V. DESKRIPSI SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN KAJIAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. DESKRIPSI SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN KAJIAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI"

Transkripsi

1 V. DESKRIPSI SEKTOR PERTANIAN BERDASARKAN KAJIAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI Struktur perekonomian suatu negara dapat dikaji berdasarkan 3 indikator makroekonomi yaitu nilai tambah (Produk Domestik Bruto), perdagangan luar negeri dan tenaga kerja. Sebagai suatu neraca yang memiliki bentuk sistematis dan terintegrasi, SNSE mampu menjabarkan seluruh struktur ekonomi tersebut. Dalam SNSE komponen nilai tambah dan tenaga kerja masuk pada neraca endogen, sedangkan perdagangan luar negeri berada di neraca eksogen. Struktur perekonomian ini penting untuk menjelaskan kontribusi nilai tambah dari masingmasing sektor perekonomian sehingga terlihat sektor mana yang paling dominan dalam menyangga perekonomian suatu negara dilihat dari besaran output yang disumbangkan terhadap perekonomian nasional. Demikian juga bisa dilihat struktur tenaga kerja dari masing-masing sektor perekonomian, apakah suatu sektor itu merupakan sektor padat karya atau padat modal. Struktur perekonomian dapat menjelaskan juga neraca perdagangan suatu negara dan dapat melihat sektor mana sebagai penghasil utama devisa, dan sektor mana yang paling sedikit memberikan sumbangan devisa Struktur Nilai Tambah Nilai tambah atau value added (VA) merupakan aliran pengeluaran setiap sektor produksi kepada faktor produksi, rumah tangga dan perusahaan. Ini berarti bagi ketiga pelaku ekonomi tersebut nilai tambah merupakan pendapatan yang diterima dari sektor produksi, yang secara garis besarnya dapat dibagi atas pendapatan upah untuk tenaga kerja, sewa untuk rumahtangga dan surplus usaha untuk perusahaan. Oleh karena nilai tambah merupakan komponen penting untuk

2 96 mengetahui kontribusi suatu sektor dalam perekonomian maka dalam studi ini disamping dicermati secara sektoral, juga dilihat dari masing-masing sektor produksi untuk jelasnya bisa dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Distribusi Nilai Tambah PDB Tahun 2003 Dalam 5 Sektor Sektor Kelompok Penerima (Rp. Milyar) Nilai Tambah (Rp.Milyar) (%) Pertanian Pertambangan Agroindustri Manufaktur Jasa-jasa Jumlah Tabel 8. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Pertanian No. Kelompok Penerima (Rp. Milyar) Nilai Tambah (Rp.Milyar) (%) Jumlah Keterangan : Kelompok Penerima 1. Tenaga kerja pertanian di desa 2. Tenaga kerja pertanian di kota 3. Tenaga kerja nonpertanian di desa 4. Tenaga kerja nonpertanian di kota 5. Kapital Sektor Produksi 13. Padi 14. Jagung 15. Pertanian tanaman pangan lainnya 16. Tebu 17. Kelapa sawit 18. Pertanian perkebunan lainnya

3 Industri pemotongan ternak 20. Peternakan dan hasil-hasilnya 21. Kehutanan dan perburuan 22. Perikanan Berdasarkan pengelompokan sektor yang disajikan dalam Tabel 7, total nilai tambah perekonomian Indonesia menurut SNSE tahun 2003 adalah sebesar milyar rupiah. Kontribusi terbesar dalam pembentukan nilai tambah berasal dari sektor jasa sebesar milyar rupiah atau persen kemudian disusul oleh sektor manufaktur sebesar milyar rupiah atau persen sedangkan pertanian berada di posisi ke tiga dengan besar kontribusi sebesar milyar rupiah atau persen. Selanjutnya pada Tabel 8, kontribusi sektor pertanian terhadap penciptaan nilai tambah (PDB) Indonesia pada tahun 2003 adalah sebesar milyar rupiah atau sekitar persen, dimana yang paling tinggi memberi sumbangan terhadap PDB sektor pertanian adalah subsektor padi (13) dan subsektor tanaman pangan lainnya (15) masing-masing sebesar 3.02 persen dan 4.49 persen, sedangkan yang paling rendah andilnya terhadap penciptaan PDB Indonesia adalah sektor tebu yaitu sebesar 0.21 persen. Seluruh sektor pertanian paling banyak mendistribusikan nilai tambahnya kepada faktor produksi tenaga kerja di perdesaan (faktor 1). Rata-rata sektor produksi yang masuk dalam kelompok pertanian primer ini memberi nilai tambah terhadap tenaga kerja tersebut masing-masing sebesar 56 persen. Sementara faktor produksi yang menerima nilai tambah dari sektor pertanian dalam jumlah yang kecil adalah tenaga kerja nonpertanian di desa (faktor 3), rata-rata hanya sebesar 3 persen. Terlihat juga bahwa ada perbedaan yang mencolok jika distribusi nilai tambah tersebut diperhatikan berdasarkan faktor-faktor produksi yang

