sebagai Hak Kebendaan.

160 Arti Penting Klausula Pertelaan dalam Pengaturan Konsepsi Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Klausula pertelaan sebagai syarat dalam pemisahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Pembangunan rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah setempat sesuai dengan peruntukkannya (persyaratan administratif). Merujuk kepada Pasal 28 UU Rumah Susun, yang dimaksud dengan persyaratan administratif pembangunan rumah susun yaitu persyaratan yang mengatur mengenai : (i) Perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan; (ii) Izin lokasi dan/atau peruntukkannya; serta (iii) Perizinan mendirikan bangunan. Rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Perizinan dimaksud diajukan oleh penyelenggara pembangunan kepada Pemerintah Daerah terkait dengan melampirkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut: 1. Sertifikat hak atas tanah; 2. Fatwa peruntukan tanah (advies planning) yaitu sùatu keterangan yang memuat lokasi yang dimaksud terhadap lingkungan sekitarnya beserta penjelasan peruntukan tanah dengan perincian mengenai kepadatan dan garis sempadan bangunan. 3. Rencana tapak (site plan) yaitu rencana tata letak bangunan 4. Gambar rencana arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas batasan vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun. 5. Gambar rencana struktur beserta perhitungannya; 6. Gambar rencana menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama; 7. Gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya Vide Pasal 29 ayat 4 UU Rumah Susun.

161 133 Ketentuan-ketentuan dalam persyaratan teknis diatur oleh Menteri Pekerjaan Umum dan semua persyaratan teknis tersebut harus sesuai dengan rencana tata kota setempat. Persyaratan teknis pembangunan rumah susun antara lain mengatur mengenai : (i) Peruntukan lokasi dan struktur bangunan; (ii) Persyaratan keamanan, keselamatan, kenyamanan; (iii) Hal-hal yang berhubungan dengan rancang bangunan. Persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun, yaitu sebagai berikut : a. Harus ada hubungan langsung maupun tidak langsung dari semua ruangan yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari (Pasal 11 PP Rumah Susun). b. Struktur komponen dan bahan bangunan ditentukan dengan memenuhi syarat konstruksi sesuai dengan standar yang berlaku (Pasal 12 PP Rumah Susun). c. Kelengkapan rumah susun sempurna (Pasal 14 PP Rumah Susun). d. Syarat-syarat untuk bagian bersama, harus memperhatikan keserasian, keseimbangan dan keterpaduan (Pasal 20 PP Rumah Susun). e. Benda bersama harus mempunyai dimensia, lokasi, kualitas, kapasitas yang memenuhi syarat (Pasal 21 PP Rumah Susun). f. Rumah susun harus dibangun di lokasi yang sesuai dengan lingkungan (Pasal 22 PP Rumah Susun).

162 134 g. Kepadatan bangunan lingkungan harus diperhitungkan agar tercapai optimasi daya guna dan hasil guna tanah (Pasal 23 PP Rumah Susun). h. Prasarana lingkungan harus lengkap (Pasal 25 PP Rumah Susun). i. Fasilitas Lingkungan yang tersedia sesuai dengan standar yang berlaku (Pasal 27 PP Rumah Susun jo Pasal 40 UU Rumah Susun). Persyaratan teknis pembangunan rumah susun ini ditujukan untuk menjamin keselamatan, keamanan, ketenteraman serta ketertiban para penghuni dan pihak lainnya. Pengaturan atas bagian bangunan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah mengandung hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, memberikan landasan bagi sistem pembangunan yang mewajibkan kepada penyelenggara pembangunan ( developer ) untuk melakukan pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun dengan pembuatan akta pemisahan dan disahkan oleh Instansi yang berwenang. Atas dasar pemisahan yang dilakukan dengan akta dengan melampirkan gambar, uraian dan pertelaan yang disahkan oleh instansi yang berwenang dan didaftarkan sebagaimana disyaratkan tersebut memberikan kedudukan sebagai benda tak bergerak yang dapat menjadi obyek pemilikan ( real property ), sedangkan dalam segi lain, pengaturan tersebut memberikan landasan bagi sistem pemilikan, ditunjukkan bahwa HMSRS, dalam kedudukannya sebagai hak kebendaan, meliputi hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah, termasuk juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

163 135 Penyelenggaraan pembangunan wajib meminta pengesahan pertelaan 222 yang menunjukkan batasan yang jelas dari satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, beserta uraian nilai perbandingan proporsionalnya setelah memperoleh izin. Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 27 UU Rumah Susun ditegaskan bahwa berkenaan dengan pemisahan rumah susun, gambar dan uraian pertelaan diatur dengan peraturan pemerintah. Pertelaan diuraikan dalam bentuk: 1). Gambar Pertelaan, yaitu gambar yang memperlihatkan batas-batas kepemilikan perseorangan maupun kebersamaan yang distrukturkan secara vertikal maupun horizontal yang merupakan satu kesatuan fungsi dalam kegunaannya, yang mengandung nilai perbandingan proposional (NPP), yang terdiri atas: a. Satuan lingkungan tanah bersama yang mengambarkan benda bersama. b. Tanah bersama (sesuai GS/SU lampiran sertipikat). 222 Proses Pengesahan Pertelaan melalui: (a). Untuk daerah yang telah mempunyai PERDA Rumah Susun, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau Kepala Kanwil DKI Jakarta mengundang instansi teknis terkait untuk Rapat Koordinasi membahas pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun yang dibuat oleh pengembang, dan dituangkan dalam Berita Acara Penelitian Pertelaan Rumah Susun dengan melampirkan SK pengesahan pertelaan oleh Kepala Daerah Kab./Kota, atau Gubernur untuk Provinsi DKI Jakarta dan masing masing instansi terkait membubuhkan paraf, hasil akhirnya berupa Surat Keputusan Pengesahan Pertelaan. (b).terhadap Daerah yang belum mempunyai PERDA Rumah Susun, tanpa Rapat Koordinasi tetapi Draft SK Pengesahan Pertelaan disiapkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan persyaratan administrasi dan teknis sesuai ketentuan yang berlaku, dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Fisik Rumah Susun, kemudian SK Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan, dan persyaratan lainnya, dengan surat pengantar dari Kepala Kantor Pertanahan Kab./Kota atau Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta khusus untuk Provinsi DKI Jakarta diajukan kepada Bupati/Walikota atau Gubenur Provinsi DKI Jakarta untuk pengesahannya.

164 136 c. Denah masing masing lantai, terdiri dari bagian bersama dan bagian perseorangan. d. Tampak bangunan Rusun dari segala arah. e. Potongan dari dua arah vertikal dan horizontal terhadap bangunan Rusun. f. Potongan dari 2 (dua) arah antara unit Satuan Rusun dengan unit lainnya, antara unit Satuan Rusun dengan bagian bersama (kuzen, dinding, plafon) secara tipikal 2). Uraian Pertelaan Uraian Pertelaan berisi penjelasan secara deskriptif dari gambar pertelaan mengenai satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang dilengkapi dengan spesifikasi teknis yang mengandung NPP. Bagian uraian pertelaan yang dimaksud, antara lain: a). Satuan Rumah Susun Satuan rumah susun, yaitu bagian rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. 223 Satuan rumah susun harus mempunyai ukuran standar yang dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi persyaratan sehubungan dengan fungsi dan penggunaannya serta harus disusun, diatur dan dikoordinasikan untuk dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat menunjang kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan kegiatan seharihari untuk hubungan kedalam maupun keluar Vide Pasal 1 angka (3) UU Rumah Susun. 224 Vide Pasal 16 PP Rumah Susun.

165 137 Satuan rumah susun dapat berada pada permukaan tanah, diatas atau dibawah permukaan tanah atau sebagian dibawah dan sebagian diatas permukaan tanah, merupakan dimensi dan volume ruang tertentu sesuai dengan yang telah direncanakan. Satuan Rumah Susun,yang dimaksud terdiri atas: (i).permukaan dinding pemisah bagian dalam didalam Satuan Rumah Susun, (ii).lantai bagian dalam didalam satuan rumah susun, (iii). dinding pemisah ruang dalam yang menjadi bagian dari satuan rumah susun, (iv). kusen pintu dan jendela, daun pintu dan jendela, (v).plafon bagian dalam didalam satuan rumah susun, (vi).instalasi listrik, (vii).telepon, (viii).ac, yang kesemua bagian tersebut berada dalam satuan rumah susun dan digunakan/dimanfaatkan hanya untuk dan oleh satuan rumah susun yang bersangkutan. 225 b). Bagian bersama Bagian Bersama yaitu bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan- satuan rumah susun, yang berupa fondasi, kolong, balkon, dinding, lantai, atap, talang air, tangga, lift, saluran pipa, jaringan listrik, gas dan telekomunikasi. 226 c). Benda Bersama Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama, yang terdiri dari ruang pertemuan, tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana 225 Vide Pasal 17 PP Rumah Susun. 226 Vide Pasal 1 angka (5) UU Rumah Susun jo Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU Rumah Susun.

166 138 sosial,tempat ibadah,tempat bermain,tempat parkir yang terpisah atau menyatu dengan struktur bangunan rumah susun. 227 d). Tanah Bersama Tanah bersama, yaitu sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisahkan yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan ijin bangunan. Bagian dari tanah bersama terdiri atas: (i). Tanah bersama tempat berdirinya rumah susun tesebut, dengan segala fasilitasnya, dibuktikan dengan sertifikat yang memuat: Jenis hak, Nomor Hak, Pemegang Hak, Masa Berlakunya, Luas Tanah dan Batas Tanah; (ii). Status tanah bersama; (iii). Letak batas dari luas tanah bersama sesuai dengan daerah perencanaannya yang menjadi dasar penentuan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB); (iv). Tanah bersama hanya untuk satu satuan lingkungan rumah susun dengan satu sertipikat tanah seperti dimaksud pada keterangan huruf i dan huruf ii diatas, dengan dibebani Kredit Konstruksi. 228 e). NPP NPP adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung berdasar nilai sarusun yang bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun 227 Vide Pasal 1 angka 6 UU Rumah Susun jo Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU Rumah Susun. 228 Vide Pasal 1 angka 4 UU Rumah Susun.

167 139 secara keseluruhan pada waktu pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga jualnya. 229 Pertelaan yang dibuat Pelaku Pembanguan Rumah Susun menjadi dasar perhitungan NPP dan merupakan salah satu syarat untuk pengesahan akta pemisahan rumah susun.pembuatan pertelaan rumah susun harus memenuhi syarat administrasi dan memberikan gambaran yang tegas, jelas, nyata dan benar serta batasan-batasan dalam arah vertikal dan horisontal atas Satuan Rumah Susun yang meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Pertelaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemenuhan syarat administrasi pembangunan rumah susun, karena pertelaan merupakan dasar dan landasan bagi penerbitan sertipikat HMSRS dan pembuatan Akta Pemisahan serta dengan pertelaan akan tegas, jelas, nyata dan benar batasan-batasan pada bagian mana dari rumah susun yang menjadi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama sebagai prasarana dan sarana umum dalam (bangunan) rumah susun yang diperuntukkan, dipergunakan dan dimanfaatkan bersama-sama oleh pemilik dan /atau penghuni (bangunan) rumah susun, dan pada bagian mana dari rumah susun yang menjadi milik pribadi masing-masing pemilik Satuan Rumah Susun Bentuk Penjabaran dan Penerapan Asas Proporsionalitas dan Keadilan Berbasis Kontrak. Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Oleh karena itu. sangat tepat dan mendasar apabila dalam melakukan analisis tentang asas 229 Vide Pasal 1 angka 13 UU Rumah Susun.

168 140 proporsionalitas dalam kontrak justru dimulai dari aspek filosofis keadilan berkontrak. Di dalam kamus Bahasa Indonesia, istilah keadilan berasal dari kata adil, artinya tidak memihak, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Jadi keadilan diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang adil. Di dalam literatur Inggris, istilah keadilan disebut dengan justice kata dasarnya jus. Perkataan jus berarti hukum atau hak, dengan demikian salah satu pengertian dari justice adalah hukum. Kata justice sebagai lawfulness yaitu keabsahan menurut hukum. Pengertian lain yang melekat pada keadilan dalam makna yang lebih luas adalah fairness yang sepadan dengan makna layak atau suatu kelayakan. 230 Pada dasarnya makna dari suatu pengertian atau definisi keadilan berupaya memberi pemahaman mengenai apa itu keadilan. Dari definisi tersebut akan diketahui ciri-ciri suatu gejala yang memberi identitas atau tanda tentang keadilan, sifat dasar dan asal mula keadilan, atau mengapa suatu gejala tertentu disebut keadilan bukan merupakan tugas definisi keadilan, melainkan hanya dapat diterangkan dengan bantuan teori keadilan. Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan dari Aristoteles. Filsuf besar seperti Aristoteles, menyatakan bahwa" justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality" (prinsip bahwa yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional). Pemikiran Aristoteles tentang keadilan inilah merupakan salah satu titik tolak pemikiran dari Agus Yudha Hernoko tentang pentingnya asas proporsionalitas dalam hubungan 230 Bahder Johan Nasution II, op.cit, hal

169 141 kontraktual para pihak. 231 Aristoteles menekankan teorinya pada perimbangan atau proporsi. Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat dari apa yang dikatakannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama di antara orang-orang yang sama. Maksudnya pada satu sisi memang benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak, namun pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti ketidaksamaan hak. 232 Sedangkan tolak ukur hukum yang adil menurut Thomas Aquinas yaitu: According to Aquinas, human laws are just when they serve the common good, distribute burdens firly, show no disrespect for God, and do not exceed the law s maker authority. When laws framed by human fails to satisfy these conditions, they are unjust. And then, Aquinas says, they do not bind in conscience 233 Terjemahan bebasnya berarti: Aquinas menyatakan hukum manusia atau hukum positif adil apabila mengabdi kepada kebaikan umum, mendistribusikan kewajiban secara jujur, tidak melecehkan Tuhan dan pembentuk undang-undang tidak melampaui batas kekuasaannya. Bila hukum positif lalai memenuhi kondisi itu, maka hukum tidak adil dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Beranjak dari pemikiran keadilan, sebagaimana telah dikemukakan oleh Aristoteles dan Thomas Aquinas, dapat disimpulkan dengan pernyataan sebagai berikut: Justice forms the substance of the law, but his heterogeneous substance is composed of three elements: an individual elemen; the suum cuiquire tribuende (individual justice); a social element; the changing fundation of prejudgments upon which civilization reposes at any given moment (social justice), and a political element, which is based upon the reason of the 231 Aristoteles dalam Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal Bahder Johan Nasution II, op.cit, hal David Lyons dalam Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis dan Historis, 2013, Setara Press, Malang, hal.79.

170 142 strongest, represented in the particular case by the state (justice of the state). 234 Terjemahan bebasnya berarti: Keadilan membentuk substansi hukum, tetapi substansi heterogennya terdiri dari tiga elemen: sebuah elemen individual; (keadilan individual), sebuah elemen sosial; perubahan dasar pra duga atas mana peradaban terjadi pada saat tertentu (keadilan sosial), dan elemen politik, yang didasarkan pada alasan yang terkuat, yang diwakili dalam kasus tertentu oleh negara (keadilan negara). Dalam konsep negara-negara modern penekanan terhadap prinsip keadilan diberikan dengan menyatakan bahwa tujuan hukum yang sebenarnya adalah untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat. Tujuan hukum tersebut, sejalan dengan pendapat Ulpianus yang menyatakan bahwa iuris pracepta sunt haec:honeste vivere alterum non-laedere, suum cuique tribuere yang diterjemahkan secara bebas berarti perintah hukum adalah hidup jujur, tidak merugikan sesama manusia dan setiap orang mendapat bagiannya. 235 Kajian Theo Huijbers menunjukan ada dua paham filsafat mengenai keterkaitan Hukum dan Keadilan. Paham aliran Filsafat Hukum Alam merefleksikan pandangan bahwa keadilan terletak pada hakekat hukum. Dengan begitu hukum sama dengan keadilan, hukum yang tidak adil bukan hukum. Hal ini senada dengan pendapat Thomas Aquinas yang menyatakan: "One is morally bound to obey just laws, but not unjust laws. One should obey unjust law only when circumstances demand it,"in order to avoid scandal or disturbance Radbruch and Dubin, dalam Bahder Johan Nasution II, op.cit, hal Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal David Lyons, Ethics and the rule of law dalam Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal

171 143 (Terjemahan bebasnya berarti setiap orang secara moral hanya terikat untuk mentaati hukum yang adil, dan bukan kepada hukum yang tidak adil. Hukum yang tidak adil harus dipatuhi hanya apabila tuntutan keadaan yakni untuk menghindari skandal atau kekacauan). Pendapat Thomas Aquinas tersebut didukung oleh O. Notohamidjojo, yang menyatakan bahwa "Hukum perlu diperdalam (verdiept) oleh keadilan. Kalau hukum dilepaskan dari keadilan dan moral, maka akan mendekati chaos dan diktatur, kekacauan dan penindasan. Sehingga bangsa ini perlu dilayani dengan hukum yang diperdalam oleh keadilan" 237 Oleh karena itu "nilai keadilan" bersifat subyektif, sedangkan eksistensi dari nilai-nilai hukum dikondisikan oleh faktafakta yang dapat diuji secara obyektif. Oleh karena itu, harus dipahami bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa memerhatikan perbedaan-perbedaan yang secara objektif ada pada setiap individu. Sehubungan dengan hakikat keadilan dalam kontrak, beberapa sarjana mengajukan pemikirannya tentang keadilan yang berbasis kontrak, Teori keadilan berbasis kontrak ini sebelumnya telah dipelopori oleh John Locke, Rousseau dan juga Immanuel Kant kemudian dikembangkan oleh John Rawls. Para pemikir tersebut menyadari bahwa tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, maka masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Oleh karena itu tanpa adanya kontrak, orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain. Kontrak memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan memenuhi janjinya, dan selanjutnya hal ini 237 O. Notohamidjojo dalam Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal.71.

172 144 memungkinkan terjadinya transaksi di antara mereka. Meskipun demikian, John Rawls mengkritik teori keadilan oleh para pendahulunya tersebut yang cenderung bersifat utilitarianisme dan institusionisme. Kedua pandangan ini bertolak belakang dengan teori berbasis kontrak yang ingin dikembangkan oleh Rawls, yakni konsep keadilan sebagai fairness. 238 Dengan mengambil pelajaran dari kegagalan teori-teori sebelumnya, Rawls mencoba menawarkan suatu bentuk penyelesaian yang terkait dengan problematika keadilan dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak. Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional, dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri. John Rawls dalam bukunya berjudul: "Theory of Justice", mengekspresikan keadilan dapat berarti menurut hukum dan kesebandingan atau apa yang semestinya. Teori Rawl fokus pada struktur dasar dari masyarkat, konstitusi politik, sistem hukum dan sistem sosial. Atas dasar itu Rawl berusaha menemukan 238 Bagi Rawls, kesamaan harus dipahami dalam arti kesetaraan kedudukan dan hak sebagai person dan bukan dalam arti kesamaan hasil yang diperoleh setiap orang. Keadilan sebagai fairness tidak menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh prosedur yang sama juga harus mendapatkan hasil yang sama, namun sebaliknyakeadilan sebagai fairness menegaskan bahwa hasil dari prosedur fair itu harus diterima sebagai sesuatu yang adil meskipun tiap orang tidak mendapat hasil yang sama (Andre Ata Ujan, op.cit, hal.45).

173 145 seperangkat asas bagaimana dalam struktur sosial mendistribusikan beban (burden) dan keuntungan (benefits) untuk mencapai keadilan. 239 Apabila menempatkan diri pada posisi asli,rawls merumuskan dua prinsip keadilan yang mendasar yaitu sebagai berikut: 1). Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Menurut prinsip ini, setiap orang memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang, dalam hal ini mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak menghalangi orang untuk mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan itu menguntungkan semua pihak 2). Prinsip ketidaksamaan, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa, sehingga diharapkan memberi keuntungan bagi setiap orang dan semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial-ekonomi yang terjadi, sehingga dapat memberikan keuntungan yang bersifat timbal balik. dalam hal ini harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Rumusan prinsip ini, merupakan gabungan dari dua prinsip yaitu prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity ) 240 Sehingga secara menyeluruh John Rawls dalam teorinya mengemukakan bahwa ada tiga hal yang merupakan solusi bagi problema keadilan. Dalam konteks ini Rawls menyebut justice as fairness, John Rawls lebih menekankan prinsip-prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat sehingga dalam konteks ini Rawls merumuskan tiga prinsip-prinsip keadilan distributif, yaitu sebagai berikut: (1) Prinsip kebebasan yang sama bagi setiap orang (principle of greatest equal liberty), tentang hal ini dirumuskan oleh John Rawls sebagai berikut: Each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty of others. (Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang). Pengertian equal disini 239 Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Malaysia, hal Huijbers dan Priyono dalam Dardji Darmodihardjo, et.al, op.cit, hal.165

174 146 yaitu sama atau sederajat diantara sesama manusia. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang, maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak); (2) Prinsip perbedaan (the difference principle), yang dirumuskannya sebagai berikut: Social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone's advantage, and (b) attached to positions and office open to all. (Ketidaksamaan dalam pencapaian nilai-nilai sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memberikan keuntungan bagi setiap orang) (b).semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. (3) Prinsip persamaan yang adil untuk memperoleh kesempatan bagi setiap orang (the principle of fair equality of opportunity), yaitu ketidaksamaan ekonomi harus diatur sedemikian rupa agar memberi kesempatan bagi setiap orang untuk menikmatinya. Asas ketidaksetaraan di bidang soial-ekonomi (principle of social and economic unequel) maknanya secara faktual persamaan kebebasan melahirkan kesenjangan dalam struktur dasar masyarkat, yaitu ketidaksetaraan sosial ekonomi ini seyogyanya dibuat aturan hukum yang paling menguntungkan bagi golongan masyarakat yang kedudukannya paling lemah. 241 Oleh John Rawls dikatakan suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak dimana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih sebagai pegangan bersama merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional dan sederajat dan menjamin kepentingan para pihak secara fair. Hanya melalui pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. 242 Landasan pemikiran Agus Yudha Hernoko, mengenai asas proporsionalitas ini mengacu pada pemikiran P.S.Atiyah yang memberikan landasan pemikiran bahwa dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil bahwa transaksi tersebut dilakukan oleh para pihak yang berkontrak sesuai dengan apa 241 John Rawls, A Theory of Justice dalam Andre Ata Ujan, op.cit, hal.73, Lihat juga Hari Chand, op.cit, hal Andre Ata Ujan, op.cit, hal.22.

175 147 yang diinginkan. P.S. Atijah dalam bukunya "An Introduction to The Law of Contract", memberikan landasan pemikiran mengenai asas proporsionalitas dalam kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di dunia bisnis. Pada dasarnya asas proporsionalitas ini perwujudan doktrin keadilan berkontrak yang mengoreksi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Asas proporsional ini sangat berorientasi pada koteks hubungan dan kepentingan para pihak, jadi disini adanya pembagian hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual. 243 Agus Yudha Hernoko memberikan kriteria yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan Asas proporsionalitas dalam kontrak, yaitu sebagai berikut: a. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti "kesamaan hasil" melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan "kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)" (prinsip kesamaan hak/kesetaraan hak); b. Berlandaskan pada kesamaan/kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan); c. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. 244 Asas proporsionalitas yang diterapkan dalam rumah susun ini mengandung makna bahwa untuk dapat mencapai perhitungan yang seadil adilnya mengenai porsi hak, porsi kewajiban dan tentunya juga porsi tanggung jawab pribadi yang bersatu dalam kesatuan konstruksi dengan hak milik para 243 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal

176 148 mede eigenaars lainya. Menurut hukum perbandingan ini, porsi hak/ porsi kewajiban/ porsi tanggung jawab pribadi tiap tiap mede eigenars dapat dihitung besarnya secara proposional terhadap porsi nilai dan harga keseluruhan obyek kebendaan HMSRS yang menjadi milik mereka. NPP adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung berdasar nilai sarusun yang bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga jualnya. NPP yang dimaksud, antara lain terhadap: 1. Hak yaitu hak kepemilikan perseorangan dan hak bersama terhadap hak atas tanah, benda dan bagian bersama; 2. Kewajiban yaitu beban biaya pemeliharan dan perbaikan kepemilikan bersama (tanah, benda dan bagian); 3. Nilai, yaitu dasar penentuan nilai/besarnya beban Hak Tanggungan terhadap Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan Roya Partial terhadap Hak Milik atas satuan Rumah Susun. 245 Selanjutnya besarnya NPP tersebut, dicantumkan dalam Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan secara hukum, NPP tersebut mengikat dan NPP tersebut menentukan besarnya hak dan kewajiban masing-masing pemilik satuan rumah susun terhadap bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama Bentuk Pertanggungjawaban Para Pihak dalam hal Terjadinya Overmacht terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun Akibat Hukum overmacht dari Segi Buku III KUHPerdata dan Doktrin Peristiwa overmacht menimbulkan suatu akibat baik terhadap perikatan maupun terhadap risiko yang harus dihadapi oleh para pihak di dalam perjanjian. Susun. 245 Vide Pasal 1 angka 13 UU Rumah Susun jo Pasal 1 angka 7 PP Rumah

177 149 Pengaturan akibat terjadinya overmacht dapat ditemukan di dalam Buku III KUHPerdata dan berbagai doktrin yang dikemukakan oleh para ahli. A.1. Akibat hukum overmacht ditinjau dari segi akibatnya terhadap perikatan. Akibat overmacht ditinjau dari segi akibatnya terhadap perikatan, beberapa ahli memberikan pandangannya, diantaranya sebagai berikut; 1) R. Setiawan Menurut R.Setiawan, overmacht menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan beberapa akibat, yaitu : a. Kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi; b. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi; c. Risiko tidak beralih kepada debitur; d. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal balik ) Mariam Darus Badrulzaman Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan beberapa akibat overmacht terhadap perikatan. Overmacht mengakibatkan perikatan tersebut tidak lagi bekerja (werking) walaupun perikatannya ada, maka: a. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi; b. Tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu tidak dapat menuntut; c. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian; d. Pada perjanjian timbal balik, gugur kewajiban untuk melakukan kontraprestasi; e. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan overmacht ini adalah sebagai berikut: Debitur tidak dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa itu dengan jalan penangkisan (eksepsi). 246 R.Setiawan, op.cit, hal

178 150 Berdasarkan Jabatannya, Hakim tidak dapat menolak gugatan berdasarkan overmacht, yang berutang memikul beban untuk membuktikan adanya keadaan overmacht ) Abdulkadir Muhammad Abdulkadir Muhammad membedakan overmacht menjadi overmacht yang bersifat objektif dan subjektif. a). Overmacht yang bersifat objektif/tetap secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal (the agreement would be void from the outset) dengan memberikan konsekuensi bahwa: jika perikatan itu sudah dilaksanakan, maka dilakukan pemulihan kembali dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. jika satu pihak sudah mengeluarkan biaya untuk melaksanakan perjanjian itu sebelum waktu pembebasan, pengadilan berdasarkan kebijaksanaannya boleh memperkenankannya memperoleh semua atau sebagian biaya dari pihak lainnya, atau menahan uang yang sudah dibayar. b). Overmacht yang bersifat subjektif/sementara, memberikan konsekuensi bahwa: Overmacht itu hanya mempunyai daya menangguhkan sehingga kewajiban berprestasi akan kembali jika keadaan memaksa itu sudah tidak ada lagi. Jika prestasinya sudah tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur, perikatannya menjadi gugur. Pihak yang satu tidak dapat menuntut kepada pihak lainnya. Dalam keadaan yang demikian ini, perikatan tidak berhenti (tidak batal), melainkan hanya pemenuhan prestasinya saja yang tertunda. Jika kesulitan itu sudah tidak ada lagi, maka pemenuhan prestasi dapat diteruskan kembali ) M.Yahya Harahap Overmacht merupakan dasar hukum yang menyampingkan/ menyingkirkan asas yang terdapat pada Pasal 1239 KUHPerdata setiap wanprestasi yang menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi (schadevergoeding). Pasal-pasal yang menyampingkan ketentuan Pasal Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 32

179 151 KUHPerdata tersebut, diantaranya Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. 249 Kedua ketentuan pasal tersebut, telah ditetapkan bahwa overmacht sebagai dasar hukum yang memaafkan atau rechtsvaardigings-grond. Adapun alasan pemaaf yang dimaksud sebagai akibat dari overmacht antara lain sebagai berikut: 1. Pembebasan debitur membayar ganti rugi/schadevergoeding Pada akibat pembebasan membayar ganti rugi, hak kreditur untuk menuntut gugur untuk selama-lamanya. Jadi, pembebasan ganti rugi sebagai akibat overmacht adalah pembebasan mutlak. 2. Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi (nakoming) Pembebasan pemenuhan/nakoming bersifat relatif. Pada umumnya pembebasan ini hanya bersifat menunda, selama keadaan overmacht masih menghalangi/merintangi debitur melakukan pemenuhan prestasi. Bila overmacht hilang, kreditur kembali dapat menuntut pemenuhan prestasi. 250 A.2. Akibat overmacht ditinjau dari segi risiko Sehubungan dengan persoalan risiko ini, dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang risiko) yaitu suatu ajaran, dimana seorang berkewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht) dan diterapkan pada perjanjian sepihak maupun perjanjian timbal-balik Menurut Yahya Harahap dari rumusan Pasal 1244 KUHPerdata, tidak mempergunakan istilah overmacht, tetapi mempergunakan rumusan sesuatu sebab luar yang tak dapat diperkirakan, namun makna yang terkandung didalamnya merupakan pengertian overmacht. (Yahya Harahap, op.cit, hal.84) Berkenaan dengan pengertian overmacht, Subekti menyatakan bahwa meskipun Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata memiliki makna yang sama, namun penilaian lebih baik diberikan pada pasal 1244 KUHPerdata karena dianggap paling tepat menunjukkan keadaan overmacht (Subekti II, op.cit, hal.55). Jadi dalam hal ini baik Yahya Harahap maupun Subekti sama-sama menekankan makna overmacht lebih tepat didasarkan pada pasal 1244 KUHPerdata. 250 Yahya Harahap, op.cit, hal Salim HS II. op cit. hal.185

180 152 Berkenan dengan resicoleer, para ahli hukum telah memberikan pandangannya tersendiri baik terhadap perjanjian sepihak maupun perjanjian timbal-balik, diantaranya: 1. Perjanjian Sepihak R.Setiawan, Abdulkadir Muhammad, Salim H.S dan Mariam Darus Badrulzaman memberikan pandangan mereka mengenai peralihan risiko dalam perjanjian sepihak, pada dasarnya mereka memiliki pandangan yang sama bahwa: Perikatan sepihak adalah perikatan yang prestasinya hanya ada pada salah satu pihak. Menurut Pasal 1245 KUHPerdata risiko dalam perjanjian sepihak ditanggung oleh kreditur atau dengan kata lain, debitur tidak wajib memenuhi prestasinya. Penerapan ketentuan ini pada perikatan untuk barang tertentu, oleh Abdulkadir Muhammad dan Salim H.S menyatakan risiko dalam keadaan memaksa hanya dapat ditemukan dalam satu pasal yaitu Pasal 1237 KUH Perdata, yang mengatur siapa yang menanggung risiko dari keadaan overmacht. Dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad, menurut Pasal 1237 KUH Perdata, dalam perikatan untuk memberikan sesuatu tertentu, kebendaan itu sejak perikatan dilahirkan adalah tanggungan si berpiutang. Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, sejak kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungan si berutang. Jadi, dalam perjanjian sepihak krediturlah yang harus menanggung segala risiko yang terjadi karenanya. 252 Selanjutnya Salim H.S mengemukakan dengan memberikan contoh untuk perjanjian sepihak, berdasar pada ketentuan Pasal 1237 KUHPerdata menanggung risiko atas musnahnya tanah yaitu penerima tanah. 253 yang Oleh 252 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal Salim HS II, op.cit, hal.103.

