BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian Perilaku Bullying Pengertian perilaku bullying menurut Coloroso (2007) adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan teror termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun yang spontan, bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, di hadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak. Sedangkan menurut Surilena (2006) perilaku bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang bersifat menyerang karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat, seperti mengejek, menyebarkan gossip, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti, intimidasi, mengancam, menindas, memalak, hingga menyerang, secara fisik seperti mendorong, menampar, atau memukul. Definisi lain diungkap oleh Dwipayanti & Komang (2014) yang menyatakan bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang baik fisik, verbal maupun psikologis dan biasanya 12

2 13 terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku maupun korban. Kemudian menurut Cahyani (2017), perilaku bullying adalah perilaku agresif dengan bentuk kekerasan spesifik yang bertujuan untuk menyakiti atau mengganggu, terjadi berulang atau potensial terulang, dan kekuatan atau power antara korban dan pelaku tidak seimbang. Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan teror termasuk juga tindakan yang direncakan maupun yang spontan, bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, di hadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak. 2. Bentuk Bentuk Perilaku Bullying Menurut Coloroso (2007), perilaku bullying dibagi menjadi empat jenis, yaitu: a. Bullying Fisik Bullying fisik adalah perilaku bullying yang dalam perilakunya melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban (Lestari, 2016). Jenis bullying secara fisik di antaranya adalah memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, serta meludahi anak yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan pakaian serta

3 14 barang-barang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan semakin dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis serangan ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk mencederai secara serius (Zakiyah dkk, 2017). b. Bullying Verbal Bullying verbal adalah perilaku bullying dimana pelaku menyerang korban melalui kata kata atau lisannya (Lestari, 2016). Bullying verbal mudah dilakukan dan dapat dibisikkan dihadapan orang dewasa serta teman sebaya, tanpa terdeteksi. Bullying verbal dapat diteriakkan di taman bermain bercampur dengan hingar binger yang terdengar oleh pengawas, diabaikan karena hanya dianggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpatik di antara teman sebaya (Zakiyah dkk, 2017). Bullying verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual. Selain itu, bullying verbal dapat berupa perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar, yang mengintimidasi, surat-surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji, serta gossip (Lestari, 2016). c. Bullying Relasional Bullying relasional adalah pelemahan harga diri korban bullying secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan,

4 15 pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran, suatu tindakan penyingkiran, adalah alat penindasan yang terkuat. Anak yang digunjingkan mungkin akan tidak mendengar gosip itu, namun tetap akan mengalami efeknya. Penindasan relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja ditujukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, bahu (Zakiyah dkk, 2017). d. Cyberbullying Cyberbullying adalah perilaku bullying yang dilakukan melalui media masa atau media sosial yang bertujuan menghina atau mengkritik seseorang melalui dunia maya, pada intinya adalah korban terus menerus mendapatkan pesan negatif dari pelaku bullying baik dari sms, pesan di internet dan media sosial lainnya (Zakiyah dkk, 2017). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Colloroso (2007) membagi bentuk bullying menjadi empat, yaitu bullying fisik seperti memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar. Bullying verbal seperti memberi julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual. Bullying relasional seperti pengucilan, penggunjingan, gossip, dan cyber bullying yaitu tindakan bullying melalui media masa maupun media sosial.

5 16 Menurut Cahyani (2017), perilaku bullying dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : a. Langsung Perilaku bullying yang dilakukan secara langsung oleh pelaku terhadap korban, baik secara verbal maupun non verbal yang dampaknya dapat langsung melukai korban saat itu juga. Bullying langsung dapat berupa memukul, merusak barang, mengejek, menghina, dan berkata kasar. b. Tidak Langsung Perilaku bullying dimana pelaku tidak secara langsung menyerang korban melainkan menggunakan pihak ketiga atau media lain dalam melakukan bullying terhadap korban. Bullying tidak langsung dapat berupa menyebar gossip, menirukan, membuat lelucon, menghasut orang lain untuk mengucilkan, dan cyberbullying. Dari penjelasan yang telah diuraikan dapat diambil kesimpulan bahwa menurut Cahyani (2017) perilaku bullying terbagi menjadi dua jenis, yang pertama adalah langsung yaitu perilaku bullying yang langsung dilakukan oleh pelaku tanpa melalui perantara seperti memukul, merusak barang, mengejek, menghina, dan berkata kasar. Kedua adalah tidak langsung, yaitu perilaku bullying yang dilakukan melalui perantara pihak ketiga atau media lain seperti menyebar