4 98 menerimanya. Sebagai misal untuk tenaga kerja pertanian di desa (faktor 1) dan di kota (faktor 2) lebih banyak menerima nilai tambah dari subsektor tanaman pangan lainnya (15) masing-masing sebesar 33 persen dan 26 persen dari total penerimaan nilai tambahnya. Namun untuk tenaga kerja non pertanian di desa (faktor 3) ternyata lebih banyak menerima nilai tambah dari subsektor perkebunan lainnya (18) yakni sekitar 26 persen. Sedangkan sumber penerimaan nilai tambah untuk tenaga kerja nonpertanian di kota (faktor 4) dan modal (faktor 5) lebih banyak berasal dari subsektor peternakan dan hasil-hasilnya (20), masing-masing menerima sekitar persen dan persen. Tabel 9. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Pertambangan No. Kelompok Penerima (Rp. Milyar) Nilai Tambah (Rp.Milyar) (%) Jumlah Keterangan : Kelompok Penerima 1. Tenaga kerja pertanian di desa 2. Tenaga kerja pertanian di kota 3. Tenaga kerja nonpertanian di desa 4. Tenaga kerja nonpertanian di kota 5. Kapital Sektor Produksi 23. Pertambangan batubara, bijih logam, minyak dan gas bumi 24. Pertambangan dan penggalian lainnya Dalam perekonomian Indonesia, terlihat subsektor pertambangan sangat rendah menghasilkan nilai tambah, kurang lebih hanya sebesar milyar rupiah atau 8.5 persen dari total penerimaan nilai tambah Indonesia, lihat Tabel 8. Adapun sektor pertambangan yang paling besar menciptakan nilai tambah dalam kelompok sektor ini adalah subsektor pertambangan batu bara, bijih logam, minyak dan gas bumi (23) yaitu sebanyak 7.49 persen, sedangkan yang terendah

5 99 adalah subsektor pertambangan dan penggalian lainnya (24) dengan kontribusinya hanya sekitar 1 persen. Sesuai dengan karakteristik jenis usahanya yang tidak berhubungan sama sekali dengan tenaga kerja pertanian, jelas nilai tambah dari sektor pertambangan hanya didistribusikan kepada tenaga kerja nonpertanian dan modal, dimana 76 persen terdistribusi kepada faktor modal, sisanya 24 persen di bagi ke faktor tenaga kerja nonpertanian di desa dan kota. Tabel 10. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Agroindustri No. Kelompok Penerima (Rp. Milyar) Nilai Tambah (Rp.Milyar) (%) Jumlah Keterangan : Kelompok Penerima 1. Tenaga kerja pertanian di desa 2. Tenaga kerja pertanian di kota 3. Tenaga kerja nonpertanian di desa 4. Tenaga kerja nonpertanian di kota 5. Kapital Sektor Produksi 25. Industri makanan, minuman dan tembakau 26. Industri minyak dan lemak 27. Industri penggilingan padi 28. Industri tepung segala jenis 29. Industri gula 30. Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit 31. Industri kayu, barang-barang dari kayu Jika diperhatikan pada Tabel 10, terlihat jelas bahwa kelompok sektor agroindustri termasuk kelompok sektor ekonomi yang kegiatannya cukup banyak memberikan andil terhadap pembentukan PDB nasional. Pada tahun 2003 jumlah

6 100 sumbangan yang diberikan sebesar milyar rupiah atau setara dengan persen, dimana kontribusi yang terbesar diberikan oleh subsektor industri pemintalan tekstil, pakaian dan kulit (30) yakni milyar rupiah atau 3.66 persen, kemudian diikuti oleh subsektor industri makanan, minuman dan tembakau (25) sebesar milyar rupiah atau 3.07 persen, subsektor industri gula (29) merupakan subsektor dalam kelompok sektor agro industri yang memberikan sumbangan nilai tambah yang paling kecil dengan nilai sebesar milyar rupiah atau setara dengan 0.11 persen. Seperti halnya sektor pertambangan sebelumnya, keterkaitan antara sektor agroindustri dengan tenaga kerja pertanian sama sekali tidak terlihat signifikan. Hal ini tercermin pada Tabel 10, dimana tampak jelas bahwa seluruh sektor agroindustri mendistribusikan nilai tambahnya hanya kepada faktor produksi tenaga kerja non pertanian dan modal. Faktor produksi yang paling banyak menerima nilai tambah dari subsektor agroindustri adalah faktor produksi modal (5) yakni sebesar 48 persen dari total nilai tambah yang diciptakan sektor tersebut. Menyusul kemudian tenaga kerja nonpertanian di kota yaitu sebesar 33 persen dan terakhir tenaga kerja nonpertanian di desa, sebesar 19 persen. Sekarang jika perhatian kita fokuskan pada sumber-sumber penerimaan nilai tambah pada masing-masing faktor produksi, tampak jelas bahwa faktor produksi modal (5) lebih banyak menerima nilai tambah dari subsektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit (30) yaitu sekitar 33 persen dari seluruh total penerimaan nilai tambah sektor agroindustri. Sementara untuk faktor produksi tenaga kerja nonpertanian di desa dan kota, sumber penerimaan nilai tambahnya lebih banyak berasal dari subsektor

7 101 industri makanan, minuman dan tembakau (25) masing-masing sebanyak 38 persen untuk yang bekerja di desa dan 42 persen untuk yang bekerja di kota. Tabel 11. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Manufaktur No. Kelompok Penerima (Rp. Milyar) Nilai Tambah (Rp.Milyar) (%) Jumlah Keterangan : Kelompok Penerima 1. Tenaga kerja pertanian di desa 2. Tenaga kerja pertanian di kota 3. Tenaga kerja nonpertanian di desa 4. Tenaga kerja nonpertanian di kota 5. Kapital Sektor Produksi 32. Industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya 33. Industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat serta semen dan ligam dasar 34. Konstruksi atau bangunan 35. Listrik, gas dan air minum Kelompok sektor manufaktur secara keseluruhan cukup memberikan sumbangan yang signifikan dalam membentuk PDB nasional, dengan andilnya terhadap nilai tambah sebesar milyar rupiah atau persen, lihat Tabel 11. Kontribusi utama diperoleh dari subsektor industri kimia, pupuk, hasilhasil dari tanah liat, semen dan logam dasar (33) sebesar milyar rupiah atau setara dengan 9.67 persen disusul kemudian oleh subsektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya (32) sebesar milyar rupiah atau setara dengan 6.27 persen dari PDB nasional. Subsektor

