Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional. Oleh : Iswantoro *
|
|
- Dewi Tedjo
- 8 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Abstract Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional Oleh : Iswantoro * In the fifth World Park Congress held in Durban, South Africa, on 8-17 September 2003, the indigenous movement is getting much progress instantly. More than 130 representatives of indigenous communities attended the meeting. The meeting itself is conducted by the IUCN that invites conservation organizations to the meeting every ten years. A strong statement by the indigenous communities in the congress emphasized the fact that their rights which have been traditionally recognized, including the right to live, are systematically violated even in preserved areas. This refers to the policy of building a preserved area which neglects the rights of indigenous people of the area. The policy will include that of natural resources and land. The statement said: "Indigenous people are the owner of the rights, not just partners." Indigenous representatives have succeeded in exerting pressure for recognition of their rights and the agreed preserved areas. In the past government efforts to suppress their rights of "communal land" are based on a reason that "the unity of the nation is stronger than the customary rights and that loyalty to traditional rights is old-fashioned". Ironically, the policy has led to regionalism and rejection of central government intervention among indigenous communities, so as to create an environment that is able to give full recognition and protection, not just a formality, of their communal lands. Key words: land tenure, land ownership, customary law, BPN Abstrak Dalam kongres kelima World Park Congress (Kongres Taman Dunia) yang diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 8-17 September 2003, gerakan masyarakat adat mengalami kemajuan pesat. Lebih dari 130 wakil-wakil masyarakat adat menghadiri pertemuan besar tersebut. Pertemuan itu sendiri dilaksanakan oleh IUCN yang mengumpulkan organisasi-organisasi konservasi setiap sepuluh tahun sekali. Pernyataan yang dikeluarkan oleh masyarakat adat dalam kongres itu menekankan fakta bahwa hak-hak mereka yang telah diakui secara tradisional secara sistematis telah dilanggar di kawasankawasan lindung, termasuk hak hidup. Pernyataan ini mengacu pada kebijakan * Dosen Fakultas Syari ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Iswan_uin@yahoo.com
2 94 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat membangun kawasan lindung yang mengabaikan rakyat. Pernyataan yang dikeluarkan menegaskan: "Masyarakat Adat adalah pemilik hak, bukan sekedar rekanan." Wakil-wakil masyarakat adat berhasil melakukan tekanan untuk mendapat pengakuan tentang hak-hak mereka dan kawasan-kawasan lindung yang diusulkan. Di masa lalu upaya kasar pemerintah untuk menekan prinsip "tanah ulayat" dilakukan dengan alasan "kesatuan bangsa lebih kuat dari pada adat dan kesetiaan pada hak tradisional yang sudah ketinggalan jaman". Ironisnya, kini kebijakan tersebut telah menyebabkan merebaknya perasaan kedaerahan dan penolakan terhadap campur-tangan pemerintah pusat. Untuk menciptakan lingkungan yang mampu memberi pengakuan dan perlindungan seutuhnya bagi tanah komunal, yang tidak hanya sekedar pengakuan formalitas. Kata kunci: penguasaan tanah, kepemilikan tanah, hukum adat, BPN A. Pendahuluan Distorsi terhadap pengelolaan pertanahan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah Orde Baru terus berdampak karena distorsi tersebut telah melembaga. Distorsi ini tidak hanya mempengaruhi struktur dan organisasi administrasi pertanahan, tetapi juga mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai peranan hukum dalam pengaturan tanah dan perlindungan hak atas tanah. Beberapa contoh distorsi tersebut antara lain: 1 1. Dominasi negara di atas kepentingan pribadi: "pembangunan" dan "kepentingan umum" secara rutin telah di salah gunakan untuk membenarkan pelanggaran terhadap kepentingan pribadi. Hingga kini hak, kepemilikan tanah secara perorangan belum didefinisikan dengan tepat (secara hukum), sementara peraturan yang memberi hak istimewa dan kekuasaan kepada pemerintah telah semakin diperluas. 2. Perdagangan dan kesempatan untuk investasi mengalahkan prioritas bagi isu-isu sosial: Konsep Tanah Negara dipertahankan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat di atas tanah negara tersebut. Prosedur pencabutan hak perorangan atas tanah biasanya disebut sebagai "pembebasan tanah" tidak dilakukan sesuai peraturan, dan pengadaan tanah untuk kepentingan usaha komersial sering 1 Syahyuti, Nilai-nilai Kearifan Pada Konsep Penguasan Tanah menurut Hukum Adat Di Indonesis, Forum Penelitian Argo Ekonomi. Volume 24 No. 1, Juli 2006, p. 20.