6 17 gossip, menirukan, membuat lelucon, menghasut orang lain untuk mengucilkan, dan cyberbullying. Dalam penelitian ini, bentuk bentuk bullying yang akan digunakan, mengacu pada bentuk bentuk perilaku bullying menurut Coloroso (2007) yang meliputi bullying fisik, bullying verbal, bullying relasional, dan cyberbullying, alasanya adalah bahwa bentuk bentuk bullying ini terdeferensiasi secara baik dengan aspek aspek yang hendak diteliti selain itu, bentuk bentuk bullying menurut Colloroso (2007) ini dapat digunakan untuk mengetahui serta mengukur kecenderungan berperilaku bullying oleh siswa pada zaman modern, karena bentuk bullying paling banyak terjadi adalah bullying rasional dan cyberbullying, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Octavianto (2017) yang melakukan penelitian terhadap 113 siswa SMA di Yogyakarta memperoleh hasil 92,99% subjek menyatakan pernah mengalami bullying rasional dan cyberbullying, sementara yang pernah mengalami bullying fisik dan verbal hanya 75,22% dari keseluruhan subjek, sedangkan bentuk bentuk perilaku bullying menurut Cahyani (2017) hanya mencakup perilaku bullying langsung, dan perilaku bullying tidak langsung, dimana cyberbullying belum berdiri sendiri atau dengan kata lain hanya sebagai penjelas dari perilaku bullying tidak langsung saja.

7 18 3. Faktor Faktor Perilaku Bullying Menurut Fithria & Rahmi (2016), faktor yang mendorong terjadinya perilaku bullying adalah : a. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam atau dari dirinya sendiri, faktor internal meliputi : 1) Kontrol Diri Kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan yang bertentangan dengan tingkah laku yang sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Sebagai salah satu sifat kepribadian, kontrol diri pada satu individu dengan individu yang lain tidaklah sama, ada individu memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada individu yang memiliki kontrol diri yang rendah. Salah satu sebab siswa melakukan bullying yaitu rendahnya kontrol diri pada siswa. Individu dengan kontrol diri yang rendah memiliki kecenderungan menjadi impulsif, senang melakukan perbuatan yang berisiko, dan berpikiran sempit. 2) Kepribadian Kepribadian yaitu ciri, karakteristik, gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir (Sjarkawi dalam

8 19 Fithria & Rahmi, 2016). Faktor-faktor dalam kepribadian berkontribusi besar pada ciri khas perilaku anak-anak dalam situasi bullying, di mana tingginya tingkat dari ketidakstabilan emosi dan rendahnya tingkat dari keramahtamahan berpengaruh pada pelaku bullying. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Slee & Rigby, (Fithria & Rahmi, 2016) salah satu studi pada anak remaja di Florance berusia antara tahun menunjukkan bahwa kecenderungan seseorang dalam melakukan perilaku bullying berhubungan dengan faktor kepribadian yang dikenal dengan nama psychoticism yang meliputi perilaku impulsif, mengajak orang lain bermusuhan, dan sensitif dalam situasi sosial. 3) Harga Diri Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri (Stuart & Sundeen dalam Fithria & Rahmi, 2016). Dalam penelitian yang dilakukan Fithria & Rahmi (2016) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara harga diri dengan perilaku bullying. Hubungan yang terjadi sifatnya negatif, dimana jika harga diri tinggi maka perilaku bullying yang terjadi rendah dan jika harga diri rendah maka bullying yang terjadi tinggi. Penelitian oleh Anderson & Carnagey (dalam Fithria & Rahmi, 2016), yang didapatkan hasil bahwa

9 20 seorang anak yang memiliki harga diri negatif atau harga diri rendah, anak tersebut akan memandang dirinya sebagai orang yang tidak berharga. Rasa tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan keadaan fisiknya. Harga diri rendah dapat membuat seorang anak merasa tidak mampu menjalin hubungan dengan temannya sehingga dirinya menjadi mudah tersinggung dan marah. Akibatnya anak tersebut akan melakukan perbuatan yang menyakiti temannya. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar dirinya atau lingkungan sekitar, faktor eksternal meliputi : 1) Keluarga Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya (Zakiyah dkk, 2017). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap orang tua yang terlalu berlebihan dalam melindungi anaknya, membuat mereka rentan berperilaku bullying. Pola hidup orang tua yang berantakan, terjadinya perceraian orang tua, orang tua yang tidak stabil perasaan dan pikirannya, orang tua yang saling mencaci maki, menghina,