8 102 listrik, gas dan air minum (35) memberikan peran yang paling kecil dengan nilai tambah sebesar milyar rupiah atau setara 1.12 persen. Serupa dengan temuan-temuan sebelumnya, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan nilai tambah Indonesia juga lebih banyak bersumber pada faktor produksi tenaga kerja nonpertanian dan modal. Melalui modal, nilai tambah yang berhasil diciptakan sektor manufaktur adalah sebesar 58 persen. Ini berarti sisanya 42 persen berasal dari tenaga kerja nonpertanian di desa dan kota. Berdasarkan Tabel 10 juga kelihatan bahwa dalam kelompok sektor manufaktur, faktor modal lebih banyak menerima nilai tambah dari subsektor industri kimia, pupuk, hasil-hasil dari tanah liat, semen, dan logam dasar (33). Sedangkan tenaga kerja nonpertanian di desa lebih banyak memperoleh transfer nilai tambah dari subsektor bangunan (34) yakni sekitar 43 persen, sedangkan tenaga kerja nonpertanian di kota lebih besar memperoleh nilai tambah dari sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya (subsektor 33) yaitu sebanyak 33 persen. Pada Tabel 12 mengenai nilai tambah dari kelompok sektor jasa-jasa, terlihat bahwa kelompok sektor ini menyumbangkan nilai tambah yang signifikan dengan jumlah mencapai milyar rupiah atau setara dengan persen sumbangan terbesar diberikan oleh subsektor perdagangan, hotel dan restoran (36) dengan kontribusi sebesar milyar atau setara dengan persen. kemudian disusul oleh subsektor aktifitas jasa-jasa (39) dengan sumbangan sebesar milyar rupiah atau setara dengan persen, sedangkan kontribusi terkecil diberikan oleh subsektor pengangkutan dan komunikasi (37). Melihat komposisi susunan kontribusi kelompok sektor sebagaimana dijelaskan

9 103 diatas, tergambar bahwa Indonesia sudah mengarah pada kondisi negara yang menuju negara sedang berkembang apabila dikaitkan dengan sumbangan kelompok sektor jasa yang dominan dalam penyusunan PDB nasional Indonesia dan sektor pertanian kontribusinya terhadap PDB nasional makin mengecil. Tabel 12. Distribusi Nilai Tambah PDB Kelompok Sektor Jasa-Jasa No. Kelompok Penerima (Rp. Milyar) Nilai Tambah (Rp.Milyar) (%) Jumlah Keterangan : Kelompok Penerima 1. Tenaga kerja pertanian di desa 2. Tenaga kerja pertanian di kota 3. Tenaga kerja nonpertanian di desa 4. Tenaga kerja nonpertanian di kota 5. Kapital Sektor Produksi 36. Perdagangan, hotel dan restoran 37. Pengangkutan dan komunikasi 38. Keuangan, jasa perusahaan, real estate 39. Jasa-jasa 5.2. Perdagangan Luar Negeri Kegiatan ekspor dan impor merupakan kegiatan perdagangan luar negeri yang dapat dilihat pada SNSE Indonesia tahun 2003 yang tersaji dalam vektor kolom ROW (rest of world). Besarnya ekspor dan impor dapat dirinci atas sektor produksi sebagaimana terlihat pada Tabel 13. Berdasarkan tabel ini terlihat jelas neraca perdagangan sektor pertanian primer secara keseluruhan masih menunjukkan nilai surplus sebesar milyar rupiah.

10 104 Tabel 13. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Pertanian Primer Sektor Komoditi Impor Ekspor surplus/ (Rp.Milyar) (%) (Rp.Milyar) (%) Defisit 13 Padi Jagung Pertanian tanamn pgn lain Tebu Kelapa sawit Pertanian perkebunan lain Pemotongan ternak Peternakan dan hasilnya Kehutanan dan perburuan Perikanan Jumlah Dari seluruh kelompok sektor pertanian primer yang terbagi dalam 10 sektor kegiatan pertanian, sebanyak 8 subsektor menunjukkan neraca perdagangannya mengalami defisit, sedangkan 2 subsektor lainnya yakni pertanian tanaman perkebunan lainnya dan perikanan menunjukkan surplus, dengan nilai masing-masing sebesar milyar rupiah dan milyar rupiah. Pada Tabel 14 berikut, terlihat bahwa neraca perdagangan luar negeri Indonesia di sektor pertambangan mengalami surplus yang cukup besar, dengan keseluruhan mencapai milyar rupiah. Surplus tersebut berasal dari subsektor pertambangan batubara, biji logam, minyak dan gas bumi (23) sebesar milyar rupiah dan subsektor pertambangan dan penggalian lainnya (24) sebesar milyar rupiah. Jika memperhatikan kontribusi ekspor sektor pertambangan dan migas sebesar persen dari ekspor nasional, maka dapat dikatakan bahwa upaya pemerintah untuk meningkatkan perolehan devisa dari sektor non migas telah menunjukkan hasil. Pada sektor pertambangan telah menunjukkan angka surplus yang cukup meyakinkan dengan angka

