PERKAWINAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA PERSPEKTIF KAJIAN SOSIAL LEGAL. Siti Maryam Qurotul Aini 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERKAWINAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA PERSPEKTIF KAJIAN SOSIAL LEGAL. Siti Maryam Qurotul Aini 1"

Transkripsi

1 PERKAWINAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA PERSPEKTIF KAJIAN SOSIAL LEGAL Siti Maryam Qurotul Aini 1 Abstract: The marriage of religious differences has been discussing since the time of Prophet Muhammad Saw. This article reviews the social phenomenon about marriage with difference religious perspective of Islamic and legal law of Indonesia that is in law of Number 1 Year 1974 on Marriage or Compilation of Islamic Law (KHI). The result of this research showed that the compilation of Islamic law prohibits marrying of religious differences, although the law of Number 1 Year 1974 does not regulate the ban on different religious marriages. The very strict rules leads religious couples who want to conduct marriage choose various acts of legal smuggling to obtain the legality of marriage and recorded in the civil registry. They finally get law legality in the formal legal domain of the state; however, it brings social and psychological effect for the sustainability of the household and the establishment of their following generation. In this case, there are three groups in view of this religious marriage. Keywords: marriage of religious differences, social legal Pendahuluan Fitrah manusia adalah hidup berpasangan. Allah Swt menciptakan makhluk-nya berpasangan untuk saling mengenal, mengadakan interaksi sosial dan menciptakan kehidupan yang 1 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Krempyang Nganjuk. 80

2 Siti Maryam Qurotul Aini tenteram. Salah satu bentuk interaksi sosial manusia adalah perkawinan. Perkawinan menjadi sebuah institusi yang tidak hanya terkait dengan dimensi lahiriyah, namun juga terkait dengan berbagai dimensi lain, salah satunya ibadah kepada Allah Swt. Perkawinan sebagai bentuk ibadah kepada-nya tidak dapat terlepas dari dimensi agama, sedangkan setiap agama memiliki konsep hukum tersendiri dalam masalah perkawinan. Perkawinan dari mempelai seagama tentu tidak menimbulkan permasalahan yang signifikan. Hal ini berbeda jika perkawinan berlangsung antar agama, yaitu pasangan beda agama, sehingga hal ini akan menimbulkan dampak hukum dan sosial. Indonesia mengakui keberadaan agama-agama yang hidup di dalamnya. Slogan Bhinneka Tunggal Ika menjadikan umat beragama di Indonesia mampu hidup berdampingan dan berinteraksi sosial dengan baik dan damai. Namun dalam masalah perkawinan, masing-masing agama tidak mengenal adanya perkawinan antar agama. Hal ini juga didukung oleh peraturan perundangan di Indonesia yang tidak mengatur tentang perkawinan antar agama. Namun demikian fenomena perkawinan beda agama banyak terjadi di Indonesia, sehingga menyisakan banyak pelaku perkawinan antar agama kesulitan mendapatkan legalitas perkawinannya. Berbagai upaya dilakukan demi mendapatkan legalitas perkawinan. Artikel ini akan mengulas secara singkat fenomena sosial berupa perkawinan antar agama dalam perspektif hukum legal formal di Indonesia. Fokus pembahasan tulisan ini adalah mampu menjawab pertanyaan, (1) tentang perspektif hukum agama Islam tentang perkawinan antar agama, (2) tentang perspektif hukum positif di Indonesia tentang perkawinan antar agama, (3) gambaran fenomena perkawinan antar agama di Indonesia, (4) analisis sosial legal perkawinan antar agama di Indonesia. Pembahasan A. Perspektif Hukum Islam (Fiqh Munākahat) Perkawinan, dalam hukum Islam, adalah perbuatan yang suci, yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Allah Swt agar kehidupan berkeluarga dan 81

3 berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan baik sesuai ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Dalam berbagai agama, terdapat berbagai konsep pengertian perkawinan. Islam mendefinisikan perkawinan sebagai akad atau perikatan antara laki-laki dan perempuan dengan adanya wali dan saksi yang menjadikan sahnya hubungan badan di antara keduanya. Menurut hukum Kristen Katholik, perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali. Perkawinan tersebut sah jika kedua mempelai sudah dibaptis. Menurut hukum Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna memperoleh keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka dan dilangsungkan dengan upacara menurut hukum Hindu, jika tidak maka tidak sah. Menurut hukum agama Budha, keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977 pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna) dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan membentuk satu keluarga atau rumah tangga bahagia yang diberkahi Sanghyang Adi Budha, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa. Perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum perkawinan agama Budha. 2 Menurut ajaran Islam, yang tertuang dalam fiqh munākahat, perkawinan antar agama atau kawin beda agama bukan hal baru. Hal ini merupakan permasalahan yang sudah lama diperdebatkan, namun selalu masih diperbincangkan dan didiskusikan hingga saat ini. Dalam banyak kasus di masyarakat masih muncul resistensi yang begitu besar terhadap kawin beda agama, umumnya pada persoalan halal dan haramnya per- 2 Lihat Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2007),