181 153 R.Setiawan dan Mariam Darus Badrulzman, ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata tersebut diperluas lagi dalam suatu ketentuan lain, yaitu dalam Pasal 1444 KUH Perdata. Dikatakan oleh R.Setiawan, Menurut Pasal 1237 dan Pasal 1444 KUH Perdata, debitur diwajibkan membayar ganti rugi jika bendanya musnah setelah debitur lalai untuk menyerahkan barangnya. Pasal 1444 KUHPerdata tersebut masih memberikan perlunakan, yaitu debitur sekalipun lalai, masih dapat dibebaskan dari kewajiban berprestasi jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya tetap akan musnah, sekalipun ia menyerahkan tepat pada waktunya. Selanjutnya Pasal 1445 KUHPerdata menentukan bahwa apa yang diperoleh debitur sebagai penggantian daripada barang yang musnah harus diserahkan kepada kreditur (asuransi), jadi risiko ada pada kreditur. 254 Dikatakan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman, dari asas yang terkandung di dalam Pasal 1237 dan Pasal 1444 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa dalam perikatan sepihak apabila terjadi ingkar janji karena force majeure (di luar kesalahan debitur), risiko ada pada kreditur Perjanjian Timbal-Balik Subekti, Abdul Kadir Muhammad, Mariam Darus Badrulzaman, Salim H.S, Yahya Harahap memberikan pandangan ajaran resicoleer terhadap perjanjian timbal-balik, dikatakan bahwa dalam bagian umum dari KUH Perdata tidak diatur tentang risiko dalam perjanjian timbal balik, pasal-pasal yang mengatur risiko harus dicari dalam bagian khusus yaitu Pasal 1460 tentang jual-beli barang 254 R.Setiawan, op.cit, hal Mariam Darus Badrulzaman, et.al, op.cit, hal

182 154 tertentu, Pasal 1545 tentang perjanjian tukar-menukar dan Pasal 1553 tentang perjanjian sewa-menyewa. 256 A. Risiko dalam Jual Beli Mengenai risiko dalam jual-beli ini, Subekti Salim H.S dan Yahya Harahap mengemukakan pendapatnya dalam KUHPerdata ada tiga peraturan yang mengaturnya, yaitu: a. Mengenai barang tertentu (Pasal 1460); b. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (Pasal 1461); c. Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462) 257. B. Risiko dalam Tukar menukar Mengenai Risiko tentang Tukar Menukar, menurut Yahya Harahap dan Mariam Darus Badrulzaman bahwa Pasal 1545 KUHPer mengatur persetujuan tukar-menukar atas barang tertentu. Jika salah satu objek tukar-menukar tadi terdiri dari barang tertentu, dan sebelum diserahkan kepada pihak lain barang tertentu tersebut hilang atau musnah maka akibat suatu sebab di luar kesalahan si pemilik, yaitu dianggap gugur dan pihak yang telah menyerahkan barang dapat 256 Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa risiko dalam perjanjian timbal-balik ditemukan dalam asas kepatutan (billijkheid), yang dituangkan di dalam ketentuan-ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Menurut kepatutan dalam perjanjian timbal balik, risiko ditanggung oleh mereka yang tidak melakukan prestasi (Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.30). Oleh R.Setiawan dengan mengutip pendapatnya Pitlo bahwa menurut kepantasan, jika debitur tidak lagi berkewajiban maka pihak lainnya pun bebas dari kewajibannya dan pendapat Pitlo tersebut didukung pula oleh ketentuan pasal 1246, 1545, dan 1563 KUHPedata. (Pitlo dalam R.Setiawan,loc.cit) 257 Subekti II, op.cit, hal.26-hal 27 dan Yahya Harahap,op.cit, hal

183 155 menuntut pengembalian barang yang telah sempat diserahkannya. Menurut pasal ini, dalam hal terjadi keadaan memaksa, risiko ada pada masing-masing pemilik barang yang dipertukarkan. dalam Pasal 1545 dengan tegas dinyatakan perjanjiannya gugur, karena itu dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak ada perjanjian. 258 C. Risiko dalam Sewa Menyewa Mengenai Risiko tentang Sewa Menyewa, Salim H.S dan Yahya Harahap mengemukakan bahwa risiko dalam sewa-menyewa ditemukan dalam Pasal 1553 KUHPerdata, mengenai kemungkinan musnahnya barang yang disewa, sebagai akibat suatu kejadian yang tiba-tiba tidak dapat dielakkan dalam perjanjian sewamenyewa apabila barang yang menjadi objek sewa itu hancur atau musnah, yang bukan disebabkan oleh pihak penyewa. Musnah atas barang objek sewa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : a. Musnahnya seluruh barang Menurut Salim H.S Jika barang yang disewakan oleh penyewa itu musnah secara keseluruhan di luar kesalahannya/disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak disengaja pada masa sewa,dengan sendirinya menurut hukum perjanjian sewa-menyewa gugur (gugur demi hukum). Namun Yahya Harahap menyatakan tidak perlu diminta pernyataan batal (nietig verklaring) dan risiko kerugian dibagi dua antara pihak yang menyewakan dengan pihak si penyewa. b. Jika barang yang disewakan hanya sebagian yang musnah Berkenaan dengan barang yang disewakan hanya sebagian yang musnah Yahya Harahap dan Salim HS, memiliki pemikiran yang sama bahwa si 258 Abdulkadir Muhammad menganggap bahwa Pasal 1545 KUHPerdata dipandang sebagai pasal yang dapat diberlakukan secara umum karena dirasakan lebih adil dan lebih sesuai dengan selera masyarakat yang mempertahankan hakhaknya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari R. Subekti, namun di pihak lain, beliau mempermasalahkan istilah "gugur" dalam Pasal 1545 kurang tepat dilihat dari segi konsekuensi hukumnya, tidak terpenuhinya tujuan perikatan karena keadaan memaksa yang mengakibatkan pihak yang satu tidak dapat menuntut kepada pihak yang lainnya. (Lihat diantaranya Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal.35, Subekti II, op.cit, hal.37).

184 156 penyewa dapat memilih meminta pengurangan harga sewa sebanding dengan, bagian yang musnah atau menuntut pembatalan perjanjian sewa. Pada dasarnya, pihak penyewa dapat menuntut kedua hal itu, namun ia tidak dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menyewakan. 259 Bertolak dari uraian diatas maka dapat dipahami bahwa mengenai akibat overmacht, dewasa ini mengalami perkembangan yang semakin kompleks meskipun tidak secara menyeluruh. Pada dasarnya, dari berbagai doktrin yang telah dikemukakan, berpedoman pada ketentuan dalam KUH Perdata, sehingga dapat disimpulkan bahwa akibat-akibat overmacht yaitu: (1). Ditinjau dari aspek perjanjian: Dari pasal-pasal tersebut secara garis besar mengenai akibat overmacht terhadap perikatan dapat dibedakan menjadi overmacht objektif/absolut/tetap yang berakibat pada perikatan gugur, pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi dan overmacht subjektif/relatif/sementara yang berakibat perikatan tidak berhenti hanya pemenuhan prestasi tertunda. Hal ini berakibat pihak lawan tidak dapat meminta pemenuhan prestasi dan tidak perlu meminta pemutusan perjanjian, tetapi jika kesulitan itu tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi harus diteruskan. (2). Ditinjau dari aspek risiko: debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban untuk membayar biaya, ganti rugi maupun bunga yang timbul dari overmacht. Akan tetapi jika debitur mempunyai tuntutan hak atau ganti rugi atas barang tersebut maka hak atau ganti rugi itu beralih kepada si berpiutang. 259 Lihat diantaranya, Salim H.S II, op.cit, hal.62, Yahya Harahap, op.cit, hal

185 157 Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, agar debitur tidak bersalah terhadap segala kerugian yang ditimbulkan akibat dari overmacht, maka ia harus mampu membuktikan bahwa dirinya sedang berada dalam ketidakmungkinan (onmogelijkheid) dan adanya unsur ketidaksalahan (tidak ada schuld) dan hal tersebut dapat dicermati terhadap beberapa teori untuk membahas risiko tanggung gugat terjadi overmacht, dan para ahli telah memberikan argumentasinya masing-masing. Teori Overmacht Objektif, J.F. Houwing dengan Teori Usahanya (Inspanningsleer) dan Teori Risiko dari J.LL Wery, menimbulkan bahaya atau teori ambil-alih risiko (Gevaarzetting Theorie), bahwa di sini debitor telah mengambil risiko untuk pemenuhan prestasi tersebut. Selain risiko tanggung gugat tersebut, Agus Yudha Hernoko juga mengembangkan teori overmacht yang disebut dengan keadaan sulit melaksanakan kontrak (selanjutnya disebut hardship), di mana hardship ini lebih condong ke arah overmacht yang bersifat relatif/sementara karena renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak. Dalam hal terjadinya hardship, Pasal UPICC 260 memperhatikan penyelesaian sebagai berikut: a). Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukannya renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan menunjukkan dasar hukum permintaan renegosiasi tersebut. b). Permintaan untuk dilakukannya renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak. 260 UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private Law) mengeluarkan prinsip PICC (Principles of International Commercial Contracts) sehingga dinamakan UPICC Principles.

186 158 c). Apabila negosiasi gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, maka para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan d). Jika pengadilan dapat membuktikan adanya hardship maka membawa akibat hukum bahwa kontrak tersebut diakhiri pada tanggal dan waktu yang pasti atau mengubah kontrak dengan mengembalikan keseimbangannya. 261 Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat ditarik suatu simpulan bahwa akibat overmacht, baik terhadap perikatan maupun menyangkut risiko mengalami perkembangan pemikiran, akibat overmacht tidak hanya mendasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku seperti pasal-pasal dalam KUH Perdata, tetapi memunculkan pula teori-teori yang baru seperti halnya Inspanningsleer Theorie yang dikemukakan oleh J.F. Houwing, dan akibat hukum dari hardship sebagaimana dapat ditemukan dalam bukunya Agus Yudha Hernoko, bila overmacht terjadi, perjanjian tidak otomatis hapus tetapi dibuka adanya renegosiasi diantara para pihak dalam perjanjian. Hal ini merupakan suatu ajaran baru yang belum pernah secara khusus dibahas oleh doktrin terdahulu. (garis bawah oleh penulis) Akibat Overmacht berdasarkan Yurisprudensi 1. Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958 Debitur terbebas dari kewajiban untuk memenuhi perjanjian 2. Putusan MA RI No. Reg.15 K/Sip/1957 Debitur tidak dapat dihukum membayar cicilan apabila dapat membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari 261 Pasal UPICC dalam Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal Mencermati akibat hukum hardship tersebut, pada dasarnya memberi akibat bahwa pihak yang dirugikan dapat mengajukan permintaan renegosiasi.tujuan dari renegosiasi ini, agar diperoleh pertukaran hak dan kewajiban yang wajar dalam pelaksanaan kontrak karena terjadi peristiwa yang fundamental mempengaruhi keseimbangan kontrak.

187 159 keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Hanya saja dalam putusan ini disebutkan bahwa risiko yang termasuk dalam overmacht harus dimasukkan dalam klausul perjanjian. 3. Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1957 Debitur dibebaskan dari kewajiban menanggung risiko apabila dapat membuktikan dalil overmacht terjadi diluar kesalahan baik itu kesengajaan atau kelalaian. 4. Putusan MA RI No.3389 K/Pdt/1984 dan Putusan MA RI No.409 K/Sip/1983. Kepada debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban ataupun penggantian kerugian Akibat Hukum Overmacht Menurut Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak-Kontrak Lainnya Pengaturan akibat terjadinya overmacht dalam peraturan perundangundangan dan kontrak yaitu,terhadap perjanjian itu sendiri; apakah dihentikan, dihentikan sementara waktu atau tetap dilanjutkan; dan juga terhadap pihak mana yang akan menanggung risiko. Berikut akan diuraikan beberapa akibat terjadinya overmacht yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan dan dalam kontrak, diantaranya: 1. Ketentuan Pengadaan Barang dan Jasa, terjadinya overmacht mengakibatkan: - Keterlambatan pelaksanaan pekerjaan yang diakibatkan terjadinya keadaan kahar tidak dapat dikenakan sanksi; - Pihak yang menanggung kerugian akibat terjadinya keadaan kahar diserahkan kepada kesepakatan para pihak. 262 Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal

188 Ketentuan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, terjadinya overmacht mengakibatkan penghentian sementara pada perjanjian. 3. Kontrak-kontrak terkait dengan minyak bumi dan gas (oil and gas contract) a. AIPN Model Production Sharing Contract Terjadinya overmacht, mengakibatkan: - Penambahan jangka waktu kontak yang lamanya sama dengan jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh overmacht tersebut; - Tiap peristiwa yang disebabkan oleh overmacht tidak dapat dianggap sebagai wanprestasi. b. AIPN Model International Operating Agreement Terjadinya overmacht, antara lain mengakibatkan: - Kontrak ditunda selama pihak yang terkena overmacht tidak dapat atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya, namun penundaan tersebut tidak boleh melebihi jangka waktu masa berlakunya kontrak. c. AIPN Model Contract Gas Sales Agreement Terjadinya overmacht mengakibatkan: - Penambahan jangka waktu kontrak yang lamanya sama dengan jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh overmacht tersebut. d. AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement Terjadinya overmacht mengakibatkan: - Penambahan jangka waktu kontrak yang lamanya sama dengan jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh overmacht tersebut. 4. Ketentuan Perbankan, perjanjian pada hakikatnya tidak dapat dibatalkan kecuali tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan penggunaan ketentuan pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata sebagai alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar kredit haruslah dipertegas, dalam artian keadaan memaksa seperti apa yang memenuhi pasal tersebut. 5. Kontrak karya, terjadinya overmacht antara lain mengakibatkan: - Terjadinya overmacht tidak akan dianggap sebagai pelanggaran kontrak atau kelalaian; - Penambahan masa berlakunya kontrak sebanyak masa waktu berlangsungnya overmacht. 6. Perjanjian Sewa-menyewa Rumah Terjadinya overmacht mengakibatkan: - Segala kerugian yang ditimbulkan menjadi beban dan tanggung jawab masing-masing pihak; - Tidak disebutkan akibatnya terhadap perjanjian apakah dihentikan atau dilanjutkan Rahmat S.S. Soemadipradja,op.cit, hal

189 161 Dari akibat hukum overmacht diatas, maka penulis dapat uraikan lebih lanjut kedalam bagan berikut ini: Bagan 3.4 : Akibat Hukum Overmacht Sumber : KUHPerdata, Rahmat S.S. Soemadipradja yang penulis modifikasi dalam bentuk bagan. (Cetak tebal dan garis bawah oleh penulis) Buku III KUHPerdata dan Doktrin 1. Ditinjau dari aspek perjanjian: Dari pasal-pasal tersebut secara garis besar mengenai akibat overmacht terhadap perikatan dapat dibedakan menjadi overmacht objektif/absolut/ tetap yang berakibat pada perikatan gugur, pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi dan overmacht subjektif/relatif/ sementara yang berakibat perikatan tidak berhenti hanya pemenuhan prestasi tertunda. Hal ini berakibat pihak lawan tidak dapat meminta pemenuhan prestasi dan tidak perlu meminta pemutusan perjanjian, tetapi jika kesulitan itu tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi harus diteruskan. (garis bawah oleh penulis) 2. Ditinjau dari aspek risiko: debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaba AKIBAT HUKUM OVERMACHT Yurisprudensi 1. Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/ Debitur terbebas dari kewajiban untuk memenuhi perjanjian 2. Putusan MA RI No. Reg.15 K/Sip/ Debitur tidak dapat dihukum memenuhi prestasi apabila dapat membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Hanya saja dalam putusan ini disebutkan bahwa risiko yang termasuk dalam overmacht harus dimasukkan dalam klausul perjanjian. 3. Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1957 Debitur dibebaskan dari kewajiban menanggung risiko apabila dapat membuktikan dalil overmacht terjadi diluar kesalahan baik itu kesengajaan atau Peraturan Perundangundangan dan Kontrakkontrak lainnya 1. Terkait dengan adanya kerugian yang disebabkan oleh overmacht, pengaturan siapa yang harus menanggung risiko kerugian tidak sama pada setiap perjanjian, diantaranya: a. kerugian yang disebabkan oleh overmacht akan ditanggung masingmasing oleh para pihak dan para pihak tidak dapat menuntut ganti rugi apapun terhadap pihak lainnya, misalnya dalam perjanjian sewamenyewa rumah, Kontrak Pemborongan Jalan Tol dan Kontrak karya. b. Penyelesaian atas kerugian diserahkan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan diantara para pihak, misalnya dalam Ketentuan Pengadaan barang dan jasa. 2. Terkait dengan keberlanjutan kontrak sehubungan dengan overmacht pengaturannya pun tidak sama pada setiap perjanjian, diantaranya:

190 n untuk membayar biaya, ganti rugi maupun bunga yang timbul dari overmacht. Akan tetapi jika debitur mempunyai tuntutan hak atau ganti rugi atas barang tersebut maka hak atau ganti rugi itu beralih kepada si berpiutang. kelalaian. 4. Putusan MA RI No.3389 K/Pdt/1984 dan Putusan MA RI No.409 K/Sip/1983. Kepada debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban ataupun penggantian kerugian 162 a. diserahkan kepada kesepakatan para pihak, artinya tidak disebutkan secara tegas dalam kontrak apakah dihentikan, dihentikan sementara (ditunda) atau dilanjutkan, misalnya dalam Kontrak Pemborongan Jalan Tol, Kontrak kerjasama berdasarkan sistem kontrak karya terkait Eksploitasi Hutan b. kontrak tetap dilanjutkan setelah overmacht dengan penambahan masa berlaku kontrak selama waktu kontrak berhenti yang disebabkan oleh overmacht tersebut, misalnya dalam Kontrak Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan kontrak-kontrak terkait dengan minyak bumi dan gas (AIPN Model Production Sharing Contract, AIPN Model International Operating Agreement, AIPN Model Contract Gas Sales Agreement dan AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement) Akibat Overmacht dari Segi Pertanggungjawaban Developer kepada Konsumen berdasarkan Aspek Hukum Perlindungan Konsumen. Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting perlu diperhatikan, karena mempersoalkan kepentingan konsumen harus disertai pula analisis mengenai siapa yang semestinya dibebani tanggungjawab dan

191 163 sampai batas mana pertanggungjawaban itu dibebankan padanya. Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasanpembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: (1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault). Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault), tanpa adanya unsur kesalahan dalam diri pihak pelaku, maka gugatan korban atas sejumlah ganti rugi tidak akan dipenuhi. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. (2) Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability) Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti, dirinya tidak bersalah. 264 (3) Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability), 264 Sidharta, op.cit, hal

192 164 Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip presemption of liability. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. 265 (4) Prinsip Tanggung jawab mutlak (strict liability), Prinsip strict liability diterjemahkan secara bervariasi, seperti tanggungjawab seketika, tanggungjawab mutlak, tanggungjawab absolut, dan ada juga yang menyebutnya dengan tanggungjawab ketat, yang kesemuanya menunjuk kepada pertanggungjawaban segera dari pelaku saat peristiwa terjadi tanpa mempersoalkan adanya unsur kesalahan. Strict Liability dalam Pasal 19 UUPK, maka dapat dikatakan bahwa UUPK menganut prinsip strict liability. Prinsip strict liability ini menguntungkan para pelaku usaha karena mencantumkan klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam kaitan masalah ini, menarik untuk mengkaji prinsip yang dikandung dalam Pasal 19 UUPK, khususnya yang disebut pertama hingga ketiga jika dihubungkan dengan Pasal 28 dari UUPK yang menentukan sistem pembuktian yang tidak berdasarkan kesalahan. Supaya lebih jelas dipahami, rumusan Pasal 28 UUPK perlu dibaca secara seksama: Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.dengan prinsip ini, tergugat harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada 265 Sidharta, op.cit, hal.77.

193 dirinya. Prinsip ini menentukan pula untuk membebaskan tanggungjawab si 165 pelaku jika ternyata ada force majuore, seperti karena disebabkan bencana alam, peperangan dan lainnya. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk "menjerat" pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Tanggung jawab produk (product liability) diartikan sebagai tanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh pemakaian atau penggunaan suatu produk 266 atau yang berkaitan dengan barangbarang konsumsi. Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada tortious liability. Pelaku usaha dapat diloloskan dari tanggungjawab sebagaimana disebutkan Jean-Michel Fobe dalam tulisannya "Aviation Products Liability and Insurance", dalam hal: 1. Produsen belum atau tidak mengedarkan produknya. 2. Kerusakan yang menimbulkan kerugian konsumen tidak pada saat produk diedarkan oleh pelaku usaha, atau Cacat tersebut baru timbul kemudian. 3. Produk tersebut dibuat bukan untuk dijual atau dibiarkan untuk tujuan ekonomis maupun dalam rangka bisnis. 266 Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun, dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen (product liability), produk bukan hanya berupa tangible goods. Termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tetapi juga termasuk komponen suku cadang. (Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Mulia, Bogor, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), hal.64).

194 Adanya cacat produk tersebut sebagai akibat memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. 5. Secara ilmiah dan teknis (state of secientific and technical knowledge, state of art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat. 6. Dalam hal pelaku usaha suatu komponen, cacat tersebut disebabkan oleh desain produk itu sendiri, dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan oleh kealahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak pelaku usaha dari produk tersebut. 7. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence). 8. Kerugian terjadi sebagai akibat bencana alam atau keadaan memaksa (Acts of God atau force majored). 267 (5) Prinsip Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. 268 Bagan 3.5. Penerapan Overmacht dalam Prinsip Pertanggungjawaban Pelaku Usaha (Developer) kepada Konsumen (Pemilik Satuan Rumah Susun). PENERAPAN OVERMACHT DALAM PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA (DEVELOPER) KEPADA KONSUMEN (PEMILIK SATUAN RUMAH SUSUN) Jenis Overmacht 1). Overmacht absolute/ mutlak/obyektif 2). Overmacht relative/ subyektif/sementara Prinsip Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kepada Konsumen dalam UUPK Prinsip Strict Liability Prinsip Limitation of Liability Prinsip Product Liability Prinsip Liability Based on Fault Prinsip Contractual Liability 267 Jean-Michel Fobe dalam Adrian Sutedi II, ibid, hal Shidarta, op.cit, hal.79-80, N.H.T Siahaan op.cit, hal.158.

195 Dari paparan diatas maka penulis dapat menyimpulkan akibat hukum klausul pertelaan dalam hal terjadinya overmacht kedalam bentuk bagan berikut ini: 167

196 Bagan 3.6 : Akibat Hukum Kalusul Pertelaan dalam hal terjadinya Overmacht terhadap HMSRS Sumber: Rahmat S.S. Soemadipradja, Yahya Harahap, Munir Fuady II, Shidarta, Adrian Sutedi II, N.H.T Siahaan dan Munir Fuady III, Andre Ata Ujan dan Agus Yudha Hernoko yang penulis simpulkan dan rangkum menjadi satu dalam bentuk bagan. (Cetak tebal dan garis bawah oleh penulis AKIBAT HUKUM KLAUSUL PERTELAAN DALAM HAL TERJADINYA OVERMACHT TERHADAP HMSRS Unsur-unsur yang harus Penyelesaiannya dan Penerapannya terhadap Jenis-jenis Overmacht Akibat Hukum dibuktikan Teori, Konsep dan Asas Hukum yang relevan 1). Overmacht Teori Overmacht Absolut/ Obyektif Mutlak/ Obyektif Perjanjian dinyatakan Batal demi Hukum (Null and void;nietig) Dari semula dianggap tidak pernah ada perikatan, sehingga mengakibatkan: Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (schadevergoeding) Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi tetapi sekaligus demi hukum terbebas dari kewajibannya menyerahkan kontraprestasi. Kontrak tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan. 1). Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang berprestasi yaitu kehilangan objek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan. 2). Tidak terpenuhinya perjanjian bukan karena kelalaian atau kesalahan debitur Prinsip Strict Liability Prinsip Product Liability Prinsip Limitation of Liability 168 Untuk mewujudkan keadilan berbasis kontrak bagi para pihak serta mendapatkan imbangan berdasar asas proporsionalitas (teori keadilan berbasis kontrak). Menurut Rawls, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang.

197 169 2). Overmacht Relatif/ Sementara/ Subyektif/ Tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan tersebut hapus hanya menunda pelaksanaan pemenuhan prestasi dan bila keadaan overmacht tersebut telah hilang maka kreditur dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi. Adanya Unsur Kesalahan/kelalaian dari pihak developer/pemilik satuan rumah susun 1. Pihak Developer - Apakah sudah memenuhi persyaratan teknis dalam pembangunan rumah susun, dalam artian apakah ada cacat tersembunyi oleh sebab bahan yang digunakan oleh developer tidak sesuai dengan standar kelayakan yang berlaku. Persyaratan teknis tersebut berlaku terhadap: - Tata bangunan berupa intentitas, arsitektur dan keandalan bangunan (Pasal 35 huruf a dan b UU Rumah Susun jo Pasal PP Rumah Susun),berkenaan dengan struktur, komponen dan bahan bangunan harus memenuhi persyaratan konstruksi dan standar yang berlaku serta harus memperhitungkan kuat dan tahannya bangunan terhadap Gempa, hujan,angin, banjir dan kebakaran. Ketahanan tata bangunan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan standar perbandingan yang Teori Overmacht Subjektif Teori Risiko Teori Hardship Prinsip Liability Based on Fault Prinsip Contractual Liability

198 tepat meliputi kepadatan bangunan, Koefisien Dasar Bangunan dan Koefisien Lantai Bangunan. 2.Calon Konsumen ataupun Konsumen (Pemilik Unit Satuan Rumah Susun), apabila terbukti: - Merusak atau mengubah prasarana, sarana dan utilitas umum yang ada di lingkungan rumah susun. - Mengalihfungsikan prasarana, sarana dan utilitas umum yang ada serta benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama dalam pembangunan atau pengelolaan rumah susun - Mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang telah ditetapkan. 170

199 171 BAB IV KRITERIA OVERMACHT TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN 4.1. Konvergensi Penjabaran dan Penerapan Sistem Hukum Benda dan Hukum Perikatan Konvergensi yaitu suatu keadaan terhadap dua hal menuju pada satu titik pertemuan. 269 Mengkaji permasalahan pada penulisan ini yaitu menyatukan Hukum Benda dan Hukum Perikatan dalam kepemilikan HMSRS, tanpa harus melepas peran dan daya kerja dari masing-masing sitem hukum tersebut. Dalam hal ini Hukum Benda berkaitan dengan obyek kepemilikan HMSRS sedangkan Hukum Perikatan berkaitan dengan perikatan yang terjadi berdasar kesepakatan diantara para pihak sehingga menimbulkan hak dan kewajiban baik terhadap pihak developer maupun pihak pemilik unit satuan rumah susun Sistem Hukum Benda dalam Kajian Obyek Kebendaan HMSRS Benda mempunyai suatu sistem tertutup, artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa. Hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) ialah hukum yang dalam keadaan konkret harus ditaati yang dalam keadaan bagaimanapun juga tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak dengan perkataan lain, hukum ini mempunyai kekuasaan mutlak (absolut) Hasan Alwi, dkk (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa), 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, hal Apeldoorn, op.cit, hal 192.

200 172 Dalam hal ini Utrecht tidak sependapat Hukum memaksa sebagaimana dikemukakan oleh Apeldoorn diatas. Menurut Utrecht, peraturan hukum dikatakan bersifat memaksa: Bilamana dikatakan peraturan hukum yang dimaksud ialah suatu peraturan hukum yang tidak dapat dikesampingkan oleh peraturan apapun juga. Peraturan hukum tersebut mempunyai paksaan mutlak (absolut), dengan perkataan lain hukum yang memaksa ini tidak memperkenankan adanya penyimpangan. Suatu penyimpangan dari hukum memaksa ini menimbulkan adanya akibat bahwa perbuatan itu tidak sah dapat dinyatrakan batal atau malahan batal demi hukum. 271 Hak kebendaan adalah kekuasaan yang absolut oleh hukum diberikan kepada subyek hukum supaya dengan langsung menguasai benda didalam tangan siapapun benda itu berada. Hak kebendaan itu adalah absolut karena hukum. Semua subyek hukum lain wajib menghormati hak milik orang yang memilikinya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa SRSmerupakan bangunan gedung bertingkat yang memenuhi persyaratan tertentu bagian dari gedung tersebut dalam bentuk unit apartement dan HMSRS ini merupakan lembaga kebendaan baru yang meliputi hak untuk memiliki SRS secara terpisah dan berdiri sendiri berikut hak atas bagian bersama, tanah dan bagian yang merupakan satu kesatuan dari SRS yang bersangkutan. Hak Mutlak yang diberikan terhadap pemilikan SRS tersebut, dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Jangka waktu HMSRS sesuai dengan jangka waktu tanah hak bersama dimana rumah susun didirikan; 2. Turun temurun, apabila pemiliknya meninggal dunia HMSRS beralih kepada ahli warisnya karena hukum; 3. HMSRS dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani hak tanggungan; 4. HMSRS dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui perbuatan hukum pemindahan hak; 271 Utrecht dalam Apeldoorn, op.cit, hal.194.