11 105 milyar rupiah untuk sektor pertambangan batubara dan milyar rupiah untuk sektor pertambangan lain. Sedangkan untuk keseluruhan surplus yang diperoleh dari sektor pertambangan sebesar milyar rupiah atau setara dengan persen surplus perdagangan nasional. Namun demikian jika diamati dari sisi impor, terlihat kemandirian sektor pertambangan masih jauh dari harapan. Tabel 14. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Pertambangan No Sektor Komoditi Pertambangan batubara, biji logam, minyak dan gas bumi Pertambangan dan penggalian lainnya Impor Ekspor Surplus/ (Rp.Milyar) (%) (Rp.Milyar) (%) Defisit Jumlah Selanjutnya pada Tabel 15 terlihat bahwa dari 7 (tujuh) sektor kelompok agroindustri menunjukkan angka defisit dengan rincian subsektor industri makanan, minuman dan tembakau (25) sebesar milyar rupiah, subsektor industri minyak dan lemak (26) sebesar milyar rupiah. Defisit terbesar disumbang oleh subsektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit sebesar milyar rupiah, kemudian disusul oleh subsektor industri kayu, barangbarang dari kayu (31) sebesar milyar rupiah. Jumlah total keseluruhan defisit yang berasal dari sektor agroindustri sebesar milyar rupiah. Perdagangan luar negeri pada industri manufaktur menunjukkan adanya defisit yang cukup signifikan dengan nilai sebesar milyar rupiah (perhatikan Tabel 16). Defisit ini berasal dari industri kimia, pupuk, semen dan logam dasar dengan nilai defisit sebesar milyar rupiah sedangkan pada

12 106 Tabel 15. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Agroindustri Sektor Komoditi Impor Ekspor surplus/ (Milyar) (%) (Milyar) (%) Defisit 25 Industri makanan, minuman dan tembakau Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung segala jenis Industri gula Industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit Industri kayu, barangbarang dari kayu Jumlah subsektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam & industri lainnya (32), dihasilkan surplus sebesar milyar rupiah. Suatu hal yang menarik dari data pada Tabel 15 berikut ini, bahwa pada subsektor 34 konstruksi/bangunan (34) dan subsektor Listrik, gas dan air minum (35) tidak tergambar adanya aktivitas perdagangan antar negara, yang mengartikan pada ke 2 (dua) subsektor tersebut bersifat tertutup. Tabel 16. Nilai Ekspor Impor Sektor Industri Manufaktur Sektor Komoditi Industri kertas, percetakan; alat angkutan, barang dari logam & industri lainnya Industri kimia, pupuk, hasilhasil dari tanah liat & semen, dan logam dasar Impor Ekspor Surplus / Defisit (Rp.Milyar) (%) (Rp.Milyar) (%) Konstruksi/bangunan Listrik, gas dan air minum Jumlah

13 107 Tabel 17. Nilai Ekspor Impor Kelompok Sektor Industri Jasa Sektor Komoditi Impor Ekspor Surplus/ (Milyar) (%) (Milyar) (%) Defisit 36 Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, jasa perusahaan, real estate 39 Jasa-jasa Jumlah Sumber : data diolah Pada Tabel 17 terlihat kelompok sektor jasa-jasa menunjukkan defisit yang sangat signifikan. Nilai defisit dihasilkan pada sektor-sektor jasa-jasa sebesar milyar rupiah. Pada sektor ini surplus perdagangan diperoleh dari sektor jasa-jasa, dengan nilai sebesar milyar rupiah, selebihnya untuk semua subsektor menunjukkan nilai defisit dengan peringkat pertama dihasilkan dari subsektor keuangan dan jasa (38) dengan nilai defisit sebesar milyar rupiah, disusul dengan subsektor pengangkutan dan komunikasi (37) sebesar milyar rupiah dan terakhir subsektor 36 (perdagangan, hotel dan restoran) sebesar milyar rupiah. Tabel 18. Total Ekspor Impor Indonesia Tahun 2003 Sektor Impor Ekspor Surplus/ (Milyar) (%) (Milyar) (%) Defisit Pertanian Pertambangan Agroindustri Manufaktur Jasa-jasa Total Semua Sektor

14 108 Dari paparan Tabel 18 di atas, terlihat secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia dengan negara luar, terlihat ekspor utama Indonesia adalah pada sektor manufaktur dengan nilai milyar rupiah dengan pangsa sebesar persen dari ekspor nasional, sedangkan impor paling utama juga berasal dari barang manufaktur dengan nilai milyar rupiah setara dengan persen impor nasional. Tabel 18 menunjukkan neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2003 mengalami surplus sebesar milyar rupiah. Semua sektor menunjukkan surplus kecuali kelompok sektor jasa-jasa. Penyumbang surplus terbesar berasal dari kelompok sektor agroindustri dan terkecil berasal dari kelompok sektor pertanian. Melihat kondisi ini perlu dilakukan reevaluasi dan dukungan yang lebih besar terhadap kebijakan pengembangan agroindustri Indonesia, dikarenakan menyumbang surplus yang cukup besar. Peran penting agroindustri dalam menghasilkan devisa tidak lepas dari kemudahan pemerintah dalam memberikan stimulus yang lebih mendorong peran pengusaha skala besar dan beradasarkan data keterkaitan yang dijelaskan dalam disertasi ini kurang terkait dengan unit usaha kecil dan menengah khususnya para petani kecil yang merupakan mata rantai penting dalam proses pengolahan hasil pertanian (agroindustri). Jumlah ekspor sebesar milyar rupiah merupakan persen dari total nilai tambah yang besarnya milyar rupiah. Angka persen menggambarkan peran ekspor cukup besar kontribusinya terhadap PDB Indonesia. Sedangkan nilai impor sebesar milyar rupiah merupakan 24 persen dari besaran PDB. Hal ini mnegindikasikan ketergantungan PDB Indonesia terhadap impr cukup tinggi dan jika dikaitkan dengan dengan total