4 Siti Maryam Qurotul Aini kawinan tersebut. 3 Mayoritas ulama sejak zaman sahabat Nabi Muhammad Saw hingga sekarang sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan laki-laki non-muslim, baik musyrik, kafir maupun ahli kitab dan melarang pria Islam menikahi wanita musyrik dan kafir. Hal ini berdasarkan pada ayat QS. al-baqarah: 221 dan QS. al-mumtahanah: 10. Namun yang menjadi persoalan dari zaman sejak dulu hingga sekarang adalah perkawinan antara pria yang beragama Islam dengan wanita ahli kitab atau kitābiyah. Berdasarkan kepada teks dari QS. al-baqarah: 221 tersebut, menurut para ulama perkawinan seorang pria Islam dengan kitābiyah hukumnya boleh. Namun menurut sebagian ulama lainnya tidak membolehkan perkawinan tersebut, bahkan ada yang mengharamkannya dengan berpegang pada kaidah sadd al-dzari ah, yaitu menghindari fitnah dan mafsadah yang ditimbulkan oleh perkawinan beda agama. 4 Polemik di atas pada dasarnya bermula pada redaksi yang ada dalam al-qur an. Di sana terdapat istilah mu min, kāfir, musyrik dan ahli kitāb. Ketiga istilah terakhir (kāfir, musyrik dan ahli kitāb) dapat dikatakan sebagai golongan non-muslim. Al-Jaziri membedakan golongan non-muslim menjadi tiga golongan. Pertama adalah golongan yang tidak memiliki kitāb samāwi atau tidak berkitab semacam kitāb samāwi. Mereka ini adalah penyembah berhala dan orang-orang murtad yang disamakan dengan mereka. Kedua adalah golongan yang memiliki semacam kitāb samāwi. Golongan ini adalah orang-orang Majusi yang menyembah api. Mereka mengubah-ubah kitab yang diturunkan kepada mereka dan membunuh nabi mereka. Ketiga adalah golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka ini adalah kaum Yahudi yang percaya kepada kitab Taurat dan kaum Nasrani yang percaya pada kitab Injil. 5 Sedangkan Yusuf al-qardhawi membagi golongan non-muslim menjadi lima golongan, yaitu musyrik (penyembah berhala), mulhid (kaum atheis), murtad (orang 3 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2011), Ibid, Abdurrahman al-jaziri, al-fiqh ala Madzāhib al- Arba ah (Beirut: Dār Ihyā al- Turāts al- Arabi, 1969),

5 yang keluar dari Islam), bahā i (termasuk golongan murtad) dan ahli kitāb (kaum Yahudi dan Nasrani). 6 Berdasarkan pemaparan ini muncul persoalan baru terkait pengertian ahli kitāb. Siapa sesungguhnya ahli kitāb, termasuk dalam kategori musyrik atau tidak, yang hal ini mempengaruhi hukum mengawininya. Berdasarkan pada persoalan ini, yaitu perkawinan antara pria Islam dengan wanita kitābiyah, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Setidaknya terdapat tiga pendapat yang dapat dibahas pada artikel ini. Pertama adalah golongan yang menghalalkan. Golongan ini berpendapat bahwa menikahi perempuan ahli kitāb, Yahudi dan Nasrani, halal hukumnya. Hal ini menurut pendapat jumhur ulamā. Argumentasi yang mereka bangun adalah bahwa dalam sejumlah ayat, al-qur an membedakan antara orang-orang musyrik dengan ahli kitāb. Pada beberapa ayat terdapat penggunaan huruf wawu yang berfaidah athaf, yang berarti pembeda antara kata yang sebelumnya dengan yang sesudahnya. Dengan demikian, arti musyrik berbeda dengan ahli kitāb. Golongan ini juga berpendapat bahwa larangan menikahi wanita musyrik karena khawatir kaum musyrik memerangi kaum Islam. Oleh karena itu jelas bahwa yang dimaksud musyrik adalah orang yang suka memerangi kaum muslim, bukan orang Yahudi dan Nasrani, yang dalam perjalanan sejarah pernah mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslim. Sejarah menunjukkan, golongan ini beralasan, ada beberapa sahabat Nabi Muhammad Saw yang mengawini ahli kitāb, seperti yang dilakukan oleh Thalhah dan Hudhaifah bin al-yamani. Alasan yang cukup mendasar tentang kehalalan mengawini wanita ahli kitāb adalah QS. al-ma idah: 5 yang turun setelah QS. al-baqarah: 221. Dalam diskursus ilmu ushul fiqh, QS. al- Ma idah: 5 dapat dijadikan mukhashish dari QS. al-baqarah: 221, sehingga pengertian musyrik yang asalnya mencakup semua golongan non-muslim, di-takhsis dengan mengecualikan ahli kitāb yang muhsanat. 7 6 Yusuf al-qardhāwi, Hudā al-islam Fatāwā Mu āssirah (Kairo: Dār Afaq al-gad, 1978), Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan,

