V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis pendapatan usahatani pengembangan sentra jeruk Siam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis pendapatan usahatani pengembangan sentra jeruk Siam"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pendapatan Usahatani Hasil analisis pendapatan usahatani pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan total biaya yang dikeluarkan selama proses produksi, secara rinci seperti pada Tabel 11. Tabel 11. Analisis Pendapatan Usahatani Pengembangan Sentra Jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat (Hektar) Umur Produksi (Kilogram) Harga (Rp) Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) Discaunt Faktor 13% Rata-rata pendapatan pertahun Sumber : Analisis data primer, 2007 Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak layak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan pendapatan usahatani Tabel 11 dan Lampiran 4 yaitu sebesar rata-rata Rp juta per tahun per Hektar sampai dengan umur tanaman 15 tahun. Biaya total yang diperlukan petani jeruk Siam Pontianak sampai pada tahun ke lima belas mencakup biaya investasi adalah sebesar Rp juta yang terdiri dari tradable inputs Rp juta yaitu pupuk sebesar juta, pestisida sebesar

2 Rp juta dan alat-alat pertanian Rp juta. Faktor domestik yaitu tenaga kerja Rp juta modal Rp juta, lahan Rp juta dan sarana lainnya Rp juta. Total pendapatan Rp juta Biaya operasional pada tahun pertama penanaman jeruk dan selanjutnya sampai pada umur ke lima belas berkisar Rp juta Rp juta dengan biaya rata-rata per tahun sebesar Rp juta. Tingginya biaya operasional ini salah satu diantaranya disebabkan tingginya harga faktor domestik terutama upah tenaga kerja, modal kerja, sewa lahan, dan sarana alat pertanian dan faktor tradable inputs meliputi harga pupuk NPK plus, pestisida dan sarana pertanian lainya (bibit, keranjang buah dan pupuk kandang) Hasil analisis penerimaan usahatani dalam kurun waktu lima belas tahun adalah total produksi Kilogram dengan harga rata-rata Rp per Kilogram total penerimaan petani per Hektar sebesar Rp juta dikurangi total biaya pengeluaran sebesar Rp juta, maka total pendapatan petani jeruk adalah sebesar Rp juta dengan rata-rata pendapatan pertahun sebesar Rp juta dan rata-rata produksi pertahun sebanyak Kilogram. Pada lokasi penelitian umur tanaman 6-10 tahun sebanyak persen, umur 0-5 tahun sebanyak 40 persen dan umur diatas 10 tahun sebanyak persen, berdasarkan analisis pendapatan usahataninya per Hektar pada umur tanaman 6-10 tahun adalah total penerimaan sebesar Rp juta, total pengeluaran input tradable sebesar Rp juta, domestik sebesar Rp juta maka pendapatan petani per Hektar adalah sebesar Rp juta. Total produksi adalah sebanyak Kilogram dengan harga rata-rata sebesar Rp per Kilogram, dengan kepemilikan luas lahan antara Hektar dengan rata-rata

3 seluas 1.35 Hektar dengan jumlah keluarga 3-4 orang per KK, maka pengembangan jeruk Siam Pontianak layak untuk dikembangkan hal ini ditunjukkan dengan tingkat pendapatan per bulan sebesar Rp 768 ribu per Hektar atau sebesar Rp juta per 1.35 Hektar sehingga pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp 259 ribu, bila dibandingkan tingkat upah minimum regional Provinsi Kalimantan Barat tahun sebesar Rp 750 ribu per bulan. Rendahnya pendapatan pada saat penelitian apabila dibanding dengan proyeksi umur tanaman 15 tahun, hal ini disebabkan karena pada saat penelitian harga jeruk mengalami penurunan harga sebesar 40 persen bila dibanding harga musim panen sebelumnya. Berdasarkan analisis usahatani pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak mencapai masa produksi optimum yaitu pada saat tanaman berumur sebelas tahun dengan produksi berkisar Kilogram, sehingga tanaman sejak mulai berumur sebelas tahun ke atas diharapkan petani mampu memperbaiki sistem budidaya/agronominya agar supaya dapat mempertahankan hasil produksinya kembali dan petani tidak mengalami kerugian yang cukup besar Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi Hasil analisis kelayakan finansial dan ekonomi yang menggambarkan kelayakan usahatani pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat per Hektar kebun jeruk siam selama lima belas tahun. Untuk jelasnya seperti terdapat pada Tabel 12. Tabel 12 Menunjukkan bahwa pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat secara finansial layak untuk dikembangkan karena nilai NPV yang diperoleh sebesar Rp juta, nilai B/C ratio sebesar 1.93

4 lebih besar dari satu serta nilai IRR persen dan pay back period 4 tahun 3 bulan (5 tahun). Nilai IRR yang melebihi dari nilai suku bunga tabungan yang berlaku 13 persen mengindikasikan bahwa modal yang dimiliki lebih baik diinvestasikan untuk usahatani jeruk Siam Pontianak. Tabel 12. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi Pengembangan Sentra Jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat (Hektar) Nomor Indikator Kelayakan Finansial Ekonomi 1 NPV Rp juta Rp juta 2 B/C ratio IRR 33.20% % 4 Pay Back Period 4 tahun + 3 bulan 3 tahun + 2 bulan 5 Umur Optimum 13 tahun 13 tahun Sumber : Analisis data primer, 2007 Usaha ini lebih menguntungkan daripada modal tersebut di simpan di bank, karena manfaat yang diperolehnya akan lebih besar. Selain itu nilai BC ratio yang diperoleh yaitu 1.93 mengandung makna untuk setiap satu rupiah yang diinvestasikan atau dikeluarkan dalam usahatani pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak, akan memberikan pengembalian masing-masing sebesar Rp 1.93 atau dengan kata lain manfaat yang diperoleh adalah 1.93 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Dari nilai B/C ratio ini dilihat tingkat keuntungan yang dapat diberikan usahatani jeruk Siam Pontianak adalah sebesar 193 persen dari biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan waktu pengembalian investasinya, digunakan analisis pay back period dari hasil analisis yang dilakukan. Usahatani jeruk Siam Pontianak ini akan mencapai masa pengembalian investasi (pay back period) pada tanaman berumur 4 tahun 3 bulan ( 5 tahun), bila ditinjau dari hasil penelitian umur tanaman 15 tahun, umur produksi optimum tanaman jeruk pada saat berumur 13 tahun, maka dapat dikatakan usahatani ini masih memiliki sisa umur

5 tanaman yang cukup untuk mendapatkan keuntungan, tetapi perlu tindakan agronomi yang lebih intensif. Analisis ekonomi pada Tabel 12 menunjukkan keragaan pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak jauh lebih baik dibandingkan kelayakan finansial. Pada tingkat suku bunga yang sama, pendapatan nilai NPV yang diterima petani sebesar Rp juta dengan nilai BC ratio Nilai NPV yang positif dan BC ratio lebih besar dari satu menunjukkan bahwa usahatani ini secara ekonomis layak dikembangkan. Indikator lainnya yang dapat digunakan dalam menilai kelayakan secara ekonomi adalah IRR dalam pengembangan usaha ini sebesar persen dengan lama pengembalian investasi selama 3 tahun 2 bulan (4 tahun), dengan umur produksi optimum 13 tahun. Analisis sensitivitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan empat variabel simulasi pertama yaitu kenaikan harga input tradable terdiri harga pupuk, pestisida dan alat pertanian masing masing sebesar 20 persen, kedua kenaikan harga faktor domestik yaitu upah tenaga kerja, sewa lahan dan sarana pertanian lainnya masing-masing sebesar 15 persen. Asumsi kenaikan harga input produksi didasarkan atas fluktuasi harga-harga input yang berpengaruh besar terhadap kemungkinan tingkat inflasi maksimal atau laju pertumbuhan harga yang berakibat ikut naiknya harga input seperti terjadi tahun Ketiga penurunan harga output sebesar 40 persen. Penurunan harga output sebesar 40 persen didasarkan atas pengalaman dari laju pertumbuhan harga jual jeruk siam tahun dan simulasi keempat, adalah peningkatan harga input tradable sebesar 20 persen (simulasi 1), faktor domestik sebesar 15 persen (simulasi 2) dan penurunan harga output sebesar 40 persen (simulasi 3). Berikut ini hasil analisis