15 109 produksi semua sektor sebesar milyar rupiah maka ketergantungan produksi terhadap impor adalah persen Penggunaan Tenaga Kerja Berdasarkan Tabel 18 terlihat komposisi penggunaan tenaga kerja pada pembentukan produk domestik nasional sangat dominan untuk kelompok sektor pertanian. Untuk beberapa subsektor kontribusi tenaga kerja diatas 90 persen, yang menunjukkan bahwa sektor pertanian adalah suatu kegiatan usaha yang sifatnya`padat karya. Hanya pada subsektor kehutanan dan subsektor perikanan (21) dan (22) sumbangan tenaga kerja terhadap pembentukan PDB di bawah 50 persen. Hal ini dapat dipahami karena pada ke dua sektor tersebut digunakan peralatan modal yang cukup besar berbeda dengan sektor padi yang sebagian besar nilai tambah dihasilkan dari unsur tenaga kerja. Tabel 19. Penggunaan Tenaga Kerja Untuk Sektor Pertanian Primer Sektor Produksi Neraca Tenaga Kerja Tenaga Kerja (000 orang) VA dlm (Rp.Milyar) TK/VA (%) Jumlah Kegagalan sektor industri untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja dari sektor pertanian khususnya dan kawasan perdesaan umumnya sangat terasa pada era pasca krisis. Sektor industri mengalami pertumbuhan yang rendah bahkan

16 110 minus. Hal ini menyebabkan beban tenaga kerja banyak menumpuk di sektor pertanian, sehingga mau tidak mau akan menurunkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Sudah barang tentu kondisi ini menyebabkan pelaku di sektor pertanian akan termarjinalkan. Relatif banyaknya angkatan kerja pada sektor pertanian juga meningkatkan tekanan terhadap lahan pertanian (modal atau kapital) yang menyebabkan pemecahan lahan pertanian sehingga akibatnya luasan lahan yang diusahakan tidak masuk dalam skala ekonomi. New entrants ke sektor pertanian membutuhkan lahan pertanian. Sampai batas tertentu, kebutuhan ini ditutupi melalui fragmentasi lahan pertanian. Manakala fragmentasi ini berlangsung dengan laju yang lebih cepat dari laju pencetakan lahan pertanian baru, maka rataan luas lahan yang diusahakan atau dikuasai oleh petani akan semakin menyempit. Data pada Tabel 19 dengan nyata menunjukkan sektor pertanian adalah aktivitas produksi yang banyak menggunakan tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah atau dikenal dengan sektor padat karya. Hipotesis ini tampaknya didukung oleh data rataan luas lahan pertanian yang dikuasai oleh rumah tangga petani bahwa dalam periode , rataan luas lahan pertanian Indonesia menurun dari 0.8 hektar menjadi 0.7 hektar. Di pulau Jawa, penurunan tersebut ialah dari 0.47 hektar menjadi 0.37 hektar, sedangkan di luar Pulau Jawa adalah 1.20 hektar menjadi 1.10 hektar. Sudah barang tentu dengan luasan 0.7 hektar masih kurang layak untuk mencukupi kebutuhan rumahtangganya. Sebaliknya di negara-negara yang telah berhasil menjalankan reformasi agraria (agrarian reform), misalnya Jepang dimana rataan luas lahan pertaniannya

17 111 justru cenderung meningkat sekitar 0.6 hektar sepanjang periode Melihat kondisi ini tampaknya peningkatan produktivitas (yield) serta perluasan lahan pertanian yang dilakukan secara hati-hati, yang secara simultan diiringi dengan pengembangan industri hasil pertanian (agroindustry) terutama di kawasan perdesaan, merupakan pilihan kebijakan yang lebih tepat untuk mengatasi permasalahan sektor pertanian di Indonesia. Struktur tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah dapat menjadi petunjuk awal untuk mengamati sektor mana yang menjadi tumpuan banyak pekerja dan sektor mana yang sedikit menghasilkan nilai tambah dari tenaga kerja. Terkait dengan hal tersebut analisis struktur ekonomi dengan menggunakan tabel SNSE Indonesia 2003 bisa menjadi salah satu pertimbangan untuk dapat memberikan kebijakan yang tepat bagi upaya peningkatan kesejahteraan terhadap masyarakat banyak. Tabel 20. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Sektor Agroindustri Sektor Neraca Tenaga Kerja Tenaga Kerja VA dlm TK/VA Produksi (000 org) (Rp.Milyar) (%) Jumlah Pada Tabel 20 terlihat bahwa kelompok tenaga kerja pertanian baik yang berasal dari desa maupun kota pada sektor agroindustri kurang diberdayakan dan hampir seluruhnya menggunakan tenaga kerja bukan berasal dari pertanian. Hal ini merupakan petunjuk yang cukup jelas bahwa sektor agroindustri kurang berselaras dengan sektor pertanian. Pada subsektor industri minyak dan lemak