201 Batas-batas kepemilikan HMSRS ditetapkan secara pasti dalam sertipikatnya Sistem Hukum Perikatan dalam kaitan Kepemilikan Satuan Rumah Susun Subekti mengatakan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjianperjanjian yang mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri, maka akan tunduk kepada undang-undang. Lebih lanjut, dikatakan oleh Subekti bahwa memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, karena benar-benar pasal-pasal dari Hukum Perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap dan biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu, para pihak hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja, dengan tidak memikirkan soal-soal lainnya. 273 Senada dengan pendapat Subekti, Apeldoorn juga mengenukakan Hukum yang bersifat mengatur adalah hukum yang dalam keadaan konkret dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Jadi 272 Otom Mustomi dan Mimim Mintarsih, loc.cit 273 Subekti II, op.cit, hal

202 174 pelaksanaannya oleh yang berkepentingan dapat dijalankan dengan menyimpang dar isinya melalui tindakan hukum (perjanjian). Dengan lain perkataan, apabila kedua belah pihak dapat menyelesaikan masalah mereka dengan membuat sendiri suatu peraturan maka peraturan hukum yang tercantum dalam paal yang bersangkutan tidak perlu dijalankan. 274 Kembali kepada istilah hukum mengatur yang dikemukakan oleh Apeldoorn, Utrecht mengemukakan bahwa Bilamana dikatakan peraturan hukum mengatur maka yang dimaksud disini ialah suatu peraturan hukum yang tujuannya tidak lain daripada memberikan pedoman saja. Apabila para pihak lebih suka memilih peraturan laion, maka mereka dapat menjalankan kehendaknya. 275 Dari paparan sebagaimana diungkap sebelumnya, nampak perbedaan hukum benda yang memiliki sifat dwingen recht dan hukum perikatan yang bersifat aanvulendrecht, diantaranya: Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata ialah bersifat perseorangan (persoonlijk karakter), tidak bersifat perbendaan (geen zakelijk karakter). Sifat perbedaan ini ditemukan pada hak-hak yang diatur dalam Buku II KUHPerdata dengan tittle Van Zaken sedang Hukum Perjanjian termuat sebagian besar dalam Buku III KUHPerdata dengan tittle Van Verbintenissen. Untuk menegaskan lagi sifat perbendaan (zakelijk karakter) ini berarti bahwa tetap ada hubungan langsung antara seorang dan benda, bagaimanapun juga ada campur tangan dari orang lain, sedang sifat perseorangan (persoonlijk karakter) dari Hukum Perjanjian ialah berarti bahwa tetap ada hubungan antara orang dan 274 Apeldoorn, op.cit, hal Utrecht dalam Apeldoorn, op.cit, hal.195.

203 175 orang meskipun ada terlihat suatu benda didalam perhubungan hukum itu. Dalam hal adanya gangguan dari pihak ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga adalah sifat lain dari hak benda yaitu bersifat mutlak (absolut) sedang hukum perjanjian seorang berhak atau dapat dikatakan mempunyai hak relatif, yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang tertentu yakni pihak lain yang turut membuat perjanjian tersebut. Pemberlakuan perbedaan tersebut nampak begitu jelas dalam kepemilikan HMSRS, disatu sisi hukum benda menguasai kepemilikan HMSRS, karena HMSRS tersebut berkenaan dengan jenis penggolongaan kebendaan yang merupakan jenis kebendaan baru yaitu benda tetap berwujud yang terdaftar sehingga pengaruh hukum benda sangat krusial dalam penanganan overmacht terhadap HMSRS, disisi lain Hukum Perikatan juga berperan penting dalam kepemilikan HMSRS karena adanya hubungan hak dan kewajiban terhadap para pihak dalam mengadakan pengikatan terlebih-lebih dalam klausula pertelaan dan PPJB HMSRS, dicantumkan apa yang menjadi hak dan kewajiban pemilik satuan rumah susun dan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari developer. Memang para pihak bebas dalam mengadakan perjanjian tidak terlepas dari kesepakatan para pihak dan kembali lagi hal tersebut tidak bertentangan dengan Undangundang, kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan. Alih-alih inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk mencermati konvergensi aspek hukum benda dan hukum perikatan dalam hal terjadinya overmacht, sebatas mana aspek hukum tersebut berperan penting. Alasan dasar kepatutan ini perlu dijadikan acuan mengingat dalam perkembangan bisnis terutama dalam kepemilikan HMSRS memiliki risiko yang amat sangat besar jika terjadinya overmacht. Hal ini terungkap dari Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995

204 176 tentang Pedoman Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun ( Kepmenpera ) Pasal 3 huruf f yang menyatakan bahwa Jika terjadinya force majeur (keadaan kahar) yang di luar kemampuan para pihak selama berlangsungnya pembangunan, developer dan pembeli akan mempertimbangkan penyelesaiannya sebaik-baiknya, dengan dasar pertimbangan utama adalah dapat diselesaikan pekerjaan pembangunan unit apartemen. (Garis bawah oleh penulis) bagaimana bentuk penyelesaian sebaik-baiknya yang dilakukan para pihak jika terjadi overmacht, hal ini sudah dibahas dalam Bab 3 dari penulisan ini dan hal penting yang perlu dicermati lebih lanjut adalah kriteria overmacht yang dimaksud dalam perjanjian rumah susun ini, seperti apa dalam PPJB HMSRS tidak menunjukkan adanya kejelasan tentang hal tersebut. Disinilah perlu adanya pengkajian secara mendalam kriteria overmacht yang dimaksud seperti apa, agar nantinya tidak merugikan salah satu pihak atau bahkan para pihak dalam melaksanakan pertanggungjawaban atas keadaan overmacht, namun akan memberikan solusi untuk tercapainya keadilan berbasis kontrak. Secara menyeluruh mungkin penulis tidak dapat sampaikan dalam bahasan sub bab ini karena memerlukan tinjauan secara mendalam dan ini semua akan dibahas pada sub bab berikutnya, namun inti yang bisa penulis sampaikan disini, HMSRS adalah hubungan hukum untuk memiliki rumah susun yang secara terpisah berdiri sendiri hak bersama, bagian bersama dan tanah bersama yang tidak terpisah dengan satuan bersangkutan. Pemilikan SRS dengan HMSRS dikaitkan dengan status tanah dimana rumah susun tersebut didirikan. Ini berarti bahwa untuk dapat menjadi subjek HMSRS yaitu mereka yang memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah bersama bersangkutan. Dalam kaitannya dengan hubungan hukum subjek dengan satuan rumah susun berikut dengan apa yang dimiliki bersama atas HMSRS untuk

205 177 menguasai satuan-satuan rumah susun. Hal tersebut diatas akan dijawab dalam bahasan selanjutnya yang secara spesifik dan signifikan menunjukkan dimana peran penting dan daya kerja dari masing-masing aspek hukum tersebut Lingkup Kriteria Overmacht Kriteria Overmacht dalam Buku III KUHPerdata Tentu saja sebagai suatu kitab undang-undang yang juga mengatur tentang hukum kontrak, KUHPerdata mengatur juga mengenai overmacht. Sistem pengaturan overmacht dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut: A. Pengaturan Overmacht dalam Bagian Pengaturan tentang Ganti Rugi Ketentuan KUH Perdata yang mengatur mengenai overmacht dalam hubungan dengan ganti rugi adalah Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Overmacht ini juga diakomodir oleh Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata yang mengatur mengenai musnahnya barang yang terutang. Pasal 1244 KUHPerdata menentukan sebagai berikut: 1. Ada suatu hal yang tidak terduga sebelumnya pada saat perikatan dilahirkan, yang tidak memungkinkan dilaksanakannya perikatan pada saat yang telah ditentukan atau yang sama sekali tidak memungkinkan pelaksanaan dari perikatan tersebut. Persyaratan mengenai hal yang tidak terduga ini berbeda dengan persyaratan yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1253 KUHPerdata. 2. Hal yang tidak terduga tersebut adalah suatu peristiwa yang berada di luar tanggung jawab debitor. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat bahwa suatu perikatan yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada kehendak debitor adalah batal demi hukum. Perikatan tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal.

206 Debitor tidak memiliki iktikad buruk untuk tidak melaksanakan kewajiban yang telah dibebankan padanya berdasarkan perikatan yang telah ada di antara debitor-kreditor. Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan syarat bahwa tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga bila terjadi: keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja.kedua hal tersebut, yaitu adanya keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja merupakan dua hal yang bersifat alternatif, dengan pengertian bahwa jika salah satu peristiwa terjadi, debitor dihapuskan dan kewajibannya untuk memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, meskipun debitor tidak memenuhi perikatan pada waktu yang telah ditetapkan. 276 Berdasarkan ketentuan Pasal 1244, 1245 KUHPerdata, Pasal 1444 serta 1445 KUHPerdata maka dapat diambil kesimpulan bahwa kriteria overmacht meliputi: a. Peristiwa yang tidak terduga; b. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur; c. Tidak ada itikad buruk dari debitur; 276 Pasal 1245 KUHPerdata tidak memberikan pengertian lebih lanjut dari hal-hal yang sebgaimana dimaksud kita melihat pernyataan "keadaan memaksa", yang dikaitkan dengan pernyataan "kejadian yang tidak disengaja", maka jelas rumusan tersebut menunjuk pada suatu keadaan yang merupakan kejadian yang berada di luar kekuasaan manusia, dan bukan hanya berada di luar kekuasaan debitor sendiri. Dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan peristiwa banjir, gempa bumi, tanah longsor, ataupun pernyataan atau keputusan pemerintah dalam suatu bidang tertentu yang berlaku umum, dengan pengertian tidak bersifat individual, yang seharusnya bersifat objektif, yang secara umum dengan terjadinya peristiwa tersebut orang tidak mungkin diharapkan dapat memenuhi kewajibannya.( Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.101).

207 179 d. Keadaan yang tidak disengaja oleh debitur; e. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi; f. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan; g. Keadaan di luar kesalahan debitur; h. Debitur tidak melakukan kelalaian untuk berprestasi (menyerahkan barang); i. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (debitur maupun pihak lain); j. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian. B. Pengaturan Overmacht dalam Bagian Pengaturan tentang Risiko Akibat Overmacht terhadap Kontrak Tertentu. B.1. Kontrak Sepihak. Sebagaimana diketahui bahwa akibat penting dari adanya overmacht adalah siapakah yang harus menanggung risiko dari adanya peristiwa yang merupakan overmacht tersebut. Jika terjadi overmacht atas kontrak sepihak, maka risikonya (sejak perikatan dilahirkan) ditanggung oleh pihak penerima prestasi (kreditur). Kecuali jika pihak debitur lalai dalam memberikan prestasi, di mana sejak kelalaian tersebut menjadi risiko pihak pemberi prestasi (debitur). 277 B.2. Kontrak bernama/ kontrak timbal-balik. Untuk kontrak-kontrak tertentu (kontrak bernama) memang terdapat pasalpasal khusus dalam KUHPerdata yang merupakan pengaturan tentang overmacht, khususnya pengaturan risiko sebagai akibat dari peristiwa overmacht tersebut, antara lain meliputi: 277 Vide Pasal 1237 KUHPerdata.

208 180 (a). Overmacht dalam kontrak jual beli Overmacht untuk kontrak jual beli, khususnya mengenai risiko sebagai akibat dari overmacht tersebut diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata yang menyatakan : "Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya." Dengan demikian, menurut Pasal 1460 KUHPerdata tersebut, maka setelah kontrak jual beli ditandatangani, risiko beralih kepada pihak penjual, walaupun benda tersebut belum diserahkan atau belum masanya diserahkan. Dalam sistem KUHPerdata suatu kontrak hanya bersifat obligatoir saja, artinya setelah kontrak tersebut dilakukan, masih memerlukan tindakan hukum lainnya, yaitu melakukan "penyerahan (levering) setelah kontrak jual beli tersebut dilakukan. Mestinya risiko baru beralih sejak saat seharusnya penyerahan benda tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual beli dilakukan. Karena Pasal 1460 KUH Perdata ini berada di luar sistem dan dirasakan sangat tidak adil bagi pihak penjual, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Surat Edarannya Nomor 3 Tahun 1963 memintakan agar para hakim tidak memberlakukan Pasal 1460 tersebut. Karena itu pula, pengaturan risiko sebagai akibat overmacht dari Pasal 1460 tersebut tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengartikan risiko dalam hukum kontrak secara umum.

209 181 (b). Overmacht dalam kontrak tukar menukar Untuk kontrak tukar menukar, berkenaan dengan risiko sebagai akibat dari peristiwa overmacht diatur dalam Pasal 1545 KUHPerdata, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam suatu kontrak timbal balik (in casu kontrak tukar menukar), maka risiko akibat dari overmacht ditanggung bersama oleh para pihak. Jika ada para pihak telah terlanjur berprestasi dapat memintakan kembali prestasinya tersebut. Jadi kontrak tersebut dianggap gugur. (c). Overmacht dalam kontrak sewa menyewa Pengaturan overmacht untuk kontrak sewa menyewa terdapat dalam Pasal 1553 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka kontrak sewa menyewa tersebut gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, pihak penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah dia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah dia akan meminta pembatalan sewa menyewa. Dalam kedua hal tersebut, dia tidak berhak untuk meminta ganti rugi. Ketentuan risiko dalam kontrak sewa menyewa seperti terlihat dalam Pasal 1553 KUHPertersebut di atas menempatkan kedua belah pihak untuk menanggung risiko dari keadaan overmacht, tanpa adanya hak dari pihak yang merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi. Ini juga merupakan ketentuan yang dapat dijadikan pedoman bagi penafsiran risiko dan overmacht untuk kontrak timbal balik lain selain dari kontrak sewa menyewa tersebut.

210 182 Dari seluruh pasal-pasal dalam KUH Perdata yang mengatur tentang overmacht, dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria dari suatu overmacht adalah sebagai berikut: (1) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut haruslah tidak terduga oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata). (2) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (pihak debitur) tersebut (vide Pasal 1244 KUH Perdata). (3) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut di luar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata). (4) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh debitur (vide Pasal 1553 juncto Pasal 1245 KUH Perdata). (5) Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH Perdata). (6) Jika terjadi overmacht, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata). (7) Jika terjadi overmacht, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi. vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUH Perdata. (8) Risiko (sebagai akibat dari overmacht) beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

211 Kriteria Overmacht Berdasarkan Doktrin dan Yurisprudensi A. Kriteria Overmacht Berdasarkan Doktrin Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian overmacht yaitu suatu keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Berdasarkan pengertian tersebut, Abdulkadir Muhammad mengemukakan ada tiga kriteria dari overmacht, yaitu : 1. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap; 2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara; 3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, baik oleh debitur maupun kreditur. Jadi, bukan karena kesalahan para pihak, khususnya debitur. 278 Bertolak pada kriteria overmacht tersebut, Abdul Kadir Muhammad menyimpulkan ada dua macam keadaan memaksa (overmacht), yaitu sebagai berikut: 1. Overmacht Objektif/Tetap, secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal, konsekuensinya ialah pemulihan kembali dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. 2. Overmacht Subjektif, perikatan tidak berhenti, melainkan hanya pemenuhan prestasinya tertunda, jika kesulitan itu sudah tidak terjadi, maka pemenuhan prestasi diteruskan. 279 Agus Yudha Hernoko juga memberikan pengertian overmacht setelah menyimpulkan empat pasal dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1244,1245,1444, dan 278 Abdul Kadir Muhammad, op.cit, hal Abdul Kadir Muhammad,op.cit hal.32.

212 KUHPerdata. Overmacht adalah peristiwa yang tak terduga yang terjadi di luar kesalahan debitor setelah penutupan kontrak yang menghalangi debitor untuk memenuhi prestasinya, sebelum ia dinyatakan lalai dan karenannya tidak dapat dipersalahkan serta tidak menanggung risiko atas kejadian tersebut. Untuk itu, sebagai sarana bagi debitor melepaskan diri dari gugatan kreditor, dalil overmacht harus memenuhi syarat bahwa: 1. Pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah; 2. Terhalangnya pemenuhan prestasi di luar kesalahan debitor; 3. Peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan merupakan risiko debitor. Lebih lanjut, Yahya Harahap juga memberikan gambaran yang lebih luas dan spesifik tentang kriteria overmacht melalui empat poin, antara lain meliputi: 1. Seseorang disebut berada dalam keadaan overmacht, apabila dalam memenuhi pelaksanaan perjanjian, debitur berada dalam keadaan impossibilitas yang tak dapat diperhitungkan sebelumnya (ontoerenkenbare onmogelijkheid), sehingga dalam keadaan demikian, risiko kerugian tidak patut dibebankan padanya; 2. Kriteria berikutnya yaitu seorang debitur dikatakan berada dalam keadaan overmacht, jika rintangan dan halangan yang membuat dia berada dalam keadaan tidak mungkin memenuhi perjanjian, disebabkan oleh suatu peristiwa/kejadian yang berada diluar kesalahan atau kelalaian debitur. Hal ini sesuai dengan ajaran ketidakmungkinan 280, akan tetapi ketidakmungkinan melaksanakan perjanjian harus diteliti 280 KUHPerdata memberikan batasan / cakupan ketidakmungkinan (impossibilitas) yang dikehendaki oleh undang-undang yaitu berdasarkan ketentuan pasal 1444 ayat 1 KUHPerdata. Ketidakmungkinan dibedakan menjadi ketidakmungkinan yang logis dan tidak logis. Secara sederhana, dapat dirumuskan perbedaan antara ketidakmungkinan yang logis dan tidak logis bahwa ketidakmungkinan yang logis benar-benar secara praktis tak dimungkinkan sehingga tak patut membebani debitur atas kewajiban ganti rugi. Sedangkan pada kemungkinan yang tak logis, praktis masih mungkin untuk dilakukan sehingga debitur harus bertanggungjawab atas kewajiban ganti rugi.

213 185 lebih lanjut, sebab tidak semua overmacht dengan sendirinya menempatkan debitur berada dalam keadaan tidak mungkin, halangan atau rintangan tersebut untuk dapat memenuhi kriteria sebagai overmacht, haruslah rintangan yang langsung terhadap prestasi itu sendiri. 3. Disamping formulasi cakupan intensitas suatu rintangan untuk dapat dipergunakan sebagai kriteria overmacht, dalam menentukan sesuatu peristiwa itu merupakan rintangan yang menghalangi debitur melakukan prestasi haruslah tetap dikaitkan dengan anasir, rintangan harus berada diluar kesalahan debitur, bukan rintangan yang dibuat-buat atau oleh karena kelalaian yang merupakan kejadian yang datang dari tindakan diri pribadi debitur itu sendiri 4. Kriteria selanjutnya, tidak selamanya, rintangan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian merupakan rintangan yang langsung terhadap prestasi, dapat pula rintangan tersebut tentang keadaan diri pribadi kreditur dalam memenuhi pelaksanaan prestasi, misalnya, keadaan yang membahayakan keselamatan jiwa, kesehatan, kemerdekaan dan kehormatan martabat. 281 Bertolak pada paparan diatas, bahwa untuk mengetahui intensitas rintangan/halangan untuk dapat dikatakan telah memenuhi kriteria sebagai overmacht, dengan mencermati, apakah benar-benar secara logika akal sehat, pemenuhan prestasinya tak mungkin lagi untuk dilakukan, dengan menelaah logika ketidakmungkinan itu tidak hanya semata-mata ditinjau dari sudut subjektif si debitur maupun si kreditur. Kelogisan tersebut haruslah juga ditelaah dari segi objektif sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang umum dalam masyarakat. Jadi perisiwa atau kenyataan rintangan itu, kadar intensitasnya ditentukan oleh ukuran objektif yang benar-benar memadai untuk dapat dikatakan menghalangi debitur melakukan prestasi berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman pada umumnya. Selain itu pula, dapat dipahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, rintangan yang dianggap menjadi 281 Yahya Harahap, op.cit, hal

214 186 dasar overmacht haruslah rintangan atau sebab yang berada diluar diri pribadi debitur, dengan demikian keadaan atau sebab yang berada pada diri pribadi debitur tidak dapat dianggap sebagai dasar alasan overmacht. Kriteria dari overmacht itu sendiri, Subekti menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian, bahwa pada awalnya pengertian dari overmacht tersebut dipahami oleh para sarjana sebagai suatu halangan yang muncul dari suatu kejadian kejadian yang hebat dan menimbulkan akibat yang besar dan luas dan permanen, seperti misalnya bencana alam, wabah penyakit, peperangan ataupun kekacauan-kekacauan yang begitu hebatnya sehingga debitur tidak memungkinkan sama sekali untuk memenuhi prestasinya, misalnya karena barang yang menjadi objek perjanjian musnah. Akan tetapi dalam perkembangannya, ternyata pemahaman tersebut lebih pada pengertian overmacht secara umum, karena overmacht termasuk juga pada kejadian-kejadian penghalang yang tidak bersifat mutlak atau bersifat sementara, yang cakupannya menurut William F. Fox meliputi bentuk-bentuk halangan yang timbul dari bencana alam (natural dissasters) hingga pada halangan-halangan yang timbul dari kekacauan politik suatu negara (political discruptions). 282 Oleh Ricardo Simanjuntak dikatakan bahwa yang perlu kiranya mendapat penegasan adalah, halangan-halangan mana saja yang dapat dikualifisir/ dikategorikan sebagai halangan yang masuk pada pengertian overmacht. Kriteria yang termasuk halangan dari overmacht tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 282 Ricardo Simanjuntak, 2011, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan kontrak Bisnis, Kontan Publishing, Jakarta, hal 248.

215 187 1). Tidak dapat diperhitungkan kehadiran dari peristiwa overmacht tersebut ketika kontrak telah di sepakati; 2). Terjadinya bukan merupakan akibat kesalahan ataupun diakibatkan oleh tindakan debitur tersebut; dan 3). Halangan tersebut berada diluar dari kemampuan debitur tersebut untuk mengatasinya. 283 Bila mengikuti ketiga poin yang menjadi ukuran dari kriteria overmacht tersebut, maka pengertian dari halangan dalam melaksanakan prestasi yang masuk dalam kategori overmacht tersebut sebenarnya akan sangat luas sekali, artinya tidak terbatas pada halangan yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa besar yang menimbulkan akibat kerusakan yang massif dan permanen, misalnya seperti gempa bumi, gunung meletus, wabah penyakit, akan tetapi juga pada setiap bentuk halangan selama memenuhi ketiga kriteria utama tersebut. B. Kriteria overmacht berdasarkan yurisprudensi Berdasarkan yurisprudensi dapat disimpulkan mengenai ruang lingkup overmacht meliputi: 1). Putusan MA RI No.Reg.15 K/Sip/1957, tidak sanggup memenuhi tanggungannya karena rintangan yang tidak dapat diatasi, seperti misalnya: Risiko perang (dirampas tentara jepang pada masa perang); Kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan (disambar halilintar sehingga menyebabkan kebakaran). 2). Putusan MA RI No.Reg.24 K/Sip/1958 Peraturan-peraturan Pemerintah; 283 Ibid, hal.249.

216 188 Tidak terlaksananya prestasi akibat kelalaian atau kesalahan debitur; Tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan/alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang terkena force majeure dari sebuah kebijakan untuk memenuhi perjanjian. 3). Putusan MA RI No.Reg.348 K/Sip/1957 dan Putusan MA RI No. Reg. 558 K/ Sip/1971 Risiko tidak terduga sebelumnya; Kejadian atau peristiwa tidak diketahui sebelumnya, Tidak disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pihak-pihak dalam perjanjian. 4). Putusan MA RI No.Reg.1180 K/Sip/1971 Keadaan darurat. 5). Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983 Karena kecelakaan di laut. Tidak terpenuhinya perjanjian karena overmacht dan bukan karena kelalaian ataupun kesalahan debitur. 6). Putusan MA RI No K/Pdt/1984 Act of God; Keputusan atau segala tindakan administrasi dari penguasa yang menentukan atau mengikat;

217 189 Suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihakpihak dalam perjanjian. 7). Putusan No.21/Pailit/2004/PN.Niaga Jkt.Pst Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi Kriteria Overmacht dalam Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak-kontrak lainnya Ruang lingkup overmacht yang diatur dalam peraturan perundangundangan maupun dalam berbagai kontrak tidaklah sama. Makna overmacht telah disesuaikan dengan karakteristik setiap peraturan perundang-undangan atau kontrak. A. Kriteria Overmacht dalam Peraturan perundang-undangan lainnya Kriteria overmacht yang diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan lainnya, diantaranya sebagai berikut: A.1. Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, mengatur kriteria overmacht sebagai berikut: Peperangan; Kerusuhan; Revolusi; Bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, badai, gunung meletus, tanah longsor, wabah penyakit, dan angin topan; Pemogokan; Kebakaran, dan Gangguan industri lainnya Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.78.

218 190 A.2. Peraturan Perbankan, mengatur kriteria overmacht, antara lain sebagai berikut: Kebakaran; Kerusuhan massa; Perang; Sabotase, dan Bencana alam, seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. 285 A.3. Peraturan Lalu Lintas dan Jasa Angkutan mengatur kriteria overmacht antara lain sebagai berikut: Amukan massa, dan Keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh Pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba. A.4. Peraturan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, kriteria overmacht antara lain sebagai berikut: Perang, Kerusuhan sipil, Pemberontakan, Epidemik, Gempa bumi, Banjir, Kebakaran, dan Bencana alam di luar kemampuan manusia. 286 Selain itu, dalam peraturan pertambangan dan mineral dikenal juga istilah "keadaan yang menghalangi", yang terdiri atas: Blokade, Pemogokan, 285 Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit. 286 Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit.

219 191 Perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) atau IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), dan Peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang dilaksanakan. 287 A.5. Ketentuan Jasa Konstruksi, overmacht dibedakan atas: Overmacht bersifat mutlak (absolute), yakni para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya. Overmacht bersifat tidak mutlak (relatif), yaitu bahwa para pihak masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. 288 B. Kriteria overmacht dalam kontrak-kontrak lainnya. meliputi: Kriteria overmacht yang diatur dalam kontrak-kontrak lainnya, antara lain B.1. Kontrak Karya, kriteria overmacht antara lain meliputi: Peperangan; Pemberontakan; Kerusuhan sipil; Blokade; Sabotase; Embargo; Pemogokan dan perselisihan perburuhan lainnya; Keributan; Epidemik; Gempa bumi; Angin ribut, banjir, atau keadaan-keadaan cuaca lainnya yang merugikan; Ledakan; Kebakaran; Petir; 287 Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.89.

220 192 Perintah atau petunjuk (adverse order atau direction) pemerintahan "de jure" ataupun "de facto"atau perangkatnya atau subdivisinya yang merugikan; Takdir Tuhan; Perbuatan musuh masyarakat, dan Kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap kegiatan pengusahaan. 289 B.2. Kontrak Pengeboran di Darat, kriteria overmacht, antara lain meliputi: Kerusuhan buruh secara umum; Huru hara; Perang (apakah perintah tersebut dikeluarkan secara hukum atau tidak), dan Tindakan Tuhan, seperti gempa bumi, angin ribut atau gelombang pasang. 290 B.3. Kontrak Agen Pembayaran Jumlah Bunga dan Pokok Obligasi kepada Pemegang Obligasi oleh PT KSEI melalui Pemegang Rekening untuk dan atas nama Perusahaan Terdaftar, kriteria overmacht, antara lain meliputi: Banjir; Gempa bumi; Gunung meletus; Kebakaran; Perang; Pemogokan; Bencana nuklir atau radio aktif; Huru-hara; Perdagangan efek di bursa efek dihentikan untuk sementara atau dibatasi oleh instansi yang berwenang; Perubahan di bidang politik, pasar modal, ekonomi, dan moneter; Perubahan di bidang terkait dengan usaha Perusahaan Terdaftar, dan Terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat nasional (namun tidak termasuk kejadian yang berkaitan dengan kegagalan sistem KSEI) Rahmat S.S. Soemadipradja, lo.cit. 290 Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.80.

221 193 B.4. Kontrak Sewa-menyewa Kendaraan, kriteria overmacht antara lain meliputi: Gempa bumi; Perang; Angin topan; Huru-hara, dan Moneter. 292 B.5. Kontrak Pemborongan (Kontrak) Pekerjaan Rencana Teknik Akhir (FED) Pembangunan Jalan Tol, ruang lingkup overmacht antara lain: Gempa bumi; Tanah longsor; Banjir; Guntur; Kebakaran; Perang; Huru-hara; Pemogokan; Pemberontakan, dan Epidemi. 293 B.6. Kontrak Kerja Sama Proses Cetak Koran, ruang lingkup overmacht antara lain: Bencana alam; Kebakaran; Wabah; Pemogokan; Banjir; Perang; Epidemik; Blokade; Pengrusakan massa, dan 292 Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit. 293 Rahmat S.S Soemadipradja, op.cit, hal

222 194 Jika ada perubahan izin-izin percetakan dan penerbitan dari Pemerintah yang sah. 294 B.7. Kontrak Kerja Sama Berdasarkan Sistem Kontrak Karya Terkait dengan Eksploitasi Hutan (Logging), ruang lingkup overmacht antara lain: Perang; Pemberontakan; Pemogokan; Kerusuhan; Gempa bumi; Topan; Banjir; Keadaan cuaca buruk; Ledakan kebakaran; Petir; Huru-hara; Blokade; Epidemik, dan Bencana-bencana alam lainnya. 295 B.8. Kontrak Perjanjian Jual-beli (Air Conditioning dan Peralatan Listrik), kriteria overmacht antara lain meliputi: Pemogokan; Embargo; Huru-hara; Peperangan; Kebakaran; Peledakan; Sabotase; Badai; Banjir, dan Gempa bumi. 296 B.9.Kontrak Sewa-menyewa Rumah, kriteria overmacht antara lain meliputi: Bencana alam; Banjir; 294 Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit. 296 Rahmat S.S Soemadipradja, op.cit, hal

223 195 Gempa bumi, atau Keadaan darurat lain yang ditetapkan oleh pemerintah. 297 B.10. Kontrak-kontrak terkait minyak bumi dan gas (oil and gas contract) 1. AIPN Model Production Sharing Contract, kriteria overmacht antara lain meliputi: Fire; Epidemic; Unavoidable accident; Eclared and undeclared war; Strikes; Lockout and other disturbances; Flood; Stroms; Earthquakes; Other natural disturbances; Insurrection, and Riot. 2. AIPN Model International Operating Agreement, kriteria overmacht antara lain sebagai berikut: Strikes, and Lockout and other industrial disturbances even if they were not "beyond the reasonable control" of Party. 3. AIPN Model Contract Gas Sales Agreement, kriteria overmacht, antara lain sebaga berikut: Acts of war (wheather declared or uncleared); Armed conflict; Civil unrest or insurrection; Blockade; Embargo; Riot; Sabotage; Acts of terrorism, or the specific threat of these acts or even or conditions duo to these acts or events; Strikes; Work slow down; Lockout, or other industrial disturbance, orlabor dispute; Epidemic or plague; Fire; Earthquake; Cyclone; 297 Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.82.