6 sensitivitas usaha pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Analisis Sensitivitas Kelayakan Pengembangan Sentra Jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat (Hektar) Perubahan Harga Input ( %) Perubahan Harga Kriteria Kelayakan Input Tradable Input Domestik Output (%) NPV (Rp) IRR (%) BC Rasio PBP Umur Optimum juta th + 4 bln 13 tahun juta th + 5 bln 13 tahun juta th + 6 bln 14 tahun ribu diatas 15 thn >15 thn Sumber : Analisis data primer, 2007 Hasil analisis sensitivitas pada kelayakan pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak menunjukkan bahwa pada simulasi pertama apabila input tradable yaitu harga pupuk, pestisida dan alat pertanian masing-masing naik sebesar 20 persen, maka pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak mengalami kerugian sebesar Rp juta Rp juta = Rp juta atau mengalami penurunan pendapatan sebesar 6.55 persen. Kriteria investasi dinyatakan layak hal ini ditunjukkan ole nilai NPV sebesar Rp juta, IRR sebesar persen, Net BC rasio sebesar 1.81 dan pengembalian investasi selama 4 tahun 4 bulan, umur produksi optimum 13 tahun. Simulasi kedua kenaikan input faktor domestik yaitu harga upah tenaga kerja, sewa lahan dan sarana pertanian lainnya masing-masing sebesar 15 persen, maka pengembangan sentra jeruk siam pontianak mengalami kerugian sebesar juta Rp juta = Rp juta atau mengalami penurunan pendapatan sebesar persen, kriteria investasi dinyatakan layak hal ini ditunjukkan oleh nilai NPV sebesar Rp juta, IRR sebesar persen, net

7 B/C rasio sebesar 1.74 dan pengembalian investasi selama 4 tahun 5 bulan, umur produksi optimum tanaman jeruk Siam Pontianak berumur 13 tahun. Simulasi ketiga penurunan harga output sebesar 40 persen, maka pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak mengalami kerugian sebesar Rp juta - Rp juta = Rp juta atau mengalami kerugian pendapatan sebesar persen, kriteria investasi layak tetapi pendapatan relatif kecil, hal ini ditunjukkan oleh nilai NPV sebesar Rp juta, IRR sebesar persen, BC rasio sebesar 1.16 dan pengembalian investasi selama 5 tahun 6 bulan, umur produksi optimum tanaman jeruk Siam Pontianak berumur 14 tahun. Berarti bahwa pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak tidak peka terhadap penurunan harga output sampai sebesar 40 persen dengan asumsi variabel yang lain tetap. Simulasi keempat yaitu peningkatan harga input tradable sebesar 20 persen, input domestik sebesar 15 persen dan penurunan harga output sebesar 40 persen, maka pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak mengalami kerugian sebesar Rp juta Rp (- 641) ribu = Rp juta atau mengalami penurunan pendapatan sebesar persen, kriteria investasi kurang layak hal ini ditunjukkan oleh NPV sebesar Rp ribu, IRR sebesar persen, B/C rasio sebesar 0.99 dan pengembalian investasi diatas umur 15 tahun, serta tanaman berproduksi maksimum berumur diatas 15 tahun. Berarti bahwa pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak peka terhadap gabungan peningkatan harga input tradable sebesar 20 persen, faktor domestik sebesar 15 persen dan penurunan harga output sebesar 40 persen.

8 5.3. Analisis Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah yang dianalisis dengan perhitungan Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan dampak kebijakan yang terkait dengan upaya pemerintah dalam melindungi petani dari distorsi pasar sebagai upaya mempertahankan eksistensi usaha dan sekaligus sebagai insentif bagi petani untuk meningkatkan produksinya. Matrik hasil analisis ini pada tingkat usahatani satu Hektar dengan harga-harga yang berlaku pada saat penelitian. Analisis dayasaing dilakukan pada komoditas utama yaitu pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat (Lampiran 5 sampai dengan 11) Analisis Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Keuntungan privat adalah penerimaan dan biaya dihitung berdasarkan harga sesungguhnya yang diterima dan dibayar petani. Harga tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, berupa subsidi, proteksi, pembebasan bea masuk, pajak maupun kebijakan lainnya. Suatu usahatani masih terus dijalankan jika keuntungan yang didapat lebih besar dari nol atau telah mencapai normal profit. Hasil analisis keuntungan privat untuk pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat adalah bernilai positif atau lebih besar dari nol yaitu dengan nilai keuntungan privat sebesar Rp juta artinya penerimaan produsen berdasarkan nilai finansial lebih besar dari pengeluaran terhadap biaya input tradable maupun input faktor domestik atau memperoleh profit di atas normal. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak layak atau menguntungkan untuk dikembangkan. Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisien dari sistem pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak tidak ada divergensi.

9 Apabila keuntungan sosial lebih besar dari nol dan nilai semakin besar yaitu keuntungan sosial sebesar Rp juta, berarti pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak tersebut makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Nilai keuntungan sosial lebih tinggi daripada nilai keuntungan privat, hal ini menunjukkan bahwa pengembangan jeruk Siam Pontianak lebih memberikan keuntungan bagi masyarakat secara keseluruhan dibandingkan secara individu. Dengan kata lain, adanya kebijakan atau intervensi pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima petani menjadi lebih kecil dari keuntungan yang seharusnya diterima dibandingkan tanpa adanya intervensi atau kebijakan. Berdasarkan analisis struktur biaya PAM pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak (Lampiran 5 sampai 11), perbedaan perolehan keuntungan sosial lebih tinggi disebabkan karena perbedaan penerimaan ekonomi, yaitu dikarenakan tingginya perbedaan harga sosial atau harga bayangan jeruk di pasar international yang mencapai US$ (FOB) per Ton atau Rp per Kilogram untuk grade AB per Kilogram, sedangkan harga aktualnya hanya mencapai sekitar Rp per Kilogram untuk grade AB Analisis Dayasaing Untuk mengukur tingkat dayasaing jeruk Siam Pontianak dalam kaitannya dengan efisiensi penggunaan sumberdaya, maka digunakan dua pendekatan yaitu dayasaing kompetitif (keungggulan kompetitif) dan dayasaing komparatif (keunggulan komparatif). Indikator yang digunakan untuk melihat dayasaing kompetitif adalah Rasio Biaya Privat (PCR), sedangkan indikator yang digunakan

10 untuk melihat dayasaing komparatif adalah Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC). Hasil analisis dayasaing yaitu nilai PCR dan DRC seperti pada Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan bahwa nilai Rasio Biaya Privat (PCR) sebesar 0.44 atau nilai yang diperoleh lebih kecil dari satu, mengandung arti bahwa pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak efisien secara finansial atau mempunyai keunggulan kompetitif. artinya untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu-satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu-satuan. Rasio Sumberdaya Domestik (DRC) sebesar 0.17 atau nilai yang diperoleh kurang dari satu, menunjukkan bahwa pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak efisien secara ekonomi atau mempunyai keunggulan komparatif. Artinya untuk meningkatkan satu-satuan pada harga sosial diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar kurang dari satu-satuan. Makna lainnya adalah untuk menghemat satu satuan devisa pada harga sosial dan harga privat hanya diperlukan korbanan kurang dari satu satuan biaya sumberdaya domestik. Tabel 14. Analisis Policy Analysis Matrix Pengembangan Sentra Jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat (Hektar) Revenue Biaya (Rp) Profit (Rp) (Rp) Tradable (Rp) Domestik (Rp) Harga Privat Harga Sosial Divergensi ( ) ( ) Sumber : Analisis data primer, 2007 Keterangan : Keuntungan private (PP) = Keuntungan sosial (SP) = Rasio biaya private (PCR) = 0.44 Rasio sumberdaya domestik (DRC) = 0.17