18 112 (26), merupakan subsektor pada sektor agroindustri yang paling kecil kontribusi tenaga kerja dalam pembetukan nilai tambah, yaitu hanya 8.61 persen. Hal ini menunjukkan subsektor industri lemak dan minyak merupakan kegiatan industri yang sifatnya padat modal, dengan pengertian nilai tambah yang dihasilkan dari upah tenaga kerja hanya 8.61 persen, sedangkan sisanya sebesar persen berasal dari modal. Demikian juga dengan industri tepung segala jenis, kontribusi yang diberikan oleh tenaga kerja hanya sebesar persen Berbeda halnya dengan subsektor industri gula (29), komponen tenaga kerja bagi pembentukan produk nasional bruto berkisar sebesar persen, demikian juga dengan subsektor industri makanan dan minuman (25) dengan pangsa tenaga kerja mencapai persen, subsektorindustri penggilingan padi (27) pangsa tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah mencapai persen. Tabel 21. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor Pertambangan Sektor Produksi Neraca Tenaga Kerja Tenaga Kerja (000 orang) VA dlm (Rp.Milyar) TK/VA (%) Jumlah Pada Tabel 21, dapat dilihat penggunaan tenaga kerja untuk kelompok sektor pertambangan secara keseluruhan menunjukkan angka 9.38 persen. Sektor minyak dan gas bumi lebih ekstreem dalam penggunaan sedikitnya tenaga kerja yaitu hanya 4.81 persen, hal ini menunjukkan pada sektor ini lebih banyak dihasilkan oleh kapital bukan oleh tenaga kerja. Dengan penggunaan tenaga kerja yang sedikit dan menghasilkan nilai tambah yang sangat besar maka sudah wajar

19 113 jika pada kebijakan migas ini perlu dilakukan distribusi yang lebih mengena bagi sektor terkait lainnya. Tabel 22. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor Manufaktur Sektor Neraca Tenaga Kerja Tenaga Kerja VA TK/VA Produksi (000 orang) (Rp.Milyar) (%) Jumlah Angka pada Tabel 22 menunjukkan adanya penggunaan tenaga kerja sebagai penghasil nilai tambah pada tenaga tidak sebanyak pada sektor pertanian, demikian juga penggunaan tenaga kerja pertanian baik yang di perdesaan dan perkotaan tidak terlihat pada aktivitas produksi kelompok sektor manufaktur. Nilai tambah yang cukup besar dari tenaga kerja ada pada sektor konstruksi dan bangunan dengan besaran pangsa sebesar persen sedangkan untuk keseluruhan pangsa produksi yang berasal dari tenaga kerja bagi pembentukan nilai tambah kelompok sektor manufaktur sebesar persen. Tabel 23. Penggunaan Tenaga Kerja untuk Kelompok Sektor jasa Sektor Produksi Neraca Tenaga Kerja TK (000 orang) VA (Rp.Milyar) TK/VA (%) Jumlah

20 114 Penggunaan tenaga kerja untuk kelompok sektor jasa sebagaimana terlihat pada Tabel 23 menunjukkan pada umumnya di sektor ini, peran tenaga kerja dalam menghasilkan nilai tambah sangat berarti. Subsektor perdagangan, hotel dan restoran (26) penggunaan tenaga kerja mencakup besaran persen, demikian juga pada subsektor jasa-jasa (39) penggunaan tenaga kerja mencapai persen. Kegiatan aktivitas produksi yang sedikit menggunakan tenaga terdapat pada subsektor Keuangan, Jasa perusahaan dan real estate (38) dengan kontribusi tenaga kerja hanya sebesar persen.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier (VM ), household induced income multiplier (HM), firm income multiplier (FM), other

Lebih terperinci

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI 157 VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI Salah satu kelebihan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah mampu menjelaskan dengan lengkap tiga aktivitas distribusi

Lebih terperinci

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI INDONESIA TAHUN 2008 ISSN : 0216.6070 Nomor Publikasi : 07240.0904 Katalog BPS : 9503003 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah Halaman : 94 halaman Naskah : Subdirektorat Konsolidasi

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor

Lebih terperinci

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 184.845.034 194.426.046 9.581.012 5,18 2 Usaha Menengah (UM)

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 11/02/72/Th. XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang diukur dari persentase kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/02/72/Th. XIV. 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL 7.. Analisis Multiplier Output Dalam melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output, sektor produksi selalu membutuhkan input, baik input primer

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No.51/08/33/Th.VIII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI 6.1. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan umumnya membutuhkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 No.43/08/33/Th.V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 PDRB Jawa Tengah pada triwulan II tahun 2011 meningkat sebesar 1,8 persen dibandingkan triwulan I tahun 2011 (q-to-q).