10 21 bertengkar dihadapan anak-anaknya, bermusuhan dan tidak pernah akur, memicu terjadinya depresi dan stress bagi anak. Seorang remaja yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pola komunikasi negatif seperti sarcasm (sindirian tajam) akan cenderung meniru kebiasaan tersebut dalam kesehariannya. 2) Sekolah Kecenderungan pihak sekolah yang sering mengabaikan keberadaan bullying menjadikan siswa yang menjadi pelaku bullying semakin mendapatkan penguatan terhadap perilaku tersebut (Zakiyah dkk, 2017). Selain itu, bullying dapat terjadi di sekolah jika pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten. Dalam penelitian oleh Adair (dalam, Fithria & Rahmi, 2016), 79% kasus bullying di sekolah tidak dilaporkan ke guru atau orang tua. Siswa cenderung untuk menutupnutupi hal ini dan menyelesaikannya dengan teman sepermainannya di sekolah untuk mencerminkan kemandirian. 3) Teman Sebaya Menurut Benites dan Justicia (dalam Fithria & Rahmi, 2016), kelompok teman sebaya yang memiliki masalah di sekolah akan memberikan dampak yang buruk bagi teman-

11 22 teman lainnya seperti berperilaku dan berkata kasar terhadap guru atau sesama teman dan membolos. Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong utnuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying hanya untuk membuktikan kepada teman sebayanya agar diterima dalam kelompok tersebut, walaupun sebenarnya mereka tidak nyaman melakukan hal tersebut. 4) Media Massa Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku bullying dari segi tayangan yang mereka tampilkan (Zakiyah dkk, 2017). Survey yang dilakukan Kompas, 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonnya, umunya mereka meniru gerakannya (64%) dan kata-katanya (43%). Hal ini dapat menciptakan perilaku anak yang keras dan kasar yang selanjutnya memicu terjadi bullying yang dilakukan oleh anak-anak terhadap teman-temannya di sekolah. 5) Faktor Budaya Faktor kriminal budaya menjadi salah satu penyebab munculnya perilaku bullying. Suasana politik yang kacau, perekonomian yang tidak menentu, prasangka dan diskriminasi, konflik dalam masyarakat, dan ethnosentrime,

12 23 hal ini dapat mendorong anak-anak dan remaja menjadi seorang yang depresi, stress, arogan dan kasar. Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang turut mempengaruhi terjadinya perilaku bullying pada siswa. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah faktor internal yang meliputi kontrol diri, kepribadian, harga diri, dan faktor eksternal yang meliputi keluarga, sekolah, media masa, teman sebaya, serta budaya, dari beberapa faktor tersebut peneliti memilih faktor internal dalam hal ini adalah kontrol diri. Alasannya, Aroma & Dewi (2012) menyatakan bahwa kontrol diri yang tinggi seharusnya dapat membantu individu menurunkan agresi dan perilaku menyimpang dalam hal ini perilaku bullying dengan mempertimbangkan aspek aturan dan norma sosial yang berlaku. Becker (dalam Aroma & Dewi, 2012) juga menyatakan bahwasanya setiap manusia memiliki dorongan untuk melanggar aturan pada situasi tertentu, tetapi pada kebanyakan orang dorongan dorongan tersebut biasanya tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, hal tersebut karena orang normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan dorongan untuk berperilaku menyimpang, kemampuan seperti inilah yang seharusnya dipelajari individu selama masa remaja untuk menghindari perilaku bullying.

13 24 B. Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri Menurut Ghufron (2010), kontrol diri adalah kemampuan mengontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah konsekuensi yang lebih positif. Kemudian menurut Chaplin (2008) kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah lakunya sendiri, yaitu kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-implus atau tingkah laku yang impulsif. Sedangkan kontrol diri yang dikemukakan oleh Averill (1973) kontrol diri ialah kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang tidak penting atau penting dan kemampuan individu untuk memilih suatu tindakan yang diyakininya. Menurut Calhoum dan Acocella (dalam Kusumadewi dkk, 2012) mendefinisikan kontrol diri sebagai pengaruh seseorang terhadap dan peraturan tentang fisiknya, tingkah laku, dan proses - proses psikologisnya. Selanjutnya Lazarus (dalam Masitah & Irna, 2012) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Selain itu kontrol diri

14 25 juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan. Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah kemampuan mengontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah konsekuensi yang lebih positif. 2. Aspek Aspek Kontrol Diri Menurut Ghufron (2010) kontrol diri mempunyai aspek aspek diantaranya adalah : a. Kemampuan Mengontrol Perilaku Kemampuan mengontrol perilaku merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini terbagi menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang kemampuan mengontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan

15 26 dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan mengatasi intensitasnya. b. Kemampuan Mengontrol Stimulus Kemampuan mengontrol stimulus juga menjadi salah satu aspek dari kontrol diri karena dalam kehidupan seseorang terdapat berbagai macam stimulus yang diterima, dari berbagai macam stimulus yang masuk tersebut individu harus mempunyai kemmpuan untuk mengontrol stimulus stimulus tersebut yaitu dengan memilih stimulus mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak. c. Kemampuan Mengantisipasi Peristiwa Individu dalam menghadapi suatu masalah atau suatu peristiwa harus memiliki kemampuan untuk mengantisipasi masalah tersebut agar tidak menjadi masalah yang semakin besar dan rumit. d. Kemampuan Menafsirkan Peristiwa Individu harus mempunyai kemampuan untuk menafsirkan peristiwa, artinya individu harus dapat mengartikan semua

16 27 peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, sehingga individu dapat dengan mudah untuk menjalani peristiwa tersebut dan dapat memikirkan langkah langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. e. Kemampuan Mengambil Keputusan Setiap individu harus mempunyai kemampuan untuk mengambil suatu keputusan yang baik, dimana keputusan yang diambil tersebut baik untuk diri individu sendiri maupun bagi orang lain yang ada disekitarnya, dan juga tidak merugikan untuk diri sendiri dan orang lain. Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka dapat diambil kesimpulan aspek kontrol diri menurut Ghufron (2010) diantaranya adalah kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan peristiwa, dan kemampuan mengambil keputusan. Menurut Lazarus (dalam Masitah & Irna, 2012) kontrol diri terbagi atas tiga bagian diantaranya adalah : a. Kontrol diri dalam berpikir, yaitu usaha untuk mengarahkan perhatian pada suatu tujuan tertentu dan melawan pikiran yang tidak diinginkan dan mengarah proses penilaian berdasarkan pada hal yang ditentukan terlebih dahulu. b. Kontrol diri dalam berperasaan, yaitu usaha yang dilakukan untuk berada dalam situasi emosional tertentu atau keluar dari situasi

17 28 emosional yang sedang dialami maupun usaha untuk menjaga situasi emosional yang timbul. c. Kontrol diri dalam berperilaku, yaitu usaha yang dilakukan untuk menjaga secara terus menerus dengan memaksimalkan performansi dan mengendalikan perilaku yang dapat menghambat pencapaian tujuan yang ditentukan sebelumnya. Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka dapat diambil kesimpulan aspek aspek kontrol diri menurut Lazarus (dalam Masitah & Irna, 2012) kontrol diri terbagi atas beberapa bagian diantaranya adalah kontrol diri dalam berpikir, kontrol diri dalam berperasaan, dan kontrol diri dalam berperilaku. Pada penelitian ini aspek aspek kontrol diri yang akan digunakan mengacu pada aspek aspek kontrol diri menurut Ghufron (2010). Alasanya, aspek aspek ini dapat mengungkap hal hal yang ingin diketahui bila digunakan untuk mengukur kontrol diri yang dimiliki oleh seseorang. Kontrol diri tersebut mencakup kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan peristiwa, dan kemampuan mengambil keputusan, kemudian aspek aspek yang dikemukakan oleh Averill lebih kompleks dan lebih jelas serta detail sedangkan aspek aspek kontrol diri menurut Lazarus hanya digolongkan menjadi tiga bagian saja dimana hanya diuraikan secara umum saja belum secara detail.

18 29 C. Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Perilaku Bullying Siswa yang memiliki kontrol diri yang rendah kurang mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya secara positif dan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin dihadapi dari perilaku yang dilakukan sehingga cenderung bertindak agresif, mudah marah, dan tidak dapat menghindari untuk melakukan tindakan bullying terhadap temannya, sebaliknya siswa yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya secara positif, berusaha mencari informasi sebelum mengambil keputusan, serta mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin dihadapi sehingga menghindari untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya di sekolah (Masitah & Irna, 2012). Kontrol diri memiliki fungsi yang lebih besar dalam mengarahkan kepatuhan terhadap peraturan pada individu, tanpa dimilikinya kontrol diri, konflik yang terjadi menjadi kurang terkendali, sehingga kemungkinan untuk melakukan perilaku bullying akan terjadi (Kusumadewi dkk, 2012). Becker (dalam Aroma & Dewi, 2012) menyatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki dorongan untuk melanggar aturan pada situasi tertentu, tetapi pada kebanyakan orang dorongan-dorongan tersebut biasanya tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, hal tersebut karena orang normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan dorongan untuk berperilaku menyimpang.