11 Nilai DRC sebesar 0.17 memberi arti bahwa memproduksi jeruk Siam Pontianak di dalam negeri lebih baik dibandingkan dengan impor, karena hanya membutuhkan biaya domestik sebesar 17 persen, dengan kata lain produksi jeruk Siam Pontianak secara domestik memiliki dayasaing tinggi, sebab setiap satu dollar yang diinvestasikan, devisa yang dihasilkan dalam usaha ini mampu mendatangkan nilai tambah sebesar 0.83 dollar. Keunggulan kompetitif terlihat nilai PCR sebesar 0.44 yaitu lebih kecil dari satu. Angka ini memberikan gambaran bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat, hanya diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 44 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak dapat menghasilkan profit positif karena mampu membiayai faktor domestik pada harga privat, atau dengan kata lain secara finansial usaha ini dapat dilihat bahwa nilai PCR lebih besar dari nilai DRC, artinya walaupun tidak ada intervensi atau kebijakan pemerintah, pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak tetap memiliki keunggulan komparatif dan prosfektif untuk dikembangkan. Keadaan ini tentunya perlu didukung adanya kebijakan operasional yaitu: (1) menghilangkan atau mengurangi distorsi pasar baik pada pasar input maupun output, (2) mengadakan berbagai program penelitian terapan, (3) menyediakan sarana dan prasarana yang baik fisik maupun ekonomi sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas sentra-sentra produksi terhadap pasar input maupun output, (4) memberi kemudahan investor membangun pabrik pengolahan hasil, sehingga petani lebih mudah memasarkan produksinya, dan (5) pengembangan peningkatan sumberdaya manusia melalui magang bagi petugas dan petani.

12 Hasil analisis sensitivitas pada dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing kompetitif dan komparatif pada pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak Tabel 15 menunjukkan bahwa pada simulasi pertama apabila input tradable yaitu harga pupuk, pestisida dan alat pertanian masing-masing naik sebesar 20 persen, maka nilai PCR mengalami peningkatan sebesar =0.02, dan nilai DRC tetap yaitu sebesar Hal ini menunjukkan bahwa akibat dampak kebijakan peningkatan harga input tradable sebesar 20 persen maka mengakibatkan penurunan dayasaing kompetitif sebesar 2 persen dan dayasaing komparatifnya tetap yaitu sebesar 17 persen dengan asumsi variabel lainnya tetap. Simulasi kedua kenaikan input faktor domestik yaitu harga upah tenaga kerja, sewa lahan dan sarana pertanian lainnya masing-masing sebesar 15 persen, maka nilai PCR mengalami peningkatan sebesar =0.06, dan nilai DRC yaitu sebesar = Hal ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan harga input faktor domestik sebesar 15 persen akan mengakibatkan penurunan dayasaing kompetitif sebesar 6 persen dan dayasaing komparatifnya sebesar 2 persen dengan asumsi variabel lainnya tetap. Simulasi ketiga penurunan harga output sebesar 40 persen, maka nilai PCR mengalami peningkatan sebesar =0.38, dan nilai DRC yaitu sebesar = Hal ini menunjukkan bahwa dengan penurunan harga output sebesar 40 persen akan mengakibatkan penurunan dayasaing kompetitif sebesar 38 persen dan dayasaing komparatifnya sebesar satu persen dengan asumsi variabel lainnya tetap. Simulasi keempat yaitu peningkatan harga input tradable sebesar 20 persen, input domestik sebesar 15 persen dan penurunan harga output sebesar 40 persen,

13 maka nilai PCR mengalami peningkatan sebesar = 0.57, dan nilai DRC yaitu sebesar = Hal ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan harga input tradable sebesar 20 persen, input domestik sebesar 15 persen dan penurunan harga output sebesar 40 persen akan mengakibatkan penurunan dayasaing kompetitif sebesar 57 persen dan dayasaing komparatifnya sebesar 4 persen. Tabel 15. Analisis Sensitivitas Dampak Kebijakan Pengembangan Sentra Jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat (Hektar) Uraian Sebelum Sesudah Perubahan Perubahan Input Output Input & Output (Rp) Tradable (+20%) Domestik (+15%) (-40%) (+20%,+15%, -40%) Keuntungan Privat Keuntungan Sosial Dampak Kebijakan PCR DRC Sumber : Analisis data primer, Analisis Sistem Pemasaran Struktur Pasar Struktur pasar yang terjadi pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat pada proses pemasaran buah jeruk di lokasi penelitian dapat diketahui dengan melakukan analisis struktur pasar. Analisis struktur pasar dilakukan dengan melihat jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, keadaan produk, dan hambatan keluar masuk pasar.

14 Jumlah Lembaga Pemasaran Jumlah petani yang terlibat dalam usahatani jeruk siam Pontianak adalah berjumlah 178 kelompok tani dengan didukung oleh lembaga pemasaran di lokasi penelitian berjumlah tujuh pedagang pengumpul, enam pedagang distributor, satu pedagang antar pulau, seratus tiga pedagang pengecer. Bentuk pasar yang terjadi jika dilihat pada pasar tingkat petani adalah oligopsoni. Hal ini terlihat dari jumlah petani yang jauh lebih besar dari jumlah pembelinya yaitu pedagang pengumpul. Bentuk pasar yang terjadi jika dilihat pada pasar tingkat pedagang pengumpul adalah pasar oligopsoni, dimana jumlah pedagang pengumpul yang berjumlah tujuh orang lebih banyak dari jumlah distributor yang berjumlah enam orang. Jika dilihat pada pasar tingkat pedagang pengecer, bentuk pasar yang terjadi adalah pasar oligopoli, dimana jumlah pengecer yang berjumlah 103 orang lebih banyak dari distributor yang berjumlah enam orang Keadaan Produk Keadaan produk menggambarkan bentuk fisik jeruk secara keseluruhan yang dihasilkan dari buah jeruk Siam Pontianak yang telah dipanen, dikelompokkan berdasarkan mutu yaitu AB, C, D dan E pada tingkat pedagang pengumpul pada saat pembelian dari petani. Jeruk siam Pontianak dengan kelas AB dibeli dengan harga Rp per Kilogram, C dengan harga Rp per Kilogram, D dengan harga Rp per Kilogram dan kelas E dengan harga Rp 817 per Kilogram. Standar kelas mutu jeruk Siam Pontianak dapat dilihat Pada Tabel 10. Proses standarisasi dan grading dilakukan pada tingkat pedagang pengumpul yang dibeli dari petani dengan alat yang sederhana. Proses