3 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 95 dilakukan tanpa menghormati hak-hak masyarakat setempat Lemahnya sistem penegakan hukum: Lebih dari 50% dari kasus sipil yang dibawa ke pengadilan berkaitan dengan sengketa pertanahan. Namun putusan hakim belum menyumbang bagi terwujudnya sistem hukum pertanahan yang terbuka dan adil. Sebaliknya, pengadilan secara konsisten cenderung membenarkan tindakan atau kebijakan pemerintah. 3 Distorsi yang terjadi, selain akibat status tanah yang belum jelas, juga dikarenakan masih banyak surat-surat keterangan tanah yang dibuat oleh kelurahan/desa yang menjadi acuan BPN perlu ditingkatkan kualitasnya dengan pembenahan administrasi dan sumber daya manusia kelurahan/desa secara proporsional. Selain itu, persoalan-persoalan yang muncul tentunya menuntut penyelesaian yang arif dan bijak, serta bagaimana kepentingan semua pihak dapat diakomodir. Penyelesaiannya tidak cukup dengan memperhatikan aspek hukum saja, tetapi juga aspek fisik, politik, sosial, bahkan kemanusiaan. Untuk mengatasi sengketa pertanahan tersebut, keterlibatan kelompok masyarakat yang luas dalam diskusi mengenai pertanahan sangat penting. Jika tidak, bias pemerintah dapat muncul lagi dan menciptakan distorsi baru. Misalnya: Konsep untuk perubahan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang disusun oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengandung pasal "pemutihan" yang mengesahkan semua perampasan tanah di masa lalu. Menurut Pasal 12 konsep tersebut dinyatakan sebagai berikut: "Pelaksanaan penguasaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang kenyataannya masih ada, tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang: (a) sudah dipunyai oleh Lembaga Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum dan perseorangan yang bersangkutan dengan suatu hak menurut Undang-Undang No.5/1960 atau UU ini; (b) diperoleh atau dibebaskan oleh suatu Lembaga Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum dan perseorangan yang bersangkutan, sesuai ketentuan hukum dan tata cara yang berlaku." 2 Sebagaimana diatur dalam UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda tak Bergerak Di Atasnya (UU ini menggantikan peraturan kolonial tahun Onteigeningsordonnantie S. 1920/574 yang dianggap melindungi hak tanah perorangan secara berlebihan. Lihat penjelasan UU 20 Tahun 1961 Pasal 3). 3 Salah satu contohnya adalah pembatalan putusan kasasi Mahkamah Agung (No K/Pdt/1991; 28 Juli 1993). Putusan ini menetapkan pemberian kompensasi yang adil bagi pemilik tanah yang telah dipindahkan secara paksa pada saat pembangunan bendungan Kedung Ombo di Jawa tengah. Setelah pemerintah menuntut diadakan peninjauan ulang, Mahkamah Agung membatalkan keputusannya sendiri melalui suatu panel Mahkamah Agung (panel tersebut diketuai ketua Mahkamah Agung, dan ternyata dua anggota lainnya di kemudian hari diangkat juga sebagai Ketua Mahkamah Agung).
4 96 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Ketentuan ini akan menghambat masyarakat jika ingin menuntut kembali tanahnya, khususnya jika di waktu yang lalu masyarakat dipaksa menjual atau melepaskan tanahnya melalui prosedur yang tidak adil meskipun sah, melalui ijin lokasi, pemanfaatan lahan untuk "kepentingan umum" yang tidak transparan, dan peraturan-peraturan lain yang tidak mengindahkan hak masyarakat yang sah. Pemetaan oleh dan bersama masyarakat dan usaha-usaha sosialisasi mengenai kegiatan ini akan membongkar berbagai pelanggaran di masa lalu. Konsesi hutan dan pertambangan, hak guna usaha untuk perkebunan, lapangan golf, tambak udang skala besar, zona industri, waduk, dan proyek infrastruktur raksasa, semua mengandung potensi pelanggaran ini. Penyelesaian sengketa warisan masa lalu (melalui mekanisme penyelesaian perselisihan resmi) seharusnya menjadi bagian dari program administrasi pertanahan yang baru. 4 UU No. 22 tahun 1999 Pasal 11 Ayat 2 menetapkan bahwa masalah pertanahan masuk dalam 11 bidang kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Namun, belum genap satu bulan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. pada Januari 2001 dikeluarkan Keppres No. 10 tahun 2001 yang menyatakan bahwa: "Pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan sepenuhnya masih mengacu pada Peraturan, Keputusan, Instruksi, dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang telah ada". Kemudian pada Mei 2001, pemerintah pusat mengeluarkan Keppres No. 62 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres No. 166 tahun 2000 tentang "Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Keppres No 42 tahun 2001". Keppres ini menyatakan bahwa: "Sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional di daerah tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, selambat-lambatnya dua tahun". Dikeluarkannya Keppres No. 10 tahun 2001 ( tahun 2001 tersebut menunjukkan sikap pemerintah pusat yang masih setengah hati dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah. Selain karena pemerintah 4 Misalnya penjualan perkebunan-perkebunan milik perusahaan yang dinyatakan bangkrut oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) walaupun telah yang digunakan untuk perkebunan tersebut dulu dirampas/diambil tanpa kesepakatan masyarakat lokal (dengan demikian secara hukum perusahaa-perusahaan tersebut bukan pemilik tanah).