19 30 Menurut Travis (dalam Aroma & Dewi, 2012) pelaku penyimpangan dalam hal kekerasan dapat dilihat melalui single dimention yakni kontrol diri (self control), individu dengan kontrol diri yang rendah memiliki kecenderungan untuk menjadi impulsif, senang berperilaku beresiko, dan berpikiran sempit. Menurut Defriyanto & Reta (2015) perilaku impulsif adalah kondisi saat seseorang mendapatkan dorongan untuk melakukan sebuah tindakan tanpa memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu, meskipun pelaku merasa sadar dengan apa yang ia lakukan, pelaku cenderung tidak bisa mengendalikan dirinya ketika melakukan sebuah tindakan negatif. Sehingga perilaku impulsif ini akan mendorong seseorang berperilaku bullying. Kontrol diri yang rendah ini dapat mengantarkan siswa pada perilaku bullying ini dibuktikan dengan beberapa penelitian, seperti penelitian yang dilakukan oleh Alkollo (2016) menunjukan adanya hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku bullying, semakin rendah kontrol diri pada siswa maka perilaku bullying akan semakin tinggi, begitu juga sebaliknya semakin tinggi kontrol diri pada siswa maka perilaku bullying juga akan semakin rendah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Masitah & Irna (2012) juga menunjukan hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku bullying pada siswa, semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi perilaku bullying.

20 31 Adapun hubungan kontrol diri dengan perilaku bullying bisa ditinjau dari aspek aspek penyusun kontrol diri. Menurut Ghufron (2010) kontrol diri mempunyai aspek aspek diantaranya adalah kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan peristiwa, dan kemampuan mengambil keputusan. Dari aspek pertama yaitu mengontrol perilaku, individu dengan kemampuan mengontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan berperilaku diluar norma atau batas batas sehingga perilaku bullying dapat dilakukan karena kontrol perilakunya rendah (Kusumadewi dkk, 2012). Dari aspek kedua yaitu kemampuan mengontrol stimulus, dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan baik dan buruknya, ketika dorongan untuk berbuat menyimpang maupun agresi sedang mencapai puncaknya, kontrol diri dapat membantu individu menurunkan agresi dengan mempertimbangkan aspek aturan dan norma sosial yang berlaku (Aroma & Dewi, 2012). Dari aspek ketiga yaitu kemampuan mengantisipasi peristiwa, ketidakmampuan individu dalam mengantisipasi suatu kejadian yang tiba tiba terjadi membuat individu tersebut bertindak secara spontan tanpa difikirkan terlebih dahulu (Masitah & Irna, 2012). Dari aspek keempat yaitu kemampuan

21 32 menafsirkan peristiwa, melakukan penilaian dan penafsiran akan suatu hal dilihat dari kaca mata negatif dan masuknya informasi informasi atau pikiran pikiran negatif maka perilaku menyimpang dalam hal ini adalah perilaku bullying dapat terjadi karena keterbatasan informasi yang positif (Kusumadewi dkk, 2012). Dari aspek kelima yaitu kontrol pengambilan keputusan, menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan, jika dalam pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan tidak berfungsi dengan baik maka keputusan yang diambil dalam berperilaku juga akan terarah kedalam perilaku negatif dalam hal ini adalah bullying bisa terjadi (Kusumadewi dkk, 2012). Berdasarkan dinamika diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kontrol diri mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku bullying, yaitu kontrol diri yang rendah dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku bullying, sedangkan kontrol diri yang tinggi dapat mencegah seseorang untuk melakukan perilaku bullying.

22 33 D. Hipotesis Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis : Ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku bullying pada siswa. Semakin tinggi kontrol diri siswa, maka semakin rendah perilaku bullying yang dilakukan. Sebaliknya, semakin rendah kontrol diri yang dimiliki oleh siswa, maka semakin tinggi perilaku bullying yang dapat dilakukan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING PADA SISWA SMA CHRISTIN Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Semakin hari kita semakin dekat dengan peristiwa kekerasan khususnya bullying yang dilakukan terhadap siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap negara. Di Jepang sendiri, ijime adalah sebuah fenomena sosial yang cukup serius. Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

BAB II LANDASAN TEORI. dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Sosial 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Sosial Menurut Goleman (2006) kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Bullying 2.1.1. Pengertian Bullying Bullying merupakan salah satu dari manifestasi perilaku agresif, Krahe (dalam Suharto, 2014) menyebutkan bahwa terdapat 3 jenis manifestasi