15 standarisasi dan grading untuk memisahkan buah yang rusak atau pecah dan yang baik serta mengelompokkan berdasarkan kualitas. Buah jeruk siam Pontianak disortir dulu berdasarkan kerusakan, diameter buah, tingkat kematangan, berat buah dan tekstur buah kemudian dipisahkan berdasarkan kelas AB, C, D dan E Hambatan Keluar Masuk Pasar Hambatan keluar masuk pasar dalam pemasaran buah jeruk Siam Pontianak dari Kalimantan Barat, dipengaruhi oleh hubungan kepercayaan diantara pelaku pasar serta besarnya modal yang dimiliki oleh lembaga pemasaran. Hubungan kepercayaan terjadi antara petani dan pedagang pengumpul. Para pedagang pengumpul biasanya merupakan penduduk setempat warga keturunan Cina yang telah memiliki hubungan baik dengan petani dan juga merupakan langganan dari petani pada saat musim panen. Pedagang pengumpul biasanya merupakan langganan dari pedagang distributor dan pedagang antar pulau sehingga mendapatkan kepercayaan untuk mencari jeruk di daerah penelitian dan mendapatkan pinjaman modal untuk pembelian buah jeruk kepada petani. Pedagang pengecer merupakan pedagang yang mendapatkan pijaman modal dari distributor, atau membayar setelah jeruk terjual kepada konsumen. Lembaga pemasaran yang terlibat pada proses pemasaran buah jeruk Siam Pontianak umumnya memiliki pengalaman yang cukup lama, memiliki modal yang cukup besar, baik modal sendiri atau merupakan modal pinjaman dari pedagang tingkat selanjutnya, serta memiliki hubungan kepercayaan yang baik dengan lembaga pemasaran lainnya. Berdasarkan keterangan dari lembaga pemasaran yang ada, hambatan yang paling besar yang akan digunakan sebagai

16 modal pembelian jeruk Siam Pontianak yang dipinjamkan dari pedagang pengumpul dan pedagang distributor, serta harus memiliki relasi langsung di Pasar induk Jakarta yang akan bertindak sebagai importir Informasi Pasar Informasi pasar dalam proses pemasaran merupakan tingkat pengetahuan informasi pasar yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran yang meliputi biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan. Informasi pasar dalam hal biaya yang diperlukan dalam proses pemasaran jeruk Siam Pontianak di lokasi Penelitian diperoleh dari lembaga pemasaran lainnya serta pihak-pihak yang berkaitan dengan proses pemasaran. Informasi mengenai harga terjadi secara timbal balik diantara partisipan pemasaran. Kondisi pasar yang terjadi diantara partisipan terbentuk dengan adanya hubungan kepercayaan sehingga informasi dan jaringan pasar mengenai keadaan pasar dapat lebih mudah diperoleh Perilaku Pasar Perilaku pasar dalam pemasaran dapat diketahui dengan melihat sistem penentuan harga dan pembayaran harga yang terjadi diantara suatu lembaga pemasaran serta kerjasama yang terjadi diantara lembaga pemasaran Sistem Penentuan Harga dan Pembayaran Harga Sistem penentuan harga yang terjadi pada proses pemasaran jeruk Siam Pontianak di Lokasi Penelitian yaitu penentuan harga yang ditentukan oleh pedagang yang lebih besar perannya dalam menentukan harga adalah distributor. Distributor akan memberikan suatu tingkat harga kepada pedagang pengumpul,

17 kemudian pedagang pengumpul akan menentukan harga beli jeruk kepada petani dan distributor juga menentukan harga pada tingkat pedagang pengecer. Petani akan mendapatkan harga jual berdasarkan harga yang berlaku di tingkat pasar petani. Walaupun petani menjual langsung kepada pedagang besar atau distributor maupun pedagang antar pulau, petani tidak akan mendapatkan harga jual sesuai dengan harga jual jeruk untuk tingkat pedagang pengumpul dan distributor. Hal ini terjadi karena pedagang besar mempertimbangkan keberadaan dari pedagang di bawahnya serta kesepakatan harga yang tidak tertulis dengan pedagang di bawahnya. Dalam hal ini proses tawar menawar akan terjadi antara petani dengan pedagang besar. Tinggi rendahnya harga juga didasarkan pada jumlah jeruk yang dihasilkan pada musim panen tersebut. Jika pada musim tersebut supply jeruk lebih besar di lokasi penelitian, maka harga yang diberikan juga rendah sebaliknya harga jeruk juga berdasarkan harga dari pedagang besar baru kemudian terjadi tawar menawar. Penentuan harga yang ditentukan oleh pedagang yang lebih tinggi tingkatannya terjadi karena suatu keterikatan dalam bentuk modal. Sistem pembayaran harga diantara partisipan terjadi secara tunai dan dengan dibayar di muka. Pembayaran yang terjadi diantara petani dan pedagang pengumpul dilakukan secara tunai. Pembayaran diantara pedagang pengumpul dengan pedagang distributor dan pedagang antar pulau yang memiliki ikatan modal, dilakukan dengan cara pembayaran dimuka dalam bentuk pinjaman modal kepada pedagang pengumpul atau pedagang pengecer. Sedangkan pembayaran diantara pedagang pengecer dan konsumen dilakukan secara tunai.

18 Kerjasama antara Lembaga Pemasaran Bentuk kerjasama yang terjadi diantara lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran jeruk Siam Pontianak berdasarkan adanya keterikatan dalam bentuk modal, yang didasarkan atas kepercayaan. Bentuk kerjasama antara petani dan pedagang pengumpul sebatas hanya kerjasama pembeli dan penjual, tanpa ikatan dalam bentuk modal. Kerjasama dalam bentuk modal terjadi diantara pedagang pengumpul dengan pedagang distributor, pedagang distributor dengan pedagang pengecer. Modal yang dimiliki pedagang pengumpul dan pedagang pengecer merupakan pinjaman yang diberikan oleh pedagang distributor untuk membeli pedagang pengumpul dan memfasilitasi pinjaman mobil untuk mengangkut jeruk yang telah dikumpulkan dari petani ke gudang pedagang distributor. Pedagang distributor biasanya melakukan kerjasama dengan pedagang pengecer yang telah menjadi kepercayaannya. Adanya keterkaitan ini menyebabkan pedagang pengumpul menjual seluruh jeruk kepada disributor dan pedagang pengecer mengambil kepada pedagang distributor. Pinjaman ini diberikan tanpa bunga dan tanpa adanya suatu ikatan hukum. Kelebihan pinjaman akan dikembalikan kepada pedagang distributor Sistem Pemasaran Saluran pemasaran jeruk Siam Pontianak Provinsi Kalimantan Barat melibatkan lembaga pemasaran yaitu pedagang pengumpul, distributor, Pedagang Antar Pulau (PAP) atau Pedagang Besar (PB), dan pengecer. Lembaga-lembaga ini harus melakukan fungsi-fungsi pemasaran seperti menyalurkan semua jenis buah jeruk dalam waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen. Sebagai

19 gambaran umum produksi jeruk Siam Pontianak Provinsi Kalimantan Barat sampai tahun 2006 sebanyak juta Ton dipasarkan ke Lokal Kalimantan Barat sebanyak 0.37 persen, Jakarta persen, Semarang 0.94 persen, Palembang persen, Riau sebanyak 0.25 persen, Tanjung Pinang 0.34 persen, Bangka Belitung 0.75 persen, dan Malaysia 1.95 persen, (Diperta Kalbar, 2006) Pelabuhan pengiriman buah jeruk Siam Pontianak oleh pedagang umumnya melalui pelabuhan utama dan lokal dengan penyebaran pelabuhan Pontianak sebanyak persen, Sentete Pemangkat persen, Kuala Tebas persen, Sungai Batang 4.20 persen, lokal Pontianak 1.02 persen dan Pos Lintas Batas 1.95 persen. Untuk meningkatkan hasil pemasaran dan menampung hasil panen, maka diperlukan adanya pembangunan sarana dan prasarana jalan usahatani, penyediaan alat grading dan tempat penampungan sementara yaitu pasilitas penunjang yaitu terminal angribinis terpadu serta menjalin kemitraan petani dengan swasta. Penelitian ini dengan keterbatasan waktu dan biaya hanya dilakukan survai delapan saluran pemasaran yang dikelompokkan menjadi tiga pola pemasaran jeruk Siam Pontianak dapat ditunjukkan pada Gambar 9. Pola pertama adalah termasuk saluran pemasaran tingkat dua, khusus untuk pasar Kota Singkawang. Produsen menjual jeruk kepada pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul menjualnya kepada para pengecer, kemudian pengecer akan menjualnya kepada konsumen akhir. Sangat sedikit pedagang distributor yang menjual jeruk langsung kepada konsumen tertentu di pusat pasar di Kota Singkawang. Pedagang distributor lebih senang menjual langsung kepada

20 pedagang pengecer karena merasa mendapatkan harga yang lebih baik. Selain itu mereka tetap dapat melakukan jual beli meskipun volume penjualannya kecil. Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengecer Pedagang Distributor Pedagang Antar Pulau Konsumen Pedagang Pengecer Pedagang Distributor Konsumen Pedagang Pengecer Konsumen Gambar 9. Pola Pemasaran Jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat Pola kedua adalah pola pemasaran untuk lima Kabupaten dan Kota yaitu Sei Pinyuh, Kabupaten Landak, Sanggau, Sintang, dan Kota Pontianak termasuk dalam kategori saluran pemasaran tingkat tiga yaitu produsen/petani menjual jeruknya ke pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul menjual kepada pedagang distributor, pedagang distributor menjual kepada pedagang pengecer, dan pedagang pengecer menjualnya kepada konsumen akhir.