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 17.968.449 19.510.919 1.542.470 8,58 2 Usaha Menengah (UM) 23.077.246 25.199.311 2.122.065 9,20 Usaha Kecil

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS SEKTOR PERTANIAN. Biro Riset LMFEUI

ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS SEKTOR PERTANIAN. Biro Riset LMFEUI ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS SEKTOR PERTANIAN Biro Riset LMFEUI Data tahun 2007 memperlihatkan, dengan PDB sekitar Rp 3.957 trilyun, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar, yaitu Rp

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIII, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 TUMBUH MENINGKAT 5,7 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun. Indonesia pada tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5% (yoy), sedangkan pertumbuhan triwulan IV-2011 secara tahunan sebesar 6,5% (yoy) atau secara triwulanan turun 1,3% (qtq). PDB per kapita atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif. 5. RANGKUMAN HASIL Dari hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat dirangkum beberapa poin penting sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu: 1. Deviasi hasil estimasi total output dengan data aktual

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 No. 68/11/33/Th.VIII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAMBI TAHUN 2009

PERTUMBUHAN EKONOMI JAMBI TAHUN 2009 No. 09/02/15/Th. IV, 10 Februari 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI JAMBI TAHUN Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jambi pada tahun meningkat sebesar 6,4 persen dibanding tahun 2008. Peningkatan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008 BADAN PUSAT STATISTIK No.43/08/Th. XI, 14 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II- Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II-

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (U MKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016 BPS PROVINSI BENGKULU No. 10/02/17/XI, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016 EKONOMI BENGKULU TUMBUH 5,30 PERSEN, MENINGKAT DIBANDINGKAN TAHUN 2015 Perekonomian Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2)

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2) Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas, terutama dalam hal penyajian data yang lebih lengkap dan terperinci. Tersedianya

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No.24/05/33/Th.IV, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2010 PDRB Jawa Tengah pada triwulan I tahun 2010 meningkat sebesar 6,5 persen dibandingkan triwulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA 5.1. Struktur Perkonomian Sektoral Struktur perekonomian merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap struktur Produk Domestik

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 06/05/33/Th.III, 15 Mei 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2009 PDRB JAWA TENGAH TRIWULAN I TH 2009 TUMBUH 5,5 PERSEN PDRB Jawa Tengah pada triwulan I tahun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas, terutama dalam hal penyajian data yang lebih lengkap dan terperinci. Tersedianya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 06 /11/33/Th.I, 15 Nopember 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PDRB JAWA TENGAH TRIWULAN III TH 2007 TUMBUH 0,7 PERSEN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO Triwulan II-29 Perekonomian Indonesia secara tahunan (yoy) pada triwulan II- 29 tumbuh 4,%, lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya (4,4%). Sementara itu, perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIV, 5 Mei 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 TUMBUH 6,5 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran

Lebih terperinci

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA Mudrajad Kuncoro Juli 2008 Peranan Masing- Masing Cabang Industri Terhadap PDB Sektor Industri Tahun 1995-2008* No. Cabang Industri Persen

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 24/05/14/Th.XV, 5 Mei 2014 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan I tahun 2014, yang diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, mengalami

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri FEBRUARI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Februari 2017 Pendahuluan Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,02%, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 50/08/Th.XII, 10 Agustus 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2009 Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 38/08/14/Th.XIV, 2 Agustus 2013 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas Triwulan II Tahun 2013 mencapai 2,68 persen Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan II tahun 2013, yang diukur dari

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 19/05/14/Th.XI, 10 Mei PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas y-on-y Triwulan I Tahun sebesar 5,93 persen Ekonomi Riau dengan migas pada triwulan I tahun mengalami kontraksi sebesar 1,19

Lebih terperinci

Produk Domestik Bruto (PDB)

Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) Gross Domestic Product (GDP) Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unitunit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang mempunyai tujuan antara lain untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang hasilnya secara merata

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 No. 63/08/Th. XVII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 TUMBUH 5,12 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran Produk Domestik

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri MARET 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Maret 2017 Pertumbuhan Ekonomi Nasional Pertumbuhan ekonomi nasional, yang diukur berdasarkan PDB harga konstan 2010, pada triwulan IV

Lebih terperinci

Keterangan * 2011 ** 2012 ***

Keterangan * 2011 ** 2012 *** Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 * 2011 ** 2012 *** Produk Domestik Bruto (%, yoy) 3.64 4.50 4.78 5.03 5.69 5.50 6.35 6.01 4.63 6.22 6.49 6.23 Produk Nasional Bruto (%, yoy)

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan 138 BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA 6.1. Infrastruktur dan Kinerja perekonomian Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat meningkatkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA No. 27 / VIII / 16 Mei 2005 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PDB INDONESIA TRIWULAN I TAHUN 2005 TUMBUH 2,84 PERSEN PDB Indonesia pada triwulan I tahun 2005 meningkat sebesar 2,84 persen dibandingkan triwulan

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2008 No. 06/05/33/Th.II, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2008 PDRB JAWA TENGAH TRIWULAN I TH 2008 TUMBUH 5,2 PERSEN PDRB Jawa Tengah pada triwulan I tahun 2008 meningkat sebesar

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No. 47/08/72/Thn XVII, 05 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/05/72/Thn XIV, 25 Mei 2011 PEREKONOMIAN SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2011 MENGALAMI KONTRAKSI/TUMBUH MINUS 3,71 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 No.05/02/33/Th.III, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 PDRB Jawa Tengah triwulan IV/2008 menurun 3,7 persen dibandingkan dengan triwulan III/2007 (q-to-q), dan bila dibandingkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 76/12/Th. XII, 1 Desember PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR OKTOBER HARGA GROSIR TURUN 0,07 PERSEN Pada bulan Oktober Indeks harga grosir/agen

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,08 PERSEN No. 11/02/61/Th. XVII, 5 Februari 2014 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL 7.1. Neraca Pariwisata Jumlah penerimaan devisa melalui wisman maupun pengeluaran devisa melalui penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri tergantung