5 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 97 pusat belum memenuhi tanggungjawabnya dalam membuat peraturan perundangan pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat juga membuat beberapa peraturan perundangan yang bertentangan satu lama lain. Dalam hal ini, sikap setengah hati pemerintah pusat ditunjukkan dengan menarik kembali kewenangan di bidang pertanahan yang telah diberikan kepada pemerintah daerah. Fenomena merebaknya berbagai kasus sengketa tanah tersebut telah menimbulkan perdebatan mengenai status kelembagaan BPN dalam konteks sengketa tanah. Ada dua kelompok pendapat tentang hak milik. Kelompok pertama adalah orang-orang yang memandang bahwa timbulnya berbagai kasus sengketa tanah disebabkan oleh ketidakmampuan BPN dalam mengatasi masalah pertanahan. Kelompok kedua berpendapat bahwa UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dianggap sudah ketinggalan zaman dan dianggap tidak mampu mengakomodir berbagai kebutuhan yang semakin merebak akhir-akhir ini, misalnya kebutuhan tanah untuk investor, masyarakat kecil, kebutuhan tanah untuk petani, dan untuk pemerintah daerah. Aspek administratif dan teknis masalah administrasi pertanahan luas dan rumit. Banyak pengalaman telah dipetik selama pelaksanaan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) yang didanai Bank Dunia. Meskipun masih terbuka peluang untuk meningkatkan proyek PAP (misalnya dengan rneningkatkan partisipasi masyarakat, menghapus bias terhadap kepentingan pemerintah, melakukan koordinasi yang lebih baik antara tingkat nasional dan daerah), proyek ini telah memberi kepastian hak atas tanah kepada lebih dari 2 juta orang pemilik tanah, sebagian besar dari pemilik tanah ini berpendapatan rendah. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih jauh tentang peran BPN dalam penyelesaian kepemilikan tanah adat. B. Pengertian Dasar Tentang Sistem Penguasaan Tanah (Land Tenure) Secara leksikal, masih terjadi perdebatan tentang padanan istilah land tenure di dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, istilah land tenure dijelaskan dalam konteks legal sebagai sistem pemanfaatan dan/atau kepemilikan tanah. Istilah land tenure bisa juga menjelaskan bagaimana seseorang atau pihak tertentu memangku dan atau memiliki tanah. Buku panduan ini menggunakan istilah sistem penguasaan tanah sebagai pengganti kata land tenure. Sistem penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah. Hak atas tanah jarang dipegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama bisa saja terdapat sejumlah pihak yang
6 98 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat memiliki hak penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-beda. Dalam bahasa Inggris ini disebut sebagai "bundle of rights". Satu contoh yang mengilustrasikan istilah "bundle of rights" di Indonesia adalah kondisi dimana pada suatu taman nasional - hak kepemilikan tanah dipegang oleh negara, namun setiap warga negara memiliki hak untuk mengunjung dan menikmati keindahan alamnya, sementara masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam taman nasional tersebut memiliki hak untuk memakai (right of use) sumberdaya alam yang terdapat di atasnya untuk kesejahteraan mereka, namun terbatas pada hak untuk memungut hasil hutan. Mungkin juga Perhutani atau dinas kehutanan bekerjasama dengan pihak swasta memiliki hak untuk mengembangkan usaha (hak mengelola) ekowisata di dalamnya. Di sini, terlihat betapa suatu pihak yang memiliki hak untuk menguasai tanah, belum tentu memegang hak kepemilikan atas tanah tersebut (sebaliknya kepemilikan secara pasti merupakan sebentuk hak penguasaan). 5 Suatu hal yang sangat penting sehubungan dengan sistem penguasaan tanah adalah jaminan kepastian terhadap hak penguasaan (tenure security). Di sini hak penguasaan dinyatakan pasti apabila pihak lain tidak dapat mengambil alih hak yang dimiliki oleh pihak tertentu, apapun bentuk penguasaan yang dimilikinya. Kepastian hak penguasaan hanya mungkin terjadi jika semua pihak mengakui dan menegakkan sistem hukum yang sama, sehingga tak ada kekhawatiran bahwa salah satu pihak akan kehilangan hak penguasaannya atas tanah. Perlu ditekankan bahwa sistem penguasaan tanah, selalu menjelaskan hak legal sehubungan dengan relasi orang/institusi (subyek) dengan tanah (obyek), dan bukan menjelaskan kondisi de facto hubungan antara subyek dan obyek tersebut. Kepastian hak penguasaan atas tanah seringkali juga terkait dengan jangka waktu tertentu yang pada prinsipnya diperlukan untuk mengembalikan modal (misalnya dalam konteks hak sewa atau hak guna usaha). Apabila jangka waktu penguasaan terlalu pendek dan secara realistis tidak memungkinkan pengembalian modal, maka bisa dikatakan bahwa hak penguasaan yang dimiliki suatu pihak tidak memiliki kepastian. Faktor lain yang dapat ditambahkan dalam memahami kepastian penguasaan adalah adanya sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang/institusi (subyek) untuk mendapatkan hak kepemilikan privat atas lahan (obyek). Aturan-aturan sistem penguasaan tanah menentukan bagaimana hak-hak atas tanah tersebut dialokasikan, apakah sebagai hak 5 Gamma Galudra, Gamal Pasya, Martua Sirait, dan Chip Fay, Rapid Land Tenure Assessment (RaTA): Paduan Ringkas Bagi Praktisi, (Bogor: World Agroforestry Centre Southeast Asia Regional Program, 2006), p. I.
7 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 99 guna usaha (rights of exploitation/cultivation), hak sewa (rights of lease), hak untuk membuka lahan dan memungut hasil hutan, serta sejumlah hak penguasaan lahan lainnya. Dalam pengertian sederhana, sistem penguasaan tanah menetapkan siapa pemilik/pengguna lahan/tanah, relasi pihak tersebut terhadap sumberdaya yang ada di atasnya, berapa jangka waktu hak penguasaan beserta syarat-syaratnya. Berdasarkan berbagai uraian tersebut sebelumnya, maka dalam tulisan ini dibangun sebuah batasan tentang sistem penguasaan tanah yaitu seperangkat unsur terdiri atas berbagai subjek (pelaku) dan objek (benda) yang satu sama lain saling berhubungan membentuk dan objek (benda) yang satu sama lain saling berhubungan membentuk dan mempengaruhi berbagai hak kepemilikan, penguasaan dan akses atas tanah dalam satuan bidang tanah/wilayah daratan tertentu. C. Jenis-jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia Secara umum, hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: "hak ulayat" dan "hak pakai". Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai. Sebidang tanah bagi kepentingannya biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama. 6 Sementara Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu: hak persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah. Perbedaannya adalah sebagai berikut: 7 1. Hak persekutuan atau hak pertuanan mempunyai akibat ke luar dan ke dalam. Akibat ke dalam antara lain memperbolehkan anggota 6 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), p Merza Gamal, Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, (Pekanbaru: Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press), 2006), p.21.