21 Pola ketiga termasuk saluran pemasaran tingkat empat yaitu produsen/petani menjual jeruknya ke pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul menjual kepada pedagang besar atau pedagang antar pulau, pedagang PAP menjual kepada pedagang distributor ( Muara Angke, Kramatjati, dan Cibinong), pedagang distributor menjual kepada pedagang pengecer Jakarta dan Bogor, dan pedagang pengecer menjualnya kepada konsumen akhir. Sebagian besar produsen tidak langsung menjual barang mereka ke pemakai akhir (konsumen). Produsen dan konsumen terdapat sekumpulan perantara pemasaran yang melakukan fungsi tertentu dan menyandang nama tertentu. Produsen adalah petani jeruk yang berada di Sentra Produksi (SP) jeruk Siam Pontianak, di kalangan para pelaku pasar jeruk dibedakan atas 4 grade atau kelas yaitu grade AB, C, D, dan grade E. Dalam proses distribusi barang dari produsen ke konsumen biasanya melibatkan tiga pihak yaitu pedagang, agen, dan fasilitator. Menurut Kotler (1997), pedagang adalah orang yang membeli, mempunyai hak, dan menjual kembali barang dagangannya; agen adalah orang yang mencari pelanggan, dan dapat bernegosiasi atas nama produsen tetapi tidak memiliki hak atas barang tersebut; sedangkan fasilitator adalah pihak-pihak yang membantu dalam proses distribusi tetapi tidak memiliki atau menegosiasikan pembelian atau penjualan. Untuk mengidentifikasi saluran pemasaran dan sistem kelembagaan, akan difokuskan ke pedagang yang terlibat dalam kegiatan pemasaran jeruk. Pedagang perantara yang terlibat secara langsung pada proses pemasaran jeruk Siam Pontianak terdiri dari pengumpul, distributor, pedagang antar pulau atau pedagang besar, dan pengecer.

22 Secara umum, lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran jeruk Siam Pontianak adalah pedagang pengumpul, pedagang besar atau pedagang antar pulau, distributor, dan pengecer. Diantara lembaga pemasaran yang terlibat dalam tataniaga jeruk Siam Pontianak, mempunyai hubungan timbal-balik yang sudah mengakar kuat dan berlangsung lama. Hubungan antar lembaga pemasaran tersebut adalah (1) petani Vs pengumpul, PAP, distributor, (2) pengumpul Vs PAP, distributor, (3) PAP Vs distributor, (4) distributor Vs pengecer, dan (5) pengecer Vs konsumen. Petani menjual hasil jeruknya kepada pengumpul sebanyak Ton per bulan, dari pengumpul disaluran ke distributor sebanyak Ton per bulan atau persen dan ke pedagang antar pulau sebanyak Ton per bulan atau persen dan sisanya ke pengecer langsung sebanyak Ton per bulan atau 6.58 persen. Sistem kelembagaan dan keragaan rantai pemasaran hasil penelitian pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak di Kalimantan Barat. Berdasarkan Gambar 9 terdapat delapan saluran pemasaran atau 3 pola saluran pemasaran yang terjadi pada pemasaran jeruk Siam Pontianak mulai dari tingkat petani hingga ke konsumen akhir. Tiga pola pemasaran jeruk Siam Pontianak tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pola Saluran Pemasaran ke-1 Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengecer Konsumen Pola pemasaran ke satu terdiri dari petani ke pedagang pengumpul ke pedagang pengecer lalu ke konsumen. Saluran pemasaran ke satu merupakan saluran pemasaran pendek, dimana hanya terdapat dua lembaga pemasaran. yang terlibat, yaitu pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Petani

23 melalukan proses pemasaran langsung kepada pedagang pengumpul karena lokasi pedagang pengumpul yang tidak terlau jauh dari lahan petani, sehingga memungkinkan penjualan jeruk secara langsung. 2. Pola Saluran Pemasaran ke-2 Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Distributor Pedagang Pengecer Konsumen. Pola pemasaran kedua terdiri dari petani ke pedagang pengumpul ke pedagang distributor ke pedagang pengecer lalu ke konsumen Saluran pemasaran kedua merupakan saluran pemasaran lebih panjang, dimana terdapat tiga lembaga pemasaran yang terlibat, yaitu pedagang pengumpul, pedagang distributor, dan pedagang pengecer. Pola saluran pemasaran kedua dilakukan untuk Kabupaten Pontianak (Sei Pinyuh), Landak, Sanggau, Sintang dan Kota Pontianak. 3. Pola Saluran Pemasaran ke-3 Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Antar Pulau (PAP) Pedagang Distributor Pedagang Pengecer Konsumen Pola pemasaran ketiga terdiri dari petani ke pedagang pengumpul ke pedagang antar pulau ke pedagang distributor ke pedagang pengecer lalu ke konsumen. Pola pemasaran ketiga merupakan saluran pemasaran panjang, dibanding pola pemasaran kesatu dan kedua, dimana terdapat empat lembaga pemasaran yang terlibat, yaitu pedagang pengumpul, pedagang antar pulau, pedagang distributor, dan pedagang pengecer. Pola saluran pemasaran ketiga dilakukan untuk di wilayah Jakarta dan Bogor

24 Dari hasil pengamatan di lapangan dengan para pedagang buah jeruk ternyata bahwa petani lebih cenderung memilih menjual produksinya kepada pedagang pengumpul dengan pertimbangan karena ketidakmampuan petani untuk menanggung biaya pemasaran dan resiko pemasaran seperti adanya fluktuasi harga jual yang mendadak dan pertimbangan lainnya. Studi lapang pemasaran di Provinsi Kalimantan Barat dikonsentrasikan pada pedagang pengumpul hingga pedagang distributor, PAP, pedagang pengecer, dan konsumen akhir Fungsi-fungsi Pemasaran Suatu proses pemasaran memerlukan adanya tindakan-tindakan untuk memperlancar penyaluran barang dan jasa pada setiap lembaga pemasaran mulai dari produsen hingga ke konsumen akhir yang disebut dengan fungsi pemasaran. Fungsi-fungsi pemasaran terdiri dari fungsi pertukaran (fungsi penjualan dan pembelian), fungsi fisik (fungsi penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (fungsi standarisasi dan grading, penanggungan resiko, pembiayaan, dan informasi pasar). Tabel 16. Fungsi-Fungsi Pemasaran yang Dilakukan oleh Lembaga Pemasaran Jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat No Fungsi Pemasaran Petani Pedagang Pengumpul PAP Distributor Pengecer Fungsi Perukaran 1 F. Pembelian - F. Penjualan Fungsi Fisik F. Penyimpanan F. Pengangkutan F. Pengolahan - - Fungsi Fasilitas 3 F. Standarisasi & grading F. Penanggungan - Resiko F. Pembiayaan F. Informasi Sumber : Analisis data primer, 2007