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian perilaku bullying Randall (2002) berpendapat bahwa Bullying dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Subyek dan Lokasi Penelitian 1. Subyek Penelitian Nama : SR Jenis Kelamin : Laki-laki Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 19 April 1999 Usia : 14 tahun Agama : Islam Alamat Kelas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. Bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan berperilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. Bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan berperilaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan berperilaku negatif terhadap seorang atau lebih terhadap siswa lain. Tindakan negatif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anak Anak a. Pengertian Anak adalah aset bagi suatu bangsa, negara dan juga sebagai generasi penerus yang akan memperjuangkan cita-cita bangsa dan menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Bullying Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa. 12 BAB I Pendahuluan I.A Latar Belakang Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Remaja tidak termasuk golongan anak tetapi tidak pula golongan dewasa. Remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

MEMINIMALISASI BULLYING DI SEKOLAH

MEMINIMALISASI BULLYING DI SEKOLAH MEMINIMALISASI BULLYING DI SEKOLAH Nandiyah Abdullah* Abstrak : Bullying di sekolah tidak hanya terjadi ketika masa orientasi sekolah, tetapi sepanjang tahun dengan berbagai modus, intensitas dan pelaku.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelecehan Seksual 1. Pengertian Pelecehan Seksual Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,. BAB I RENCANA PENELITIAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hayat (long life education), karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tindak kekerasan dapat muncul dimana saja, seperti di rumah, di sekolah, maupun masyarakat. Kekerasan yang terjadi di sekolah dikenal dengan sebutan aksi bullying.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, kasus tindak kekerasan semakin marak terjadi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di tempat yang rawan kriminalitas saja tetapi juga banyak terjadi di berbagai

Lebih terperinci

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 oleh: Dr. Rohmani Nur Indah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angket 1: Beri tanda berdasarkan pengalaman anda di masa kecil A. Apakah

Lebih terperinci

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Self Esteem Korban Bullying 115 SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Stefi Gresia 1 Dr. Gantina Komalasari, M. Psi 2 Karsih, M. Pd 3 Abstrak Tujuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang memungkinkan dilakukan pencatatan dan penganalisisan data hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkanperubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Bullying 2.1.1. Pengertian Bullying Beberapa tokoh mengemukakan bullying dalam berbagai definisi yang beragam. Sullivan (2000) menjelaskan

Lebih terperinci

Pengaruh Role Play dalam Konseling Kelompok untuk Menurunkan Tingkat Bullying Siswa

Pengaruh Role Play dalam Konseling Kelompok untuk Menurunkan Tingkat Bullying Siswa Pengaruh Role Play dalam Konseling Kelompok untuk Menurunkan Tingkat Bullying Siswa 81 PENGARUH ROLE PLAY DALAM KONSELING KELOMPOK UNTUK MENURUNKAN TINGKAT BULLYING SISWA (Studi Kuasi Terhadap Siswa Kelas

Lebih terperinci

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING BAB I PENDAHULUAN Pokok bahasan yang dipaparkan pada Bab I meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi penelitian. A.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti ini sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. seperti ini sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat, baik itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak jarang dalam bersosialisasi tersebut banyak menimbulkn perbedaan yang sering kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis.

Lebih terperinci

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah (School Violence) Oleh : Nandang Rusmana Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan di Sekolah Faktor psikologis (hiperaktivitas, konsentrasi terhadap masalah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605). BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri Kontrol diri adalah kemampuan untuk menekan atau untuk mencegah tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

Lebih terperinci

Pengaruh Role Play dalam Konseling Kelompok untuk Menurunkan Tingkat Bullying Siswa

Pengaruh Role Play dalam Konseling Kelompok untuk Menurunkan Tingkat Bullying Siswa Pengaruh Role Play dalam Konseling Kelompok untuk Menurunkan Tingkat Bullying Siswa 81 PENGARUH ROLE PLAY DALAM KONSELING KELOMPOK UNTUK MENURUNKAN TINGKAT BULLYING SISWA (Studi Kuasi Eksperimen Terhadap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying. 1. Pengertian bullying. Menurut Priyatna (2010), bullying merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku kepada korban yang terjadi secara berulang-ulang dan

Lebih terperinci

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna menempuh derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : AMALIA LUSI BUDHIARTI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan perhitungan-perhitungan statistik mengenai tingkat efektivitas