6 Siti Maryam Qurotul Aini Namun demikian dalam menentukan pihak yang dimaksud dengan istilah ahli kitāb, ulama berbeda pendapat. Sebuah qaul mu tamad dalam madzhab Syafi i menyatakan bahwa wanita ahli kitāb yang halal dikawini pria Islam adalah wanita yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sebagai agama keturunan dari orang-orang terdahulu (nenek moyang mereka) sejak sebelum Nabi Muhammad Saw menjadi rasul. Pendapat ini mengakui ahli kitāb bukan karena agamanya, namun karena menghormati asal keturunannya. 8 Di Indonesia pendapat ini diikuti kaum liberalis Islam seperti para pemikir Jaringan Islam Liberal (JIL). 9 Mereka bahkan tidak hanya membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita kitābiyah, namun juga membolehkan perkawinan wanita muslim dengan pria ahli kitāb atau non-muslim. Pendapat mereka dilandaskan juga pada kritik validitas hadits yang menyatakan tentang kebolehan pria muslim mengawini wanita kitābiyah, namun tidak sebaliknya. Mereka juga mendasarkan pendapatnya pada fakta historis perkawinan wanita muslim dengan pria non-muslim yang pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad Saw masih hidup. Kedua adalah golongan yang mengharamkan perkawinan beda agama secara mutlak. Golongan ini berpendapat bahwa mengawini wanita kitābiyah hukumnya haram. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Umar dan kalangan Syi ah Imāmiyah. Golongan ini berargumen dengan firman Allah Swt dalam QS. al-baqarah: 221 dan QS. al-mumtahanat: 10, sebagaimana disebutkan di atas. Golongan ini menyamakan kaum ahli kitāb dengan kaum kāfir dan musyrik karena mentuhankan Uzair dan Nabi Isa bin Maryam. 10 Pendapat golongan ini juga dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan secara mutlak perkawinan muslim dengan non-muslim Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971), JIL sebagai kelompok masyarakat yang berpikir liberal, banyak menggugat berbagai aturan yang dinilai sudah mapan oleh banyak pihak. Dalam berbagai artikel, mereka mengusung tema hak-hak asasi manusia, menggugat keterlibatan negara yang mencampuri urusan privat warganya dan lain sebagainya. Lihat situs mereka di / 10 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama (Jakarta: Kemenkumham RI, 2011),

7 Ketiga adalah golongan yang berpendapat tentang kehalalannya, tetapi mengharamkannya atas dasar sadd aldzari ah. Golongan ini berpendapat bahwa hukum mengawini wanita kitābiyah adalah halal, namun secara politik tidak diperbolehkan. Pendapat ini berdasarkan pada perintah Umar bin Khattāb ra yang pernah menyuruh para sahabat yang beristrikan wanita ahli kitāb untuk menceraikan istri-istri mereka. Perintah Umar ini dipatuhi oleh para sahabat kecuali Hudhaifah meskipun pada akhirnya Hudhaifah menceraikan istrinya kendati hal itu tidak dilakukannya di depan Umar karena tidak ingin jika masyarakat menilai apa yang dilakukannya sebagai kesalahan. 12 B. Perpsektif Hukum Positif di Indonesia Berdasarkan perjalanan sejarah pemberlakuan hukum di Indonesia, setidaknya diketahui terdapat berbagai hukum yang berlaku, termasuk salah satunya adalah hukum Islam. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berurat akar pada budaya masyarakat. Sebelum hukum Islam menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia dalam masalah-masalah tertentu, hukum Islam mengalami pasang surut dalam perkembangan pemberlakuannya sejak zaman penjajahan Belanda, VOC, pasca kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga sekarang. 13 Pada zaman kedatangan VOC, antara tahun , hukum Islam terutama hukum perdata Islam (Civiele Wetten Der Mohammeddaansche) telah memperoleh legalitas pemberlakuan secara positif melalui Resolutie Der Indische Regeering tanggal 25 Mei Saat itu kumpulan hukumnya hanya berisi hukum perkawinan dan kewarisan yang dikenal dengan Compendium Freijer. Compendium Freijer ini pun digunakan pada pengadilan VOC, namun hanya khusus untuk orang Indonesia. Pada perjalanannya, terdapat dua teori pemberlakuan hukum Islam yang saling bertentangan sehingga mempengaruhi daya ikat dan cakupan hukum Islam sebagai hukum positif. 12 Ibnu Qudamah, al-mughni, juz VI (Riyadh: Maktabah al-riyadh al-haditsah, tt.), Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001),

8 Siti Maryam Qurotul Aini Hukum positif yang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai perkawinan antara lain adalah UU Nomor 1 Tahun 1974, berlaku bagi semua golongan warga negara dan daerah di Indonesia. Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 1974 ini mengakhiri berbagai macam hukum perkawinan bagi bermacam-macam golongan yang ada di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. 14 Perkawinan antar agama tidak diatur secara khusus dalam hukum positif di Indonesia, yaitu UU Nomor 1 Tahun Dengan demikian hukum positif di Indonesia tidak mengenal istilah perkawinan antar agama atau beda agama. Namun dalam undang-undang ini dikenal ada istilah perkawinan campuran. Pengertian perkawinan campuran yang dinyatakan dalam undang-undang maupun dalam kehidupan sehari-hari mencakup tiga pengertian, yaitu perkawinan antar kewarganegaraan, perkawinan antar adat dan perkawinan antar agama. 15 Perkawinan campuran antar agama terjadi jika seorang pria dan seorang wanita, yang berbeda agamanya, melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masingmasing. Adanya perbedaan agama dalam perkawinan dapat menimbulkan gangguan keseimbangan dalam kehidupan rumah tangga. 16 Namun dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 terdapat rumusan lain tentang perkawinan campuran. Perkawinan campuran diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Bab XII Ketentuan-ketentuan lain Bagian Ketiga Perkawinan Campuran Pasal Bunyi aturan tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 57 Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ialah perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia, tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 14 Hilman Hadiwijaya, Hukum Perkawinan Indonesia, Ibid, Ibid,