25 Adanya fungsi-fungsi ini agar suatu produk dalam pemasarannya dapat lebih efektif dan efisien. Namun dalam kondisi tertentu tidak semua fungsi-fungsi trsebut dapat dilakukan sepenuhnya oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Pada sistem pemasaran buah jeruk Siam Pontianak, lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat antara lain pedagang pengumpul, pedagang antar pulau, pedagang distributor dan pedagang pengecer. Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran pada lokasi penelitian seperti terlihat pada Tabel Petani Petani dalam proses pemasaran pada lokasi penelitian melakukan tugas fungsi penjualan sebagai bagian dari fungsi pertukaran. Fungsi penjualan dilakukan terhadap pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang distributor dan pedagang pengecer. Berdasarkan hasil penelitian petani responden sebanyak 60 petani atau 100 persen, petani responden yang melakukan penjualan kepada pedagang pengumpul sebesar 100 persen. Dengan pola penjualan jeruk Siam Pontianak kepada pedagang pengumpul yaitu pemetikan dilakukan oleh petani atau dilakukan dengan tenaga buruh petik dengan upah borongan per Kilogram, kemudian hasil dibawa dan dijual kepada pedagang pengumpul atau pedagang pengumpul mendatangi pada areal petani kemudian dilakukan transaksi jual beli. Pada waktu transaksi penjualan oleh petani, pedagang pengumpul, pedagang distributor dan pedagang pengecer dengan membedakan kelas yaitu kelas AB, C, D, dan E yang mana penilaianya tergantung pada ukuran, kemulusan dan tingkat kematangan buah. Tingkat harga mutu kelas AB Rp per Kilogram, kelas C dengan harga Rp per Kilogram, kelas D dengan harga Rp per Kilogram dan kelas E dengan harga Rp 817 per Kilogram. Jumlah buah jeruk

26 Siam Pontianak kelas AB sebanyak 7 buah, kelas C sebanyak 8-9 buah kelas D sebanyak buah, dan kelas E sebanyak buah, masing-masing dengan tingkat kematangan persen. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai, baik oleh pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Bagi pedagang pengumpul yang tidak memiliki modal karena tidak ada ikatan modal dengan pedagang besar, pembayaran dilakukan setelah jeruk dijual kepada pengecer atau pedagang besar lainnya. Fungsi fisik yang dilakukan petani responden berupa fungsi pengangkutan, yaitu pengangkutan ke tempat pengumpul. Petani ada yang tidak melalukan fungsi pengangkutan jika petani menjual hasil panen secara borongan kepada pengumpul atau pedagang pengumpul yang mendatangi tempat areal petani responden, karena pedagang pengumpul yang akan melakukan seluruh proses pemasaran. Pengangkutan hasil panen petani ketempat pedagang pengumpul dilakukan dengan menggunakan mobil pick up, motor air, dan gerobak ditarik sepeda motor. Petani tidak melakukan fungsi penyimpanan karena seluruh buah jeruk yang sudah dipanen di pagi hari harus langsung dijual pada siang harinya. Petani juga tidak melakukan fungsi pengolahan sebagai bagian dari fungsi fisik. Fungsi fasilitas meliputi fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembiayaan, fungsi informasi pasar, petani responden tidak melakukan fungsi penanggungan resiko, karena buah jeruk langsung dijual pada siang harinya. Petani responden tidak melakukan fungsi pembiayaan jika seluruh hasil panen dijual borongan per mutu kelas jeruk. Fungsi pembiayaan dilakukan petani responden jika panen dilakukan oleh petani atau dengan sistem upah kepada orang lain, dan kemudian petani mengeluarkan biaya

27 pemasaran untuk membawa hasil panen ke gudang pedagang pengumpul. Fungsi imformasi pasar dilakukan oleh petani dengan memperoleh informasi harga dan kualitas buah dari pedagang pengumpul, pedagang besar, distributor dan sesama petani. Jika buah hasil panen jeruk mempunyai kualitas yang baik, berarti mutu AB lebih banyak dari mutu kelas lainnya dan tingkat kematangannya sebesar persen, maka pendapatan yang akan diperoleh juga akan lebih tinggi Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul adalah pedagang yang membeli jeruk dari petani dan setelah terkumpul selanjutnya dijual ke pengecer, distributor, atau pedagang antar pulau/pedagang besar yang jaraknya tidak jauh dari pedagang pengumpul tersebut. Pembelian jeruk dari petani ke pengumpul dilakukan dengan dua cara, yaitu petani langsung membawa jeruknya ke pengumpul atau pengumpul mendatangi ke petani. Untuk cara pertama, biasanya petani tersebut letaknya berdekatan dengan pengumpul dan biaya transportasi ditanggung oleh petani bersangkutan dan mengadakan transaksi baik di rumah maupun di lokasi usahatani kemudian pedagang pengumpul membayar kepada petani saat itu juga secara tunai. Sedangkan cara kedua, biasanya petani tersebut letaknya jauh dari pedagang pengumpul dan sudah berlangganan. Sehingga pengumpul akan mengambil langsung dari petani yang bersangkutan, dalam hal ini biaya transportasi ditanggung pengumpul, tetapi tidak jarang juga petani mendatangi pedagang pengumpul untuk membeli jeruknya. Pedagang pengumpul yang ada terdiri dua macam yaitu pengumpul free lance dan pengumpul henchman. Pedagang pengumpul free lance adalah pedagang pengumpul yang melakukan pembelian dari berbagai petani sampai

28 jumlah tertentu (dikumpulkan terlebih dahulu) untuk dijual ke distributor, PB/PAP atau pengecer secara bebas. Pengumpul free lance dapat memilih distributor, PB/PAP atau pengecer dengan harga beli tertinggi. Mereka biasanya mempunyai modal sendiri, tidak bergantung pada pinjaman/fasilitas dari distributor atau PAP. Sedangkan pengumpul henchman adalah pengumpul yang melakukan pembelian dari berbagai petani sampai jumlah tertentu untuk dijual ke PB/PAP atau distributor yang telah memberi kontribusi modal. Pengumpul henchman harus menjual ke PB/PAP atau distributor yang telah memberi modal kepadanya. Buah jeruk yang dibeli dari petani ada empat kelas yaitu AB, C, D, dan E dalam keadaan bersih dan dimasukkan dalam wadah keranjang lalu ditimbang sesuai dengan harga kesepakatan per kelas masing-masing. Untuk kelas AB per Kilogramnya adalah jumlah sebanyak maksimal 7 buah, kelas C sebanyak 8-9 buah, kelas D sebanyak buah, dan kelas E sebanyak buah. Kegiatan pedagang pengumpul meliputi pengangkutan ke pusat pasar, bongkar muat, sortir dan menjual atau mengantar langsung ke kios pedagang pengecer yang menjadi langganannya Pedagang Distributor Distributor adalah pedagang yang membeli jeruk dari petani, pengumpul yang selanjutnya didistribusikan pada pedagang pengecer ke berbagai tempat (lintas kabupaten/kota). Distributor jeruk Siam Pontianak terdapat di Kabupaten Sambas dan Jakarta. Distributor di Kabupaten Sambas biasanya mendistribusikan jeruk ke pengecer wilayah Singkawang, Landak, Sanggau, Sintang, dan Kota Pontianak. Distributor di Jakarta terdapat di Pasar Angke, Pasar Kramatjati, dan