224 196 Hurricane; Flood; Drought; Lightning; Strorms; Strorms warning; Navigational and maritime perils; or Other Acts of God. 298 B.11. The Vienna Convention on Contracts for the International Sales of Goods Pengertian force majeure diatur pula dalam Pasal 79 ayat 1 dari The Vienna Convention on Contracts for the International Sales of Goods, yang dikutip sebagai berikut: A party is not liable for a failure to perform any of his obligations if he proves that the failure was due to an impediment beyond his control and he could not reasonably be expected to have taken the impediment into account at the time of the conclusion of the contract of to have avoided or overcome it or its consequences. 299 Terjemahan bebasnya berarti: Satu pihak tidak bertanggung jawab atas kegagalan untuk melaksanakan salah satu kewajibannya jika ia membuktikan bahwa kegagalan itu disebabkan hambatan di luar kendalinya dan dia tidak mungkin bisa diharapkan untuk mempertimbangkan hambatan tersebut pada saat kesimpulan dari kontrak sehingga dapat menghindari atau mengatasi hambatan tersebut atau konsekuensinya. B.12.The Principles of International Commercial Contracts Pengertian bahwa force majeure juga meliputi bentuk halangan halangan yang bersifat sementara juga dengan tegas diatur dan dijelaskan 298 AIPN Model Production Sharing Contract AIPN Model International Operating Agreement, and AIPN Model Contract Gas Sales Agreement dalam Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal Vide Pasal 79 ayat 1 The Vienna Convention on Contracts for the International Sales of Goods dalam Ricardo Simanjuntak, op.cit, hal.246.

225 197 dalam Pasal dari The Principles of International Commercial Contracts yang diterbitkan oleh the International Institute for the Unification of Private Law (Undroit) 1994 diatur tentang ketentuan force majeure, sebagai berikut: (1) Non-performance by a party is excused if that party proves that the non-performance was due to an impediment beyond its control and that it could not reasonably be expected to have taken the impediment into account at the time of the conclusion of the contract or to have avoided or overcome it or its consequences. (2) When the impediment is only temporary, the excuse shall have effect for such period as is reasonable having regard to the effect of the impediment on the performance of the contract. (3) The party who fails to perform must give notice to the other party of the impediment and its effect on its ability to perform. If the notice is not received by the other party within a reasonable time after the party who fails to perform knew or ought to have known of the impediment, it is liable for damages resulting from such nonreceipt. (4) Nothing in this article prevents a party from exercising a right to terminate the contract or to withhold performance or request interest on money due." 300 Terjemahan bebasnya berarti : (1) Wanprestasi oleh satu pihak dimaafkan jika pihak tersebut membuktikan bahwa wanprestasi terjadi karena sebuah hambatan di luar kendalinya dan bahwa hal itu tidak bisa diperkirakan sewajarnya untuk dapat mempertimbangkan hambatan tersebut pada saat berakhirnya kontrak atau untuk dapat menghindari atau mengatasi hambatan itu atau konsekuensinya. (2) Bila hambatan tersebut hanya sementara, pernyataan maaf tersebut akan berlaku untuk periode tertentu secara wajar dengan memperhatikan efek hambatan tersebut terhadap pelaksanaan kontrak. (3) Pihak yang gagal untuk melaksanakan perjanjian harus memberi pemberitahuan kepada pihak lain atas hambatan dan efeknya pada kemampuannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Jika pemberitahuan tidak diterima oleh pihak lain dalam waktu yang sewajarnya setelah pihak yang gagal untuk mengetahui atau seharusnya tahu mengenai hambatan tersebut, adalah bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan dari non-penerimaan seperti itu. 300 Pasal The Principles of International Commercial Contracts dalam Ricardo Simanjuntak, op.cit, hal.249.

226 198 (4) Tidak ada dalam pasal ini yang mencegah satu pihak dari mendapatkan hak untuk mengakhiri kontrak atau untuk menahan kinerja atau meminta bunga atas uang jatuh tempo. " Dari sisi perancangan kontrak, penjabaran Pasal dari The Principles of International Commercial Contracts tersebut sangat penting kiranya diperhatikan bahwa selain dari perancangan terhadap ketentuan force majeure yang bersifat permanen (permanent force majeure) yang mengakibatkan kontrak tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan (frustration) ataupun berakibat kontrak tersebut menjadi berakhir, perlu juga disertakan pengaturan force majeure yang hanya bersifat menunda pelaksanaan prestasi yang bersifat sementara (temporary force majeure) yang memberikan konsekuensi memungkinkannya dilakukannya penyesuaianpenyesuaian (perubahan-perubahan dalam mengatasi akibat dari force majeure sementara tersebut agar aktivitas berkontrak terseb tetap dapat dilanjutkan segera setelah peristiwa force majeure tersebut berakhir. 301 Mengingat bahwa force majeure tersebut dapat hanya bersifat sementara, maka perlu juga diatur tentang kewajiban dari debitur tersebut untuk segera melaporkan kepada kreditur bila peristiwa yang menjadi latar belakang untuk berprestasi tersebut telah berakhir. Ini karena non permanen dari force majeure akan berhubungan dengan penundaan sementara dari pelaksanaan prestasi tersebut. Mengingat pentingnya kewajiban untuk segera melaporkan peristiwa-peristiwa force majeure beserta dengan bukti-bukti pendukungnya, maka kegagalan dalam melakukan pelaporan tersebut pada 301 Ricardo Simanjuntak, loc.cit.

227 199 umumnya disepakati akan memberikan konsekuensi tidak bebasnya debitur dari pertanggungjawaban walaupun peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang dapat dikualifikasikan sebagai force majeure. Bertolak pada paparan diatas, dapat dipahami bahwa sebagai dampak dari perubahan pengertian yang diberikan pada overmacht, peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai penyebab terjadinya overmacht pun terus berkembang. Awalnya, hanya peristiwa-peristiwa yang dikategorikan sebagai bencana yang murni disebabkan oleh alam, seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi. Kemudian, berkembang ke peristiwa-peristiwa yang dikategorikan sebagai bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti kerusuhan, pemberontakan, dan bencana nuklir. Selain kedua penyebab itu, peristiwaperistiwa lain yang disebabkan oleh keadaan darurat, kebijakan pemerintah, dan kondisi teknis yang berada di luar kemampuan para pihak pun akhirnya dimasukkan sebagai peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya overmacht. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai penyebab overmacht tidak hanya disebabkan oleh alam, melainkan berkembang pada peristiwa-peristiwa yang disebabkan oleh tindakan manusia, yang dahulu tidak dapat dikategorikan sebagai peristiwa penyebab terjadinya overmacht, bahkan dalam perkembangan terakhir, tindakan pemerintah, baik melalui peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya atau melalui kebijakan, juga dikategorikan sebagai peristiwa penyebab force majeure.

228 200 Bagan 4.1. Kriteria overmacht Sumber: Rahmat S.S. Soemadipradja yang penulis olah dalam bentuk bagan. Buku III KUHPerdata dan Doktrin 1) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht haruslah "tidak terduga" oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata). 2) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawab kan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (vide Pasal 1244 KUH Perdata). 3) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut di luar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata). 4) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh debitur (vide Pasal 1553 juncto Pasal 1245 KUH Perdata). 5) Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH Perdata). 6) Jika terjadi overmacht, maka kontrak tersebut KRITERIA OVERMACHT Peraturan Perundangundangan dan Kontrak- Yurisprudensi kontrak lainnya 1) Putusan MA RI 1. Force majeure karena No.Reg.15 faktor alam, Termasuk K/Sip/1957, tidak kriteria force majeure sanggup memenuhi ini diantaranya: tanggungannya karena Banjir; rintangan yang tidak Tanah longsor; dapat diatasi, seperti Gempa bumi; misalnya: Badai; - Kehilangan benda Guntur; obyek perjanjian Gunung meletus; yang disebabkan Topan; dari kuasa Tuhan Petir; (disambar halilintar Gelombang pasang; sehingga Bencana alam di luar menyebabkan kebakaran). kemampuan manusia, 2) Putusan MA RI dan No.Reg.24 K/Sip/1958 Bencana alam yang - Peraturan-peraturan dibenarkan oleh Pemerintah; penguasa atau pejabat - Tidak dari instansi terkait di terlaksananya daerah setempat. prestasi bukan 2. Force majeure karena akibat kelalaian kondisi sosial dan atau kesalahan keadaan darurat, yang debitur; ditimbulkan oleh - Tidak ada lagi situasi atau kondisi kemungkinankemungkinan/altern keadaan khusus yang yang tidak wajar, atif lain yang legal bersifat segera dan atau tidak berlangsung dengan melanggar singkat tanpa dapat peraturan bagi diprediksi sebelumnya. pihak yang terkena Termasuk di dalam force majeure dari force majeure tersebut sebuah kebijakan adalah: untuk memenuhi Peperangan; perjanjian. Pemberontakan; 3) Putusan MA RI Operasi militer; No.Reg.348 Sabotase; K/Sip/1957 dan Blokade; Putusan MA RI No. Pemogokan dan Reg. 558 K/ Sip/1971 perselisihan buruh; - Risiko tidak

229 menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata). 7) Jika terjadi overmacht maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi. vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUH Perdata. 8) Risiko (sebagai akibat dari overmacht) beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata). terduga sebelumnya; - Kejadian atau peristiwa tidak diketahui sebelumnya, - Tidak disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pihakpihak dalam perjanjian 4) Putusan MA RI No.Reg.1180 K/Sip/ Keadaan darurat 5) Putusan MA RI No. 409 K/Sip/ Karena kecelakaan di laut Tidak terpenuhinya perjanjian karena overmacht dan bukan karena kelalaian ataupun kesalahan debitur 6) Putusan MA RI No K/Pdt/ Act of God; - Keputusan atau segala tindakan administrasi dari penguasa yang menentukan atau mengikat; - Suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam perjanjian. 7) Putusan No.21/Pailit/ 2004/PN. Niaga Jkt.Pst - Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi 201 Kebakaran; Epidemik; Terorisme; Peledakan; Ledakan; Kerusuhan; Keributan; Pengrusakan massa (amukan massa); Bencana nuklir; Radio aktif; Huru-hara; Wabah; Kerusuhan buruh secara umum; Perbuatan musuh masyarakat; Keadaan-keadaan lain di luar kekuasaan manusia yang langsung mempengaruhi jalannya pekerjaan, serta Keadaan darurat lain yang ditetapkan oleh pemerintah. 3. Force majeure karena keadaan ekonomi (moneter), yaitu force majeure yang disebabkan oleh adanya situasi ekonomi yang berubah, ada kebijakan ekonomi tertentu, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sektor ekonomi. Termasuk di dalam force majeure ini adalah: Terjadi perubahan kondisi perekonomian atau peraturan perundangundangan sedemikian rupa sehingga

230 202 mengakibatkan tidak dapat dipenuhinya prestasi; Timbulnya gejolak moneter yang menyebabkan kenaikan biaya bank; Embargo; Perubahan di bidang politik, pasar modal, ekonomi, dan moneter; perubahan di bidang terkait dengan usaha Perusahaan Terdaftar; terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat nasional. 4. Force majeure karena kebijakan atau peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu force majeure yang disebabkan oleh suatu keadaan di mana terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya kebijakan baru, yang berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung. Termasuk di dalam force majeure ini adalah: Perdagangan efek di bursa efek yang dihentikan sementara oleh instansi yang berwenang; Terjadinya perubahan-perubahan izin percetakan dan penerbitan dari

231 203 instansi; Perintah atau petunjuk (adverse order atau direction) pemerintahan "de jure"atau "de facto"atau perangkatnya atau subdivisinya yang merugikan; Peraturan perundangundangan yang diterbitkan oleh Pemerintah menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang dilaksanakan. 5. Force majeure keadaan teknis yang tidak terduga,yaitu force majeure yang disebabkan oleh peristiwa rusaknya atauberkurangnya fungsi peralatan teknis atau operasional yang berperan penting bagi kelangsungan proses produksi suatu perusahaan, dan hal tersebut tidak dapat diduga akan terjadi sebelumnya. Termasuk di dalam force majeure tersebut, yaitu: Terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat nasional; Keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba; Kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap kegiatan pengusahaan.

232 204 Dari kriteria overmacht tersebut diatas, maka penulis dapat memberikan masukan karena lingkup kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata hanya bersifat terbatas saja maka selain terhadap kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata juga perlu dijadikan acuan terhadap kriteria overmacht dalam yurisprudensi, peraturan perundang-undangan lainnya serta kontrak-kontrak lainnya dapat diterapkan dan/atau berlaku secara mutatis-mutandis terhadap UU Rumah Susun tentunya relevansi kriteria overmacht itu sendiri dengan mencermati substansi objek kebendaan dari HMSRS dan perjanjian rumah susun itu sendiri. Kriteria overmacht itu sendiri jangan digeneralisir untuk semua kriteria overmacht namun diteliti lebih lanjut apa dia tergolong overmacht objektif ataukah subjektif agar penyelesaiannya pun menjadi jelas. Kriteria overmacht tersebut, penulis uraikan dalam bagan berikut ini:

233 203 Bagan 4.2. Kriteria Overmacht terhadap HMSRS Sumber: Rahmat S.S. Soemadipradja dan pemikiran penulis yang penulis olah dalam bentuk bagan. Jenis-jenis Overmacht 1). Overmacht Absolut/ Mutlak/ Obyektif PENERAPAN KRITERIA OVERMACHT TERHADAP HMSRS Buku III KUHPerdata dan Doktrin 1) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah "tidak terduga" oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata) 2) Jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata). 3) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (vide Pasal 1244 KUH Perdata). 4) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut di luar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata). 5) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh debitur (vide Pasal 1553 juncto Pasal 1245 KUH Perdata). Yurisprudensi 1) Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi, yaitu kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan. 2) Tidak terpenuhinya perjanjian bukan karena kelalaian ataupun kesalahan debitur Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak-kontrak lainnya 1) Force majeure karena faktor alam,termasuk kriteria force majeure ini diantaranya: Banjir; Tanah longsor; Gempa bumi; Badai; Guntur; Gunung meletus; Topan; Petir; Gelombang pasang; Bencana alam di luar kemampuan manusia, dan Bencana alam yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.

234 204 2). Overmacht Relatif/ Sementara/ Subyektif/ 1) Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH Perdata). 2) Risiko (sebagai akibat dari force majeure) beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata). 1) Tidak terlaksananya prestasi bukan akibat kelalaian atau kesalahan debitur 2) Tidak ada lagi kemungkinankemungkinan/alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang terkena force majeure dari sebuah kebijakan untuk memenuhi perjanjian. - Force majeure karena kondisi sosial dan keadaan darurat, yaitu force majeure yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat tanpa dapat diprediksi sebelumnya. Termasuk di dalam force majeure tersebut adalah: Kebakaran; Terorisme; Peledakan; Ledakan kebakaran; Bencana nuklir; Radio aktif; Peraturan pemerintah

235 Urgensi Pengaturan overmacht di masa datang Penerapan Asas-asas hukum perjanjian Hukum positif merupakan substansi dari suatu sistem hukum. Menurut Lawrence M.Friedman, sistem hukum mempunyai tiga unsur, yaitu (1). Struktur hukum (2).substansi hukum (3). Budaya hukum. Struktur hukum mengacu pada bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum. Hubungan antar lembaga tinggi negara. Adapun substansi hukumnya merupakan kumpulan nilai, asas, dan norma hukum yang ada. Inilah yang dinamakan law in the books dalam suatu sistem hukum. Tentunya tidak semua aturan hukum itu berjalan berjalan sesuai dengan harapan di lapangan. Ada aturan yang ditaati dan ada yang disimpangi. Semua itu merupakan law in action atau living law. Unsur yang penting dalam mempengaruhi corak hukum yang hidup itu adalah budaya hukum dari masyarakat yang menjadi subjek hukumnya. Urgensi Pengaturan overmacht di masa datang, berkenaan dengan substansi hukum yang perlu diperbaiki agar memberikan keadilan yang berbasis kontrak bagi para pihak, dan hal ini dapat dikaji secara mendalam melalui asasasas perjanjian. Unsur Three Element of Theory dari Lawrence M. Friedmann, dalam membahas substansi pokok dari permasalahan ini tercermin dalam gambaran asas-asas hukum perjanjian. Perjanjian ataupun kontrak secara tegas telah diatur kepastian keberlakuan dan kekuatan daya mengikatnya bagi para pihak yang menyepakatinya (contracting parties) berdasarkan Pasal 1329, Pasal 1320, Pasal 1338, Pasal 1340 dan Pasal 1243 KUHPerdata.

236 208 Para pihak mempunyai kewenangan untuk membentuk hukum dalam bentuk perjanjian yang mengikat dirinya dengan mitra perjanjiannya, yang harus tunduk terhadap hukum yang diberlakukan oleh para pihak maka produk hukum perjanjian ataupun kontrak yang disepakati oleh para pihak tersebut haruslah tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan juga ketertiban umum. Dengan kata lain, bahwa dasar keabsahan berkontrak dalam upaya membangun hukum yang mengikat para pihak tidak hanya didasarkan pada pelaksanaan prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) atau prinsip penghargaan pada kesepakatan (pacta sunt servanda) semata, akan tetapi harus pula didukung oleh ketentuan undang-undang sebagai suatu ketentuan yang tidak dapat bertentangan sehubungan dengann pelaksanaan dari keebbasan berkontrak yang dimiliki oleh para pihak tersebut. Hubungan hukum para pihak telah diwujudkan dalam suatu perikatan hak dan kewajiban yang memberikan konsekuensi adanya pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya dan bagi pihak lain mendapatkannya haknya. Karena jika perikatan hak dan kewajiban dilaksanakan sesuai dengan kesepaktan, akan memberikan keuntungan sehubungan dengan sasaran komersil yang diharapkan oleh masing-masing pihak tersebut. Dengan kata lain, terhadap suatu perikatan ataupun kontrak, memang harus ada ketentuan yang tegas dan jelas untuk membangun kepastian hukum bahwa para pihak yang melakukan perikatan tersebut tunduk untuk melaksanakannya dengan itikad baik. Seperti yang telah dijelaskan diatas, asas kepatian hukum agar para pihak tunduk dan menghargai janji-janji yang telah disepakati bersama berdasar asas

237 209 kebebasan berkontrak telah diimplementasikan dalam asas pacta sunt servanda yang dalam hal ini menundukkan kesepakatan tersebut sebagai suatu hukum yang mengikat para pihak untuk melaksanakannya. Satuan rumah susun dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) meliputi juga hak atas bagian-bersama, benda-bersama, dan tanah-bersama, yang semuanya merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Hak atas bagian-bersama, benda-bersama, dan hak atas tanahbersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama. Dalam Pasal 10 (1) UU RumahSusun menyatakan bahwa : Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (3) dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Salah satu cara pemindahan hak tersebut adalah dengan jual beli yang merupakan salah satu dari bentuk perjanjian/persetujuan. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Adanya kata sepakat, dalam arti bahwaperjanjian tersebut dibuat secara musyawarah oleh kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak.

238 Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian dalam arti bahwa yang membuat perjanjian tersebut sudah dewasa dan tidak dalam sakit ingatan. 3. Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas dalam arti bahwa rumah yang dijadikan obyek sewa-menyewa tersebut harus jelas: lokasi, bentuk, luas dan sebagainya. 4. Perjanjian tersebut harus halal dalam arti bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan kesusilaan. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka pihak-pihak dalam perjanjian jual beli apartemen/rumah susun harus mengacu pada Pasal tersebut. perjanjian Rumah Susun yang diadakan oleh para pihak merupakan juga hukum bagi hubungan konkret yang bersangkutan (Pasal 1338 KUHPerdata), Berkenaan dengan kontrak bisnis Rumah Susun, Perjanjian dasar yang digunakan pada prinsipnya berisi tentang syaratsyarat dan ketentuan penggunaan tanah yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan dan prinsip-prinsip Hukum Tanah Nasiona, sepanjang perjanjian yang diadakan itu tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan UUPA. Adapun tanah kaitannya dengan Rumah Susun menurut kepustakaan asing adalah sebagai bagian dari Rumah Susun yang tergolong real property dalam hukum kebendaan menurut sistem hukum yang berlaku di Negara-negara Anglo-Saxon.

239 211 Perjanjian Perikatan jual beli merupakan perjanjian kesepakatan para pihak mengenai rencana para pihak yang akan melakukan jual beli dan mengatur tentang hak dan kewajiban sehingga bisa memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Jual beli merupakan perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah saat tercapainya kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai unsurunsur pokok yaitu barang dan harga, sekalipun jual beli itu mengenai barang yang tidak bergerak. Perjanjian perikatan jual beli yang dibuat oleh pengembang dengan konsumen harus memenuhi ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata tersebut, sehingga perjanjian itu dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak, hubungan hukum yang timbul diantara mereka adalah hubungan Perdata, yaitu hubungan yang dikuasai oleh hukum perjanjian dimana mereka tunduk pada perjanjian yang mereka buat. Perikatan jual-beli satuan rumah susun dapat terjadi karena adanya peningkatan permintaan konsumen/calon konsumen untuk membeli rumah susun yang belum selesai dibangun oleh pengembang (developer), sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengatur hal tersebut secara khusus dalam Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995 tentang Pedoman Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun ( Kepmenpera ). Akibat hukum dari berlakunya Kepmenpera ini adalah setiap adanya perikatan jual beli satuan rumah susun wajib mengikuti pedoman dalam Kepmenpera tersebut. Hal ini sebagaimana tertulis di ketentuan kedua dalam Kepmenpera. Dengan dikeluarkanya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat tersebut, maka

240 212 dimungkinkan pemasaran/penjualan satuan-satuan rumah susun sebelum rumah susun yang bersangkutan selesai pembangunannya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perikatan jual beli yang dilakukan antara penyelenggara pembangunan rumah susun dengan calon pembeli. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.11/KPTS/1995 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, pengembang dan konsumen masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban menurut hukum bersifat obligatoir dan dalam hukum perdata, khususnya dalam hukum perjanjian dipostulatkan sebagai suatu pemenuhan prestasi yang bersifat timbal-balik yaitu hak bagi seseorang merupakan kewajiban untuk mengakui dan menghormati bagi pihak lain dan kewajiban berkaitan dengan kewenangan (kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan dalam suatu perbuatan hukum). Dengan demikian, hak menunjukkan kualifikasi pasif dari penguasaan benda dan kewajiban merupakan keharusan untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu yang bersifat aktif. 302 Hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi hak juga mengandung unsure kehendak. Hakikat suatu hak adalah kapasitas untuk berperan seperti dalam ajaran hukum murni Hans Kelsen, hak dan kewajiban mengandung makna yang sangat berbeda apabila hak dan kewajiban dipandang sebagai hak dan kewajiban hukum. Apabila seseorang berhak atas suatu barang (jus in rem), maka orang lain menghormati hak itu (jus in personam) sebagai hak yang melekat pada seseorang 302 Aslan Noor, op.cit, hal

241 213 untuk menuntut seseorang yang melanggar hak tersebut. 303 Jadi, dalam hal ini adanya korelasi yang sangat erat antara hak dan kewajiban. Kewajiban merupakan hal yang sangat mutlak dibutuhkan oleh seseorang yang ingin haknya terpenuhi dan seseorang dapat menuntut haknya apabila ia telah menyelesaikan kewajibannya. Hak dan kewajiban para pihak dalam kepemilikan HMSRS dapat diuraikan sebagai berikut: 1). Hak dan kewajiban Pemesan (Calon Konsumen) A. Kewajiban Pemesan Pemesan mempunyai beberapa kewajiban dalam terjadinya perjanjian pengikatan jual beli antara lain yaitu : a. Menyatakan bahwa Pemesan (calon pembeli) telah membaca, memahami dan menerima syarat-syarat dan ketentuan dari surat pesanan dan pengikatan jual beli serta akan tunduk pada anggaran dasar perhimpunan penghuni dan dokumen-dokumen tersebut mengikat pembeli; b. Setiap Pemesan setelah menjadi pembeli satuan rumah susun wajib membayar: 1. Biaya pembayaran akta-akta yang diperlukan; 2. Biaya jasa PPAT untuk pembuatan akta jual beli satuan rumah susun; 3. Biaya untuk memperoleh hak milik atas satuan rumah susun, biaya pendaftaran jual beli atas satuan rumah susun(biaya pengalihan hak milik atas nama) di Kantor Pertanahan setempat; 303 Ibid, hal.70.

242 Setiap Pemesan, setelah menjadi pemilik satuan rumah susun juga wajib membayar biaya pengelolaan (management fee) dan biaya utilitas (utility charge). 5. Setelah akta jual beli ditandatangani tetapi sebelum mendapat Sertifikat HMSRS diterbitkan oleh Badan Pertanahan setempat : a) Jika satuan rumah susun tersebut dialihkan kepada pihak ketiga dikenakan biaya administrasi yang ditetapkan oleh Perusahaan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman yang jumlahnya tidak lebih dari 1% dari harga jual. b) Jika satuan rumah susun tersebut dialihkan kepada pihak anggota keluarga karena sebab apapun juga termasuk karena pewarisan menurut hukum dikenakan biaya administrasi untuk Notaris/PPAT yang besarnya sesuai dengan ketentuan. c) Sebelum lunasnya pembayaran atas harga jual satuan rumah susun yang dibelinya, pemesan tidak dapat mengalihkan atau menjadikan satuan rumah susun tersebut sebagai jaminan utang tanpa persetujuan tertulis dari Perusahaan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman. B. Hak Pemesan ( Calon Konsumen ) a. Calon konsumen berhak memiliki tanah bersama, tanah sesuai dengan daerah perencanaan yang digunakan perhitungan koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien luas bangunan (KLB) seperti yang ada di dalam blok plan.

243 215 b. Calon konsumen berhak memakai benda bersama misalnya: fasilitas olah raga, sarana bermain bagi anakanak, dan lain-lain yang terletak di atas tanah bersama. c. Calon konsumen berhak menggunakan fasilitas yang terdapat di dalam bangunan apartemen (tower) misalnya koridor, lift, tangga, dan lain-lain. d. Calon konsumen berhak menjadi anggota Perhimpunan Penghuni apartemen. Setelah beralih dan menjadi pemilik SRS, hak dan kewajiban pemilik SRS, diantaranya: 2). Hak dan Kewajiban Pemilik Satuan Rumah Susun A. Kewajiban Pemilik Satuan Rumah Susun 1. Adapun kewajiban SRS atau penghuninya berkewajiban membentuk apa yang disebut perhimpunan penghuni. Perhimpunan Penghuni merupakan badan hukum yang bertugas mengurus kepentingan bersama para pemilik SRS dan penghuninya. Perhimpunan penghuni tersebut dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pengelola yang bertugas melaksanakan pemeliharaan dan pengoperasian peralatan yang merupakan milik bersama; 2. Pembiayaan kegiatan perhimpunan penghuni dan badan pengelola ditanggung bersama oleh pemilik SRS dan para penghuni, masingmasing sebesar imbangan menurut nilai perbandingan proporsionalnya;

244 Jika jangka waktu hak atas tanah bersama berakhir, para pemilik SRS berkewajiban untuk bersama-sama mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas bangunan yang bersangkutan. B. Hak Pemilik Satuan Rumah Susun Pemilik Satuan Rumah Susun mempunyai hak untuk: 1. Menghuni satuan rumah susun yang dimilikinya serta menggunakan bagian-bagian bersama, benda-benda bersama dan tanah bersama masing-masing sesuai dengan peruntukannya; 2. Menyewakan satuan rumah susun yang dimilikinya kepada pihak lain yang akan menjadi penghuni, asal tidak melebihi jangka waktu hak atas tanah bersamanya; 3. Menunjuk HMSRS yang dimilikinya sebagai jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan atau Fidusia; 4. HMSRS tersebut dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah; 5. Mengalihkan kepada ahli warisnya, karena HMSRS dapat beralih karena pewarisan. 3). Hak dan Kewajiban Developer A. Kewajiban Developer: 1). Sebelum melakukan pemasaran perdana, Developer wajib melaporkan hal terkait pemasaran perdana kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah tingkat II dengan tembusan kepada Menteri Negara Perumahan

245 217 Rakyat. Laporan terkait dengan pemasaran perdana bahwa pihak developer harus memiliki kelengkapan perizinan, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun. a. Izin Prinsip, yaitu izin yang harus diperoleh oleh setiap orang atau badan hukum yang akan memanfaatkan ruang untuk tempat usaha skala besar; b. Izin Lokasi, dari Kantor Pertanahan Setempat, khusus untuk wilayah DKI Jakarta dikenal sebagai Surat Izin Penunjukkan dan Penggunaan Tanah (SIPPT). Izin ini diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak; c. Izin Mendirikan Bangunan, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pembangunan. Pengembang sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kegiatan pendirian bangunan berkewajiban untuk memperoleh izin pada pemerintah setempat. Lebih dipertegas lagi dalam UU Rumah Susun, laporan tersebut harus dilampiri dengan : (i).salinan surat persetujuan izin prinsip; (ii).salinan surat keputusan pemberian izin lokasi; (iii).bukti pengadaan dan perluasan tanah; (iv).salinan surat mendirikan bangunan; (v). Gambar denah pertelaan yang telah mendapat pengesahan dari pemerintah daerah setempat.