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH No.12/02/33/Th.VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN PDRB JAWA TENGAH TAHUN 2012 MENCAPAI 6,3 PERSEN Besaran PDRB Jawa Tengah pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-2011 No. 43/08/63/Th XV, 05 Agustus 20 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-20 Ekonomi Kalimantan Selatan pada triwulan II-20 tumbuh sebesar 5,74 persen jika dibandingkan triwulan I-20 (q to q)

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 No. 28/05/72/Thn XVII, 05 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 Perekonomian Sulawesi Tengah triwulan I-2014 mengalami kontraksi 4,57 persen jika dibandingkan dengan triwulan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 27/05/61/Th. XVII, 5 Mei PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN BARAT TRIWULAN I- EKONOMI KALIMANTAN BARAT TUMBUH 4,69 PERSEN Perekonomian Kalimantan Barat yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL III. EKONOMI MAKRO KABUPATEN TEGAL TAHUN 2013 Pembangunan ekonomi merupakan suatu hal mendasar suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi itu sendiri pada dasarnya

Lebih terperinci

GROWTH (%) SHARE (%) JENIS PENGELUARAN 2011** 2012*** Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.

GROWTH (%) SHARE (%) JENIS PENGELUARAN 2011** 2012*** Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q. Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 * 2011 ** 2012 *** Produk Domestik Bruto (%, yoy) 3.64 4.50 4.78 5.03 5.69 5.50 6.35 6.01 4.63 6.22 6.49 6.23 Produk Nasional Bruto (%, yoy)

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 55/08/Th. XVI, 2 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013 TUMBUH 5,81 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri APRIL 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi April 2017 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I 2017 Pada triwulan 1 2017 perekonomian Indonesia, tumbuh sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan

Lebih terperinci

(1.42) (1.45) I II III IV I II III IV I II III IV I II * 2012** 2013***

(1.42) (1.45) I II III IV I II III IV I II III IV I II * 2012** 2013*** 8 6 4 2 5.99 6.29 6.81 6.45 6.52 6.49 6.50 6.29 6.36 6.16 5.81 6.11 6.035.81 3.40 2.69 2.04 2.76 3.37 1.70 1.50 2.82 3.18 1.42 2.61 0-2 (1.42) (1.42) (1.45) I II III IV I II III IV I II III IV I II 2010

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN I-2014 No.22/05/36/Th.VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN I-2014 PDRB Banten triwulan I tahun 2014, secara quarter to quarter (q to q) tumbuh positif 0.87 persen, setelah triwulan sebelumnya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA No. 52/ V / 15 Nopember 2002 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA INDONESIA TRIWULAN III TAHUN 2002 TUMBUH 2,39 PERSEN Indonesia pada triwulan III tahun 2002 meningkat sebesar 2,39 persen terhadap triwulan II

Lebih terperinci

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN 7.1. Peranan Langsung Sektor Pupuk Terhadap Nilai Tambah Dalam kerangka dasar SNSE 2008, nilai tambah perekonomian dibagi atas tiga bagian

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 07/08/53/TH.XVI, 2 AGUSTUS PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR LAJU PEREKONOMIAN NTT TRIWULAN I - 5,42 % (Y on Y) atau 4,67 % (Q to Q) 5,42

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan atas sumber daya air, sumber daya lahan, sumber daya hutan, sumber

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN

PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN No. 026/08/63/Th.XII, 10 Agustus 2009 PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2009 terhadap triwulan I-2009 (q to q) mencapai angka 16,68 persen. Pertumbuhan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/01/Th. XIII, 4 Januari 2010 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR NOVEMBER HARGA GROSIR NAIK 0,73 PERSEN Pada bulan November Indeks harga grosir/agen atau Indeks Harga

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PDRB Triw I-2009 KALSEL

PERKEMBANGAN PDRB Triw I-2009 KALSEL No. 014/05/63,Th XII, 15 Mei 2009 PERKEMBANGAN PDRB Triw I-2009 KALSEL A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi triw I-2009 terhadap triw IV-2008 (q to q) = - 7,72 %. Pertumbuhan ekonomi triw I-2009

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III 2014 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 79/11/21/Th.IX, 5 November PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III PDRB KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TUMBUH 6,15 PERSEN (c to c) PDRB Kepulauan

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 63/11/73/Th. VIII, 5 November 2014 EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN III TUMBUH SEBESAR 6,06 PERSEN Perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan III tahun 2014 yang diukur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2011 No. 11/02/63/Th XV, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2011 Perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2011 tumbuh sebesar 6,12%, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor jasajasa sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR BADAN PUSAT STATISTIK No. 24/04/Th. XIII, 1 April PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR FEBRUARI HARGA GROSIR NAIK 0,04 PERSEN, HARGA GROSIR BAHAN BAKU NAIK 0,05 PERSEN Pada bulan Indeks harga grosir/agen

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengujian Model Input Output Koefisien teknis dalam Tabel Input Output menunjukkan kontribusi suatu sektor dalam pembentukan output total secara langsung. Besaran koefisien

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2008 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 41/11/31/Th. X, 17 November 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2008 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan III tahun 2008 yang diukur berdasarkan PDRB

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 23/05/61/Th. XIII, 10 Mei 2010 PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT TRIWULAN I TAHUN 2010 Kinerja perekonomian Kalimantan Barat pada triwulan I-2010 dibandingkan triwulan IV-2009,

Lebih terperinci