29 Pasar Cibitung dimana distributor mendistribusikan ke pengecer wilayah Jakarta dan Bogor. Pedagang distributor melakukan pembelian buah jeruk dalam volume yang relatif besar dibanding dengan pedagang pengumpul. Biasanya pedagang distributor tidak melakukan pembelian buah jeruk kepada petani langsung tetapi melalui perantara yaitu pedagang pengumpul kemudian menjualnya kepada pedagang pengecer. Pedagang distributor biasanya sudah mempunyai langganan dalam membeli buah jeruk. Dibanding pedagang pengumpul, resiko pedagang distributor atau pedagang besar lebih kecil karena lebih mengetahui kondisi harga pasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pedagang di pusat pasar pada umunya para pedagang mendatangi langsung pedagang pengumpul yang ada di daerah produsen jeruk. Biaya transportasi biasanya ditanggung oleh pedagang distributor, namun biaya bongkar muat tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Antara pedagang dengan pengumpul sudah terjalin hubungan yang cukup lama dalam jual beli jeruk, namun tidak dalam hubungan yang terikat satu sama lain. Hubungan keduanya terjadi dalam hal langganan yang sering melakukan transaksi jual beli. Biasanya harga di pasar distributor ditentukan oleh mekanisme pasar, dimana pada saat pasokan buah banyak di pasar maka harga jual akan turun, tingginya penawaran buah di pasaran disebabkan karena banyaknya penawaran dari daerah sentra produksi buah seperti Kabupaten Sambas. Jika buah kurang di pasaran maka harga jual akan meningkat, kondisi ini meyebabkan pedagang

30 distributor mencari tempat pasokan lain selain dari pasokan buah yang berasal dari sentra roduksi yang biasanya. Para pedagang borongan di pusat pasar Sambas, dan pusat pasar lainnya umumnya mendatangi daerah sentra produksi Kabupaten Sambas. Cara pembayaran pedagang distributor ke pedagang pengumpul ada yang membayar tunai ada juga yang membayar dengan uang muka, dimana pembayaran keseluruhan dilakukan pada saat buah sudah terjual/laku di pasaran atau paling lama satu sampai tiga hari setelah buah diambil pedagang pengecer Pedagang Antar Pulau Pedagang Antar Pulau (PAP) atau Pedagang Besar (PB) adalah pedagang yang membeli jeruk dari petani, dan pengumpul selanjutnya sebagian besar dijual ke luar wilayah Kalimantan Barat, seperti ke Jakarta, Semarang, dan Bangka Belitung. Pangsa pasar untuk Bangka Belitung relatif sedikit, sebagian besar jeruk dipasarkan ke Kota Pontianak dan Jakarta. Untuk pemasaran jeruk ke Jakarta, terdapat 3 macam sistem transaksi yang dilakukan oleh pedagang antar pulau dengan distributor di Jakarta (Angke, Kramatjati, dan Cibitung), yaitu (a) sistem komisi, (b) sistem sewa, dan (c) sistem harga lepas. Pada sistem komisi, pedagang antar pulau mempercayakan jeruk kepada distributor di Jakarta untuk dipasarkan. Distributor memperoleh komisi dari total hasil penjualan, dan sisanya diterima pedagang antar pulau. Dalam sistem komisi ini, distributor tidak menanggung resiko pemasaran (kerusakan buah, resiko harga, resiko tidak laku). Pada sistem sewa, pedagang antar pulau menjual jeruk di pasar induk dengan menyewa tempat penjualan (lapak) milik distributor di Jakarta, dimana besarnya sewa lapak adalah Rp per peti. Semua resiko

31 pemasaran ditanggung oleh PAP. Pada sistem harga putus, pedagang antar pulau melakukan transaksi jual beli dengan distributor pada harga yang telah disepakati. PAP menanggung seluruh biaya pemasaran dan resiko pemasaran sampai jeruk diterima oleh distributor. Setelah jeruk sampai di distributor, maka semua resiko ditanggung oleh distributor dan tanggung jawab PAP terputus Pedagang Pengecer Pedagang pengecer adalah pedagang yang membeli jeruk dari pedagang pengumpul, distributor, PAP yang selanjutnya menjual ke konsumen akhir. Terdapat dua macam pengecer dalam pemasaran jeruk Siam Pontianak yaitu pengecer menetap dan pengecer peraih. Pengecer menetap adalah pengecer yang mempunyai tempat berjualan khusus di suatu tempat dan biasanya menetap. Sedangkan pengecer peraih adalah pengecer yang menjual jeruk secara langsung kepada konsumen dengan berkeliling dari kampung ke kampung atau dari pasar ke pasar menggunakan kendaraan bermotor. Pedagang pengecer menetap biasanya dipasok oleh pengumpul, distributor, atau pedagang besar. Sedangkan pengecer peraih membeli jeruk langsung kepada pedagang besar (PB) di gudangnya. Sistem pembelian pedagang terhadap pedagang pengumpul dan distributor adalah secara tunai, demikian halnya dengan penjualan juga secara tunai Sistem Pemasaran Jeruk Siam Pontianak antar Lembaga Pemasaran Sistem pemasaran merupakan kesatuan konseptual yang secara fisik terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait dan merupakan kumpulan dari komponenkomponen yang bekerja sama dalam suatu kesatuan yang terorganisasi.

32 Sistem Pemasaran antara Petani dengan Pedagang Pengumpul Sistem pemasaran yang terjadi antara petani dengan pedagang pengumpul menunjukkan interface yang terjadi pada saat petani produsen sebagai penjual jeruk berhadapan langsung dengan tujuh pedagang pengumpul. Sistem penentuan harga jual jeruk antara petani dengan pedagang pengumpul dilakukan secara tawar menawar setelah adanya suatu tingkat harga yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul. Umumnya pedagang pengumpul lebih berperan dalam menentukan harga dibandingkan petani karena harga yang dtawarkan oleh pedagang pengumpul merupakan harga jeruk yang didasarkan pada harga jual jeruk kepada pedagang besar atau distributor. Dalam interstage yang terjadi antara petani pada tahap pertama dengan pedagang pengumpul pada tahap kedua pada pola saluran pertama hingga pola saluran ketiga terdapat proses pengumpulan dan penyaluran jeruk dari petani oleh pedagang pengumpul Sistem Pemasaran antara Pedagang Pengumpul dengan Pedagang Distributor dan Pedagang Antar Pulau Sistem pemasaran yang terjadi antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar atau pedagang distributor dan pedagang antar pulau menunjukkan interface yang terjadi adalah pada saat tujuh pedagang pengumpul berhadapan langsung dengan enam pedagang distributor dan satu pedagang antar pulau. Pedagang distributor dan pedagang antar pulau membeli jeruk dari pedagang pengumpul yang telah menjadi langganannya. Pedagang distributor dan pedagang antar pulau memiliki peranan paling besar dalam penentuan harga karena pedagang pengumpul merupakan agen/perantara yang memiliki keterkaitan modal dari pedagang besar.

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM VI ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

VII ANALISIS PEMASARAN KEMBANG KOL 7.1 Analisis Pemasaran Kembang Kol Penelaahan tentang pemasaran kembang kol pada penelitian ini diawali dari petani sebagai produsen, tengkulak atau pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

ANALISIS SENSITIVITAS

ANALISIS SENSITIVITAS VII ANALISIS SENSITIVITAS 7.1. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perubahan kurs mata uang rupiah, harga jeruk siam dan harga pupuk bersubsidi

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA

VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA 6.1. Lembaga Tataniaga Nenas yang berasal dari Desa Paya Besar dipasarkan ke pasar lokal (Kota Palembang) dan ke pasar luar kota (Pasar Induk Kramat Jati). Tataniaga nenas

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah Saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug terbagi dua yaitu cabai rawit merah yang dijual ke pasar (petani non mitra) dan cabai

Lebih terperinci

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

VI HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran dan Lembaga Tataniaga Dalam menjalankan kegiatan tataniaga, diperlukannya saluran tataniaga yang saling tergantung dimana terdiri dari sub-sub sistem atau fungsi-fungsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah Pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes terbentuk dari beberapa komponen lembaga pemasaran, yaitu pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR 7.1. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar nenas diketahui dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan masuk dan keluar pasar,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) Novi Itsna Hidayati 1), Teguh Sarwo Aji 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRAK Apel yang

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Packing House Packing house ini berada di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi. Packing house dibangun pada tahun 2000 oleh petani diatas lahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum.