8 100 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat persekutuan (etnik, sub etnik, atau fam) untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di atasnya, misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun menggembalakan ternak. Izin hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, bukan untuk diperdagangkan. Akibat keluar ialah larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie), serta larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orangorang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian. 2. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland bezitrecht), dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan. 3. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil. Tanah ini secara prinsip adalah milik komunal kesatuan etnik, namun setiap orang dapat memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaman di atas tanah tersebut. Menurut Rizal, 8 hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal mempertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis-religius. Masyarakat yang hidup di dalam hak ulayat berhak mengerjakan tanah itu, dimana setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasan-batasan tertentu. Menurut Van Vollenhoven sebagaimaan di kutip Bushar, ciriciri hak ulayat itu adalah sebagai berikut: 9 1. Tiap anggota dalam persekutuan hukum (etnik, sub etnik, atau fam) mempunyai wewenang dengan bebas untuk mengerjakan tanah yang belum digarap, misalnya dengan membuka tanah untuk mendirikan tempat tinggal baru. 2. Bagi orang di luar anggota persekutuan hukum, untuk mengerjakan tanah harus dengan izin persekutuan hukum (dewan pimpinan adat); Anggota-anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah ulayat 8 Syamsul Rizal, Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA, (Medan: Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Universitas Sumatra Utara, 2003), p Muhammad Bushar, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1988), p. 30.
9 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 101 itu mempunyai hak yang sama, tapi untuk bukan anggota selalu diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa hutang, bunga pasir dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu persembahan (ulutaon, pemohon). 4. Persekutuan hukum sedikit banyak masih mempunyai campur tangan dalam hal tanah yang sudah dibuka dan ditanami oleh seseorang. 5. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam ulayatnya. 6. Persekutuan hukum tidak dapat memindah tangankan hak penguasaan kepada orang lain. 7. Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/masyarakat hukum/desa. Hampir sama dengan di atas, berlakunya hak ulayat ini menurut sistematika Ter Haar adalah sebagai berikut:10 1. Anggota masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat atas tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya. 2. Anggota masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu, mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara olehnya. 3. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan kepala suku atau kepala masyarakat hukum. Hubungan hukum antara orang yang membuka tanah dengan tanah tersebut makin lama makin kuat, apabila tanah tersebut terus menerus dipelihara/digarap dan akhirnya dapat menjadi hak milik si pembuka. Sekalipun demikian, hak ulayat masyarakat hukum tetap ada walaupun melemah. Sebaliknya, apabila tanah yang dibuka itu tidak diurus atau diterlantarkan, maka tanah akan kembali menjadi tanah masyarakat hukum. Selain itu, transaksi-transaksi penting mengenai tanah harus dengan persetujuan kepala suku. 4. Berdasarkan kesepakatan masyarakat hukum setempat, dapat ditetapkan bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat permukiman, makam, pengem-balaan umum, dan lain-lain. 5. Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat, kecuali dengan seizin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Bandung: Sumur Batu, 1985), p.
10 102 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dahulu. Izin tersebut bersifat sementara, misalnya untuk selama musim panen, namun suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut. Sifat istimewa hak ulayat terletak pada daya berlakunya secara timbal balik hak-hak itu terhadap orang lain. Karena pengelolaan tanah makin memperkuat hubungan perseorangan dengan sebidang tanah. Bila hubungan perorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus menerus, maka pulihlah hak masyarakat hukum atas tanah itu dan tanah tersebut kembali menjadi hak ulayat. 6. Apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu suku bangsa, maka suku atau masyarakat hukum di wilayah bersangkutan bertanggung jawab untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda. Pengertian "ulayat di Minangkabau lebih kuat ke arah pengertian sebagai tanah milik komunal seluruh suku Minangkabau. Tanah ulayat adalah pusaka yang diwariskan turun-temurun, yang haknya berada pada perempuan, namun sebagai pemegang hak atas tanah ulayat adalah mamak kepala waris. Penguasaan dan pengelolaan tanah ulayat dimaksudkan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan serta keberadaan masyarakat (eksistensi kultural). Selain itu, tanah ulayat juga mengandung unsur religi, kesejarahan dan bahkan unsur magis serta bertujuan memakmurkan rakyat di dalamnya. 11 Tanah ulayat adalah tanah milik komunal yang tidak boleh dan tidak dapat didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja. Penelitian Jamal et al. menemukan bahwa seluruh tanah di wilayah Minangkabau, yang persis berhimpit dengan areal administratif Provinsi Sumatera Barat, merupakan "tanah ulayat" dengan prinsip kepemilikan komunal, yang penggunaan dan pendistribusian penggunaannya tunduk kepada pengaturan menurut hukum adat. 12 D. Praktek Pembebasan Tanah di Indonesia Pencabutan tanah bukan hal baru yang tiba-tiba muncul dalam Perpres No. 36/2005. Praktek ini sudah lama dikenal, bahkan mendapatkan payung hukum dalam konstitusi. Pasal 26 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), dan Pasal 27 UUD Sementara 1950 memuat kemungkinan pencabutan hak milik atas tanah demi kepentingan 11 A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: Grafiti Pers, 1986), pp Erizal Jamal et al, Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan pada Komunitas Lokal, (Bogor: Laporan Penelitian PSE, 2001), No. 526.