9 88 Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik yang mengenai hukum publik atau hukum perdata. 2. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan ini. Pasal Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh masing-masing pihak terpenuhi. 2. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. 3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. 4. Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3). 5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa enam (6) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

10 Siti Maryam Qurotul Aini Pasal Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. 2. Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan terlebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang- Undang ini, dihukum dengan hukuman kurungan selamalamanya 1 (satu) bulan. 3. Pegawai Pencatat Perkawinan yang mencatat perkawinan, sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan pasal 59 ayat (1) Undang-Undang ini. Berdasarkan ketentuan dalam UU tersebut, sama sekali tidak ditemukan aturan tentang perkawinan antar agama atau beda agama. Yang ada hanyalah perkawinan campuran antar warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Jadi sudah jelas bahwa yang menjadi titik tolak adalah perbedaan kewarganegaraan, bukan perbedaan agama. Di samping UU Nomor 1 Tahun 1974, di Indonesia terdapat pula produk hukum Islam yang terkodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi rujukan para hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara. Jika dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak ditemukan, maka dalam KHI terdapat pasal yang menjelaskannya. Berikut adalah bagian dari KHI: Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. 89

11 Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. 17 Prinsip larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria Islam dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam dianggap sebagai sesuatu yang baru. Hal ini mengingat dalam fiqh munākahat pada umumnya telah disebutkan bahwa seorang laki-laki muslim dilarang kawin dengan wanita musyrik, sedangkan dengan wanita kitābiyah, yaitu mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani masih diperbolehkan meskipun terdapat kontroversi dalam menentukan kriteria ahli kitāb, yang masih asli atau termasuk juga Yahudi dan Nasrani yang kitabnya telah berubah, serta pendapat MUI yang tidak membolehkannya. Sedangkan mengenai larangan wanita muslimah kawin dengan laki-laki non-muslim secara tegas disebutkan ketidakbolehannya. 18 C. Fenomena Perkawinan Antar Agama Sebagaimana diungkapkan oleh BPHN Puslitbang Kemenkum HAM RI tahun 2011 dalam pengkajian hukum tentang perkawinan beda agama (perbandingan beberapa negara), fenomena perkawinan beda agama dapat dijumpai di banyak negara. Berdasarkan regulasi yang mengatur perihal perkawinan beda agama, negara-negara muslim dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama adalah negara muslim yang cenderung tidak memperbolehkan perkawinan antar agama. Kedua adalah negara muslim yang telah mengubah total hukum perkawinannya dan menerapkan hukum modern Barat. Ketiga adalah negara muslim yang telah mereformulasi hukum keluarga dengan hukum modern. 19 Fenomena perkawinan antar agama sering dijumpai di Indonesia. Beberapa di antaranya dilakukan oleh pasangan warga negara Indonesia berbeda agama yang bertempat tinggal di luar negeri untuk selanjutnya mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil. Hal ini lazim dilakukan oleh kalangan yang 17 Kompilasi Hukum Islam, Buku I Hukum Perkawinan Bab VI Larangan Kawin. 18 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), BPHN, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama,

12 Siti Maryam Qurotul Aini memiliki tingkat perekonomian cukup mapan, seperti artis. Perkawinan dengan cara semacam itu bagi mereka menjadi the best solution mengingat pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia, yaitu dengan tetap mempertahankan keyakinan agama masing-masing, sulit terwujud. Banyak contoh dalam hal ini, seperti perkawinan yang dilakukan oleh Nia Zulkarnaen, Lidya Kandow, Julia Perez, Angelina Sondakh, Irfan Bachdim dan lain sebagainya. Namun demikian realitas yang terjadi di masyarakat tidak semuanya melakukan langkah semacam itu. Tidak sedikit pula demi mendapatkan legalitas hukum atas perkawinan terdapat oknum yang melakukan penyelundupan hukum meskipun pada dasarnya perkawinan mereka tidak sah. 20 Misalnya adalah pria beragama Islam kawin dengan wanita beragama Kristen. Pernikahannya dilakukan di Gereja dengan pemberkatan pendeta dan dilakukan pula pencatatan perkawinan (sipil) dengan tujuan sekedar memenuhi kehendak calon istri dan keluarganya, sedangkan hati nuraninya tetap mempertahankan keyakinannya, yaitu memeluk agama Islam. Hal ini tentu sangat tidak baik dan akan membawa dampak buruk bagi keberlangsungan pernikahan keduanya di kemudian hari. Contoh lain adalah pria beragama Hindu kawin dengan wanita beragama Islam. Pekawinannya dilakukan di tempat kediaman calon istri yang beragama Islam demi untuk memenuhi keinginan keluarga mempelai wanita dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun di kemudian hari dilakukan lagi perkawinan menurut tata cara agama Hindu dan bertempat di pihak keluarga laki-laki yang beragama Hindu, sehingga perkawinan pertama dibatalkan karena agama Hindu melarang perkawinan di luar agama Hindu. Cara lain lagi yaitu pria beragama Islam kawin dengan wanita beragama Katholik, yang kondisi orang tua mempelai wanita beragama Budha atau Konghucu. Pada mulanya upacara dilakukan secara Islam, mengikuti agama mempelai pria, kemudian dilakukan dengan cara agama Budha atau Konghucu. Setelah itu, mengingat mempelai wanita beragama Katholik, maka pernikahan 20 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia,