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan perhitungan-perhitungan statistik mengenai tingkat efektivitas 72 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Prosedur Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memudahkan proses analisis dan penafsiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja, dalam bidang pendidikan pun, keluarga merupakan sumber pendidikan utama karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hayat (long life education), karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Hampir setiap hari banyak ditemukan pemberitaan-pemberitaan mengenai perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi tersebut merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan BAB III METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional Variabel. Perilaku Bullying Secara operasional, definisi bullying dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Coloroso (006:43-44),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar. Baik lingkungan keluarga, atau dengan cakupan yang lebih luas yaitu teman sebaya

Lebih terperinci

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut; Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena akhir-akhir ini sangatlah memprihatinkan, karena kecenderungan merosotnya moral bangsa hampir diseluruh dunia. Krisis moral ini dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap pihak yang lebih lemah. Di sekolah bullying lebih dikenal dengan istilahistilah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap pihak yang lebih lemah. Di sekolah bullying lebih dikenal dengan istilahistilah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. BULLYING (Kekerasan) 1. Pengertian Bullying (Kekerasan) Bullying adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Di sekolah bullying

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan yang terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying merupakan fenomena yang marak terjadi dewasa ini terutama di lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya baik di

Lebih terperinci

BAB II KEKERASAN YANG DI LAKUKAN OLEH GURU TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN SEKOLAH. A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan di lingkungan Sekolah

BAB II KEKERASAN YANG DI LAKUKAN OLEH GURU TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN SEKOLAH. A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan di lingkungan Sekolah 35 BAB II KEKERASAN YANG DI LAKUKAN OLEH GURU TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN SEKOLAH A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan di lingkungan Sekolah Kekerasan di sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja, dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru dalam proses belajar dan mengajarkan siswa

Lebih terperinci

STRATEGI COPING KORBAN BULLYING VERBAL PADA SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA SKRIPSI

STRATEGI COPING KORBAN BULLYING VERBAL PADA SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA SKRIPSI STRATEGI COPING KORBAN BULLYING VERBAL PADA SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan Tentang Layanan Informasi Bimbingan dan Konseling

BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan Tentang Layanan Informasi Bimbingan dan Konseling BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Tentang Layanan Informasi Bimbingan dan Konseling 1. Pengartian Layanan Informasi. Informasi adalah pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman atau intruksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah pendidikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dalam bentuk penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dalam bentuk penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dalam bentuk penelitian korelasional yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena di masyarakat khususnya bagi warga yang tinggal di perkotaan, aksiaksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari. negatif yang diterima korban (Olweus, 1993).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari. negatif yang diterima korban (Olweus, 1993). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pengertian Bullying Bullying adalah perilaku negatif seseorang atau lebih kepada korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kekerasan di lingkungan pendidikan atau sekolah ini telah menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, 16% siswa kelas akhir mengatakan bahwa mereka

Lebih terperinci

PERAN GURU BK/KONSELOR DALAM MENGENTASKAN PERILAKU BULLYING PARTICIPANT OF THE TEACHERS BK / COUNSELORS TO ALLEVIATE BULLYING BEHAVIOR

PERAN GURU BK/KONSELOR DALAM MENGENTASKAN PERILAKU BULLYING PARTICIPANT OF THE TEACHERS BK / COUNSELORS TO ALLEVIATE BULLYING BEHAVIOR CAHAYA PENDIDIKAN, 2(1): 84-91 Juni 2016 ISSN : 1460-4747 PERAN GURU BK/KONSELOR DALAM MENGENTASKAN PERILAKU BULLYING PARTICIPANT OF THE TEACHERS BK / COUNSELORS TO ALLEVIATE BULLYING BEHAVIOR Ramdani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya pemberitaan di media massa terkait dengan tindak kekerasan terhadap anak di sekolah, nampaknya semakin melegitimasi tuduhan miring soal gagalnya sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap negara pasti memerlukan generasi penerus untuk menggantikan generasi lama. Bangsa yang memiliki generasi penerus akan tetap diakui keberadaannya, oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini

Lebih terperinci

PENGARUH LAYANAN DISKUSI KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XI (Studi di SMA Negeri 5 Sigi )