11 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 103 umum. Syaratnya: harus ada ganti rugi yang layak, dan pencabutan itu dilakukan atas dasar ketentuan undang-undang. Untuk melegitimasi kewenangan pencabutan hak atas tanah itu, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 20 Tahun Isinya mengatur tentang Pencabutan Hak Tanah oleh Pemerintah untuk Kepentingan Umum. Perbedaannya, peraturan ini memperlihatkan langkah hati-hati dari pemerintah. Terbukti, sebagaimana dikutip Kalo dari pakar hukum pertanahan Prof. AP Parlindungan(almarhum)bahwa sejak diundangkan hingga tahun 1995, undang-undang No. 20 Tahun 1961 tidak pernah in action, dalam arti belum pernah dipergunakan untuk pencabutan hak atas tanah. 13 Meskipun demikian, keberadaan pijakan hukum bukan berarti menyelesaikan masalah dalam pembebasan tanah. Keberadaan peraturan demi peraturan di bidang pertanahan tidak menjamin perlindungan bagi rakyat dari kesewenang-wenangan aparat pemerintah yang selalu membawa jargon "pembangunan dan kepentingan umum". Dalam praktik pembebasan tanah, perangkat hukum pertanahan cenderung diterapkan secara silogisme dengan logika deduktif semata tanpa mempertimbangkan pengaruh faktor dan proses sosial yang ada. Ini merupakan akibat pengaruh aliran positivisme dalam sistem hukum Indonesia. Kaedah hukum yang dibuat penguasa lewat undangundang harus ditaati masyarakat tanpa memperhitungkan apakah kaedah itu benar dan adil, atau malah sebaliknya. 14 Dalam proses pembebasan dan pencabutan hak atas tanah, para pihak memang berusaha mencari jalan tengah. Sikap serupa akan ditunjukkan pemerintah dalam kasus pembebasan lahan oleh swasta. Tetapi kalau jalan tengah tak tercapai, sengketa warga dengan pengembang terus berlanjut, pemerintah cenderung selalu memihak swasta dibanding kepentingan masyarakat. "Tidak jarang dilakukan dengan unsur-unsur paksaan agar warga masyarakat terpaksa meninggalkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak layak". 15 Sementara, perkara pertanahan yang berujung ke pengadilan tidak membawa hasil baik bagi rakyat kecil. Di mana, hakim cenderung mementingkan "fakta atau peristiwa" ketimbang "hukumnya" S. Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2004), p Ibid., pp Ibid., p Ibid., p. 131.
12 104 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat E. Pergeseran Penguasaan Lahan dari Penguasaan Komunal ke Private Secara subtantif bahwa dalam tanah ulayat tidak dikenal adanya peralihan hak (transaksi), karena tanah ulayat yang dimiliki secara komunal tidak boleh dialihkan ke pihak lain untuk selama - lamanya. Namun berdasarkan studi empiris di lapangan menunjukkan adanya "peralihan" dari penguasaan tanah secara komunal kepemilikan privat. Pergeseran tersebut ada yang mengikuti proses evolutif dan proses yang relatif revolutif. Pergeseran yang evolutif adalah melalui proses berikut apabila tanah ulayat nagari melalui musyawarah adat terbagi ke dalam ulayat suku, kemudian ulayat suku melalui musyawarah adat terbagi dalam ulayat kaum, selanjutnya ulayat kaum melalui musyawarah adat yang biasanya atas tuntutan anggota masyarakat yang berhak agar tanah tersebut dibagikan. Proses evolutif ini tampaknya sejalan dengan perkembangan penduduk secara alami sehingga kebutuhan akan tanah bagi kehidupan meningkat begitu cepat. Selanjutnya, adanya keterbukaan ekonomi, budaya masyarakat perantau, dan pendatang banyak tanah-tanah yang dulunya tanah adat setelah dibagi dilakukan sertifikasi, kasus ini lebih banyak terjadi pada lahan sawah dibandingkan lahan perkebunan. Kasus pergeseran secara evolutif ini ditemukan di lokasi penelitian Kecamatan Panti dan Bonjol, di mana diperkirakan ke pemilikan tanah secara private masing-masing sudah mencapai 35 dan 25 persen. 17 Sementara pergeseran yang sifatnya terjadi secara revolutif adalah melalui kerjasama dalam bentuk PIR Perkebunan Kelapa Sawit, seperti yang terjadi di Kecamatan Pasaman dan Kinali. Dalam hal ini, masyarakat berkesempatan menjadi petani plasma dengan mendapat hak garap 2 ha kebun sawit. Selain itu, juga ditemukan adanya pergeseran sistem kepemilikan, dari kategori menguasai (tanah ulayat nagari) menjadi memiliki (tanah privat). Hal ini ditunjukkan dengan dibuatkannya sertifikat untuk setiap petani plasma seluas 2 ha kebun jatahnya. Dalam hal ini konversi sistem hukum atas tanah, dari tanah pemilikan (penguasaan) tanah secara komunal menjadi tanah milik privat masingmasing individu merupakan suatu perubahan yang bersifat revolutif Saptana Supriyati dan Yana Supriatna, Penataan Lahan, Otonomi Daerah, dan Pembangunan Pertanian di Pedesaan, dalam Icaserd Working Paper No. 20, (Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2003), p Ibid., p. 20.
13 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 105 F. Penyelesaian Penguasaan Kepemilikan Tanah Adat Sesungguhnya persoalan penyelesaian penguasaan kepemilikan tanah adat merupakan persoalan yang agak rumit. Sampai saat ini berbagai macam persoalan muncul dari kepemilikan tanah tersebut. Bukan saja antara penduduk asli dengan penduduk pendatang, antara satu suku dengan suku lainnya, bahkan antara masyarakat dengan negara. Sejarah membuktikan bahwa kerumitan yang ada membuat pemerintah kolonial harus bekeria ekstra keras untuk menghadapi penduduk lokal. Berbagai macam produk kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap masalah tanah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari tanah tersebut setelah digarap. 19 Sementara itu, produk-produk kebijakan pemerintah kolonial tersebut telah membawa masyarakat adat ke dalam sistem yag sebelumnya tidak mereka kenal di dalam aturan-aturan hukum adat mereka sendiri. Munculnya domeinverklaring misalnya, terbukti menghapus hak ulayat di Minangkabau, sama artinya penghapusan hukum kewarisan dalam hukum adat, karena tanah ulayat yang digunakan untuk domenverklaring tersebut melambangkan persekutuan hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, ketika tanah tersebut ditinggalkan oleh pemerintahan kolonia Belanda, penduduk berusaha untuk mempertahankannya. Walaupun ada pihakpihak tertentu yang ingin merebutnya. Hal tersebut, sesungguhnya terbukti seperti yang terjadi di daerah Rao dalam memperebutkan lahan kebun karet peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Perebutan lahan kebun karet tersebut terjadi antara penduduk asli (masyarakat Rao) dengan penduduk pendatang (masyarakat Tapanuli Selatan). Namun penduduk pendatang berpendapat bahwa lahan tersebut bukan milik penduduk asli namun milik bekas pemerintahan kolonial Belanda. Konflik yang terjadi tersebut merupakan sebuah respon dari tindakan penduduk pendatang ke daerah tersebut yang menurut penduduk asli tanpa melalui tata cara adat yang berlaku di daerah tersebut. Kendatipun demikian, proses kedatangan mereka juga didukung oleh suasana daerah tersebut yang tidak terlepas adanya peristiwa PRIU, yang membuat para laki-laki harus meninggalkan kampungnya dan pergi ke hutan-hutan untuk menyelamatkan diri dari tentara pusat Undri, Kepemilikan Tanah Di Sumatra Barat Tahun 1950-an (Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet di Kabupaten Pasaman), Makalah Worksop on the economic Side of Decolonosation. Kerjasama LIPI, Nederland Instituts Voor or Longdocumentatie, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan Program Studi Sejarah Pascasarjana UGM Yogyakarta tanggal Agustus Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), p. 11.