246 218 Jika dalam jangka waktu 30 hari kalender terhitung sejak tanggal yang tercantum dalam tanda terima laporan tersebut belum mendapat jawaban dari Bupati atau Walikota maka penawaran perdana tersebut dapat dilaksanakan. 2). Menyediakan dokumen terkait dengan pembangunan perumahan 304 3). Menyelesaikan pembangunan sesuai dengan standar yang telah diperjanjikan. 4). Memperbaiki kerusakan secara terbatas yang terjadi dalam jangka waktu 100 hari setelah tanggal ditandatanganinya berita acara penyerahan satuan rumah susun dari pengusaha kepada pemesan. 5). Bertanggung jawab terhadap adanya cacat tersembunyi yang dapat diketahui di kemudian hari. 6). Menjadi pengelola sementara rumah susun sebelum terbentuk perhimpunan penghuni dan membantu menunjuk pengelola setelah perhimpunan penghuni terbentuk. 7). Mengasuransikan pembangunan apartemen selama berlangsungnya pembangunan. 304 Dokumen yang dimaksud berkenaan dengan permohonan izin atas rencana fungsi dan pemanfaatan. UU Rumah Susun menegaskan dokumen yang dimaksud, diantaranya: (i) Sertifikat hak atas tanah; (ii). Surat keterangan rencana kabupaten/kota; (iii) Gambar Rencana tapak; (iv).gambar rencana arsitektur yang menunjukkan dengan jelas batas vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun; (v).gambar rencana struktur beserta perhitungannya; (vi).gambar rencana yang menunjukan dengan jelas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama; (vii).gambar rencana jaringan instalasi beserta perlengkapannya. (Vide Pasal 29 ayat 4 UU Rumah Susun)

247 219 8). Jika ada Force Majeur (keadaan memaksa) yang diluar kemampuan para pihak, pengusaha dan pembeli akan mempertimbangkan penyelesaian sebaik-baiknya dengan dasar pertimbangan utama adalah dapat diselesaikannya pembangunan satuan rumah susun. 9). Menyiapkan akta jual beli satuan rumah susun kemudian bersamasama dengan pembeli menandatangani akta jual belinya dihadapan Notaris/PPAT, kemudian Perusahaan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman dan/atau Notaris/PPAT yang ditunjuk akan mengurus agar pembeli dan biayanya ditanggung pembeli. 10). Menyerahkan satuan rumah susun termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial secara sempurna, dan jika Pengusaha belum dapat menyelesaikan pada waktu tersebut diberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka waktu 120 hari kalender terhitung sejak tanggal rencana penyerahan rumah susun tersebut. Jika masih tidak terlaksana sama sekali maka pengikatan jual beli batal demi hukum. Setelah melaksanakan kewajiban, developer berhak untuk: a). Developer dapat memindahkan Hak dan Kewajiban pengikatan jual-beli tersebut kepada pihak lain melalui pemberitahuan tertulis kepada pembeli. b). Developer berhak untuk menempati dan menggunakan sendiri ataupun menyewakan kepada pihak lain bagianbagian rumah susun yang dibangunnya.

248 220 c). Developer berhak untuk memperoleh fasilitas kredit yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan rumah susun yang bersangkutan. d). Sebagai jaminan/agunan kredit pembiayaan pembangunan apartemen yang bersangkutan developer berhak untuk menggunakan tanah beserta bangunan yang masih akan dibangun Penerapan Asas Kepatutan Dalam praktik peradilan, dapat dilihat adanya 3 sumber penyebab terjadinya sengketa di bidang hukum perikatan yaitu sebagai berikut: 1) Masalah keabsahan suatu perikatan (validity of contract) yang mengikat kedua pihak, dapat menjadi sumber sengketa jika perikatan itu didasari unsure (bedreiging), penipuan (bedrog), keterpaksaan dan/atau ancaman keadaan (misbruik van omstandigheden/undue influence); 2) Masalah pemenuhan perikatan (performance of contract) karena salah satu pihak melakuklan wanprestasi atau karena suatu keadaan yang melawan hukum (onrechmatigheid) atau karena suatu keadaan memaksa (overmacht/force majouer); 3) Masalah pelaksanaan perjanjian karena salah satu pihak melakukan perbuatan melawan hukum, ingkar janji ataupun karena keadaan memaksa. 305 (garis bawah oleh penulis) Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yaitu dalam hal sengketa masalah pelaksanaan perjanjian kepemilikan HMSRS karena keadaan memaksa. Hal ini tentunya akan menjadi masalah yang krusial jika terhadap bangunan gedung rumah susun tersebut roboh atau hancur atau terbakar ludes dan tidak dapat dihuni oleh pemilik satuan rumah susun, mengakomodir permasalahan yang muncul akibat overmacht tersebut, diperlukan pengaturan lebih lanjut. Masyarakat tentu saja dapat menerima perkembangan overmacht sesuai dengan proporsinya 305 H.P Panggabean, 2012, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan- Putusan Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal.26

249 221 masing-masing asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan. Dalam hal ini penulis menekankan pada asas kepatutan. Munir Fuady menyatakan bahwa suatu kontrak haruslah sesuai dengan asas "kepatutan" (vide Pasal 1339 KUH Perdata). Untuk ini pemberlakuan asas kepatutan terhadap suatu kontrak mengandung dua fungsi sebagai berikut: (a) (b) Fungsi yang melarang Dalam hal ini, kontrak yang mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan asas kepatutan adalah tidak dapat dibenarkan. Misalnya dilarang membuat suatu kontrak pinjaman uang dengan bunga yang sangat tinggi. Bunga yang sangat tinggi ini bertentangan dengan asas kepatutan (reasonability). Fungsi yang menambah Sebaliknya, suatu kontrak juga dapat ditambah dengan atau dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip kepatutan. Dalam hal ini kedudukan prinsip kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak, di mana tanpa isian tersebut, tujuan dibuatnya kontrak tidak mungkin tercapai. 306 Berkenaan dengan asas kepatutan ini Nieuw Burgerlijk Wetboek(NBW) mengaitkannya dengan asas keadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal yang menyebutkan asas keadilan itu sebagai tuntutan kepatutan dan keadilan (de eisen van redelijkheid en bilijkheid). Terhadap asas tersebut Schut menjelaskan: 1) Bahwa kedua asas tersebut mengandung pengertian yang saling mengisi. Asas kepatutan mengutamakan pikiran yang ditujukan pada pelaksanaan dengan cara yang tepat sedangkan asas keadilan mengutamakan perasaan dan hati, menentukan lebih lanjut isi dari perikatan; 2) Pengertian kepatutan adalah pengertian yuridis yang hasilnya dapat dibahas secara logis. Pengertian keadilan berkaitan dengan tuntutan perasaan keadilan (rechtsgevoel) atau kesadaran hukum (rechtsgeweten) yang hasilnya dirasakan atau dialami sebagai sesuatu yang adil (rechtvaarding) kalau kebenarannya tidak dapat dibuktikan sebagai sesuatu yang bersifat memaksakan. 306 Munir Fuady II, loc.cit.

250 222 3) Keadilan merupakan satu dasar hukum, itikad baik itu meruakan satu norma perangai (bagaimana bersikap ketika melaksanakan kewajibankewajiban tertentu). 307 Berkaitan dengan asas kepatutan, Pitlo mengemukakan bahwa menurut kepatutan (billijkheid), jika debitur tidak lagi berkewajiban, pihak lainnya pun bebas dari kewajibannya. Asas kepatutan berkaitan dengan overmacht terhadap benda yang diperjanjikan di dalam KUH Perdata dituangkan di dalam ketentuanketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Sesuai dengan fungsi menambah pada kontrak, ini patut diterapkan dalam hal terjadinya overmacht pada HMSRS, yakni dengan tujuan untuk mengisi kekosongan berkaitan dengan overmacht dalam perjanjian rumah susun Penerapan Asas Hukum Perlindungan Konsumen dan Asas Kepastian Hukum Konsep atau pandangan hidup masyarakat Indonesia tentang hak asasi manusia, hak milik, perjanjian atau hubungan hukum memberi dampak pada pandangan mereka tentang hak-hak konsumen. Dalam penulisan ini yang akan dibahas lebih lanjut berkenaan dengan hak milik dan perjanjian terhadap HMSRS. Dalam teori hak milik, beberapa ahli hukum memberikan definisi mengenai hak milik. Curzon mendefinisikan hak milik dengan property yakni: The following are examples of many definitions of "property": "The highest right men have to anything"; "a right over a determinate thing either a tract of land or a chattel"; "an exclusive right to control an economic good"; "an aggregate of rights guaranteed and protected by the government"; "everything which is the subject of ownership"; "a social institution whereby people regulate the acquisition and use of the resources of our environment according to a system of rules "; "a 307 Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet.4, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi III), hal.28.

251 223 concept that refers to the rights, obligations, privilages and restrictions that govern the relations of men with respect to things of value". 308 Terjemahan bebasnya berarti: Berikut ini adalah contoh dari banyak definisi "properti": "Hak tertinggi yang dapat dimiliki manusia terhadap apapun"; "suatu hak atas hal tertentu apakah sebidang tanah atau harta"; "hak eksklusif untuk menguasai sebuah barang ekonomi "; "sebuah agregat hak yang dijamin dan dilindungi oleh pemerintah"; "segala sesuatu yang berbentuk kepemilikan"; "lembaga sosial dimana orang mengatur perolehan dan penggunaan sumber daya lingkungan kita sesuai dengan sistem aturan"; "sebuah konsep yang mengacu pada hak, kewajiban, hak istimewa dan pembatasan yang mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bernilai". Berbeda dengan Margaret Jane Radin yang mengemukakan pendapatnya mengenai "Property Theory": Property can mean either object-property, what Radin calls "fungible" property, or it can mean attribute property, what she calls "personal" or "constitutive" property. Fungible property is that type of property which we treat as a commodity, is expressed in terms of market rhetoric. Constitutive property is the type of property we associate with our personhood and is not, or should not be expressed in terms of market rhetoric. 309 Terjemahan bebasnya berarti: Properti bisa berarti obyek-properti, apa yang Radin sebut sebagai properti yang "sepadan", atau bisa berarti properti atribut, apa yang dia sebut properti "pribadi" atau "konstitutif". Properti sepadan adalah bahwa jenis properti yang kita perlakukan sebagai sebuah komoditas, dinyatakan dalam istilah retorika pasar. Properti konstitutif adalah jenis properti yang kita kaitkan dengan kepribadian kita dan tidak, atau tidak harus dinyatakan dalam istilah retorika pasar. Demikian juga dengan David J. Hayton, memberikan pengertian "Real Property" mengenai tanah, yakni: The natural division of physical property is into land (or immovables "as it sometimes called") and other objects known as chattels or "movables". This simple distinction is inadequate. In the first place, 308 Curzon dalam Adrian Sutedi III,ibid, hal Margaret Jane Jadin dalam Adrian Sutedi III, ibid.

252 224 chattles may become attached to land so as to lose their character of chattles and become part of the land itself. Secondly, a sophisticated legal system of property, but also for the ownership of a wide variety. 310 Terjemahan bebasnya berarti: Pembagian alami dari properti fisik adalah menjadi tanah/lahan (atau harta yg tak dapat digerakkan "sebagaimana kadang-kadang disebut") dan benda-benda lainnya yang dikenal sebagai harta benda atau "bendabenda bergerak". Perbedaan sederhana ini tidak cukup memadai. Pertama, harta dapat menjadi melekat pada tanah sehingga kehilangan karakter harta bergeraknya dan menjadi bagian dari tanah itu sendiri. Kedua, sistem hukum properti yang canggih, tetapi juga untuk kepemilikan sebuah variasi yang luas. Hak milik 311 dalam pemikiran filosofi teori tentang hak, terbentuk tiga pengertian, yaitu: 1. Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum (pandangan kelompok "Teori kepentingan, dipelopori oleh Rudolf Von Jhering); 2. Hak adalah kehendak bebas individu untuk menggunakan atau tidak haknya. Artinya pemegang hak dapat berbuat apa saja atas haknya, sehingga menurut teori kehendak, bahwa "diskresi" (wewenang bebas) individu sebagi ciri essensial dari konsep hak. (pandangan kelompok "Teori Kehendak", dipelopori oleh H.L.H. Hart). 3. Hak adalah fungsi sosial dalam arti bahwa kekuasaan yang dimiliki seseorang dibatasi oleh kepentingan masyarkat. Dipelopori oleh Leon Duguit. 312 Secara definitif kepemilikan Rumah Susun memiliki beberapa pengertian yaitu: (1). Hak memiliki sesuatu (2). Segala sesuatu yang bisa dimiliki (3). Tanah dan Bangunan. Bisnis Rumah Susun merujuk pada pengertian yang ketiga tersebut atau sering disebut dengan Real Rumah Susun. Di dalam literatur dianalisis pula dasar pembenar filosofis adanya hak bersama (kolektif) dan hak pemilikan sendiri (individu). Hukum Inggris yang merupakan keluarga hukum Anglosaxon, berdasarkan prinsip common law, 310 David J.Hayton dalam Adrian Sutedi III, ibid, hal Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal Peter Mahmud Marzuki I, op.cit, hal.175.

253 225 menengal pemilikan sendiri biasanya atas sebuah benda dimilik oleh seseorang dalam waktu tertentu. Pemilikan bersama (partner, bila suatu benda di bawah pemilikan dua orang atau lebih secara bersama-sama). Roscoe Pound memberikan dasar filosofi terhadap hak milik pribadi (privat) melalui analisisnya alas pemikiran teoritis dari 6 aliran, yaitu: Teori Hukum Alam (Natural Law Theories), Teori Metafisik (Metaphysical Theories), Teori Sejarah (Historical Theories), Teori Positif (Positive Theories), Teori Psikologis (Psychological Theories), Teori Sosiologis (Sociological Theories). Teori hak milik pribadi tersebut, diterapkan pula dalam kepemilikan HMSRS, yakni terhadap:teori Hukum Alam (Natural Law Theories) yaitu berdasar atas suatu persetujuan, perjanjian timbal-balik lahirlah penguasaan individu dan berdasarkan sifat kebendaan, Teori Metafisik (Metaphysical Theories), hak milik adalah hak mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Dalam hal ini, tidak ada satu benda pun menjadi kepunyaannya tanpa suatu perbuatan yuridis. Jadi dalam hal ini ditekankan pada unsur pendakuan dan perjanjian, Teori Positif (Positive Theories),penemuan hukum dalam masyarakat primitif akan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban.teori Psikologis (Psychological Theories) yang mendasarkan pada insting manusia untuk menguasai benda-benda dalam alam milik pribadi.teori Sosiologis (Sociological Theories)yang mendasarkan pada pendapat mengenai adanya interaksi dari kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Dari tiga teori Sosiologis (Teori Sosiologis Psychologis, Teori Sosiologis Positif, Teori Sosiologis Utilitis), yang relevan terhadap kepemilikan HMSRS yaitu: Teori Sosiologis Psychologis yang mencari dasar milik didalam suatu insting kehendak untuk memperoleh harta benda dan Teori Sosiologis Utilitis yang menjelaskan

254 dan membenarkan milik sebagai suatu lembaga yang menjamin tercapainya kepentingan dan sebagai usaha untuk pembangunan masyarakat Penerapan teori tersebut sangat penting untuk memperoleh kepastian hukum akan kepemilikan hak atas satuan rumah susun. Hal ini tentunya perlu ditinjau dalam tahap apa rumah susun tersebut dilakukan, berikut tahapan-tahapan yang akan dikaji lebih lanjut: 1. Dalam tahap pembangunan, apabila dibangun sendiri oleh pengembang, baik dalam tahap pembangunan (proyeknya) sampai selesainya bangunan rumah susun tersebut adalah milik pengembang (developer) yang membangun sesuai dengan penerapan asas pemisahan horizontal menurut Hukum Adat. 2. Apabila pembangunan rumah susun dengan sistem turn key project, bangunan rumah susun adalah milik kontraktor yang membangun karena ia yang membiayai seluruh proses pembangunannya. Apabila pemilikan proyek telah membayar lunas tagihan biaya seluruh biaya pembangunannya barulah dia menjadi pemilik rumah susun tersebut 3. Dalam tahap pemasaran satuan-satuan rumah susun yang rumah susunnya telah selesai dibangun, pemiliknya adalah pengembang. Demikian pula setelah satuan-satuannya dipisahkan berdasarkan akta pemisahan pada saat didaftarkan di Kantor Pertanahan dalam rangka pembuatan Buku Tanah dan Sertipikat HMSRS. Setelah dilaksanakan pemindahan hak atau jual beli HMSRS dihadapan PPAT yang berwenang dan didaftarkan barulah menjadi milik pembeli sebagai pemegang HMSRS 4. Setelah terjual seluruh satuan-satuannya, rumah susun tersebut menjadi milik bersama para pemegang HMSRS dan dikelola sehari-hari oleh Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) khususnya untuk yang dimiliki bersama (bagian bersama, benda bersama dan tanah hak bersama). 314 Tahapan-tahapan sebagaimana diuraikan diatas, berkaitan dengan tahapan transaksi konsumen (consumner transaction). Transaksi konsumen adalah peralihan barang/jasa termasuk didalamnya peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. Transaksi konsumen merupakan suatu perikatan yang terutama 313 Roescou Pound dalam Aslan Noor, loc.cit 314 Otom Mustomi dan Mimin Mintarsih, op.cit, hal.69.

255 227 berkaitan dengan perikatan keperdataan, dalam perspektif hukum perdata, perikatan transaksi konsumen tersebut, tidak serta merta terjadi begitu saja. Perikatan konsumen merupakan pelaksanaan dari perikatan sebelumnya yang disebut pratransaksi konsumen. Setelah transaksi konsumen dilaksanakan, masih ada perikatan lain yang harus dipenuhi kedua belah pihak yang disebut dengan pasca transaksi konsumen Pada tahapan pratransaksi konsumen ditandai oleh penawaran dari penjual kepada calon pembelinya. Pada saat ini, penawaran lazimnya dilakukan melalui media massa yang dikemas secara menarik melalui iklan. proses untuk menghasilkan iklan itu disebut dengan periklanan yang melibatkan tiga pelaku dalam pengiklanan yaitu pengiklan, perusahaan periklanan, dan media massa. Tahapan berikutnya aadalah pelaksanaan dari transaksi konsumen itu sendiri. Isu yang banyak dipermasalahkan pada tahapan ini adalah eksistensi dari perjanjian standar atau perjanjian baku. Menjadi pertanyaan, apakah dalam perjanjian baku tersebut terdapat adanya kebebasan berkontrak. Hal ini terjadi oleh karena perjanjian standar itu, ditentukan secara sepihak oleh produsen/ penyalur produksi (penjual), sedangkan konsumen tinggal memutuskan apakah menerima (take it) atau menolaknya (leave it). Konsumen tidak mempunyai pilihan lain selain menerima perjanjian. Tahapan ketiga dari proses transaksi konsumen adalah perikatan setelah peralihan barang/jasa yang pokok dilakukan. Sering terjadi untuk pembelian barang-barang tertentu, produsen memberikan garansi dalam jangka waktu terbatas. Selama jangka waktu itu, setiap keluhan kosumen atas barang tersebut, sepanjang tidak disebabkan oleh kesalahan pemakaian dapat

256 228 diajukan kepada produsen. Inilah yang disebut dengan layanan purnajual (after sales service). Perlindungan konsumen pernah secara prinsipiil menganut asas the privity of contract, dalam artian bahwa pelaku usaha hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya sepanjang ada hubungan kontraktual antara dirinya dan konsumen. Oleh karena itu, tidak mengeherankan bila ada pandangan hukum perlindungan konsumen berkorelasi erat dengan hukum perikatan khusunya perikatan perdata. Secara umum tradisi caveat emptor dalam hukum perlindungan konsumen belum dapat ditinggalkan sepenuhnya. Kesadaran produsen untuk bertanggungjawab atas produk atau jasa yang diberikan kepada masyarakat masih kurang, dan masyarakat masih segan memperjuangkan hakhaknya. Ketidakberdayaan konsumen ini terlihat dengan munculnya berbagai format-format perjanjian yang dibakukan (standardized contract). Kepastian hak masing-masing pemilik Satuan Rumah Susun ditentukan didalam Pertelaan. Pertelaan berarti suatu penjelasan mengenai batas-batas yang jelas dari setiap Satuan Rumah Susun yang merupakan bagian tertentu dari rumah susun, baik batas-batas horizontal maupun vertikal, termasuk Bagian Bersama, Benda Bersama dan Tanah Bersama beserta uraian Nilai Perbandingan Proporsionalnya yang dibuat dan disusun oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun sesuai dengan ketentuan rumah susun. Besarnya hak masing-masing pemilik Satuan Rumah Susun tertera dalam gambar denah dan ukuran luas Satuan Rumah Susun dalam scrtipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, sedangkan seberapa besar

257 229 hak masing-masing atas Bagian Bersama, Benda Bersama dan Tanah Bersama diukur dari Nilai Perbandingan Proporsional. Berdasarkan pemikiran penulis, bentuk pertelaan dan PPJB dalam perjanjian rumah susun dapat dikategorikan berbentuk baku. Karena pada saat pembuatan dan pengesahan pertelaan tidak mengikutsertakan pihak konsumen, dalam ha ini konsumen hanya menandatangani dan setuju atas perjanjian tersebut tanpa mengetahui secara rinci data fisik yang tercantum dalam pertelaan, baik itu Data Rinci berkaitan dengan telah terlaksananya persyaratan Teknis dan Administratif dalam pembangunan Rumah Susun, data mengenai bagian bersama dan benda bersama dalam satuan rumah susun tersebut maupun penghitungan imbangan NPP, sehingga kedudukan konsumen lemah dan kurang menjamin kepastian hukum dalam kepemilikan HMSRS. Asas kepastian hukum ini tercermin dalam Pasal 1338 KUHPedata, kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yakni sebagai undang-undang bagi para pihak dan juga dijadikan landasan/tujuan dari penyelenggaraan rumah susun yang dinyatakan dalam UURS Pasal 3 huruf (h) yakni memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, penghunian, pengelolaan dan kepemilikan rumah susun. Untuk menjamin kepastian hukum, Sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan diatas, maka beberapa aspek yang terkait dengan Perjanjian Rumah Susun, dan sebaiknya dicantumkan dalam klausul pada perjanjian tersebut secara

258 230 jelas, lengkap dan rinci agar tidak menimbulkan suatu penafsiran, aspek tersebut diantaranya: Aspek Manajemen dan Manajemen Risiko Manajemen proyek dan konstruksi merupakan sistem yang melibatkan rangkaian pengelolaan pembangunan rumah susun secara menyeluruh sejak pertama ingin membangun.berbagai elemen yang terkait dengan hal tersebut, diantaranya melalui perencanaan, uji coba, studi kelayakan dan dampak lingkungan. Elemen-elemen tersebut secara rinci diuraikan dalam perencanaan pembangunan, syarat teknis dan syarat ekologis dalam pembangunan rumah susun, berikut uraiannya: 1. Perencanaan Pembangunan Rumah Susun. Perencanaan pembangunan rumah susun diatur dalam Pasal 13 UU Rumah Susun, yaitu meliputi: a. Penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah susun; b. Penetapan zonasi pembangunan rumah susun; dan c. Penetapan lokasi pembangunan rumah susun. A. Penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah susun, diatur dalam Pasal 13 ayat 2 UU Rumah Susun bahwa penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah susun dilakukan berdasarkan kelompok sasaran, pelaku, dan sumber daya pembangunan yang meliputi rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah susun negara, dan rumah susun komersial.

259 231 B. Penetapan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun Berkenaan dengan penetapan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun harus dilakukan sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan dalam memilih lokasi untuk pembangunan rumah susun, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: Lokasi rumah susun harus sesuai dengan peruntukan dan keserasian lingkungan dengan memperhatikan rencana tata ruang dan tata guna tanah. Lokasi harus memungkinkan berfungsinya dengan baik saluransaluran pembuangan dalam lingkungan ke sistem jaringan pembuangan air hujan dan jaringan air limbah kota. Lokasi rumah susun harus mudah dicapai angkutan yang diperlukan baik langsung maupun tidak langsung pada waktu pembangunan, penghunian dan perkembangan dimasa mendatang. Lokasi rumah susun harus dijangkau oleh pelayanan jaringan air bersih dan listrik. Apabila lokasi rumah susun belum dapat dijangkau oleh pelayanan air bersih maupun listrik, maka penyelenggara pembangunan wajib menyediakan secara tersendiri sarana tersebut Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun Persyaratan teknis pembangunan rumah susun, diuraikan dalam Pasal 35 UU Rumah Susun, antara lain meliputi: a. Tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi 316 serta intensitas dan arsitektur bangunan 317 ; dan 315 Vide Pasal 12 ayat 2 UU Rumah Susun jo Pasal 22 PP Rumah Susun 316 Peruntukan lokasi merupakan ketentuan tentang jenis fungsi atau kombinasi fungsi bangunan rumah susun yang boleh dibangun pada lokasi atau kawasan tertentu. (Vide Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Rumah Susun). 317 Intensitas bangunan merupakan ketentuan teknis tentang kepadatan dan ketinggian bangunan rumah susun yang dipersyaratkan pada lokasi atau kawasan tertentu yang meliputi koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan jumlah lantai bangunan (ibid).

260 232 b. Keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan 318, persyaratan kesehatan 319, kenyamanan 320, dan persyaratan kemudahan 321. Persyaratan sebagaimana diuraikan diatas, diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya yaitu dalam PP Rumah Susun. Berkenaan dengan persyaratan tata bangunan yang meliputi intensitas dan arsitektur bangunan serta persyaratan keandalan bangunan yang meliputi persyaratan kesehatan dan persyaratan keamanan, diatur dalam ketentuan Pasal PP Rumah Susun, diantaranya sebagai berikut: A.1. Persyaratan teknis untuk ruangan dan persyaratan kesehatan diatur dalam Pasal 11 PP Rumah Susun Dalam hal ini semua ruangan yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari, harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan udara luar dan pencahayaan dalam jumlah yang cukup. Apabila tidak mencukupi, maka harus diusahakan adanya pertukaran udara dan pencahayaan buatan yang bekerja terus menerus selama ruangan tersebut digunakan. 318 Persyaratan keselamatan merupakan kemampuan bangunan rumah susun untuk mendukung beban muatan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir. (Vide penjelasan Pasal 35 huruf b UU Rumah Susun). 319 Persyaratan kesehatan meliputi sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan (ibid). 320 Persyaratan kenyamanan meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antarruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta terhadap pengaruh tingkat getaran dan tingkat kebisingan.(ibid) 321 Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan rumah susun serta sarana dan prasarana dalam pemanfaatan bangunan rumah susun (ibid).

261 233 Berkenaan dengan persyaratan teknis yang harus dipenuhi untuk satuansatuan rumah susun, meliputi: a. Satuan rumah susun harus mempunyai ukuran standar yang dapat dipertanggung jawabkan dan memenuhi persyaratan sehubungan dengan fungsi dan penggunaannya. Serta harus diatur dan dikoordinasikan untuk dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat menunjang kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, baik untuk hubungan keluar maupun kedalam. b. Satuan rumah susun dapat berada pada permukaan tanah, diatas atau dibawah permukaan tanah, atau sebagian dibawah dan sebagian diatas permukaan tanah merupakan dimensi dan volume ruang tertentu sesuai dengan yang telah direncanakan. c. Bagian bersama dan benda bersama Bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tunggu, lift atau selasar, harus mempunyai ukuran yang memenuhi persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan, dengan memperhatikan keserasian, keseimbangan dan keterpaduan, sehingga dapat memberikan kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari baik sesama penghuni maupun dengan pihak-pihak lain. Untuk benda-benda milik bersama harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas yang memenuhi persyaratan, diatur dan dikoordinasikan, sehingga dapat memberikan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan dan kenikmatan bagi para penghuni maupun pihak-pihak lain. 322 Selanjutnya, berkenaan dengan kepadatan (intentitas) dan tata letak bangunan diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal PP Rumah Susun. Kepadatan bangunan dalam lingkungan harus dapat mencapai optimasi daya guna dan hasil guna tanah, dengan memperhatikan keserasian dan keselamatan lingkungan sekitarnya dan untuk tata letak bangunan harus menunjang kelancaran kegiatan sehari-hari serta memperhatikan penetapan batas pemilikan tanah bersama, segi-segi kesehatan, pencahayaan, pertukaran udara serta pencegahan 322 Vide Pasal PP Rumah Susun.

262 234 dan pengamanan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan penghuni, bangunan dan lingkungannya. 323 A.2. Persyaratan Arsitektur bangunan dan persyaratan keselamatan yaitu berkenaan dengan struktur, komponen dan bahan-bahan bangunan. Dalam hal ini harus memenuhi persyaratan konstruksi dan standar yang berlaku serta harus memperhitungkan kuat dan tahan terhadap : Beban mati; Beban bergerak; Gempa, hujan, angin dan banjir; Kebakaran dalam jangka waktu yang diperhitungkan cukup untuk usaha pengamanan dan penyelamatan; Daya dukung tanah; Kemungkinan adanya beban tambahan, baik dari arah vertikal maupun horizontal; Gangguan perusak lainnya; Jaringan air bersih yang memenuhi persyaratan mengenai perpipaan dan perlengkapannya termasuk meter air, pengatur tekanan air dan tangki air bersih di dalam rumah susun, baik untuk hunian maupun bukan hunian, harus aman dan kuat terhadap kemungkinan gangguan benturan dan pada bagian-bagian tertentu dan harus terlindung; Jaringan listrik yang memenuhi persyaratan mengenai kabel dan perlengkapannya, termasuk meter listrik dan pembatas arus serta pengamanan terhadap kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan; Jaringan gas yang memenuhi persyaratan beserta perlengkapannya termasuk meter gas, pengatur arus serta pengamanan terhadap kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan. Penyediaan jaringan gas ini hanya dikhususkan bagi rumah susun untuk hunian; Saluran pembuangan air hanya yang memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas pemasangan; Saluran dan/atau tempat pembuangan sampah yang memenuhi persyaratan terhadap kebersihan, kesehatan dan kemudahan; Tempat untuk kemungkinan pemasangan jaringan telepon dan alat komunikasi lainnya; 323 Dalam mengatur kepadatan (intensitas) bangunan diperlukan perbandingan yang tepat meliputi: (a). Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah perbandingan antara luas bangunan dengan luas lahan/persil, tidak melebihi dari 0,4; (b). Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah perbandingan antara luas lantai bangunan dengan luas tanah tidak kurang dari 1,5 dan (c). Koefisien Bagian Bersama (KB) adalah perbandingan bagian bersama dengan luas bangunan, tidak kurang dari 0,2. (Adrian Sutedi I, op.cit, hal.181).