13 dilangsungkan dengan cara Katholik. Realitas semacam ini meskipun secara legal formal memenuhi ketentuan UU berdasarkan Pasal 2 (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, namun secara hakiki pernilahan tersebut melanggar ketentuan agama. Contoh lain perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia adalah perkawinan antara artis Lidya Kandow yang Kristen dengan Jamal Mirdad yang Islam. Lidya Kandow dan Jamal Mirdad menikah pada tahun 1986 tanpa restu dari orang tua keduanya. Jika pada umumnya pasangan beda agama lebih memilih menikah di luar negeri, namun keduanya memilih tetap melangsungkan perkawinannya di Indonesia. Konsekuensinya mereka mengalami kesulitan dalam mendapatkan legalitas perkawinannya meskipun pada akhirnya dengan bantuan pengacara legalitas perkawinan diperoleh pada tahun Terdapat kebijakan menarik berkaitan dengan perkawinan antar agama adalah yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) tercatat Register Nomor 1400K/Pdt/1986 yang berisikan pemberian izin melakukan perkawinan beda agama terhadap kasus perkawinan beda agama antara Andi Vony Gani P (Islam) dan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen Protestan). Mahkamah Agung dalam yurisprudensi tesebut mengabulkan permohonan kasasi Andi Vony Gani P dan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan, kemudian memerintahkan pegawai catatan sipil Provinsi DKI Jakarta agar melangsungkan perkawinan keduanya setelah syarat-syarat perkawinan menurut UU terpenuhi. 22 D. Analisis Sosial Legal Sebagai analisis dari berbagai aspek, termasuk aspek sosial legal, dapat dikatakan bahwa perkawinan antar agama di Indonesia tidak diatur dalam UU Nomor 1 Tahun Namun dalam UU tersebut terdapat pasal yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya. Dalam pasal lain juga disebutkan bahwa 21 diakses 29 Desember Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam, 306. Baca juga Murdiarti Trisnaningsih, Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama (Bandung: CV. Utomo, 2007),

14 Siti Maryam Qurotul Aini perkawinan dilarang di antara dua orang yang memiliki hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 23 Berdasarkan isi dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama pada dasarnya tidak memenuhi aspek legalitas hukum karena pada dasarnya agama-agama yang ada melarang perkawinan antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lain. Namun dalam fiqh munākahat terdapat pendapat yang membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita kitābiyah. Dengan demikian masih ada celah hukum bagi perkawinan antara pria muslim dengan wanita kitābiyah. Pada pasal lain UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 24 Hal ini menjadi sebuah aturan prosedural untuk menjamin hak dan kewajiban suami istri terpenuhi. Namun pada perkembangannya aturan ini dimanfaatkan oleh pasangan beda agama yang menikah di luar negeri, karena tidak mau melewati jalur yang rumit jika harus menikah di Indonesia. Mereka memilih menikah di luar negeri karena di sana tidak ada aturan larangan menikah antar agama. Setelah perkawinan pasangan beda agama ini terlaksana di luar negeri dan memperoleh bukti legalitas hukum, kemudian mereka kembali ke Indonesia untuk mencatatkan perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil sehingga secara legal formal mereka tercatat sebagai suami istri. 25 Namun demikian secara legal agama, perkawinan antar agama yang dilakukan di luar negeri adalah tidak memenuhi kekuatan hukum dalam agamanya, sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai tindakan penyelundupan hukum. Dalam istilah lain dikatakan bahwa perkawinan semacam itu legal secara lahiriyah namun ilegal secara agama. Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi dalam berbagai bidang, 23 UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 dan pasal 8 (f). 24 Ibid, pasal 2 (2). 25 Baca dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Lihat Tim Redaksi, Hukum Keluarga: Kumpulan Perundangan Tentang Kependudukan, Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan, Perceraian, KDRT dan Anak (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010). 93