14 106 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Terlepas dari itu semua, bahwa masalah kepemilikan tanah di Sumatera Barat tidak akan pernah habis-habisnya untuk dibicarakan serta dikaji mengingat keunikan hukum adat yang mereka miliki. Apalagi mengenai kepemilikan lahan perkebunan besar setelah Belanda meninggalkan ranah Minang perlu kiranya mendapat sentuhan untuk diteliti lebih lanjut, atau merupakan sebuah tema kunci dalam sejarah ekonomi modern Indonesia ke depan. 21 F. Kesimpulan Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia menunjukkan adanya suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih lagi dalam pembagian tanah persekutuan dan tanah perseorangan atau individu. Selain itu, juga dapat dilihat bagaimana pembagian hak-hak atau pengaturan hak-hak atas tanah adat menunjukkan adanya upaya untuk menertibkan pemakaian tanah adat sehingga benar-benar menjamin keadilan. Namun, kepastian hukum tidak terjamin dengan hanya mengandalkan hukum tanah adat belaka, karena aspek penerapan prinsip konstuksi yuridis abstrak dalam hukum tanah adat. Hak ulayat masyarakat hukum adat di dalam UUPA diakui sepenuhnya dan dalam eksistensinya masih menunjukkan jatidirinya sebagai ciri khas hukum adat dalam keagrariaan yang memandang komunalisme dan kebersamaan dalam rangka kesejahteraan anggota masyarakat adat setempat dengan segala konsekuensinya. Ini berarti keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat sepenuhnya dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri adanya perubahan yang revolutif dari kepemilikan bersifat komunal dalam masyarakat hukum adat bias berubah kepada kepemilikan yang bersifat perorangan atau privat. Mendaftarkan tanah adat berdasar peraturan perundangan dengan memperhatikan hukum tanah adat yang berlaku secara nasional, sebenarnya hal ini merupakan suatu penandaan kepada tanah itu, mana yang bisa dialihkan, serta mana yang bisa diwariskan. Dengan kata lain, pendaftaran tanah adat sesuai ketentuan BPN merupakan upaya untuk menjaga jangan sampai ada penyimpangan dari ketentuan adat yang berlaku di bidang tanah, dimulai dengan surat tanda bukti penguasaan dan pemilikan tanah. 21 Mengutip tulisan Thomas J. Lindblad tentang tema-tema kunci dalam sejarah ekonomi modern Indonesia. Lebih lanjut lihat. Thomas J. Lindblad (ed) Sejarah Ekonomi Modern Indonesia : Berbagai Tantangan Baru., (Jakarta: LP3ES, 2000), p. 42.
15 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 107 Daftar Pustaka Bushar, Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita, Galudra, Gamma, Gamal Pasya, Martua Sirait, dan Chip Fay, Rapid Land Tenure Assessment (RaTA): Paduan Ringkas Bagi Praktisi, Bogor: World Agroforestry Centre Southeast Asia Regional Program, Gamal, Merza, Model Dinamika Sosial Ekonomi Islami Solusi Pembangunan Kesejahteraan Berkesinambungan dan Berkeadilan, Pekanbaru: Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press), Jamal, Erizat et al., Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan pada Komunitas Lokal, Bogor: Laporan Penelitian PSE No. 526 Kalo, Syafruddin, Pengadaan Tanah Bagi Pembanguna untuk Keluarnya UUPA, Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Kepentingan Umum, Jakarta: Pustaka Bangsa Press, Keppres No. 62 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres No. 166 tahun 2000 tentang "Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen Sebagaimana Telan Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Keppres No 42 tahun 2001" Lindblad, J. Thomas (ed), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru, Jakarta: LP3ES, Navis, A.A., Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: Graffiti Press, Purnadi, & Halim, Ridwan, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, Rizal, Syamsul, Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA, Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Medan: Universitas Sumatera Utara, Rusli, Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
16 108 Iswantoro: Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Syahyuti, Nilai-nilai Kearifan Pada Konsep Penguasaan Tanah Ter Haar, Asas- Asas dan Susunan Hukum Adat, Bandung: Sumur Batu, Tanahkoe.tripod.com, Hak atas Tanah: Sejarah, Macam Hak, dan Cara Perolehannya, tripod corn. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Bandung: Sumur Batu, Thomas J. Lindblad (ed) Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai Tantangan Baru. Jakarta: LP3ES, Undri, Kepemilikan Tanah Di Sumatera Barat Tahun 1950-an (Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet di Kabupaten Pasaman, makalah yang dipersiapkan untuk Worskop on the economic Side Of Decolonosatioan. Jonintly Organized by LIPI, Nederland Instituts Voor or logdocumentatie (NIOD), Pusat studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada dan Program Studi Sejarah Pascasarjana Universitas Gaiah Mada Yogyakarta tanggal Agustus UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UU No.20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda Tak Bergerak Di Atasnya.