263 235 Alat transportasi yang berupa tangga, lift atau ekskalator sesuai dengan tingkat keperluan dan persyaratan yang berlaku; Pintu dan tangga darurat kebakaran. Pintu rumah susun harus tahan terhadap api sampai jangka waktu tertentu untuk memungkinkan usaha penyelamatan sesuai dengan peruntukannya terutama untuk hunian, pertokoan, industri dan sebagainya; Alat pemadam kebakaran. Di dalam upaya menanggulangi pencegahan kebakaran, untuk rumah susun yang berkualitas menengah keatas diwajibkan untuk memasang alat pencegah kebakaran tingkat awal (sprinklers). Dan untuk semua rumah susun masing-masing harus disediakan alat pemadam kebakaran atau hydrant. Penangkal petir. Alat/sistem alarm Untuk semua rumah susun harus disediakan alat/sistem alarm dengan cara manual atau otomatis. Sedangkan untuk rumah susun yang bukan hunian dapat diperlengkapi dengan sistem panggilan dan pembukaan pintu dan peralatan-peralatan lainnya. Pintu kedap asap pada jarak jauh tertentu. Generator listrik untuk rumah susun yang menggunakan lift. Bagian-bagian dari kelengkapan rumah susun yang merupakan hak bersama harus ditempatkan dan dilindungi untuk menjamin fungsinya sebagai bagian bersama. 324 B. Berkenaan dengan persyaratan kemudahan diatur lebih lanjut dalam Pasal PP Rumah Susun, meliputi kemudahan dalam perolehan dan pemanfaatan Prasarana dan Fasilitas Lingkungan. B.1.Prasarana lingkungan Lingkungan rumah susun harus dilengkapi dengan prasarana sebagai berikut: Prasarana lingkungan yang berfungsi sebagai penghubung untuk keperluan kegiatan sehari-hari bagi penghuni seperti jalan setapak, jalan kendaraan dan tempat parkir; Prasarana lingkungan dan utilitas umum seperti : Jaringan distribusi air bersih, gas, dan listrik dengan segala kelengkapannya seperti tangki air, pompa air, tangki gas dan gardugardu listrik. Saluran pembuangan air hujan yang menghubungkan air hujan dari rumah susun ke sistem jaringan pembuangan air kota. Saluran pembuangan air limbah dan/atau septik yang menghubungkan pembuangan air limbah dari rumah susun ke sistem jaringan air limbah kota. 324 Vide Pasal PP Rumah Susun.

264 236 Tempat pembuangan sampah yang fungsinya adalah sebagai tempat pengumpul sampah dari rumah susun untuk selanjutnya dibuang ke tempat pembuangan sampah kota, dengan mempertimbangkan faktor kemudahan pengangkutan, kesehatan, kebersihan dan keindahan. Kran-kran air untuk mencegah dan pengamanan terhadap bahaya kebakaran yang dapat menjangkau semua tempat dalam lingkungan dengan kapasitas air yang cukup untuk pemadam kebakaran. Tempat parkir kendaraan dan/atau penyimpanan barang. Jaringan telepon dan alat komunikasi sesuai dengan keperluan. 325 B.2. Fasilitas lingkungan (Pasal PP Rumah Susun) Berkenaan dengan Fasilitas Lingkungan dalam rumah susun dan lingkungannya harus disediakan : Ruangan atau bangunan untuk tempat berkumpul, melakukan kegiatan masyarakat, tempat bermain anak-anak dan kontak sosial lainnya. Ruangan atau bangunan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk kesehatan, pendidikan, peribadatan dan lain-lainnya. 3. Persyaratan Ekologis Pembangunan Rumah Susun. Persyaratan Ekologis pembangunan rumah susun berkenaan dengan dampak lingkungan dapat dicermati dalam persyaratan Ekologis pembangunan rumah susun diatur dalam ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 UU Rumah Susun. Rangkaian pengelolaan bangunan secara menyeluruh, sebagaimana telah diuraikan diatas, sepatutnya dibasiskan pada pencegahan risiko, dalam hal ini risiko kebakaran maupun pencegahan terhadap risiko bencana. Sehingga ketika aspek pencegahan ini dipikirkan dan diperhitungkan secara seksama, proses perancangan aspek penanggulangan tersebut selalu menjadi prioritas. 325 Vide Pasal 26 PP Rumah Susun

265 237 BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Dari apa yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu maka penulis dapat memberikan simpulan bahwa: 1. Akibat hukum Klausul Pertelaan dalam hal terjadinya overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu: a. Terhadap Overmacht Absolut: Perjanjian dinyatakan Batal demi Hukum dari semula dianggap tidak pernah ada perikatan, sehingga mengakibatkan debitur tidak perlu membayar ganti rugi, asalkan para pihak dapat membuktikan bahwa keadaan yang menyebabkan overmacht tersebut adalah keadaan di luar kekuasaan pihak yaitu kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan. b. Terhadap Overmacht Relatif Tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan tersebut hapus, melainkan hanya menunda pelaksanaan pemenuhan prestasi dan bila keadaan overmacht tersebut telah hilang maka kreditur dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi, asalkan para pihak dapat membuktikan bahwa pihak lainnya lalai dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. 2. Berdasarkan kriteria-kriteria overmacht dalam Buku III KUHPerdata yang hanya bersifat terbatas saja maka selain terhadap kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata, kriteria Overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun juga dapat diterapkan/berlaku secara mutatis-mutandis terhadap kriteria overmacht dalam Yurisprudensi, Peraturan perundangundangan lainnya serta Kontrak-kontrak lainnya, dengan mencermati

266 238 substansi objek kebendaan HMSRS dan relevansinya terhadap perjanjian rumah susun Saran-Saran Berdasarkan pada permasalahan yang sedang dikaji maka penulis dapat mengemukakan saran-saran berupa: 1. Pada prinsipnya, Pertelaan dan Akta Pemisahan dibuat oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun (Pengembang/Developer), namun demikian agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari, disarankan kepada Kantor Pertanahan terlebih dahulu melakukan pengecekan secara uji petik terhadap beberapa unit Satuan Rumah Susun untuk mendapatkan luas lot dan selanjutnya diadakan kesesuaian antara data-data mengenai bagian bersama, benda bersama sehingga luas unit satuan rumah susun yang tercantum dalam draft pertelaan dan akta pemisahan sebanding dengan kondisi fisik di lapangan dalam rangka memperoleh besaran imbangan NPP, sehingga adanya transparansi dalam menetapkan Rincian Pertelaan. Setelah mendapat kesesuaian data rincian pertelaan, disarankan pula kepada Kantor Pertanahan agar memberikan arahan draft pertelaan dan akta pemisahan, sehingga tidak adanya penetapan bentuk draft pertelaan dan akta pemisahan secara sepihak oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun (Pengembang/Developer) sekaligus mencegah itikad buruk dari Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun (Pengembang/Developer). 2. Kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebelum menetapkan SK Pengesahan Pertelaan sepatutnya melakukan telaah secara seksama dan cermat terhadap rincian pertelaan, lampiran persyaratan administratif dan teknis dalam pembangunan rumah susun serta akta pemisahan dan ada baiknya juga selain diadakan Rapat Koordinasi terhadap instansi

267 239 berwenang, Pemerintahan Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dalam melakukan pengesahan Pertelaan juga mengadakan Rapat dengan Pihak Pengembang dan Pemilik Unit Satuan Rumah Susun agar tercipta transparansi didalam proses Pengesahan Pertelaan. 3. Kepada Instansi berwenang dan pejabat berwenang sebelum mengeluarkan Izin terkait, sebaiknya melakukan pengecekan secara cermat terhadap uji kelayakan bangunan, kesesuaian konstruksi bangunan meliputi Rancang Bangun, Arsitektur Bangunan, Intensitas Bangunan terhadap kesesuaian perbandingan dengan Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Lantai Bangunan dan Koefisien Benda Bersama agar tahan terhadap risiko bencana. 4. Untuk mendukung bisnis properti dalam hal ini Kepemilikan Satuan Rumah Susun serta dalam hubungannya dengan perlindungan pemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, disarankan kepada pembuat kebijakan perihal pengaturan konsepsi Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebaiknya dipisahkan dari Undang-undang Rumah Susun dan dibuatkan Undangundang tersendiri yaitu Undang-undang Pertelaan yang khusus mengatur mengenai Hak Milik atas Satuan Rumah Susun 5. Disarankan pula dalam pembentukan Undang-undang Pertelaan dicantumkan pengaturan mengenai overmacht, meskipun memang dicantumkan atau tidaknya overmacht dalam perjanjian tergantung atas kesepakatan para pihak namun untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan demi terwujudnya keadilan berbasis kontrak, sepatutnya overmacht diatur dalam bentuk Undang-undang.

268 240 DAFTAR PUSTAKA I. BUKU-BUKU Ali, Zainuddin Filsafat Hukum, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta Alif, M. Rizal Analisis Kepemilikan Hak atas Tanah Satuan Rumah Susun didalam Kerangka Hukum Benda, Nuansa Aulia, Bandung Amiruddin dan Zainal Asikin Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta Apeldoorn, L.J.Van. Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sadino, Oetarid Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 31, Pradnya Paramita, Jakarta Atmadja, Dewa Gede. Filsafat Hukum: Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang Badrulzaman, Mariam Darus,et.al Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung Badrulzaman, Mariam Darus Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Cet.3, Alumni, Bandung Bertens, K Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Bisri, Ilhami Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta Budiono, Abdul Rachmad Pengantar Ilmu Hukum, Cet.I, Banyumedia, Malang Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung Chand, Hari, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Malaysia Chappelle, Diane Land Law, Sixth Edition, Pearson, England Darmodiharjo, Darji dan Shidarta Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

269 241 Dirdjosisworo, Soedjono Grafindo Persada, Jakarta Pengantar Ilmu Hukum, Ed.1, Cet.13, Raja Djamali, R.Abdoel Pengantar Hukum Indonesia: Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta Erwin, Muhamad Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta Friedmann, Lawrence M American Law, W.W.Norton & Company New York-London Fuady, Munir Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung Goo, S.H.Source Sourcebook On Land Law,Third Edition, Cavendish, London-Sydney Halim, Ridwan Sendi-Sendi Hukum Hak Milik, Kondominium, Rumah Susun Dan Sari-Sari Hukum Benda, Puncak Karma, Jakarta Hamzah, Andi, et.al Dasar-dasar Hukum Perumahan, Cet.3, Rineka Cipta, Jakarta Harahap,Yahya Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung Harsono, Boedi Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Cet. XII, Djambatan, Jakarta Hasan, Djuhaendah Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta Hernoko, Agus Yudha Hukum Perjanjian:Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, Cet.II, Kencana Predana Media Group, Jakarta Salim. H.S Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.6, Sinar Grafika, Jakarta

270 Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet.6, Sinar Grafika, Jakarta Hutagalung, Arie S Condominium dan Permasalahannya, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta Hutagalung, Arie S, et.al Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Pustaka Larasan, Bali Kansil, C.S.T Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Kie, Tan Thong Studi Notariat Intermasa, Jakarta dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Kurnia, Titon Slamet Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni, Bandung Kuswahyono, Imam Hukum Rumah Susun, Bayumedia Publishing, Malang Mallor, Jane P.,et.al Business Law: The Ethical, Global and E-Commerce Environment, Thirteenth Edition, McGrawHill Companies, New York Marzuki, Peter Mahmud Pengantar Ilmu Hukum, Cet.II, Kencana, Jakarta Penelitian Hukum, Kencana, Predana Media Grup, Jakarta Mertokusumo, Sudikno Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta Miru, Ahmadi Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja Seri Hukum Harta Kekayaan: Kebendaan pada Umumnya, Cet.2, Kencana, Jakarta Seri Hukum Harta Kekayaan: Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik (Dalam Sudut Pandang KUHPerdata), Cet.2, Kencana, Jakarta Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta Mustafa, Bachsan Hukum Agraria dalam Perspektif, Cet.2, Remadja Karya, Bandung Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung

271 243 Noor, Aslan Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung Oktoberina, Sri Rahayu dan Niken Savitri Butir-butir pemikiran dalam Hukum: Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung Panggabean, H.P Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Alumni, Bandung Rasjidi, Lili dan Wyasa Putra Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung Rato, Dominikus Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, Laksbang Justitia, Surabaya Santoso, Urip Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Cet.2, Kencana, Jakarta Setiawan,R Pokok-pokok Hukum Perikatan, Cet.6, Putra Abardin, Bandung Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta Siahaan, Marihot P Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan:Teori dan Praktik, Raja Grafindo Persada, Jakarta Siahaan, N.H.T Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta Sidharta, Arief Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Simanjuntak, Ricardo Hukum Kontrak:Teknik Perancangan kontrak Bisnis, Kontan Publishing, Jakarta Soemadipradja, Rahmat S.S Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa (Syarat-syarat Pembatalan Perjanjian yang disebabkan Keadaan Memaksa/ Force Majeure), Nasional Legal Reform Program, Jakarta Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen Hukum Perdata: Hukum Benda, Cet.IV, Liberty, Yogyakarta Subekti, R Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet.29, PT Intermassa, Jakarta

272 Hukum Perjanjian, Cet.19, Intermasa, Jakarta Sumaryono, E Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Kanisius, Yogyakarta Sutedi, Adrian, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Mulia, Bogor Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet.4, Sinar Grafika, Jakarta Tutik, Titik Triwulan Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta Ujan, Andre Ata Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), Kanisius, Yogyakarta Usman, Rachmadi Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta Utrecht, E Pengantar dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh.Saleh Djindang, Cet.XI, Ichtiar Baru Widjaja, Gunawan Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta Zainuddin, Ali Metode Penelitian Hukum, Cet.lI.Sinar Grafika, Jakarta II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Subekti dan R.Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-undang Hukum Perdata: Burgelijk Wetboek dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, Cet.34, Pradnya Paramita, Jakarta

273 245 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043 Tahun 1960) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252). Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1988 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3372) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan yang Ada di Atasnya Serta Penerbitan Sertifikatnya. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada di Atasnya. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan Dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara Terpisah Bagian Bagian Pada Bangunan Bertingkat Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat selaku Ketua Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional Nomor 6/KPTSBKP4N/1995 tentang Pedoman Pembuatan Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni Rumah Susun.

274 Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995 tentang Pedoman Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun 246 Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun III. JURNAL HUKUM Mohsin, Yakob Pranata-Pranata Hukum yang Baru dan Tinjauan terhadap Undang-undang Rumah Susun, Hukum dan Pembangunan, Agustus, Vol.XVI No.6, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta Evianto, Hady Hukum Perlindungan Konsumen Bukanlah Sekedar Keinginan melainkan suatu Kebutuhan, Desember, Vol.XVI No.6, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta Mustomi, Otom dan Mimim Mintarsih Aspek Hukum Sewa-Menyewa Rumah Susun di Wilayah DKI Jakarta, Reformasi Hukum, Vol.VI No.1 Januari-Juni, Universitas Islam Indonesia, Jakarta IV. KAMUS Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Budiarto, M, et.al Kamus Hukum Umum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta Wojowasito, S Kamus Umum Belanda Indonesia:Belanda Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta Sumartini, et.al, Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda- Bahasa Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta Thermorshuizen, et.al, 1999, Indonesisch-Nederlands Juridisch Wordenboek: Hukum Benda/Goederenrecht, Centre for International Legal Cooperation

275 Lampiran 1 SURAT PERMOHONAN PENGESAHAN PERTELAAN KOP SURAT PERUSAHAAN...,... Nomor : Lampiran : Perihal : Permohonan Pengesahan Pertelaan/Akta Pemisahan Rumah Susun atas Satuan- Satuan Rumah Susun. Kepada Yth. Bapak Bupati/Walikota (Gubernur untuk DKI Jakarta I... Melalui: Bapak Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota... (Kepala Kanwil BPN untuk DKI Jakarta) di... Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Umur : Pekerjaan : Kewarganegaraan : Alamat : Bertindak untuk/atas nama... (Badan Hukum) berdasarkan Surat Kuasa Nomor... tanggal..., berkedudukan di... Akta Pendirian Nomor... Tanggal..., selaku penyelenggara pembangunan rumah susun...terletak di : Jalan : Desa/Kelurahan : Kecamatan : Kabupaten/Kota : Provinsi : Sebagai bahan pertimbangan bersama ini terlampir sebagai berikut: 1. Pertelaan (Gambar dan Uraian Pertelaan); 2. Akta Pemisahan Rumah Susun ; 3. Asli Sertipikat Hak Atas Tanah; 4. Ijin Lokasi / SIPPT untuk DKI Jakarta ; 5. Advice Planning / Keterangan Rencana Kota ; 6. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB); 7. Ijin Layak Huni (ILH) / Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) ; 8. dll.

276 Sehubungan dengan permohonan ini kami menyatakan bersedia dan tidak keberatan apabila dilakukan pemeriksaan/pengecekan fisik rumah susun, untuk meneliti kesesuaian data-data dalam pertelaan dan Akta Pemisahan dengan kondisi fisik di lapangan. Demikian atas dikabulkannya permohonan ini kami ucapkan terima kasih....(badan hukum) Direktur) Kuasa. tdtcap....

277 Lampiran 2A BERITA ACARA PENELITIAN PERTELAAN RUMAH SUSUN... Pada hari ini,... tanggal... bulan... Tahun...yang bertanda tangan dibawah ini: 1... selaku wakil dari...(instansi) 2... selaku wakil dari...(instansi) 3... selaku wakil dari...(instansi) 4... selaku wakil dari...(instansi) 5... selaku wakil dari...(instansi) 6... selaku wakil dari...(instansi) dst. (sesuai ketentuan dalam Perda atau Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur ybs). Sesuai dengan ketentuan Perda / Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur No... Tahun..., telah melaksanakan penelitian dan pembahasan terhadap Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian. "..." (nama Rumah Susun) Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap Pertelaan dan Akta Pemisahan dimaksud dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bangunan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian ini merupakan satu lingkungan rumah susun dibangun di atas Tanah Bersama sebagai berikut: Jenis dan nomor hak : Luas Tanah :...M2 Batas-batas diuraikan dalam : Surat Ukur No. tanggal... Terletak di : Bangunan Rumah Susun : Terdiri dari... Blok atau Tower Rumah Susun yang dikelompokan menjadi...type, yaitu type... dan type... dengan jumlah unit keseluruhan sebanyak... unit satuan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian. 2. Gambar dan uraian Pertelaan telah merinci secara jelas mengenai batas pemilikan perseorangan yang merupakan satuan Rumah Susun dan pemilikan bersama yang berupa tanah bersama, benda bersama serta bagian bersama, sehingga telah memenuhi syarat berfungsi satuan Rumah Susun dalam sistem Rumah Susun. 3. Nilai perbandingan Proporsional (NPP) untuk masing - masing Satuan Rumah Susun telah dihitung berdasarkan... [pilih salah satu sesusai yang digunakan : (1) perbandingan antara luas satuan Rumah Susun dengan jumlah luas seluruh satuan Rumah Susun ; atau (2) perbandingan antara harga/nilai satuan Rumah Susun dengan jumlah harga/nilai seluruh satuan Rumah Susun).

278 4. Berdasarkan uraian pada butir... di atas Pertelaan dan Akta Pemisahan dimaksud telah memenuhi syarat untuk disahkan oleh Bupati/Walikota/ Gubernur...dengan catatan sebagai berikut: Contohnya: (bila catatan dimaksud) Gambar Pertelaan pada tanah bersama halaman 2 agar disesuaikan dengan surat ukur lampiran sertipikat...(hak tanah ybs), pada kolom keterangan dicantumkan nomor dan tanggal Surat Ukur. Pada buku Akta Pemisahaan dan Uraian Pertelaan, kalimat penutup agar dipindahkan ke halaman paling akhir. (Selanjutnya pihak penyelenggara pembangunan harus menyesuaikan/ memperbaiki Pertelaan Rumah Susun yang bersangkutan sesuai catatan dalam Berita Acara tersebut). 5. Apabila dalam pelaksanaan pembangunan fisik tidak sesuai dengan gambar dan uraian Pertelaan yang sudah disah kan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara pembangunan untuk membuat kembali gambar dan uraian Pertelaan yang sesuai dengan fisik bangunan (As Built Drawing) serta dimintakan kembali pengesahaannya 6. Bahwa gambar dan uraian Pertelaan yang disah kan adalah merupakan penetapan batas - batas hak dan kewajiban terhadap kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama. YANG MELAKSANAKAN PENELITIAN : 1. Nama... (instansi ybs)...(tanda tangan) Nama... (instansi ybs)...(tanda tangan) Nama... (instansi ybs)...(tanda tangan) Nama... (instansi ybs)...(tanda tangan) Nama... (instansi ybs)...(tanda tangan) Nama... (instansi ybs)...(tanda tangan)... dst. (sesuai ketentuan dalam Perda atau Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur ybs). Catatan : Berita Acara ini digunakan apabila proses pengesahan pertelaan dan Akta Pemisahan melalui Rapat Koordinasi dengan instansi terkait.

279 Lampiran 2B KOP SURAT BPN BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK RUMAH SUSUN Pada hari ini..., tanggal..., bulan..., tahun... yang bertanda tangan di bawah ini : nama..., nip... pangkat/golongan..., jabatan...(sekurang-kurangnya 2 (dua) orang petugas), petugas yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota...(atau oleh Kepala Kanwil BPN untuk DKI Jakarta), berdasarkan Surat Tugas Nomor... tanggal..., telah melaksanakan pemeriksanaan/pengecekan fisik Rumah Susun... dan fasilitasnya sesuai permohonan dari : a. Nama : b. Umur : c. Pekerjaan : d. Kewarganegaraan : e. Tempat Tinggal : f. Bertindak untuk/atas nama/ : (Badan Hukum) Selaku.../ Kuasa... :...berdasarkan Surat Kuasa Khusus... g. Berkedudukan di : h. Akta Pendirian : Nomor...Tanggal... Dalam rangka pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun... atas Satuan-Satuan Rumah Susun, yang terletak di : Jalan : Desa/Kelurahan : Kecamatan : Kabupaten/Kota : Provinsi : Dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut: 1. Tanah Bersama : Adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun..., yaitu : Jenis dan Nomor Hak : Masa Berlaku :...Tahun. Tanggal Berakhirnya Hak : Luas Tanah :... m2, Surat Ukur No..., tgl.. Letak Tanah : Jalan : Desa/Kelurahan : Kecamatan : Kabupaten/Kota : Provinsi : Batas-batasnya : Utara : Timur : Selatan : Barat :

280 2. Bagian Bersama : Adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Pada rumah susun..., terdiri dari : a. : b. : c. : dst. 3. Benda Bersama : Adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Pada rumah susun..., terdiri dari : a. : b. : c. : dst. 4. Satuan Rumah Susun : Pada rumah susun... a. Type..., luas...m2, jumlah b. Type..., luas...m2, jumlah c. Type..., luas...m2, jumlah dst. Total: Type..., luas...m2, jumlah...unit. 5. Jumlah Gedung/Tower/Bangunan Rumah Susun : Pada rumah susun..., terdiri dari :...(jumlah) Gedung/Tower, yang masing-masing diberi nama : a. Gedung/Tower..., terdiri dari...lantai dan...unit satuan rumah susun. b. Gedung/Tower..., terdiri dari...lantai dan...unit satuan rumah susun. c. Gedung/Tower..., terdiri dari...lantai dan...unit satuan rumah susun. dst. 6. Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Pada Rumah Susun...dihitung berdasarkan...(luas / nilai) yang rinciannya sebagaimana daftar terlampir. 7. Lain-lain : a. Ijin Lokasi Nomor...tanggal... b. Keterangan Rencana Kota Nomor...tanggal... c. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor...tanggal... Koefisien Dasar Bangunan (KDB)...%, Koefisien Lantai Bangunan (KLB)...% yang ditetapkan berdasarkan... Nomor... tanggal... d. Ijin Layak Huni (ILH) / Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) Nomor... tanggal... e. dll (sesuai PERDA).

281 8. Kesimpulan: a. Gambar dan uraian Pertelaan telah merinci secara jelas mengenai balas pemilikan perseorangan yang merupakan satuan Rumah Susun dan pemilikan bersama yang berupa tanah bersama, benda bersama serta bagian bersama, sehingga telah memenuhi syarat berfungsi satuan Rumah Susun dalam sistem Rumah Susun. b. Bahwa tanah bersama, bagian bersama, benda bersama dan unit-unit satuan rumah susun... sesuai/tidak sesuai dengan kondisi fisik bangunan dan perijinan yang ada sehingga Pertelaan dan Akta Pemisahan memenuhi / tidak memenuhi syarat untuk disahkan. Catatan : Dalam hal tidak memenuhi syarat untuk disahkan lanjutkan dengan rekomendasi hal-hal yang harus dilengkapi / diperbaiki. c. Bahwa gambar dan uraian Pertelaan yang disah kan adalah merupakan penetapan batas-batas hak dan kewajiban terhadap kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama. d. Apabila dalam pelaksanaan pembangunan fisik tidak sesuai dengan gambar dan uraian Pertelaan yang sudah disah kan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara pembangunan untuk membuat kembali gambar dan uraian Pertelaan yang sesuai dengan fisik bangunan (As Built Drawing) serta dimintakan kembali pengesahaannya. 9. Rekomendasi: Dalam rangka pengesahan Pertelaan / Akta Pemisahan Rumah Susun... agar dilengkapi / diperbaiki beberapa hal sebagai berikut: contoh : berkaitan dengan sistem pengamanan bila terjadi kebakaran (alat pemadam kebakaran, tangga darurat), jalur lalu lintas umum (selasar, coridor, lift, dll), kelengkapan dalam interaksi sosial dan kenyamanan para penghuni (lobby, ruang pertemuan, taman bermain, kolam renang, parkir, pos keamanan, sistem pencahayaan, jaringan air bersih, saluran pembuangan air kotor, dll) Demikian Berita Acara Pemeriksaan Fisik Rumah Susun ini dibuat pada hari dan tanggal tersebut di atas dalam rangkap...(...) untuk dipergunakan sebagai kelengkapan dalam rangka pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun...(nama rumah susun ybs). PETUGAS PEMERIKSA, 1...(unit SPP) 2...(unit HTPT) NIP... NIP...

282 MENGETAHUI: Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota... Tdt & Cap. NIP... Catatan: 1. Coret yang tidak perlu. 2. Bila pemeriksaan dilakukan oleh unit Kanwil BPN Provinsi agar disesuaikan penandatangannya.

283 Lampiran 3 SURAT PENGANTAR SK PENGESAHAN KEPADA BUPATI/ WALIKOTA/ GUBERNUR UNTUK WILAYAH DKI JAKARTA KOP SURAT BPN Nomor : Lampiran : Perihal : Permohonan Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun......,... Kepada Yth. Bupati/Walikota/Gubernur (untuk DKI Jakarta) Di-... Bersama ini disampaikan Konsep Surat Keputusan dalam rangka pengesahaan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun... Sebagai bahan pertimbangan, kami lampirkan kelengkapan permohonan dimaksud, yang terdiri atas : a. Surat dari... selaku Direktur Utama / Kuasa Direktur Utama... tanggal... Nomor... perihal Permohonan Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun..., terletak di...;..., atas nama... b. Berita Acara hasil pemeriksaan fisik Rumah Susun..., nomor... tanggal... atau nos/7 Rapat Koordinasi Instansi terkait tentang penelitian/pemeriksaan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun..., sesuai dengan ketentuan... (bila ada Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur mengenai rapat koordinasi antar instansi terkait). c. Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun... (sesuai hasil pemeriksaan fisik atau yang telah disetujui oleh Rapat Koordinasi antar instansi terkait). kasih. Demikian untuk menjadi periksa dan atas kebijaksanaannya, diucapkan terima Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota / Kepala Kanwil BPN... NIP...

284 Lampiran 4 DRAFT SK PENGESAHAN PERTELAAN KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA/GUBERNUR NOMOR:... TENTANG PENGESAHAN PERTELAAN DAN AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN HUNIAN DAN/ATAU BUKAN HUNIAN... YANG TERLETAK... DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI / WALIKOTA / GUBERNUR...(ybs), Menimbang : a. bahwa... (penyelenggara) telah membuat Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian...yang terletak di... b. bahwa Pertelaan dan Akta Pemisahan sebagaimana dimaksud huruf a telah dimohon pengesahannya sesuai dengan surat permohonan nomor...tanggal... dari Direktur Utama/Kuasa Direktur Utama..., berdasarkan Surat Kuasa Khusus nomor...tanggal...(bila dikuasakan); c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur tentang Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian...sebagaimana dimaksud; Mengingat : 1. Undang - Undang No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun; 2. Undang - Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan; 3. Undang - Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali di ubah, terakhir dengan Undangundang No. 12 tahun 2008; 4. Undang - Undang No... tahun... tentang... (pembentukan Kabupaten/Kota/Provinsi ybs); Peraturan 5. Pemerintah No. 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun ; 6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 60/PRT/1992 tantang Persyaratan teknis pembangunan Rumah Susun; 7. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 tahun 1989 tentang akta pemisahan Rumah Susun; 8. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 tahun 1989 tentang penerbitan Sertipikat Hak Milik atas satuan Rura-Susun; 9. Peraturan Daerah No... tahun... tentang... (mengenai Rumah Susun) di KabupatenKota/Provinsi ybs

285 MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI / WALIIKOTA/GUBERNUR TENTANG PENGESAHAN PERTELAAN DAN AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN HUNIAN DAN/ATAU BUKAN HUNIAN... YANG TERLETAK DI...; PERTAMA KEDUA : Mengesahkan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian...yang terletak di... dengan batas-batas dari masing-masing Satuan Rumah Susun, Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan uraian sebagaimana tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Keputusan ini, yang aslinya disimpan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota... : Mengesahakan besarnya angka Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) yang menunjukkan perbandingan antara Satuan Rumah Susun terhadap hak atas Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama, Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada Diktum PERTAMA. KETIGA : Apabila ternyata pelaksanaan pembangunan fisik tidak sesuai dengan gambar dan uraian pertelaan yang disahkan maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara pembangunan untuk membuat kembali gambar dan uraian perterlaan yang sesuai dengan Fisik Bangunan (as build drawing) serta dimintakan kembali pengesahannya kepada Bupati/Walikota/Gubernur. KEEMPAT KELIMA : Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan ini diberkan dalam rangka proses penerbitan sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian... : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di... Pada tanggal... BUPATI / WALIKOTA / GUBERNUR..., Tdt

286 Tembusan : Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Direktur Utama / Kuasa Direktur Utama...(penyelenggara) :

287 Lampiran 5 CONTOH DENAH SARUSUN Lampiran : Peraturan KBPN NOMOR HAK : Nomor 4 Tahun 1989 GAMBAR DENAH Nomor : Dari satuan rumah susun, yang merupakan dari rumah susun yang dibangun di atas sebidang tanah bersama :... Hak : Nomor : Yang terletak di Desa / Kelurahan : Kecamatan : Seperti yang diuraikan dalam Surat Ukur tanggal... Nomor... Satuan Rumah Susun ini terletak pada lantai... blok... atau yang lebih dikenal setempat dengan sebutan/nama : Batas-batas dari satuan rumah susun ini telah ditetapkan dalam pertelaan yang telah disahkan oleh... pada tanggal... nomor... berpedoman pada ketentuan pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang : Rumah Susun Luas/type : Hal-hal lain : Tanggal... An. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya Kepala Seksi Pendaftaran Tanah DI 302 : DI 307 : ( ) NIP.