15 termasuk dalam agama. Hal ini menyebabkan sekat-sekat perbedaan agama menjadi lebur. Banyak terjadi interaksi sosial di antara mereka termasuk dalam masalah perkawinan. Ada pula kelompok masyarakat yang berpandangan liberal dengan menyetujui perkawinan antar agama terjadi. Dalam pandangan kelompok ini larangan perkawinan antar agama dapat melanggar hak asasi manusia (HAM). Secara mendasar, pendapat kelompok liberal tersebut sah dalam konteks negara demokrasi. Namun kelompok yang kontra dengan pandangan kaum liberal dengan mendukung larangan perkawinan antar agama juga memiliki dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Menurut kelompok pendukung larangan menikah beda agama, selain mempertimbangkan aspek yuridis legal formal, juga mempertimbangkan aspek sosial lain yang berkaitan, yaitu aspek psikologis dan religius. Dampak yang akan timbul akibat perkawinan antar agama dilihat dari aspek psikologis antara lain memudarnya kehidupan rumah tangga, tujuan rumah tangga tidak tercapai, perkawinan mempertemukan dua keluarga besar dan berebut pengaruh. Sedangkan dari aspek religius, pada dasarnya tidak mengenal perkawinan antar agama. Jadi jika terdapat perkawinan antar agama, maka hal itu melanggar ketentuan-ketentuan agama itu sendiri, sehingga perkawinan tersebut kehilangan nilai religiusnya. 26 Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa fenomena perkawinan antar agama di Indonesia selalu ada. Meskipun UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur larangan nikah beda agama, sehingga menimbulkan kekosongan hukum, namun KHI telah menyebutkan tentang ketidakbolehan melakukan perkawinan beda agama. Regulasi perihal larangan pernikahan beda agama yang cukup tegas di Indonesia menyebabkan pasangan beda agama yang ingin melangsungkan pernikahannya memilih berbagai tindakan penyelundupan hukum demi memperoleh legalitas perkawinan dan tercatat dalam Kantor 26 BPHN, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama,

16 Siti Maryam Qurotul Aini Catatan Sipil. Meskipun pernikahan beda agama mampu memperoleh legalitas hukum dalam ranah hukum formal kenegaraan, namun tidak dapat ditolak bahwa perkawinan antar agama membawa dampak sosial dan psikologis bagi keberlangsungan rumah tangga dan pembentukan generasi penerus. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama. Jakarta: Kemenkumham RI, Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan. Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, Kandou.html., diakses 29 Desember al-jaziri, Abdurrahman. al-fiqh ala Madzāhib al- Arba ah. Beirut: Dār Ihyā al-turāts al- Arabi, Kompilasi Hukum Islam (KHI). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. al-qardhāwi, Yusuf. Hudā al-islam Fatāwā Mu āssirah. Kairo: Dār Afaq al-gad, Qudamah, Ibnu. al-mughni, juz VI. Riyadh: Maktabah al-riyadh al-haditsah, tt. Trisnaningsih, Murdiarti. Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama. Bandung: CV. Utomo,

17 Tim Redaksi. Hukum Keluarga: Kumpulan Perundangan Tentang Kependudukan, Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan, Perceraian, KDRT dan Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Madzhab Negara. Yogyakarta: LKiS, Wasman dan Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras,

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita, yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai kodratnya, manusia mempunyai hasrat untuk tertarik terhadap lawan jenisnya sehingga keduanya mempunyai dorongan untuk bergaul satu sama lain. Untuk menjaga kedudukan

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik antara satu dengan

Lebih terperinci

Mam MAKALAH ISLAM. Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan

Mam MAKALAH ISLAM. Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan Mam MAKALAH ISLAM Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan 20 Oktober 2014 Makalah Islam Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan H. Anwar Saadi (Kepala Subdit Kepenghuluan

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

Oleh : TIM DOSEN SPAI

Oleh : TIM DOSEN SPAI Oleh : TIM DOSEN SPAI Syarat Pernikahan Adanya persetujuan kedua calon mempelai Adanya izin dari orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun Antara kedua calon tidak ada hubungan darah Calon

Lebih terperinci

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh Dr. ABDUL MAJID Harian Pikiran Rakyat

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh Dr. ABDUL MAJID Harian Pikiran Rakyat PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh Dr. ABDUL MAJID Harian Pikiran Rakyat 09-04-05 PERNIKAHAN bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6 BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya dalam semua hal, termasuk dalam pengembangbiakan

Lebih terperinci

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA Pertanyaan Dari: Hamba Allah, di Jawa Tengah, nama dan alamat diketahui redaksi (Disidangkan pada hari Jum at, 20 Syakban 1432 H / 22 Juli 2011 M) Pertanyaan:

Lebih terperinci

PERNIKAHAN MULTIKULTURAL (PERNIKAHAN ANTAR AGAMA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM) Oleh: Ali Mohtarom Universitas Yudharta Pasuruan

PERNIKAHAN MULTIKULTURAL (PERNIKAHAN ANTAR AGAMA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM) Oleh: Ali Mohtarom Universitas Yudharta Pasuruan Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Yudharta Pasuruan P-ISSN (Cetak) : 2477-8338 http://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/pai E-ISSN (Online) : 2548-1371

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW BAB I PENDAHULUAN Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, pria dan wanita. dengan kodrat jasmani dan bobot kejiwaan yang relatif berbeda yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MAQASHID AL-SYARIAH DALAM HUKUM PERKAWINAN. Maqashid Syariah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan

BAB II TINJAUAN UMUM MAQASHID AL-SYARIAH DALAM HUKUM PERKAWINAN. Maqashid Syariah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan BAB II TINJAUAN UMUM MAQASHID AL-SYARIAH DALAM HUKUM PERKAWINAN A. Maqashid Syariah Maqashid Syariah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam

Lebih terperinci

Perkawinan dengan Wali Muhakkam

Perkawinan dengan Wali Muhakkam FIQIH MUNAKAHAT Perkawinan dengan Wali Muhakkam Jl. KH. Abdurrahman Wahid Kel. Talang Bakung Kec. Jambi Selatan Kota Jambi Kode Pos. 36135 Telp./Fax. 0741-570298 Cp. 082136949568 Email : sumarto.manajemeno@gmail.com

Lebih terperinci

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq ABSTRACT

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq * ABSTRACT Marriage is a part of human life on this earth, and in Indonesia live many human diverse religions recognized by the government,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL 57 BAB IV ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL A. Analisis Dasar Hukum Majelis Hakim dalam Menetapkan Penolakan Permohonan Dispensasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya dalam pergaulan hidup bermasyarakat, dari sifat tersebut manusia dikenal sebagai mahluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini dikarenakan pada hakikatnya kehidupan setiap manusia diawali dengan perjanjian dengan-nya untuk

Lebih terperinci

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Oleh: Pahlefi 1 Abstrak Tulisan ini bertujuan membahas dan menganalisis apakah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Malang dalam Penolakan Izin Poligami

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN 55 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN A. Analisis Tentang Praktik Penjatuhan Talak Seorang Suami Melalui

Lebih terperinci

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT Mixed marriage according to Nomor.1 Act of 1974 on Marriage is a marriage between Indonesian citizens with a foreign citizen (Article 57).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya alam yang dimiliki, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dengan latar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya alam yang dimiliki, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dengan latar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya. Tidak hanya kaya akan sumber daya alam yang dimiliki, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dengan latar belakang sejarah,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang penulis paparkan dapat disimpulkan: 1. Konsep batasan usia perkawinan menurut Fiqh dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. a. Konsep batasan usia perkawinan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Perkawinan Beda Agama Menurut Agama Islam. Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri yang tentram

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Perkawinan Beda Agama Menurut Agama Islam. Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri yang tentram BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perkawinan Beda Agama Menurut Agama Islam. Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri yang tentram akan dapat terwujud, bila suami dan istri memiliki keyakinan agama

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015 ANALISIS YURIDIS HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA 1 Oleh : Ardika Lontoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia diatas permukaan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Sesuatu kebahagiaan itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA. Islam. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 28

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA. Islam. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 28 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA 2.1 Ketentuan Perkawinan Di Indonesia. Sebelum berlakunya UU Perkawinan di Indonesia telah ada berbagai peraturan yang mengatur tentang perkawinan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana di nyatakan dalam UU

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana di nyatakan dalam UU BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah lembaga yang luhur untuk membentuk keluarga dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Lebih terperinci

FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA 2015 M/1436 H

FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA 2015 M/1436 H Status Perkawinan Orang Murtad (Studi Komparatif Mazhab Syafi'i dan KHI) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Pada Fakultas Syari'ah/Jurusan Ahwal Asy-Syakhsiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari at Islam tidak

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari at Islam tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, adat istiadat serta tradisi. Jika dilihat, setiap daerah memiliki kebudayaan dan tradisinya masing-masing.

Lebih terperinci

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis implementasi Hukum Islam terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini, pergaulan manusia tidak dapat dibatasi hanya dalam suatu lingkungan masyarakat yang lingkupnya kecil dan

Lebih terperinci

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI BAB IV ANALISIS TERHADAP PANDANGAN IMAM SYAFI I DAN SYI> AH IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI PEWARIS NON MUSLIM A. Persamaan Pandangan Imam Syafi i dan Syi> ah Ima>miyah tentang Hukum

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim * Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN Dahlan Hasyim * Abstrak Perkawinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan dan kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya saling kenal-mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki ketentuan hukum yang berlaku nasional dalam hukum perkawinan, yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI INDONESIA

PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI INDONESIA PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI INDONESIA Oleh: Afrian Raus* Program Studi Hukum Ekonomi Syariah STAIN Batusangkar Jl. Jenderal Sudirman No. 137, Lima Kaum Batusangkar e-mail: afrian.raus@yahoo.com Abstract:

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh *) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu amalan sunah yang disyari atkan oleh Al- Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan pada kenyataannya merupakan sudut penting bagi kebutuhan manusia. Bahkan perkawinan adalah hukum

Lebih terperinci

STATUS ANAK HASIL PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN DI LUAR NEGERI

STATUS ANAK HASIL PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN DI LUAR NEGERI STATUS ANAK HASIL PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN DI LUAR NEGERI Oleh: Jamiliya Susantin FAI Syari ah Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan Email: Susantin_j@gmail.com Abstrak Bukan masalah baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Ikhtisar