Pencabutan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Untuk Kepentingan Umum. Artikel Dalam Mata Kuliah Hukum Agraria
Pencabutan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Untuk Kepentingan Umum Artikel Dalam Mata Kuliah Hukum Agraria Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Lebih terperinciTanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya
Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli
Lebih terperinciPERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK
PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN - Supardy Marbun - ABSTRAK Persoalan areal perkebunan pada kawasan kehutanan dihadapkan pada masalah status tanah yang menjadi basis usaha perkebunan,
Lebih terperinciPEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN
PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN Disampaikan pada Seminar dengan Tema HGU & HGB : Problem, Solusi dan Perlindungannya bedasarkan UU No. 25 Tahun
Lebih terperinciKEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh)
KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh) Latar Belakang Tak sekali terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan I. PEMOHON 1. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS); 2. Perkumpulan Sawit Watch; 3. Aliansi Petani Indonesia
Lebih terperinci1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.
Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan tumbuh dan hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai
Lebih terperinciBab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas
Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah I. PEMOHON 1. Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo, sebagai Pemohon I; 2. Edi Kuswanto, sebagai Pemohon
Lebih terperinciIMPLIKASI PENCABUTAN HAK ATAS TANAH TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA. Istiana Heriani*
Al Ulum Vol.64 No.2 April 2015 halaman 14-20 14 IMPLIKASI PENCABUTAN HAK ATAS TANAH TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA Istiana Heriani* ABSTRAK Kepemilikan hak atas tanah merupakan hak dasar yang
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 35/PUU-X/2012 Tentang Tanah Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 35/PUU-X/2012 Tentang Tanah Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat I. PEMOHON 1. IR. Abdon Nababan (Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)........ Pemohon I.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikaruniakan
Lebih terperinciDimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum
PROSUDUR PEMINDAHAN HAK HAK ATAS TANAH MENUJU KEPASTIAN HUKUM Oleh Dimyati Gedung Intan Dosen Fakultas Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Tanah semakin berkurang, kebutuhan tanah semakin meningkat,
Lebih terperinciAbstrak tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP -PPK)
HAK PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Indra Lorenly
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertanahan Nasional juga mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angki Aulia Muhammad, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup manusia tidak mungkin dilepaskan dari tanah, tiap membicarakan eksistensi manusia, sebenarnya secara tidak langsung kita juga berbicara tentang tanah.
Lebih terperinciLAND REFORM INDONESIA
LAND REFORM INDONESIA Oleh: NADYA SUCIANTI Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tanah memiliki arti dan kedudukan yang sangat penting di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pangan dalam kehidupannya, yaitu dengan mengolah dan mengusahakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah merupakan benda tidak bergerak yang mutlak perlu bagi kehidupan manusia. Hal ini dapat
Lebih terperinciBahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak
Lebih terperinciPertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA
Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Hak penguasaan atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan I. PEMOHON 1. M. Nur bin (Alm) Abdul Razak; 2. AJ. Dahlan; 3. Theresia Yes Kuasa Hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia adalah negara yang susunan kehidupan rakyat dan perekonomiannya masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
Lebih terperinciHAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA
HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA Sumber: www.survivalinternational.org I. PENDAHULUAN Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga mengakui adanya hak ulayat masyarakat hukum adat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebut tanah, selain memberikan manfaat namun juga melahirkan masalah lintas sektoral
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Sumber daya agraria atau sumber daya alam berupa permukaan bumi yang di sebut tanah, selain memberikan manfaat namun juga melahirkan masalah lintas sektoral
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bidang perkebunan merupakan salah satu bidang yang termasuk ke dalam sumber daya alam di Indonesia yang memiliki peranan strategis dan berkontribusi besar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat di pisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan
Lebih terperinciBAB V IMPLIKASI TERHADAP LEMBAGA KELURAHAN DAN HAK ULAYAT ATAS TANAH EKS DESA
78 BAB V IMPLIKASI TERHADAP LEMBAGA KELURAHAN DAN HAK ULAYAT ATAS TANAH EKS DESA A. Aspek Kelembagaan Sudah menjadi kelaziman bahwa perubahan struktur pemerintahan membawa pula perubahan-perubahan terhadap
Lebih terperinciUndang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------ RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan adalah mengenai pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak hak masyarakat hukum adat
Lebih terperinciHAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA)
www.4sidis.blogspot.com HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pertanahan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaitanya tentang hukum tanah, merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PENELITIAN
BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang relevan sebelumnya Salah satu Penelitian yang relevan sebelumnya mengkaji tentang Upaya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam menyelesaikan masalah tanah, dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting baik untuk kehidupan maupun untuk tempat peristirahatan
Lebih terperinciUndang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang Dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang
SALINAN BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENDATAAN, PERENCANAAN, DAN PENGELOLAAN TANAH DI KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat
BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Tanah. tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberadaan tanah dalam kehidupan di dunia sebagai salah satu sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A.