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum. 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional mencakup semua pengertian yang digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan 33 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini, RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun 2012... 5 2. Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2010-2012... 6 3. Luas panen, produktivitas, dan produksi manggis

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, 26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran dibentuk dengan mendekatkan permasalahan dan tujuan penelitian dengan teori-teori yang relevan serta penelitian empiris yang telah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur 47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

METODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian. III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti, serta penting untuk memperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sebuah lokasi yang berada Desa Kanreapia Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa: 1. Penawaran output jagung baik di Jawa Timur maupun di Jawa Barat bersifat elastis

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena analisis dalam metode

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 email: mardianto.anto69@gmail.com ABSTRAK 9 Penelitian tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Lebih terperinci

PERAN PEDAGANG PENGUMPUL DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA. Husnarti Dosen Agribisnis Faperta UMSB. Abstrak

PERAN PEDAGANG PENGUMPUL DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA. Husnarti Dosen Agribisnis Faperta UMSB. Abstrak PERAN PEDAGANG PENGUMPUL DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA Husnarti Dosen Agribisnis Faperta UMSB Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pedagang di Kabupaten Lima Puluh Kota. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , ,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , , V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Umur petani responden Umur Petani merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada aktivitas di sektor pertanian. Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Saluran Pemasaran, dan Fungsi Pemasaran Saluran pemasaran jagung menurut Soekartawi (2002) merupakan aliran barang dari produsen kepada konsumen. Saluran pemasaran jagung

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN 7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output Perubahan-perubahan dalam faktor eksternal maupun kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk 28 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasiona Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO. memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen.

BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO. memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen. BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO Pemasaran adalah suatu runtutan kegiatan atau jasa yang dilakukan untuk memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen. Kelompok

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Tataniaga Saluran tataniaga sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir dari petani hingga konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukaresmi dan Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purpossive

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif analitis. Menurut Nazir (2014) Metode deskriptif adalah suatu metode dalam

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis Provinsi Kalimantan Barat

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis Provinsi Kalimantan Barat IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Provinsi Kalimantan Barat Posisi geografis Provinsi Kalimantan Barat berada di antara 2 o 08 LU dan 3 o 05 LS, serta di antara 108 o 0 BT dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini 33 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini menggunakan metode sensus. Pengertian sensus dalam penelitian

Lebih terperinci

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih 1.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA Kustiawati Ningsih Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Madura, Kompleks Ponpes Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 51 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat di Provinsi Bangka Belitung yaitu Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung.

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL 7.1. Proyeksi Arus Kas (Cashflow) Proyeksi arus kas merupakan laporan aliran kas yang memperlihatkan gambaran penerimaan (inflow) dan pengeluaran kas (outflow). Dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Rantai Pasokan Buah Naga 1. Sasaran Rantai Pasok Sasaran rantai pasok merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah rantai pasok. Ada dua sasaran rantai

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT Yusuf 1 dan Rachmat Hendayana 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas Dayasaing sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu industri karena dayasaing merupakan kemampuan suatu

Lebih terperinci

KINERJA PEMASARAN JERUK SIAM DI KABUPATEN JEMBER, JAWA TIMUR (Marketing Work of Tangerine in Jember Regency, East Java)

KINERJA PEMASARAN JERUK SIAM DI KABUPATEN JEMBER, JAWA TIMUR (Marketing Work of Tangerine in Jember Regency, East Java) KINERJA PEMASARAN JERUK SIAM DI KABUPATEN JEMBER, JAWA TIMUR (Marketing Work of Tangerine in Jember Regency, East Java) Lizia Zamzami dan Aprilaila Sayekti Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 Uraian Jumlah (Rp) Total Ekspor (Xt) 1,211,049,484,895,820.00 Total Impor (Mt) 1,006,479,967,445,610.00 Penerimaan

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR

BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR 6.1 Gambaran Lokasi Usaha Pedagang Ayam Ras Pedaging Pedagang di Pasar Baru Bogor terdiri dari pedagang tetap dan pedagang baru yang pindah dari

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA BERAS

ANALISIS TATANIAGA BERAS VI ANALISIS TATANIAGA BERAS Tataniaga beras yang ada di Indonesia melibatkan beberapa lembaga tataniaga yang saling berhubungan. Berdasarkan hasil pengamatan, lembagalembaga tataniaga yang ditemui di lokasi

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting. dalam pembangunan ekonomi, baik untuk jangka panjang maupun jangka

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting. dalam pembangunan ekonomi, baik untuk jangka panjang maupun jangka I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek, khususnya untuk pemulihan ekonomi.

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Responden 4.3. Desain Penelitian

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Responden 4.3. Desain Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Blendung, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya)

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya) Volume, Nomor 2, Hal. 09-6 ISSN 0852-8349 Juli - Desember 2009 DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya) Muhammad Farhan dan Anna

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis terhadap tujuan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah :

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah : III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Kelayakan Investasi Pengertian Proyek pertanian menurut Gittinger (1986) adalah kegiatan usaha yang rumit karena penggunaan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani Soeharjo dan Patong (1973), mengemukakan definisi dari pendapatan adalah keuntungan yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Krisna Setiawan* Haryati M. Sengadji* Program Studi Manajemen Agribisnis, Politeknik Pertanian Negeri

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 28 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009, mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran rendah

Lebih terperinci

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI I Made Tamba Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Jagung, ketela pohon

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHA TANI PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN TANPA SPO

BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHA TANI PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN TANPA SPO BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHA TANI PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN TANPA SPO Bentuk analisis pendapatan ini mengacu kepada konsep pendapatan biaya yang dikeluarkan, yaitu biaya tunai dan biaya

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO Policy Impact of Import Restriction of Shallot on Farm in Probolinggo District Mohammad Wahyudin,

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008) 1 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PENGUSAHAAN KOMODITI JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN A. Faroby Falatehan 1 dan Arif Wibowo 2 1 Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1 Konsep Tataniaga Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial dalam pembangunan sektor pertanian adalah hortikultura. Seperti yang tersaji pada Tabel 1, dimana hortikultura yang termasuk

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 93 VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 7.1. Justifikasi Harga Bayangan Penelitian ini, untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat harga, yaitu harga

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kelompok tani Suka Tani di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, propinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI Pendahuluan Sebelum melakukan analisis, data yang dipakai harus dikelompokkan dahulu : 1. Data Parametrik : data yang terukur dan dapat dibagi, contoh; analisis menggunakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Metode Penentuan Daerah Sampel Penelitian ini dilakukan di Desa Namoriam dan Desa Durin Simbelang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Penentuan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terlihat dari peranan sektor perkebunan kopi terhadap penyediaan lapangan

Lebih terperinci

8. NILAI TAMBAH RANTAI PASOK

8. NILAI TAMBAH RANTAI PASOK 69 adalah biaya yang ditanggung masing-masing saluran perantara yang menghubungkan petani (produsen) dengan konsumen bisnis seperti PPT dan PAP. Sebaran biaya dan keuntungan akan mempengarhui tingkat rasio

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Samarang. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen III METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. air. Karena alasan tersebut maka pemerintah daerah setempat biasanya giat

I. PENDAHULUAN. air. Karena alasan tersebut maka pemerintah daerah setempat biasanya giat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa (Cocos nucifera L) dikenal sebagai tanaman serbaguna. Bagi Indonesia, tanaman kelapa merupakan salah satu tanaman perkebunan yang bukan impor kolonialis

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian PENDAHULUAN POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN Dr. Adang Agustian 1) Salah satu peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Daya Saing Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor)

Lebih terperinci