PENGARUH LAYANAN DISKUSI KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XI (Studi di SMA Negeri 5 Sigi ) PENGARUH LAYANAN DISKUSI KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XI (Studi di SMA Negeri 5 Sigi ) Putri Wardhani 1 Muh. Mansyur Thalib Ridwan Syahran ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada siswa Sekolah Menengah Pertama berusia 12 tahun sampai 15 tahun, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan dari pihak keluarga dan sekolah agar mereka dapat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Bullying 2.1.1 Pengertian Bullying Agresifitas menurut Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005) menyatakan bahwa agresi adalah segala bentuk perilaku yang ditujukan untuk menyakiti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai wadah dari mahasiswa untuk menyalurkan bakat dibidang olahraga. Mahasiswa juga dapat mengembangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Media komunikasi sudah makin berkembang, khususnya di bidang cybermedia. Sudah banyak situs, aplikasi dan media sosial yang telah diciptakan dengan harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pada periode ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Korea Selatan adalah sebuah negara republik yang terletak di Semenanjung

BAB I PENDAHULUAN. Korea Selatan adalah sebuah negara republik yang terletak di Semenanjung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korea Selatan adalah sebuah negara republik yang terletak di Semenanjung Korea. Sejak kemerdekaannya pada tanggal 15 Agustus 1945, Korea Selatan telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk meneliti populasi atau sampel

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk meneliti populasi atau sampel BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk meneliti populasi atau sampel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Definisi Perilaku Konsumtif Perilaku konsumtif adalah sebagai bagian dari aktivitas atau kegiatan mengkonsumsi suatu barang dan jasa yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak penelitian yang mencoba memahami fenomena ini (Milletich et. al, 2010; O Keefe, 2005; Capaldi et. al,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Berbagai definisi serta konsep mengenai bullying telah banyak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Berbagai definisi serta konsep mengenai bullying telah banyak BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Berbagai definisi serta konsep mengenai bullying telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Terlebih beberapa tahun belakangan ini, banyak para ahli

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara suka rela

BAB II KAJIAN TEORI. dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara suka rela BAB II KAJIAN TEORI A. Disiplin Berlalu Lintas 1. Pengertian Disiplin Berlalu Lintas Menurut Hurlock (2005), disiplin berasal dari kata yang sama dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ukuran pencapaian sebuah bangsa yang diajukan oleh UNICEF adalah seberapa baik sebuah bangsa memelihara kesehatan dan keselamatan, kesejahteraan, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H.

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H. UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahrga Daerah Istimewa Yogyakarta Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Definisi Perilaku Bullying Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup : berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini, dunia pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan dengan berbagai macam masalah yang menghadang di hadapannya.dari masalah yang ringan seperti mencontek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode untuk mendisiplinkan anak. Cara ini menjadi bagian penting karena terkadang menolak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Siswa tunagrahita pada umumnya termasuk juga siswa tunagrahita ringan, memiliki hambatan dalam kepribadian dan emosinya. Karena mereka kurang memiliki kemampuan

Lebih terperinci

Pengembangan Agresi o Sejak usia prasekolah beberapa anak menunjukkan tingkat abnormalitas yang tinggi terhadap permusuhan atau perlawanan. o Anak mel

Pengembangan Agresi o Sejak usia prasekolah beberapa anak menunjukkan tingkat abnormalitas yang tinggi terhadap permusuhan atau perlawanan. o Anak mel PERKEMBANGAN AGRESI Pengembangan Agresi o Sejak usia prasekolah beberapa anak menunjukkan tingkat abnormalitas yang tinggi terhadap permusuhan atau perlawanan. o Anak melakukan agresi baik secara verbal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan masa remaja, kemudian masa dewasa. Masa remaja adalah masa. fisik, kognitif dan sosial emosional (Santrock, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. dengan masa remaja, kemudian masa dewasa. Masa remaja adalah masa. fisik, kognitif dan sosial emosional (Santrock, 2003). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses perkembangan manusia dimulai dari masa anak-anak, dilanjutkan dengan masa remaja, kemudian masa dewasa. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang tidak hanya mengajarkan peserta didiknya pengetahuan secara kognitif akan tetapi juga mengajarkan kepada peserta didiknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan sebuah tahap perkembangan manusia dimana seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini adalah masa krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan) adalah upaya penumbuhkembangan sumber daya manusia melalui proses kecerdasan interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Kekerasan bukanlah fenomena baru yang mewarnai kehidupan sosial individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan siswa salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penanganan untuk anak berkebutuhan khusus menjadi suatu tantangan tersendiri bagi penyelenggara pendidikan luar biasa mengingat karakteristik dan kebutuhan anak yang

Lebih terperinci

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Self-control dibutuhkan agar individu dapat membimbing, mengarahkan dan mengatur segi-segi perilakunya yang pada akhirnya mengarah kepada konsekuensi positif

Lebih terperinci