BAB V PENUTUP A. Ikhtisar BAB V PENUTUP A. Ikhtisar Berkenaan dengan masalah perkawinan, khususnya jika dilihat dari sisi tata caranya, maka sebahagian masyarakat muslim Indonesia ada melakukan perkawinan yang diistilahkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, manusia pun tak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 1 Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi Sebelum menjelaskan mengenai kasus posisi pada putusan perkara Nomor 321/Pdt.G/2011/PA.Yk., penulis akan memaparkan jumlah perkara poligami yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FATWA MUI NOMOR: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 DAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

BAB IV ANALISIS FATWA MUI NOMOR: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 DAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA BAB IV ANALISIS FATWA MUI NOMOR: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 DAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA Islam telah menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian antara wanita

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON A. Analisis Hukum Islam terhadap Alasan KUA Melaksanakan Pernikahan dengan Menggunakan Taukil Wali Nikah via Telepon Setelah mengetahui

Lebih terperinci

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM Latar belakang Beragam manusia, dengan latar belakang, kebudayaan dan keyakinan yang berbeda sehingga berefek pada pedoman tingkah laku untuk melakukan sesuatu.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menguraikan tentang pembahasan dan analisis sesuai dengan memperhatikan pokok-pokok permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, yang berjudul Pendapat Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan

Lebih terperinci

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN Menurut Imam Asy-Syathibi jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai

Lebih terperinci

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Abstrak Nikah Sirri dalam perspektif hukum agama, dinyatakan sebagai hal yang sah. Namun dalam hukum positif, yang ditunjukkan dalam Undang -

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN A. Analisis Latar Belakang Terjadinya Pernikahan Sirri Seorang Istri yang Masih dalam Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama 54 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pernikahan poligami hanya terbatas empat orang isteri karena telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

Lebih terperinci

BAB III ANALISISIS ANAK DARI SALAH SATU PASANGAN YANGMURTAD PERSPEKTIF UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB III ANALISISIS ANAK DARI SALAH SATU PASANGAN YANGMURTAD PERSPEKTIF UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM BAB III ANALISISIS ANAK DARI SALAH SATU PASANGAN YANGMURTAD PERSPEKTIF UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Status Anak Dari Salah Satu Pasangan Yang Murtad Ditinjau Dari UU. No. 1 Tahun 1974

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan Syariat Islam telah menjadikan pernikahan menjadi salah

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM 62 BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM CUKUP UMUR DI DESA BARENG KEC. SEKAR KAB. BOJONEGORO Perkawinan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten) PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat guna Mencapai Derajad Sarjana Hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera. BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah suatu proses penyatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, karena itu perkawinan dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari

BAB I PENDAHULUAN. poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia, poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan

Lebih terperinci

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya

Lebih terperinci

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah menciptakan manusia di dunia ini menghendaki dan mengangkatnya menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat Al-Baqarah:30 Artinya:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki kedudukan mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling berhubungan antara satu dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ISLAM DAN KRISTEN KATOLIK MENGENAI PERKAWINAN ANTAR AGAMA

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ISLAM DAN KRISTEN KATOLIK MENGENAI PERKAWINAN ANTAR AGAMA BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ISLAM DAN KRISTEN KATOLIK MENGENAI PERKAWINAN ANTAR AGAMA A. Perkawinan Antar Agama menurut Islam dan Kristen Katolik Pada dasarnya kedua agama tersebut, yakni Islam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Persamaan dan perbedaan putusan ijin poligami No. 0258/ Pdt. G/ 2011/ No. 0889/ Pdt. G/2011/ PA. Kds. ditinjau dari hukum

BAB V PENUTUP. 1. Persamaan dan perbedaan putusan ijin poligami No. 0258/ Pdt. G/ 2011/ No. 0889/ Pdt. G/2011/ PA. Kds. ditinjau dari hukum 101 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Persamaan dan perbedaan putusan ijin poligami No. 0258/ Pdt. G/ 2011/ PA. Kds dan No. 0889/ Pdt. G/2011/ PA. Kds. ditinjau dari hukum materiil adalah sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diabadikan dalam Islam untuk selama-lamanya. Pernikahan secara terminologi adalah sebagaimana yang dikemukakan

BAB I PENDAHULUAN. dan diabadikan dalam Islam untuk selama-lamanya. Pernikahan secara terminologi adalah sebagaimana yang dikemukakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Allah SWT telah menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan seperti laki-laki dan perempuan, tapi manusia tidak samadengan makhluk lain nya, yang selalu bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Penarikan Kembali Hibah Oleh Ahli Waris Di Desa Sumokembangsri

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. I Hukum Islam telah ada dan berkembang seiring dengan keberadaan Islam itu sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- Syafi i telah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Dari uraian tersebut telah jelas mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ Manhaj yang digunakan tiap organisasi keagamaan pada dasarnya adalah sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang cenderung menggunkan metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak suami dan istri, akan senantiasa diharapkan berjalan dengan

Lebih terperinci

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Pertanyaan Dari: Ny. Fiametta di Bengkulu (disidangkan pada Jum at 25 Zulhijjah 1428 H / 4 Januari 2008 M dan 9 Muharram 1429 H /

Lebih terperinci

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

Lebih terperinci