288 Lampiran 6 Tata Urutan Penyusunan Halaman Gambar Pertelaan : 6 A. Keterangan Muka Peta Dan Bidang Gambar Pertelaan 6 B. Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Satuan Lingkungan 6 C. Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Tanah Bersama 6 D. Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan bagian perseorangan dan bagian bersama. 6 E. Denah Bangunan Lantai 6 F. Denah Satuan Rumah Susun

289 Lampiran 6A KETERANGAN MUKA PETA DAN BIDANG GAMBAR PERTELAAN Keterangan Gambar Pertelaan : Ukuran muka peta dan bidang gambar, lihat penjelasan gambar: Setiap gambar diberi arah utara ; Tepi bangunan sejajar dengan tepi muka peta ; Warna : Kuning : untuk batas satuan rumah susun / tanah bersama Biru : untuk benda bersama Merah : untuk bagian bersama UKURAN MUKA PETA DAN BIDANG GAMBAR Muka Peta ABCD = 65 cm x 45 cm Bidang Gambar abgh = 55 cm x 40 cm Disesuaikan. Ruang Keterangan cdef = 6,5 cm x 40 cm Ruang 1 = Keterangan Gambar Ruang 2 = Nama Rumah Susun Ruang 3 = Pemilik Rumah Susun Ruang 4 = Judul Gambar Ruang 5 = Skala Peta Ruang 6 = Nomor Lembar Gambar Ruang 7 = Keterangan Penggunaan Ruang 8 = Tanggal Pembuatan Gambar Ruang 9 = Tanda Tangan Pemilik Ruang 10 = Diketahui Ruang 11 = Tanda Tangan Kakan/Kabid SPP

290 Lampiran 6B Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Satuan Lingkungan

291 Lampiran 6C Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Tanah Bersama

292 Lampiran 6D Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunnukkan bagian perseorangan dan bagian bersama.

293 Lampiran 6E

294 Lampiran 6F

295 Lampiran 7 URAIAN PERTELAAN Contoh : URAIAN PERTELAAN RUMAH SUSUN URAIAN PERTELAAN RUMAH SUSUN... A. Pendahuluan : Pengertian "Rumah Susun" menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Satuan Rumah Susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Setiap satuan rumah susun jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya serta dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah terutama untuk hunian dan dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, yang besarannya sesuai dengan Nilai Perbandingan Proporsional. Kepemilikan rumah susun terdiri dari dua elemen sistim pemilikan, yaitu : 1. Pemilikan bersama yang tidak dapat dimiliki secara perseorangan tetapi dimiliki, digunakan dan dinikmati secara bersama. Pemilikan bersama terdiri dari: a. Tanah Bersama, yaitu berupa sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak kepemilikan bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan fasilitasnya. b. Bagian Bersama, yaitu bagian rumah susun yang dimiliki secara terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. c. Benda Bersama, yaitu benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk r bersama. 2. Pemilikan Perseorangan, merupakan ruang satuan rumah susun yang dapat dimiliki, digunakan dan dinikmati secara terpisah/perseorangan yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Elemen tersebut di atas membentuk lembaga pemilikan dalam sistim Rumah Susun yang disebut HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN yang diartikan sebagai hak atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan dan terpisah yang meliputi pula hak atas tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan rumah susun yang bersangkutan. Besarnya nilai kepemilikan pemegang hak milik atas satuan rumah susun terhadap tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama dinyatakan dengan Nilai

296 Perbandingan Proporsional yang dihitung berdasarkan perbandingan luas/nilai kepemilikan satuan rumah susun terhadap jumlah luas/nilai seluruh satuan rumah susun pada saat diperhitungkan biaya pembangunan keseluruhan untuk menentukan harga jual. Elemen tersebut di atas ditampilkan dalam bentuk gambar dan uraian yang disebut Pertelaan yang merupakan pernyataan dari... (Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun/Developer/Perorangan), untuk membangun lingkungan rumah susun hunian/non hunian/terpadu, yang diberi nama... (nama Rumah Susun). B. Kepemilikan Bersama B.l. Tanah Bersama : a. Tanah Bersama tempat berdirinya rumah susun rumah susun non hunian Bali Kuta Residence, dengan segala fasilitasnya, dibuktikan dengan sertipikat: Jenis Hak :... Nomor Hak :... Pemegang Hak :... Masa Berlaku :...Tahun, Tanggal berakhirnya hak,... Luas Tanah :... Batas Tanah : Seperti diuraikan dalam Surat Ukur tanggal... Nomor... b. Tanah Bersama dengan status... tersebut berasal dari... c. Letak batas dari luas Tanah Bersama sesuai dengan daerah perencanaannya yang menjadi dasar bagi penentan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dalam Persetujuan berdasarkan... d. Tanah Bersama hanya untuk satu satuan lingkungan Rumah Susun dengan satu sertipikat tanah seperti dimaksud pada keterangan huruf a dan huruf b di atas, dengan dibebani Kredit Konstruksi dari... (jika dibebani kredit konstruksi, dituliskan hak tanggungan nomor...) B.2. Bagian Bersama : Bagian Bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan satuan Rumah Susun. Bagian bersama merupakan bagian rumah susun yang melekat pada konstruksi rumah susun yang berupa struktur bangunan rumah susun dan atau yang berupa fasilitas yang ada di atas/di dalam/di bawah rumah susun, yailu berupa : a. Struktur Konstruksi : 1. Pondasi ; 2. Tiang Pancang ; 3. Pancang bor (bor pile) 4. Kolom ; 5. Balok; 6. Pelat Lantai; 7. Tangga Darurat dan Tangga di Areal Umum ; 8. Dinding Pemisah/Partisi antara Bagian Bersama dengan Bagian Perseorangan; 9. Talang Air ; 10. Rangka Atap ; 11. Penutup Atap, baik yang berupa pelat beton, genteng, metal deck. 12. lain-lain sesuai kenyataan yang ada.

297 b. Jaringan Utilitas Rumah Susun, termasuk segala peralatan yang menjadi satu kesatuan sistim yang bersangkutan, terdiri dari : 1. Sistim Jaringan Listrik ; 2. Sistim Jaringan Distribusi Air Bersih ; 3. Sistim Jaringan Pembuangan Air Kotor, Air Hujan dan Septictank; 4. Sistim Jaringan Pencegahan Kebakaran ; 5. Sistim Jaringan Alarm Kebakaran ; 6. Sistim Jaringan Tata Udara / AC 7. Sistim Jaringan Tata Suara ; 8. Sistim Tata Cahaya ; 9. Sistim Jaringan Telepon ; 10. Sistim Jaringan Internet ; 11. Sistim Jaringan Monitor Gedung (Building Monitoring System) ; 12. Sistim Transportasi Vertikal (Lift) ; 13. Genset dan perlengkapan daya listrik darurat ; 14. Jaringan MATV dan perlengkapannya ; 15. Sistim PABX; 16. Sistim Pengolah Limbah ; 17. Penangkal Petir ; 18. lain-lain sesuai kenyataan yang ada. c. Fasilitas Rumah Susun : 1. Elemen Lansekap Rumah Susun ; 2. Areal Parkir Basement ; 3. Teras Luar Rumah Susun ; 4. Lobby ; 5. Area Ruang Pamer, Koridor dalam Rumah Susun ; 6. Toilet; 7. Septicktank ; 8. Ruang-ruang keperluan Sistim Utilitas Rumah Susun (ruang lift, ruang mesin lift, ruang genset, ruang kontrol, ruang bahan bakar, ruang panel listrik) ; 9. Selasar dan shaft-shaft dalam rumah susun ; 10. Pos Jaga; 11. Tangki Penyimpan Air. 12. Tangki Penyimpan Bahan Bakar (Solar) untuk mesin Genset; 13. Jalan Sekitar Bangunan ; 14. Stop kontak diluar area Satuan Rumah Susun 15. Alat Pemadam Kebakaran (Hidran). 16. lain-lain sesuai kenyataan yang ada. B.3. Benda Bersama : Benda Bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Benda Bersama merupakan benda/bangunan yang terletak di atas tanah bersama, berupa : a. Benda/alat yang menjadi bagian integral dari masing-masing sistim jaringan utilitas Rumah Susun ; b. Benda/bangunan yang menjadi kelengkapan fasilitas Rumah Susun, terdiri dari : 1. Pagar Keliling ;

298 2. Panel Reklame 3. Taman ; 4. Tempat Sampah ; 5. Lampu Taman dan Penerangan Jalan ; 6. Kolam Renang dan Peralatannya ; 7. Areal Parkir; 8. lain-lain sesuai kenyataan yang ada. C. Kepemilikan Perseorangan Kepemilikan perseorangan adalah kepemilikan atas ruang satuan Rumah Susun yang dapat dimiliki atau dapat dinikmati secara individual/perseorangan yang terpisah dari pemilik-pemilik perseorangan lainnya. Bagian yang merupakan pemilikan perseorangan adalah : 1. Permukaan dinding pemisah bagian dalam di dalam Satuan Rumah Susun ; 2. Lantai bagian dalam di dalam Satuan Rumah Susun ; 3. Dinding pemisah ruang dalam yang menjadi bagian dari Satuan Rumah Susun. 4. Kusen pintu dan jendela, daun pintu dan jendela ; 5. Plafon bagian dalam, di dalam satuan rumah susun ; 6. Instalasi Listrik, telepon, AC, yang berada dalam satuan rumah susun dan digunakan/dimanfaatkan hanya untuk dan oleh Satuan Rumah Susun yang bersangkutan. D. Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) Nilai Perbandingan Proporsional adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara Satuan Rumah Susun terhadap hak atas Bagian Bersama, Benda Bersama dan Tanah Bersama, yang khusus pada Rumah Susun... (nama Rumah Susun) ini dihitung berdasarkan luas masing-masing Satuan Rumah Susun yang bersangkutan Sehingga Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) masing-masing Satuan Rumah Susun tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: L.Sn NPP Sn = - x 100% T.Ls Keterangan : Sn : Satuan Rumah Susun (Unit Satuan Rumah Susun) L.Sn : Luas Unit Satuan Rumah Susun T.Ls : Total Luas Keseluruhan Unit Satuan Rumah Susun. Perincian Selengkapnya dari Nilai Perbandingan Proporsional untuk masing-masing Satuan Rumah Susun ini dapat dilihat pada Daftar Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) terlampir. E. Penutup Pertelaan Rumah Susun merupakan uraian pemisahan yang menyatakan kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama yang menghasilkan besarnya Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) merupakan besarnya kepemilikan perseorangan terhadap hak kepemilikan bersama yang besarnya dicantumkan dalam

299 Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan NPP tersebut secara hukum mengikat. Untuk jelasnya Pertelaan ini dilengkapi dengan gambar dalam bentuk potongan vertikal, horizontal dan denah-denah dari tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama, bagian perseorangan dan gambar sirkulasi. Dengan demikian penghuni bertanggung jawab terhadap apa yang ada di dalam satuan rumah susunnya termasuk pula terhadap bagian/benda bersama. Besarnya kewajiban penghuni rumah susun tergantung pada Nilai Perbandingan Proporsional (NPP)....,... (Penyelenggara Pembangunan), Ttd & cap (jika badan hukum) DISAHKAN : Nomor :... Tanggal : BUPATI/WALIKOTA/GUBERNUR... Ttd & cap...

300 Lampiran 8 ANGGARAN DASAR PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN

301 Lampiran 9 Daftar Isian Dalam Rangka Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Sesuai Ketentuan Pasal 140 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 No. Jenis Daftar Isian Deskripsi Daftar Isian Data Yuridis : 1. D.I. 203 Daftar Tanah 2. D.I. 204 Daftar Nama 3. D.I. 205 B Buku Tanah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun 4. D.I. 206 B Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun 5. D.I. 207 A Gambar Denah Satuan Rumah Susun 6. D.I. 208 Daftar Penyelesaian Pekerjaan Pendaftaran Tanah Daftar Isian Bidang Tata Usaha : 7. D.I. 301 Daftar Permohonan Pekerjaan Pendaftaran Tanah 8. D.I. 301A Daftar Penyerahan Hasil Pekerjaan 9. D.I. 302 Daftar Permohonan Pekerjaan Pengukuran 10. D.I. 305 Daftar Penerimaan Uang Muka Biaya Pendaftaran Tanah 11. D.I. 306 Bukti Penerimaan Uang/Kwitansi 12. D.I. 307 Daftar Penghasilan Negara 13. D.I. 312 B Daftar Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

302 Lampiran 10

303

304

305

306

307 Lampiran 11 PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 Tahun 2010 TANGGAL : 25 Januari 2010 Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN PERTANAHAN DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/ UU No. 16/ PPNo. 4/ PP No. 24/ PPNo. 13/ PMNA/Kepala BPN 1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada 30 (tiga puluh) hari untuk jumlah tidak lebih dari 200 unit 60 (enam puluh) hari untuk jumlah lebih dari 200 unit s.d. 500 Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas dan letak bangunan yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak No. 3/1997 dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket Badan Pertanahan unit sengketa 7. SE KBPN Sertipikat Hak Atas Tanah yang merupakan Nasional Republik 90 (sembilan puluh) tanggal 31 Juli 2003 tanah bersama (asli) Indonesia hari untuk jumlah 5. Proposal pembangunan rumah susun lebih dari 500 unit 6. Ijin layak huni 7. Advis Planning 8. Akta pemisahan yang dibuat oleh penyelenggara pembangunan rumah susun, dengan lampiran gambar dan uraian pertelaan dalam arah vertikal maupun horisontal serta nilai perbandingan proposionalnya yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Gubernur untuk DKI Jakarta atau Bupati/Walikota) Peralihan Hak Atas Tanah dan Satuan Rumah Susun

308 a. Peralihan Hak Jual-Beli DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/ UU No.16/ UU No. 21/1997 jo. UU No. 20/ PP No. 48/1994 jo. PPNo. 79/ PPNo. 24/ PPNo. 37/ PPNo. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ Peraturan KBPN RI No. 1/ SE KBPN No tanggal 31 Juli SE KBPN RI No D.II tanggal 28 April Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum 5. Sertipikat asli 6. Akta Jual Beli dari PPAT 7. Fotocopy KTP dan para pihak penjual-pembeli dan/atau kuasanya 8. Ijin Pemindahan Hak apabila di dalam sertipikat/keputusannya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan jika telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang 9. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak) Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 5 (lima) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa Pernyataan tanah/bangunan dikuasai secara fisik

309 b. Peralihan Hak- Pewarisan/ Wasiat DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UUNo. 5/ UUNo. 21/1997jo. UU No. 20/ PPNo. 24/ PPNo. 37/ PPNo. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ Peraturan KBPN RI No. 1/ SE KBPN No tanggal 31 Juli Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon /para ahli waris (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Sertipikat asli 5. Surat Keterangan Waris sesuai peraturan perundang-undangan 6. Akte Wasiat Notariel 7. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 8. Penyerahan bukti SSB (BPHTB), bukti SSP/PPH untuk perolehan tanah lebih dari 60 Juta Rupiah bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak) Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia WAKTU 5 (lima) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik

310 c. Peralihan Hak Tukar Menukar DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/ UU No. 21/1997 jo. UU No. 20/ PPNo. 48/1994jo. PP No. 79/ PPNo. 24/ PPNo. 37/ PPNo. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ Peraturan KBPN RI No. 1/ SE KBPN No tanggal 31 Juli Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan penerima hak (KTP, KK) serta kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 5. Sertipikat asli 6. Akta Tukar Menukar dari PPAT 7. Ijin Pemindahan Hak apabila di dalam sertipikat/keputusannya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan jika telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang 8. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 9. Penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti SSP/PPH untuk perolehan tanah lebih dari 60 Juta Rupiah Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 5 (lima) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik

311 d. Peralihan Hak- Hibah DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/ UU No. 21/1997 jo. UU No. 20/ PPNo. 48/1994jo. PP No. 79/ PPNo. 24/ PPNo. 37/ PPNo. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ Peraturan KBPN RI No. 1/ SE KBPN No tanggal 31 Juli Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan penerima hak (KTP, KK) serta kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 5. Sertipikat asli 6. Akta Tukar Menukar dari PPAT 7. Ijin Pemindahan Hak apabila di dalam sertipikat/keputusannya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan jika telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang 8. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 9. Penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti SSP/PPH untuk perolehan tanah lebih dari 60 Juta Rupiah Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 5 (lima) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa Pernyataan tanah dikuasai secara fisik

312 e. Hak - Pembagian Hak Bersama DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/ UU No. 21/1997 jo. UU No. 20/ PPNo. 48/1994jo. PPNo. 79/ PPNo. 24/ PPNo. 37/ PPNo. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ Peraturan KBPN RI No. 1/ SE KBPN No tanggal 31 Juli SE KBPN RI No D.II tanggal 28 April Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan penerima hak (KTP, KK) serta kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum 5. Sertipikat asli 6. Akta Pembagian Hak Bersama dari PPAT. 7. Ijin Pemindahan Hak apabila di dalam sertipikat/keputusannya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan jika telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang 8. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 9. Penyerahan bukti SSB (BPHTB), bukti SSP/PPH untuk perolehan tanah lebih dari 60 Juta Rupiah bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak) Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 5 (lima) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa Pernyataan tanah dikuasai secara fisik

313 f. Peralihan Hak Lelang DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UUNo. 5/ UU No. 21/1997 jo. UU No. 20/ PPNo. 48/1994jo. PP No. 79/ PP No. 24/ PPNo. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ SE KBPN No tanggal 31 Juli Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan penerima hak (KTP, KK) serta kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum 5. Sertipikat asli 6. Risalah Lelang 7. Penyerahan Bukti Pelunasan Lelang 8. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket dan penyerahan bukti SSB (BPHTB), bukti SSP/PPH dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak) 9. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (Inkracht) Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 5 (lima) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik

314 g. Peralihan Hak - Pemasukan Ke Dalam Perusahaan/Inbreng DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/ UU No. 21/1997 jo. UU 20/ UU No. 40/ PPNo. 24/ PPNo. 27/ PPNo. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ Peraturan KBPN RI No. 1/ SEKBPN tanggal 31 Juli Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan penerima hak (KTP) serta kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 5. Sertipikat asli 6. Surat Pengantar dari PPAT 7. Akta Pemasukan ke dalam perusahaan dari PPAT 8. Ijin Pemindahan Hak, jika: a. Pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas rumah susun yang di dalam sertipikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan apabila telah diperoleh izin dari instansi yang berwenang; b. Pemindahan hak pakai atas tanah negara 9. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti SSP/PPH untuk perolehan tanah Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 5 (lima) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik

315 h. Peralihan Hak Merger DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/ UU 21/1997 jo. UU 20/ UUNo. 40/ PP No. 24/ PPNo. 37/ PPNo. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ Peraturan KBPN RI No. 1/ SEKBPN tanggal 31 Juli Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan penerima hak (KTP) serta kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian, Pengesahan Badan Hukum dan Akta Penggabungan/Peleburan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 5. Sertipikat asli 6. Surat Pengantar dari PPAT 7. Surat pernyataan yang menyatakan bahwa penggabungan/peleburan tersebut tidak dalam status likuidasi 8. Ijin Pemindahan Hak, jika diperlukan 9. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket dan penyerahan bukti SSB (BPHTB), bukti SSP/PPH untuk perolehan tanah Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 5 (lima) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik

316 Sertipikat Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Rumah Susun DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/ UU 21/1997 jo. UU 20/ UUNo. 40/ PP No. 24/ PP No. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ SEKBPN tanggal 31 Juli Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan penerima hak (KTP, KK) serta kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 5. Sertipikat asli 6. Untuk perorangan yang keperdataannya tunduk pada hukum perdata dibuktikan dengan penetapan Pengadilan atau yang tunduk pada hukum adat dibuktikan dengan surat pernyataan perubahan nama dari yang bersangkutan diketahui Kepala Desa/Lurah dan Camat setempat. 7. Untuk instansi dibuktikan dengan keputusan pejabat yang berwenang tentang perubahan nama Instansi atau untuk Badan Hukum dibuktikan dengan akta notaris yang memuat perubahan nama dengan pengesahan dari pejabat yang berwenang Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 7 (tujuh) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah/bangunan dikuasai secara fisik

317 Perpanjangan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UUNo. 5/ UUNo. 16/ PPNo. 4/ PPNo. 24/ PPNo. 13/ PMNA/Kepala BPN No. 3/ SEKBPN tanggal 31 Juli 2003 Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 1. Formulir permohonan kolektif atas nama anggota PPRS (Persatuan Penghuni Rumah Susun) yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas para pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Sertipikat asli HGB (ada di Kantor Pertanahan yang bersangkutan) Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket Perpanjangan Hak Guna Bangunan: 30 (tiga puluh) hari untuk hiasan tidak lebih dari m 2 49 (empat puluh sembilan) hari untuk hiasan lebih dari m= sampai dengan m! 89 (delapan puluh sembilan) hari untuk jumlah lebih dari Pencatatan Perpanjangan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun: 20 (dua puluh) hari untuk jumlah tidak lebih dari 200 unit 40 (empat puluh) hari untuk jumlah 201 unit s.d 500 unit 90 (sembilan puluh) hari untuk jumlah lebih dari 500 unit Jangka waktu perpanjangan Hak Milik Satuan Rumah Susun meliputi jangka waktu Perpanjangan Hak Guna Bangunan sebagai tanah bersama dan Pencatatan Perpanjangan pada buku tanah dan sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun Catatan: Jangka waktu tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengiriman berkas/dokumen dari Kantah ke Kanwil dan BPN RI maupun sebaliknya

318 Sertifikat Pengganti Hak Atas Tanah, Hak Milik Atas Rumah Susun, dan Hak Tanggungan a. Karena Blanko Lama DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/ UUNo. 16/ UUNo. 4/ PP No. 24/ PPNo. 13/ PMNA/ 7. KBPN No. 3/ SEKBPN tanggal 31 Juli Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum 5. Sertipikat asli Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 19 (sembilan belas) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik

319 b. Karena Hilang DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/ PPNo. 24/ PPNo. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ SE KBPN tanggal 31 Juli Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum 5. Fotocopy sertipikat (jika ada) 6. Surat Pernyataan dibawah sumpah oleh pemegang hak/yang menghilangkan 7. Surat tanda lapor kehilangan dari Kepolisian setempat Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 40 (empat puluh) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa dan tanpa perubahan fisik 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik 5. Pengumuman di surat kabar

320 c. Karena Rusak DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UUNo. 5/ PPNo. 24/ PPNo. 13/ PMNA/KBPN No. 3/ SEKBPN tanggal 31 Juli Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum 5. Sertipikat asli Sesuai etentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 19 (sembilan belas) hari Formulir permohonan memuat 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik

321 Lampiran 12 PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1989 PEDOMAN PENGISIAN AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN Nomor Petunjuk: Diisi hari, tanggal, bulan, dan tahun pembuatan akta pemisahan. Diisi nama lengkap dari pembuat/penanda tangan akta pemisahan jabatannya dan alamat tempat kerja (kantor) yang bersangkutan. Diisi nama badan hokum/instansi penyelenggara pembangunan rumah susun. Diisi status tanah yang dialasnya berdiri rumah susun sesuai dengan yang tercantum pada sertipikat hak atas tanahnya. Diisi dengan sistem pembangunan rumah susun apakah dilaksanakan secara MANDIRI atau TERPADU sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 4 jo pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun. Diisi penggunaan/pemanfaatan rumah susun yang bersangkutan untuk hunian atau bukan hunian. Diisi sebanyak jumlah Blok rumah susun yang bersangkutan, dalam kesaruan sistem pembangunan yang dilaksanakan pada tanah bersama (dapat saw dua tiga blok atau lebih). Diisi uraian tiap Blok rumah susun, misalnya: Blok I terdiri dari 10 (sepuluh) lantai. Lantai 1 terdiri dari 15 (lima belas) satuan rumah susun Lantai 2 terdiri dari 10 (sepuluh) satuan rumah susun Begitu seterusnya sesuai dengan jumlah Blok rumah susun yang ada. Idem dengan nomor 8. Diisi macam-macam bagian dan benda bersama dengan menunjuk pertelaan yang telah disahkan yang dilampirkan pada akta pemisahan ini. Diisi status tanah bersama, nomor hak dan nomor surat ukur serta batas-batas tanah bersama dari Rumah Susun yang bersangkutan. Diisi nilai perbandingan proporsional antara Satuan Rumah Susun terhadap hak atas bagian, benda dan tanah bersama, misalnya 1/100 (saw per seraw), 1/200 (satu per duaratus), 1/250 (saw per dua raws lima puluh) dan sebagainya. Tiap SaWan Rumah Susun tidak mesti sama nilai perbandingan proporsionalnya. Diisi tempat (kota) dimana akta pemisahan tersebut dibuat dan tanggal penandatangannya. Diisi jabatan penandatangan akta pemisah. Diisi tanda tangan pembuat akta pemisahan dan nama terangnya. Diisi tempat tanggal, bulan dan tahun serta Instansi yang mengesahkan akta pemisahan. Catatan: Pada kolom "Catatan lain-lain" dapat "diisi" antara lain: Nomor dan tanggal pengesahan pertelaan oleh Pemerintah Daerah setempat. Hal-hal lain yang dipandang perlu untuk dicantumkan. Akta pemisahan ini harus dilampiri dengan pertelaan yang telah disahkan, yang dibuat penyelenggara pembangunan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta ini.

322 Lampiran 13A AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN Pada hari ini:...tanggal... 1)...Tahun... Yang bertanda tangan di bawah ini: 2) Untuk dan atas nama... 3) Selaku Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun di atas tanah 4) Hak... Diuraikan dalam Surat Ukur / Gambar Situasi Tanggal :... Luas :... Propinsi Daerah Tingkat I :... Kotamadya Daerah Tingkat II :... Kecamatan :... Desa/Kelurahan :... Jalan :... Pembanguan Rumah Susun dilaksanakan secara ) Yang dipergunakan sebagai tempat ) Bangunan Rumah Susun terdiri dan... (...) Blok Rumah Susun. Berdasarkan pasal 7 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 jo pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, dengan ini berkehendak untuk : MEMISAHKAN RUMAH SUSUN TERSEBUT ATAS SATUAN-SATUAN RUMAH SUSUN Dengan keterangan sebagai berikut: Blok...terdiri dari...lantai 8) Lantai...terdiri dari...satuan rumah susun Lantai...terdiri dari...satuan rumah susun Lantai...terdiri dari...satuan rumah susun dan seterusnya. Blok...terdiri dari...lantai 9) Lantai...terdiri dari...satuan rumah susun Lantai...terdiri dari...satuan rumah susun Lantai...terdiri dari...satuan rumah susun dan seterusnya. PERTELAAN 1. Hak Bersama, terdiri dari: Bagian Bersama, berupa:... 10)

323 Benda Bersama berupa:... 11) Tanah Bersama: Hak...No... 12) Surat Ukur No...dengan batas-batas sebagai berikut: Selatan :... Barat :... Utara :... Timur : Nilai Perbandingan Proporsional :... 13) Catatan lain-lain : 14) Demikian akta ini dibuat...tanggal... 15) Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun... 16)... (...) 17) DISAHKAN DI :... PADA TANGGAL :...

324 Lampiran 13 B Lampiran : Peraturan KaBPN NOMOR HAK : Nomor 4 Tahun 1989 GAMBAR DENAH Nomor : Dari satuan rumah susun, yang merupakan dari rumah susun yang dibangun di atas sebidang tanah bersama :... Hak : Nomor : Yang terletak di Desa / Kelurahan : Kecamatan : Seperti yang diuraikan dalam Surat Ukur tanggal... Nomor... Satuan Rumah Susun ini terletak pada lantai... blok... atau yang lebih dikenal setempat dengan sebutan/nama :... Batas-batas dari satuan rumah susun ini telah ditetapkan dalam pertelaan yang telah disahkan oleh... Pada tanggal... nomor... berpedoman pada ketentuan pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang : Rumah Susun Luas/type : Hal-hal lain : Tanggal......, An. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya Kepala Seksi Pendaftaran Tanah DI 302 : DI 307 : ( ) NIP.