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dan pemerintah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Salah satu kasus yang terjadi yakni penolakan Rancangan
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN PETANI PLASMA KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI PAPUA
PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak,
Lebih terperinciBAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN
BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN A. Pengalihan Hak Atas Bangunan Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan
Lebih terperinciSumber Berita : Sengketa di Atas Tanah 1,5 Juta Meter Persegi, Forum Keadilan, Edisi 24-30 Agustus 2015. Catatan : Menurut Yahya Harahap dalam Buku Hukum Acara Perdata halaman 418, Eksepsi secara umum
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,
PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hak Atas Tanah Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang dengan gugusan ribuan pulau dan jutaan manusia yang ada di dalamnya. Secara wilayah daratan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. aktifitasnya yang berupa tanah. Tanah dapat berfungsi tidak saja sebagai lahan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, manusia tentu memerlukan lahan atau tempat sebagai fondasi untuk menjalankan aktifitasnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan warga Negara. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang
Lebih terperinciBUPATI LOMBOK TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN
BUPATI LOMBOK TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI LOMBOK TENGAH, Menimbang : a. bahwa kekayaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan tersebut dapat dilakukan antara individu
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciBUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,
Lebih terperinciPusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum. Universitas Islam Indonesia
PROSES-PROSES DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN KEPENTINGAN UMUM Oleh : Dwi Apriliati Puspitasari 1 ABSTRAKSI Kegiatan pembangunan untuk fasilitas umum selalu membutuhkan tanah sebagai lahan sehingga
Lebih terperinciKONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial
KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) 1. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. 2. Kebijakan pembangunan pertanahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam. kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam masyarakat, individu yang satu senantiasa berhubungan dengan individu yang lain. Dengan perhubungan tersebut diharapkan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 1999 TENTANG KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 1999 TENTANG KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : Menetapkan :
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri
Lebih terperinciHIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA
PERSPEKTIF Volume XX No. 3 Tahun 2015 Edisi September HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya e-mail: urip_sts@yahoo.com
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang masalah Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar dan kecil, serta masyarakatnya mempunyai beraneka ragam agama, suku bangsa, dan
Lebih terperinciPEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER
PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah memiliki peran yang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, oleh karenanya manusia tidak bisa terlepas dari tanah. Tanah sangat dibutuhkan oleh setiap
Lebih terperinciMENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan tanah untuk melangsungkan kehidupan. Begitu pentingnya tanah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup baik manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Manusia hidup dan tinggal diatas tanah dan memanfaatkan tanah
Lebih terperinciGUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. Bahwa dalam pembangunan nasional yang pada
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAMPAR NOMOR : 12 TAHUN1999 TENTANG HAK TANAH ULAYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI II KAMPAR Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah
BAB II TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Sistem Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah (Bab 2.1) Sistem Kepemilikan Tanah (Bab 2.2), Hukum Pertanahan Adat (Bab 2.3), dan Kedudukan Hukum Adat
Lebih terperinciPENERTIBAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN TNI DENGAN STATUS OKUPASI
PENERTIBAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN TNI DENGAN STATUS OKUPASI Muhadi Prabowo (muhadi.prabowo@gmail.com) Widyaiswara Madya Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Abstrak Pemberian hak atas tanah oleh Negara telah
Lebih terperinciBeberapa Contoh Studi Kasus Penggunaan RaTA
B. Penggunaan RaTA dalam Studi dan Pendampingan Penyelesaian Konflik Sistem penguasaan tanah Bengkunat Penggunaan RaTA dilakukan sebanyak dua kali yaitu pertama adalah dengan melaksanakan FGD tingkat pekon
Lebih terperinciPENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun,
LAMPIRAN: 1 Persandingan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Menurut Undang-Undang Pertanahan Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA. tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus.
19 BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA A. Pengertian Tanah Terlantar Tanah terlantar, terdiri dari dua (2) kata yaitu tanah dan terlantar. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan
Lebih terperinciBUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KAWASAN, HEMAQ BENIUNG, HUTAN ADAT KEKAU DAN HEMAQ PASOQ SEBAGAI HUTAN ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciGUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMAKAIAN RUMAH MILIK ATAU DIKUASAI PEMERINTAH KOTA SURABAYA
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMAKAIAN RUMAH MILIK ATAU DIKUASAI PEMERINTAH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memerlukan tanah. Tanah mempunyai kedudukan dan fungsi yang amat penting
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara yang corak kehidupan serta perekonomian rakyatnya masih bercorak agraris, sebagian besar kehidupan rakyatnya
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Bumi ini manusia memiliki ketergantungan dengan tanah yang dimilikinya, sehingga manusia memiliki hak dan kewajibannya dalam mengelola dan memanfaatkan segala yang
Lebih terperinciPEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini
PEMANDANGAN UMUM Perubahan yang revolusioner UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960. Undang-undang ini benar-benar memuat hal-hal yang merupakan perubahan yang revolusioner dan drastis terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terdahulu, dan harta ini berada dibawah pengelolahan mamak kepala waris (lelaki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah pusako adalah tanah hak milik bersama dari pada suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang ber-kelanjutan memerlukan dukungan
Lebih terperinciKeputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 55 TAHUN 1993 (55/1993) Tanggal : 17 JUNI 1993
Lebih terperinciPERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI. Disusun Oleh :
PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kedudukan akan tanah dalam kehidupan manusia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak-hak atas tanah mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia saat ini, makin padat penduduknya akan menambah lagi pentingnya kedudukan akan tanah dalam
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing
Lebih terperinciUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR
PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan
Lebih terperinciBUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI
BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KONAWE UTARA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah sebuah hak yang bisa
Lebih terperinciRencana Umum Tata Ruang Kota yang telah ditetapkan;
Penataan ruang kota pada dasarnya mencakup kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, serta pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu dalam Rencana Umum Tata Ruang Kawasan (RUTRK) Kota Sei
Lebih terperinciPENDAFTARAN TANAH ADAT. Indah Mahniasari. Abstrak
PENDAFTARAN TANAH ADAT Indah Mahniasari Abstrak Pertanahan di Indonesia sangat menarik untuk selalu dikaji. Sehingga tidak heran ketika dikatakan bahwa masalah tanah adalah masalah klasik yang sangat menarik.
Lebih terperinciHAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING
HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING MAKALAH Oleh : Hukum Agraria Dosen : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2012 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa
Lebih terperinci