325 Lampiran 14 AKTA JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN

326 Lampiran 15 BUKU TANAH (SERTIFIKAT) HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN

POKOK-POKOK PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SUSUN. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

POKOK-POKOK PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SUSUN. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA POKOK-POKOK PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SUSUN Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA DASAR HUKUM Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS BERKENAAN DENGAN PENANDATANGANAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) PERSEROAN TERBATAS MELALUI MEDIA TELEKONFERENSI

KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS BERKENAAN DENGAN PENANDATANGANAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) PERSEROAN TERBATAS MELALUI MEDIA TELEKONFERENSI TESIS KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS BERKENAAN DENGAN PENANDATANGANAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) PERSEROAN TERBATAS MELALUI MEDIA TELEKONFERENSI KOMANG FEBRINAYANTI DANTES 1292461007 PROGRAM MAGISTER

Lebih terperinci

KEWENANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH(BLUD) DALAM HAL PENGAWASAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN

KEWENANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH(BLUD) DALAM HAL PENGAWASAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN TESIS KEWENANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH(BLUD) DALAM HAL PENGAWASAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN I GEDE PERDANA YOGA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012 TESIS KEWENANGAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK SATUAN RUMAH SUSUN DI ATAS TANAH BERSAMA YANG DIBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK SATUAN RUMAH SUSUN DI ATAS TANAH BERSAMA YANG DIBEBANKAN HAK TANGGUNGAN TESIS PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK SATUAN RUMAH SUSUN DI ATAS TANAH BERSAMA YANG DIBEBANKAN HAK TANGGUNGAN MADE ARI PARYADNYA NIM. 1392461029 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN Disebarluaskan Oleh: KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT DIREKTORAT JENDERAL PENYEDIAAN PERUMAHAN DIREKTORAT PERENCANAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

Lebih terperinci

TESIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PERJANJIAN KREDIT DENGAN AKTA FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN (STUDI KASUS PADA KOPERASI DI WILAYAH KOTA DENPASAR)

TESIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PERJANJIAN KREDIT DENGAN AKTA FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN (STUDI KASUS PADA KOPERASI DI WILAYAH KOTA DENPASAR) TESIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PERJANJIAN KREDIT DENGAN AKTA FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN (STUDI KASUS PADA KOPERASI DI WILAYAH KOTA DENPASAR) PUTU HELENA EVIE OKTYAVINA SRIDANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM IDA BAGUS ADHI BHAWANA NIM 1392461016 PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

TESIS PENGATURAN PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH BADAN USAHA SWASTA

TESIS PENGATURAN PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH BADAN USAHA SWASTA TESIS PENGATURAN PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH BADAN USAHA SWASTA PUTU MIA RAHMAWATI NIM. 1192461008 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah untuk memikirkan dan melakukan upaya-upaya bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah untuk memikirkan dan melakukan upaya-upaya bagaimana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan Penduduk di Indonesia yang demikian pesat memacu Pemerintah untuk memikirkan dan melakukan upaya-upaya bagaimana dapat mensejahterakan segenap

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa untuk pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

OLEH : KEPALA KANTOR WILAYAH BPN PROVINSI DKI JAKARTA

OLEH : KEPALA KANTOR WILAYAH BPN PROVINSI DKI JAKARTA OLEH : KEPALA KANTOR WILAYAH BPN PROVINSI DKI JAKARTA I. Latar Belakang 1 1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tingga dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat kebutuhan

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemerataan pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

TESIS KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT SEBAGAI OBYEK TRANSAKSI

TESIS KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT SEBAGAI OBYEK TRANSAKSI TESIS KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT SEBAGAI OBYEK TRANSAKSI I GUSTI AGUNG TIRTA SARI DEWI NIM.1492461003 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

Lebih terperinci

KEPEMILIKAN HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN

KEPEMILIKAN HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN 1 KEPEMILIKAN HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN Oleh : Dr. J. ANDY HARTANTO, S.H., M.H., Ir., M.MT Abstract Residential flat is an efficient alternative for some circles. there are three kinds of flat

Lebih terperinci

Tesis ini telah diuji pada tanggal : 18 Juli 2016

Tesis ini telah diuji pada tanggal : 18 Juli 2016 Tesis ini telah diuji pada tanggal : 18 Juli 2016 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 432/VII/M.Kn/UN14.4/DT/2016 Tanggal : 15 Juli 2016 Ketua : Prof. DR. I Made Pasek

Lebih terperinci

TESIS ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH

TESIS ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH TESIS ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH NGURAH WAHYU RESTA NIM 1292462008 PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 ASAS ITIKAD

Lebih terperinci

KONSEP JANJI DALAM IKLANSEBAGAI DASAR PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN

KONSEP JANJI DALAM IKLANSEBAGAI DASAR PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN TESIS KONSEP JANJI DALAM IKLANSEBAGAI DASAR PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN NI KETUT DEWI MEGAWATI NIM :1490561004 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cet. 9, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 358.

BAB I PENDAHULUAN. Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cet. 9, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 358. 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG Pertambahan jumlah penduduk di kota-kota besar seperti halnya yang terjadi di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, mengakibatkan adanya keterbatasan tanah untuk

Lebih terperinci

PEMALSUAN TANDATANGAN AKTA OLEH PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL

PEMALSUAN TANDATANGAN AKTA OLEH PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL SKRIPSI PEMALSUAN TANDATANGAN AKTA OLEH PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL I PUTU DENNY PRADNYANA PUTRA NIM. 1203005250 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 i SKRIPSI PEMALSUAN TANDATANGAN

Lebih terperinci

PENGATURAN KEBIJAKAN HAK KEPEMILIKAN PROPERTI ATAS TANAH DAN BANGUNAN BAGI WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA

PENGATURAN KEBIJAKAN HAK KEPEMILIKAN PROPERTI ATAS TANAH DAN BANGUNAN BAGI WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA TESIS PENGATURAN KEBIJAKAN HAK KEPEMILIKAN PROPERTI ATAS TANAH DAN BANGUNAN BAGI WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA PUTU AYU RATIH TRIBUANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS PENGATURAN

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ATAS KERUGIAN YANG DIDERITA PENGIRIM BARANG YANG DISEBABKAN KELALAIAN PENGANGKUT ( STUDI KASUS PADA PT. BALI SEMESTA AGUNG )

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ATAS KERUGIAN YANG DIDERITA PENGIRIM BARANG YANG DISEBABKAN KELALAIAN PENGANGKUT ( STUDI KASUS PADA PT. BALI SEMESTA AGUNG ) SKRIPSI TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ATAS KERUGIAN YANG DIDERITA PENGIRIM BARANG YANG DISEBABKAN KELALAIAN PENGANGKUT ( STUDI KASUS PADA PT. BALI SEMESTA AGUNG ) GDE YOGI YUSTYAWAN 1103005216 FAKULTAS HUKUM

Lebih terperinci

BAB II STATUS KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH PADA SATUAN RUMAH SUSUN

BAB II STATUS KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH PADA SATUAN RUMAH SUSUN BAB II STATUS KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH PADA SATUAN RUMAH SUSUN A. Persyaratan dan Pengertian Rumah Susun Dalam UURS, Pasal 1 menyebutkan bahwa yang diartikan dengan rumah susun adalah bangunan gedung

Lebih terperinci

TESIS KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

TESIS KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA TESIS KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PUTU AYU ANASTASIA WIERDARINI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban sehingga dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditentukan Bumi dan air dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 12 TAHUN 2013

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 12 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 12 TAHUN 2013 TENTANG PERTELAAN, SERTIFIKAT LAIK FUNGSI DAN PENERBITAN AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KABUPATEN KARAWANG,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RESPONSI UAS HUKUM AGRARIA SEMESTER GENAP TAHUN 2016

PEMBAHASAN RESPONSI UAS HUKUM AGRARIA SEMESTER GENAP TAHUN 2016 PEMBAHASAN RESPONSI UAS HUKUM AGRARIA SEMESTER GENAP TAHUN 2016 Oleh: Ghaida Mastura FHUI 2012 Disampaikan pada Tentir UAS Hukum Agraria Senin, 30 Mei 2016 Daftar Peraturan Perundang-undangan Terkait 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat dan sangat pesat. Masyarakat berbondong-bondong datang ke

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat dan sangat pesat. Masyarakat berbondong-bondong datang ke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi di Indonesia terutama di kota besar terjadi sangat cepat dan sangat pesat. Masyarakat berbondong-bondong datang ke kota besar dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia selain sandang dan pangan. Sudah sewajarnya jika setiap manusia mempunyai tempat tinggal yang layak sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri. 1

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia, yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian bangsa. Perumahan dan permukiman tidak dapat

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR : 1 TAHUN 1991 TENTANG

GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR : 1 TAHUN 1991 TENTANG GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR : 1 TAHUN 1991 TENTANG RUMAH SUSUN DI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. Mengingat : 1. bahwa rumah merupakan

Lebih terperinci

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB KONTRAKTOR DALAM PERJANJIAN KONTRAK KERJA KONTRUKSI ANTARA KONTRAKTOR DENGAN KONSUMEN

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB KONTRAKTOR DALAM PERJANJIAN KONTRAK KERJA KONTRUKSI ANTARA KONTRAKTOR DENGAN KONSUMEN SKRIPSI TANGGUNG JAWAB KONTRAKTOR DALAM PERJANJIAN KONTRAK KERJA KONTRUKSI ANTARA KONTRAKTOR DENGAN KONSUMEN I MADE ARY ANANDA PUTRA NIM. 0816051035 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i SKRIPSI

Lebih terperinci

PENGATURAN KEWENANGAN PENDAFTARAN TANAH REDISTRIBUSI DALAM KEBIJAKAN NASIONAL DIBIDANG PERTANAHAN

PENGATURAN KEWENANGAN PENDAFTARAN TANAH REDISTRIBUSI DALAM KEBIJAKAN NASIONAL DIBIDANG PERTANAHAN TESIS PENGATURAN KEWENANGAN PENDAFTARAN TANAH REDISTRIBUSI DALAM KEBIJAKAN NASIONAL DIBIDANG PERTANAHAN I GEDE TRESNA PRATAMA WIJAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS PENGATURAN

Lebih terperinci

PENERAPAN APPRAISAL RIGHT TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG LEMAH DALAM PENGGABUNGAN PERUSAHAAN (MERGER)

PENERAPAN APPRAISAL RIGHT TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG LEMAH DALAM PENGGABUNGAN PERUSAHAAN (MERGER) PENERAPAN APPRAISAL RIGHT TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG LEMAH DALAM PENGGABUNGAN PERUSAHAAN (MERGER) I WAYAN ERI ABADI PUTRA NIM: 1016051050 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENGKONSUMSI MAKANAN KADALUWARSA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENGKONSUMSI MAKANAN KADALUWARSA SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENGKONSUMSI MAKANAN KADALUWARSA AGUS FAHMI PRASETYA NIM. 1103005181 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

Lebih terperinci

STATUS KEPEMILIKAN ATAS SATUAN RUMAH SUSUN

STATUS KEPEMILIKAN ATAS SATUAN RUMAH SUSUN STATUS KEPEMILIKAN ATAS SATUAN RUMAH SUSUN Oleh Anak Agung Ngurah Arya Winata I Nengah Suharta Program Kekhususan Hukum Pemerintah Fakultas Hukum Unviersitas Udayana ABSTRACT Property rights of the ownership

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENANAM MODAL ASING DALAM SENGKETA HUKUM PENANAMAN MODAL DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENANAM MODAL ASING DALAM SENGKETA HUKUM PENANAMAN MODAL DI INDONESIA SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENANAM MODAL ASING DALAM SENGKETA HUKUM PENANAMAN MODAL DI INDONESIA OLEH : ADE HENDRA YASA NIM : 0916051080 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 i PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI SATUAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN

BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN 44 BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN 1. Tugas dan Wewenang Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Sebagai badan hukum, pengurus perhimpunan

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DALAM PROSES ESTIMASI BIAYA PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG BERTINGKAT DI KOTA DENPASAR

MANAJEMEN RISIKO DALAM PROSES ESTIMASI BIAYA PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG BERTINGKAT DI KOTA DENPASAR TESIS MANAJEMEN RISIKO DALAM PROSES ESTIMASI BIAYA PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG BERTINGKAT DI KOTA DENPASAR IDA AYU PRANITI TRESNA PUTRI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS MANAJEMEN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS TANAH SETELAH TERBAKARNYA KANTOR PERTANAHAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS TANAH SETELAH TERBAKARNYA KANTOR PERTANAHAN TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS TANAH SETELAH TERBAKARNYA KANTOR PERTANAHAN LUH PUTU WIDYASTUTI NIM. 1092461008 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BATASAN RUMAH SUSUN YANG DIJADIKAN AGUNAN PADA BANK. J. Andy Hartanto Universitas Narotama, Surabaya

BATASAN RUMAH SUSUN YANG DIJADIKAN AGUNAN PADA BANK. J. Andy Hartanto Universitas Narotama, Surabaya BATASAN RUMAH SUSUN YANG DIJADIKAN AGUNAN PADA BANK J. Andy Hartanto Universitas Narotama, Surabaya E-mail: j.andyhartanto@gmail.com Rizal Bahrudin Universitas Narotama, Surabaya E-mail: rizal.renvoi@gmail.com

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA YURIDIS PERJANJIAN SEWA MENYEWA GEDUNG MILIK PEMERINTAH ANTARA PEMERINTAH KOTA DENPASAR DENGAN PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG

PROBLEMATIKA YURIDIS PERJANJIAN SEWA MENYEWA GEDUNG MILIK PEMERINTAH ANTARA PEMERINTAH KOTA DENPASAR DENGAN PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG SKRIPSI PROBLEMATIKA YURIDIS PERJANJIAN SEWA MENYEWA GEDUNG MILIK PEMERINTAH ANTARA PEMERINTAH KOTA DENPASAR DENGAN PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG NI WAYAN IDA YULIANA PERTIWI 1116051159 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

SKRIPSI MILIK ATAS TANAH TANPA AKTA PPAT DI KECAMATAN SUKASADA KABUPATEN BULELENG

SKRIPSI MILIK ATAS TANAH TANPA AKTA PPAT DI KECAMATAN SUKASADA KABUPATEN BULELENG 1 SKRIPSI JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH TANPA AKTA PPAT DI KECAMATAN SUKASADA KABUPATEN BULELENG IDA BAGUS EKA SASTRAJNYANA NIM. 0703005108 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 2 JUAL BELI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 07 TAHUN 2002 TENTANG RUMAH SUSUN DALAM WILAYAH KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 07 TAHUN 2002 TENTANG RUMAH SUSUN DALAM WILAYAH KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 07 TAHUN 2002 TENTANG RUMAH SUSUN DALAM WILAYAH KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin bertambahnya jumlah

Lebih terperinci

WEWENANG CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) SEMENTARA DALAM PEMBUATAN AKTA PERALIHAN HAK ATAS TANAH

WEWENANG CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) SEMENTARA DALAM PEMBUATAN AKTA PERALIHAN HAK ATAS TANAH WEWENANG CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) SEMENTARA DALAM PEMBUATAN AKTA PERALIHAN HAK ATAS TANAH Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program

Lebih terperinci

HAK EKSEKUSI KREDITOR SEPARATIS TERHADAP OBJEK HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITOR PAILIT (STUDY KASUS PUTUSAN NO.06/PLW/PAILIT/2015/PN.NIAGA.SBY JO.

HAK EKSEKUSI KREDITOR SEPARATIS TERHADAP OBJEK HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITOR PAILIT (STUDY KASUS PUTUSAN NO.06/PLW/PAILIT/2015/PN.NIAGA.SBY JO. HAK EKSEKUSI KREDITOR SEPARATIS TERHADAP OBJEK HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITOR PAILIT (STUDY KASUS PUTUSAN NO.06/PLW/PAILIT/2015/PN.NIAGA.SBY JO. NO.20/PAILIT/2011/PN.NIAGA.SBY) GEDE ADI NUGRAHA NIM.

Lebih terperinci

STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DALAM HUKUM PERJANJIAN INDONESIA

STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DALAM HUKUM PERJANJIAN INDONESIA SKRIPSI STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DALAM HUKUM PERJANJIAN INDONESIA KETUT SURYA DARMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 SKRIPSI STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

Lebih terperinci

PENGELOLAAN RUMAH SUSUN DAN PERMASALAHANNYA DITINJAU DARI PRESPEKTIF PENERAPAN UU.NO.20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

PENGELOLAAN RUMAH SUSUN DAN PERMASALAHANNYA DITINJAU DARI PRESPEKTIF PENERAPAN UU.NO.20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN PENGELOLAAN RUMAH SUSUN DAN PERMASALAHANNYA DITINJAU DARI PRESPEKTIF PENERAPAN UU.NO.20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN Oleh : Julius Lobiua SH.MH HP. 081511237866, 0816824116. I. Pengantar Pembangunan

Lebih terperinci

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH TESIS PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH I GUSTI NGURAH BUDI WARDHIANA NIM : 1192461037 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS

SKRIPSI PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS SKRIPSI PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS DAN ASAS PACTA TERTIIS NEC NOCENT NEC PROSUNT TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA CELAH TIMOR ANTARA INDONESIA, AUSTRALIA DAN TIMOR LESTE STEPHANIE MAARTY K SATYARINI

Lebih terperinci

Kata kunci: rumah susun, konsumen, perlindungan hukum

Kata kunci: rumah susun, konsumen, perlindungan hukum TINJAUAN YURIDIS TERHADAP RENCANA PENGUBAHAN TATA LETAK OLEH PENGEMBANG PADA RUMAH SUSUN YANG SUDAH MEMILIKI SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN DIHUBUNGKAN DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMILIK

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI TUKANG GIGI KARENA KELALAIAN DALAM MELAKUKAN PEKERJAANNYA DITINJAU DARI KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI TUKANG GIGI KARENA KELALAIAN DALAM MELAKUKAN PEKERJAANNYA DITINJAU DARI KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI TUKANG GIGI KARENA KELALAIAN DALAM MELAKUKAN PEKERJAANNYA DITINJAU DARI KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA dan UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN I

Lebih terperinci

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN PARATE EKSEKUSI SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN PARATE EKSEKUSI SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN TESIS EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN PARATE EKSEKUSI SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN I PUTU INDRA YOGA ABIMANIU NIM:1392461017 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Rumah Susun / Kondominium

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Rumah Susun / Kondominium Bab II Tinjauan Umum Tentang Rumah Susun / Kondominium Pertumbuhan bngunan bertingkat untuk hunian atau usaha akan semakin bertambah pesat, seiring semakin pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan yang

Lebih terperinci

LUH MIRA AMBARASARI SAKA

LUH MIRA AMBARASARI SAKA TESIS TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT DALAM PENGURUSAN PERIZINAN SIUP AGRIBISNIS DI BADAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU SATU PINTU DAN PENANAMAN MODAL KOTA DENPASAR LUH MIRA AMBARASARI SAKA NIM. 1291161015 PROGRAM

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai peranan yang penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Mengingat pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka sudah sewajarnya peraturan

Lebih terperinci

TESIS KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM MELEGALISIR FOTOKOPI TERJEMAHAN IJAZAH MENURUT UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

TESIS KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM MELEGALISIR FOTOKOPI TERJEMAHAN IJAZAH MENURUT UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS TESIS KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM MELEGALISIR FOTOKOPI TERJEMAHAN IJAZAH MENURUT UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS NI KETUT AYU MAS DIRMAYUNTI NIM. 1492461030 PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 Tahun 1985 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 Tahun 1985 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 Tahun 1985 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia Menimbang: a. Bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG NO: 15 2010 SERI: E PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN AKTA PEMISAHAN DAN PERTELAAN ATAS SATUAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENYELESAIAN KREDIT MACET BAGI DEBITUR DI LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD), DESA PAKRAMAN KABA KABA KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN TABANAN

PENYELESAIAN KREDIT MACET BAGI DEBITUR DI LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD), DESA PAKRAMAN KABA KABA KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN TABANAN PENYELESAIAN KREDIT MACET BAGI DEBITUR DI LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD), DESA PAKRAMAN KABA KABA KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN TABANAN ANAK AGUNG NGURAH BAGUS CANDRA DINATA NIM. 0916051193 FAKULTAS HUKUM

Lebih terperinci

PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK DAERAH BERUPA TANAH UNTUK MASYARAKAT

PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK DAERAH BERUPA TANAH UNTUK MASYARAKAT TESIS PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK DAERAH BERUPA TANAH UNTUK MASYARAKAT I KOMANG DIVO MAHAYAKTI HERIADI NIM. 1492461035 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NOTARIS PEMBUAT KETERANGAN HAK WARIS BAGI WNI KETURUNAN TIONGHOA

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NOTARIS PEMBUAT KETERANGAN HAK WARIS BAGI WNI KETURUNAN TIONGHOA TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NOTARIS PEMBUAT KETERANGAN HAK WARIS BAGI WNI KETURUNAN TIONGHOA I MADE UNGGUL PRIBADI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG DAN MELALUI SISTEM PERWAKILAN

PERBANDINGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG DAN MELALUI SISTEM PERWAKILAN TESIS PERBANDINGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG DAN MELALUI SISTEM PERWAKILAN I NYOMAN RUTHA ADY NIM. 0790561062 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR : 942 TAHUN 1991 TENTANG

GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR : 942 TAHUN 1991 TENTANG GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR : 942 TAHUN 1991 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN RUMAH SUSUN DI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK i PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana IDA BAGUS ABHIMANTARA

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM SISTEM PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SECARA ELEKTRONIK (ONLINE SYSTEM)

KEPASTIAN HUKUM SISTEM PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SECARA ELEKTRONIK (ONLINE SYSTEM) SKRIPSI KEPASTIAN HUKUM SISTEM PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SECARA ELEKTRONIK (ONLINE SYSTEM) NI NYOMAN RATIH KESUMA DEWI NIM. 1103005095 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 KEPASTIAN HUKUM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. Mengingat : 1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, bahwa rumah merupakan

Lebih terperinci

TESIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK ENY HERI MANIK NIM

TESIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK ENY HERI MANIK NIM TESIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK ENY HERI MANIK NIM. 1390561014 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 i PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA BAGI DOKTER ATAS

Lebih terperinci

MORALITAS INDIVIDU, MANAJEMEN LABA, SALAH SAJI, PENGUNGKAPAN, BIAYA DAN MANFAAT, SERTA TANGGUNG JAWAB DALAM ETIKA PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN

MORALITAS INDIVIDU, MANAJEMEN LABA, SALAH SAJI, PENGUNGKAPAN, BIAYA DAN MANFAAT, SERTA TANGGUNG JAWAB DALAM ETIKA PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN TESIS MORALITAS INDIVIDU, MANAJEMEN LABA, SALAH SAJI, PENGUNGKAPAN, BIAYA DAN MANFAAT, SERTA TANGGUNG JAWAB DALAM ETIKA PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN \ INGRID SARASWATI BAYUSENA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa negara menerapkan pemisahan antara pusat pemerintahan atau

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa negara menerapkan pemisahan antara pusat pemerintahan atau BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Beberapa negara menerapkan pemisahan antara pusat pemerintahan atau ibukota negara dengan pusat bisnis dalam tata kelola-nya. Sebagai contoh konkrit atas kebijakan tersebut,

Lebih terperinci

Oleh : Ni Putu Dian Putri Pertiwi Darmayanti Ni Nyoman Sukerti I Wayan Novy Purwanto. Program Kekhususan Hukum Perdata Fakultas Hukum Udayana

Oleh : Ni Putu Dian Putri Pertiwi Darmayanti Ni Nyoman Sukerti I Wayan Novy Purwanto. Program Kekhususan Hukum Perdata Fakultas Hukum Udayana AKIBAT HUKUM JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH KEPADA ORANG ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA Oleh : Ni Putu Dian Putri Pertiwi Darmayanti Ni Nyoman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1280, 2013 KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT. Perumahan. Kawasan Permukiman. Hunian Berimbang. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

TESIS I PUTU PANDE ARIAWAN NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI AKUNTANSI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

TESIS I PUTU PANDE ARIAWAN NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI AKUNTANSI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS KEADILAN PROSEDURAL DAN IKLIM KERJA ETIS SEBAGAI PEMODERASI PENGARUH PARTISIPASI PENGANGGARAN PADA SENJANGAN ANGGARAN (Studi Empiris pada Pemerintah Kabupaten Tabanan) I PUTU PANDE ARIAWAN NIM 1391661045

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA BANDUNG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA BANDUNG, SALINAN WALI KOTA BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA BANDUNG NOMOR 543 TAHUN 2018 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI SATUAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PENJAMINAN BANGUNAN DIATAS TANAH HAK SEWA YANG DIIKUTI DENGAN PENGALIHAN HAK SEWA SEBAGAI BENTUK CESSIE DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT

PENJAMINAN BANGUNAN DIATAS TANAH HAK SEWA YANG DIIKUTI DENGAN PENGALIHAN HAK SEWA SEBAGAI BENTUK CESSIE DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT TESIS PENJAMINAN BANGUNAN DIATAS TANAH HAK SEWA YANG DIIKUTI DENGAN PENGALIHAN HAK SEWA SEBAGAI BENTUK CESSIE DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT GDE RAHADI WIGUNA NIM. 1292461013 PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

Lebih terperinci

PENGARUH TINGKAT SUKU BUNGA, RISIKO PASAR, DEBT TO EQUITY RATIO

PENGARUH TINGKAT SUKU BUNGA, RISIKO PASAR, DEBT TO EQUITY RATIO TESIS PENGARUH TINGKAT SUKU BUNGA, RISIKO PASAR, DEBT TO EQUITY RATIO, DAN PRICE EARNING RATIO TERHADAP RETURN SAHAM PADA PERUSAHAAN PROPERTI AND REAL ESTATE DI BURSA EFEK INDONESIA PUTU AYU RUSMALA DEWI

Lebih terperinci

TESIS KEDUDUKAN KUASA MENJUAL ATAS DASAR SURAT KETERANGAN NOTARIS TENTANG PEMBAYARAN LUNAS DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI BALIK NAMA

TESIS KEDUDUKAN KUASA MENJUAL ATAS DASAR SURAT KETERANGAN NOTARIS TENTANG PEMBAYARAN LUNAS DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI BALIK NAMA TESIS KEDUDUKAN KUASA MENJUAL ATAS DASAR SURAT KETERANGAN NOTARIS TENTANG PEMBAYARAN LUNAS DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI BALIK NAMA SUMARDI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 TESIS

Lebih terperinci

SIFAT PEMBUKTIAN SERTIFIKAT SEBAGAI TANDA BUKTI HAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH

SIFAT PEMBUKTIAN SERTIFIKAT SEBAGAI TANDA BUKTI HAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH SIFAT PEMBUKTIAN SERTIFIKAT SEBAGAI TANDA BUKTI HAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH Oleh : Ni Wayan Pipit Paidawati I Nengah Suharta Bagian Hukum

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR SKRIPSI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP BAGASI TERCATAT DALAM HAL TERJADI KERUSAKAN BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN : STUDI PADA PT. GARUDA INDONESIA DENPASAR

Lebih terperinci

SKRIPSI KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN KERJASAMA BISNIS BERBENTUK PERJANJIAN DIBAWAH TANGAN YANG DILEGALISASI OLEH NOTARIS

SKRIPSI KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN KERJASAMA BISNIS BERBENTUK PERJANJIAN DIBAWAH TANGAN YANG DILEGALISASI OLEH NOTARIS SKRIPSI KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN KERJASAMA BISNIS BERBENTUK PERJANJIAN DIBAWAH TANGAN YANG DILEGALISASI OLEH NOTARIS IDA AYU GITA SRINITA 1116051079 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kehidupan manusia untuk mencapai suatu tujuan ekonomi khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya badan hukum.

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENERBITAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BOYOLALI

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENERBITAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BOYOLALI PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENERBITAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BOYOLALI TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister Program Magister

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005

Lebih terperinci

PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK OLEH KONSUMEN KEPADA PT. BALI DEWATA MAS SEBAGAI PENGEMBANG PERUMAHAN

PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK OLEH KONSUMEN KEPADA PT. BALI DEWATA MAS SEBAGAI PENGEMBANG PERUMAHAN PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK OLEH KONSUMEN KEPADA PT. BALI DEWATA MAS SEBAGAI PENGEMBANG PERUMAHAN Oleh : Luh De Masdiah Anggreni I Ketut Westra I Wayan Novy Purwanto Bagian Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

TESIS KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP KERUGIAN PARA PIHAK DALAM PENDAFTARAN FIDUSIA ONLINE

TESIS KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP KERUGIAN PARA PIHAK DALAM PENDAFTARAN FIDUSIA ONLINE TESIS KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP KERUGIAN PARA PIHAK DALAM PENDAFTARAN FIDUSIA ONLINE IDA BAGUS PUTU ADI PUTRA WIJAYA PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

LUH PUTU SWANDEWI ANTARI

LUH PUTU SWANDEWI ANTARI TESIS BATAS PENGATURAN PERUSAHAAN DAERAH (STUDI TERHADAP PERATURAN DAERAH TENTANG PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM PADA KABUPATEN BADUNG, KOTA DENPASAR, DAN KABUPATEN BULELENG) LUH PUTU SWANDEWI ANTARI PROGRAM

Lebih terperinci

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 28 DESEMBER 2016 NIP NIP

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 28 DESEMBER 2016 NIP NIP Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 28 DESEMBER 2016 Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. I Dewa Nyoman Badera, SE, MSi. Dr.A.A.N.B. Dwirandra, SE, MSi., Ak. NIP. 19641225199303 1 003

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM DI BIDANG TEKNIS TENAGA KERJA MAINTENANCE PADA PT. AEROFOOD CATERING SERVICE DENPASAR BALI

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM DI BIDANG TEKNIS TENAGA KERJA MAINTENANCE PADA PT. AEROFOOD CATERING SERVICE DENPASAR BALI SKRIPSI PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM DI BIDANG TEKNIS TENAGA KERJA MAINTENANCE PADA PT. AEROFOOD CATERING SERVICE DENPASAR BALI KOMANG ALIT ADNYA SARI DEWI NIM 1203005016 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA PEKANBARU Nomor : 14 Tahun : 2002 Seri : D Nomor : 13

LEMBARAN DAERAH KOTA PEKANBARU Nomor : 14 Tahun : 2002 Seri : D Nomor : 13 LEMBARAN DAERAH KOTA PEKANBARU Nomor : 14 Tahun : 2002 Seri : D Nomor : 13 PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU Nomor 8 Tahun 2002 TENTANG RUMAH SUSUN DI KOTA PEKANBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN LEMBAGA OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP KEDUDUKAN SISTEM PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA

PEMBENTUKAN LEMBAGA OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP KEDUDUKAN SISTEM PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA SKRIPSI PEMBENTUKAN LEMBAGA OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP KEDUDUKAN SISTEM PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA I G A A KARYANI WARDANA 1203005306 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 ii PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 11/KPTS/1994 TENTANG PEDOMAN PERIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 11/KPTS/1994 TENTANG PEDOMAN PERIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 11/KPTS/1994 TENTANG PEDOMAN PERIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT ; Menimbang : a. bahwa jual beli satuan rumah susun

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 50 2010 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 50 TAHUN 2010 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 50 2010 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 50 TAHUN 2010 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 50 2010 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 50 TAHUN 2010 TENTANG PERTELAAN, AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN DAN PENERBITAN SERTIFIKAT LAIK FUNGSI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci