III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi

1 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.3 Hasil Tingkah Laku Belut Sawah Tingkah laku belut sawah yang diamati selama perlakuan merupakan sebuah parameter deskriptif yang mampu menjelaskan gejala-gejala yang terjadi pada belut sawah. Belut berkumpul pada shelter berupa pipa dengan panjang cm, biasanya dalam satu pipa terdapat 5-10 ekor. Belut sesekali melakukan pernafasan ke bagian atas untuk mendapatkan oksigen selama 5-10 detik dan ikan belut cenderung lebih pasif. Belut aktif pada malam hari sehingga wadah diberikan rekayasa untuk mengurangi cahaya dengan trushbag dan ikan cenderung mengkonsumsi pakan lebih banyak pada malam hari. Belut yang sehat biasanya berkumpul pada shelter, sedangkan ikan yang kurang sehat atau sakit dapat diketahui melalui kondisi tubuh dan biasanya ikan tersebut berada diluar shelter. Belut yang kurang sehat dapat diamati pula sering berkumpul didekat pemanas air atau heater. Belut yang sakit dapat diamati melalui tubuhnya yang lemas, bagian ventral perut mengalami bercak-bercak merah hingga terjadi nekrosis pada bagian tubuhnya seperti pada dorsal. Belut yang terserang penyakit biasanya akan mati terbujur kaku dibandingkan ikan yang mati karena kondisi lingkungan yang turun. Tingkah laku makan belut sawah pada media pemeliharaan. Tingkah laku makan belut sawah lebih banyak mengkonsumsi pakan pada malam hari atau sore hari. Tingkah laku makan ikan lebih menyukai pakan yang hidup seperti cacing sutera. Cacing dimakan secara perlahan dan biasanya ikan akan menarik cacing ke dalam shelter sehingga tersembunyi di shelter. Pakan harus diberikan didepan shelter karena ikan belut cenderung pasif. Oleh karena itu, pemberian pakan harus dilakukan dengan benar. Pakan biasanya habis selama 30 menit dan pemberian pakan diberikan secara ad satiation, kemudian pakan yang tidak habis harus diambil untuk menjaga kualitas air. Tingkat Kebuntingan Belut Sawah Tingkat kebuntingan belut sawah merupakan nilai yang diambil setelah pengamatan secara visual setelah pembedahan menggunakan ciri-ciri TKG ikan belut sawah (Basri. 2000). Belut sawah disebut bunting apabila belut telah mencapai TKG III karena secara visual telur di 10

2 GSI (%) gonad mudah diamati. Tingkat kebuntingan tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi hormon 15 P + 5 AD sebesar 80 % dibandingkan dengan perlakuan lainnya terutama kontrol hanya mencapai 0%. Tabel 4. Pengamatan kebuntingan belut sawah. Perlakuan Kontrol (Larutan Fisiologis) PMSG 5 IU & Antidopamin 5 ppm PMSG 10 IU & Antidopamin 5 ppm PMSG 15 IU & Antidopamin 5 ppm Jumlah Induk Matang (ekor) Waktu Matang Induk (Minggu ke- ) TKG Tingkat Kebuntingan (%) 0 - I III & 5 III & III ,4 & 5 III, III & IV 80 Indeks Kematangan Gonad/Gonado Somatik Index (GSI) Indeks kematangan gonad merupakan nilai yang merepresentasikan kematangan gonad ikan belut sawah melalui perubahan GSI yang diamati pada setiap minggu. GSI tertinggi terlihat pada gambar 2 yaitu pada perlakuan PMSG 15 IU & antidopamin 5 ppm sebesar 2,36% pada minggu kelima yang merupakan fase puncak GSI pada perlakuan hormon PMSG dan antidopamin, sedangkan GSI terendah pada kontrol sebesar 0,24% pada minggu kedua dibandingkan dengan perlakuan hormon PMSG dan antidopamin Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 5 Waktu Pengamatan A: Kontrol B; 5P + 5AD C: 10P + 5AD D: 15P + 5AD A B C D Gambar 2. Nilai GSI belut sawah 11

3 Nilai GSI merupakan nilai yang diperoleh dari gonad ikan belut sawah yang telah dibedah dibandingkan dengan total bobot tubuh. Ikan belut sawah yang telah diambil gonadnya tersaji pada Gambar 3 dan telah diidentifikasi melalui kematangan gonad (Basri, 2000). Minggu ke- 2 Minggu ke-5 A A B B C C D D Gambar 3. Perkembangan gonad belut sawah dengan perlakuan pemberian hormon PMSG dan AD pada minggu ke- 2 dan minggu ke- 5. Keterangan : A: Kontrol, B: 5P+5AD, C: 10P+5AD, D: 15P+5AD. Indeks Hepatosoma /Hepato Somatik Index (HSI) HSI merupakan sebuah nilai yang secara tidak langsung berkorelasi dengan penggunaan hormon perkembangbiakan pada ikan. Nilai HSI pada setiap perlakuan cenderung tidak 12

4 HSI (%) mengalami perubahan, namun pada perlakuan dengan kombinasi hormon perlakuan PMSG 15 IU & AD 5 ppm memberikan pengaruh yang cenderung menurun. Perlakuan yang lain memberikan pengaruh yang berbeda namun dari ketiga perlakuan tersebut menggambarkan terjadi peningkatan hingga minggu ke-4, kemudian menurun pada minggu ke-5. Nilai HSI tertinggi pada perlakuan minggu ke-2 dengan kombinasi hormon perlakuan D sebesar 7,90% dan nilai HSI terendah terjadi pada minggu ke-2 dengan perlakuan kontrol sebesar 0,73% seperti yang tersaji pada gambar Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 5 Waktu Pengamatan A B C D A : Kontrol B : 5P + 5AD C : 10P + 5AD D : 15P + 5AD Gambar 4. Nilai HSI belut sawah Laju Pertumbuhan Spesifik/ Specific Growth Rate (SGR) Laju pertumbuhan spesifik (SGR) merupakan nilai yang menjelaskan laju pertumbuhan harian selama pemeliharaan. Laju pertumbuhan spesifik pada belut selama pemeliharaan 35 hari menujukan perbedaan dengan kontrol seperti yang tersaji pada Gambar 6.Laju Pertumbuhan tertinggi terjadi pada perlakuan kombinasi hormon D sebesar 0,5 % dan terendah pada perlakuan kontrol %. Sedangkan dua perlakuan lain secara deskriptif menujukan perbedaan dibandingkan dengan kontrol. 13

5 SGR (%) A : Kontrol B : 5P + 5 AD C : 10P + 5AD D : 15P + 5AD 0 A B C D Dosis Perlakuan Gambar 5. Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR) Pada Belut Sawah. Histologi Gonad Histologi gonad ikan belut sawah merupakan pengamatan yang dilakukan pada gonad belut sawah baik pada minggu kedua setelah pentuntikan dan minggu kelima setelah penyuntikan yang tersaji pada Gambar 6. Histologi gonad yang di amati merupakan histologi gonad belut sawah pada minggu ke-2 dan minggu ke-5. Histologi gonad pada setiap sisi menjelaskan perbandingan antara penyuntikan awal dengan penyuntikan akhir pada belut sawah. Data histologi menujukan bahwa ikan belut sawah mengalami perubahan yang signifikan terutama pada perlakuan hormon dibandingkan dengan kontrol. Perlkuan hormon dengan dosis PMSG 15 IU dan AD 5 ppm menunjukan perubahan dengan terbentuk kortikol roods pada ovarium belut dan berdasarkan histologi mendeskripsikan status gonad belut sawah pada ukuran merupakan betina yang ditandai dengan banyaknya oosit pada gonad. 14

6 Minggu ke- 2 Minggu ke-5 A A Op Op B B Ahv Ahv C C Ahv Ahv D D Om Ahv Cr Gambar 6. Histologi gonad belut sawah pada minggu ke-2 dan minggu ke-5 pembesaran 40x. Keterangan : Op Oosit primer, Ahv; Akhir Vitelogenesis, Cr: Kortikol rood, : Globul Minyak Om: Oosit matang. A: Kontrol, B: 5P+5AD, C: 10P+5AD, D: 15P+5AD. 15

7 3.2 Pembahasan Penggunaan Kombinasi Hormon PMSG dan Antidopamin terhadap kematangan gonad belut sawah terhadap tingkat kebuntingan, GSI, HSI, pertambahan bobot dalam bentuk laju pertumbuhan spesifik dan histologi gonad. GSI belut menunjukan bahwa pola yang berlawanan secara umum dengan HSI ikan belut sawah, dengan kecendrungan GSI semakin meningkat pada perlakuan kombinasi hormon seiiring dengan pertambahan waktu bila dibandingkan dengan kontrol dan sebaliknya HSI cenderung menurun seiiring bertambahnya waktu bila dibandingkan kontrol. Kombinasi hormon pada dosis PMSG 5 IU dan 10 IU dengan AD 5 ppm menunjukan bahwa peningkatan hingga minggu ke-4 kemudian menurun pada minggu ke-5 sebaliknya GSI meningkat signifikan pada minggu ke-5. Perlakuan kombinasi hormon PMSG 15 IU dan AD 5 ppm memberikan pengaruh kepada peningkatan HSI yang tinggi pada minggu ke-2 setelah penyuntikan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh FSH diawal yang berfungsi untuk vitelogenesis di hati sehingga menyebabkan terjadi peningkatan HSI dibandingkan perlakuan lainnya. FSH yang diberikan melalui kombinasi hormon masuk ke sel teka, menstimulir terbentuknya testosteron yang kemudian akan masuk ke sel granulosa untuk diubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol 17β. Hormon estradiol 17β kemudian masuk ke dalam hati melalui aliran darah dan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin atau dikenal dengan tahap previtelogenesis, kemudian akan dialirkan lewat darah menuju gonad untuk diserap oleh oosit, sehingga penyerapan vitelogenin ini disertai dengan perkembangan diameter telur yang dibuktikan melalui peningkatan GSI pada minggu terakhir pengamatan sebesar 2,36% (Sumantri, 2006 dalam Permana, 2009). Penurunan HSI dari minggu awal hingga minggu akhir disebabkan pengaruh hormon GtH pada minggu terakhir telah berpindah pada pengaruh GtH II atau LH yang berfungsi untuk pematangan akhir atau fase ini dikenal fase vitelogenesis dan berdampak pada peningkatan nilai GSI (Purnama, 2009). Perlakuan kontrol tidak menunjukan pengaruh baik dari nilai GSI maupun HSI, hal ini disebabkan penyuntikan larutan fisologis hanya berupa ion-ion yang tidak memberikan pengaruh kepada perkembangan gonad. Sedangkan, perlakuan kombinasi hormon PMSG 10 IU & AD 5 ppm dan PMSG 15 IU & AD 5 ppm memperlihatkan hal serupa dimana HSI meningkat pada minggu kedua hingga minggu keempat, kemudian menurun pada minggu kelima, namun nilai 16

8 GSI pada kedua perlakuan mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan pada minggu pertama hingga minggu keempat GtH yang berpengaruh, merupakan FSH guna pembentukan vitelogenin dan pada minggu kelima GtH yang bekerja merupakan LH, sehingga pembesaran gonad mencapai fase yang signifikan dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Pemberian pakan belut diberikan secara ad satiation melalui pemberian cacing rambut dengan feeding time dua kali yaitu pagi dan sore. Pemberian pakan dilakukan dengan pemberian cacing rambut Tubifex sp yang mengandung proksimat protein 57,10%, lemak 15,95%, dan air 85,39% (Priyadi et al., 2010). Penambahan bobot terjadi karena dipengaruhi oleh proses prekembangan gonad yang berdampak pada konsumsi energy, sehingga membutuhkan energi lebih banyak untuk pembentukan telur pada ikan betina dan perkembangan gonad memerlukan pakan dengan kandungan protein dan lemak yang tinggi. Energi yang diperlukan dalam perekembangan gonad pada ikan Synbrinchidae seperti sidat Eropa Anguila anguila memerlukan 25.08% dari total energi untuk perkembangan ovarium (Amin, 1998). Oleh karena itu, peningkatan energi akan memberikan peningkatan konsumsi pakan dan retensi energi terkonversi dalam bentuk perkembangan gonad, hal ini dapat dilihat melalui peningkatan SGR dari induk belut sawah terutama pada pemberian kombinasi hormon PMSG dan antidopamin pada perlakuan PMSG 15 IU & AD 5 ppm yang memiliki nilai SGR sebesar 0.5% dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan dosis perlakuan tidak diikuti oleh peningkatan SGR, hal ini dikarenkan pada perlakuan PMSG 10 IU & AD 5 ppm terserang penyakit yang berdampak pada penurunan SGR pada dosis tersebut sebesar 0.2%. Perangsangan hormon memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan gonad melalui kombinasi hormon PMSG dan antidopamin. Secara alamiah perkembangan gonad diawali dari tiga poros yaitu hipotalamus, hipofisa dan gonad. Hipotalamus akan melepaskan GnRH untuk merangsang hipofisa mengeluarkan GtH 1 dan 2, namun secara almiah hipotalamus mengeluarkan dopamin untuk menghambat sekresi dari GtH yang dilepaskan. PMSG merupakan bentuk dari GtH berupa FSH yang lebih kuat dibandingkan LH ( Susteriyani, 2007), sedangkan metoklopramid memberikan pengaruh untuk menekan pengaruh dopamin dengan memblokade reseptor melalui peningkatan pembakaran neuron dopaminergik (Donaldson, 1967). Tingkat kebuntingan memberikan hasil yang berbeda dengan kontrol dengan kecenderungan semakin tinggi dosis kombinasi hormon PMSG menunjukan tingkat kebuntingan 17

9 yang tinggi mencapai 80 % dari belut sawah perlakuan pada dosis PMSG 15 IU & AD 5 ppm, sedangkan kontrol hanya 0%. Kebuntingan pada dosis PMSG 15 IU & 5 ppm diawali dari minggu ke-3 setelah penyuntikan mencapai TKG III hingga minggu ke-5 setelah penyuntikan mencapai TKG IV (Bahri, 2000 dalam Elis, 2003). Kecenderungan ini terjadi sesuai dengan peningkatan GSI dan perkembangan gonad belut sawah secara histologi (Tresnati, 2010). Peningkatan GSI dapat dibuktikan melalui preparat histologi, perlakuan kombinasi hormon D memberikan pengaruh perkembangan gonad hingga TKG 4 yang dibuktikan dengan pembesaran oosit dan telah terbentuknya kortikal roods yang menandakan kematangan dari gonad yang mendominasi oosit. Hal ini diduga karena vitelogenesis telah berakhir (Rosdiana, 2009) pada gambar 5 dibandingkan dengan fase minggu kedua setelah penyuntikan, sedangkan pada perlakuan kombinasi hormon PMSG 10 IU & AD 5 ppm dan PMSG 5 IU & AD 5 ppm menujukan fase TKG III ditandai peningkatan ukuran oosit atau telah berada dalam fase vitelogenesis dan banyak ditemui globul minyak atau telur dalam jumlah besar sehingga merupakan akhir dari proses vitelogenesis (Fujaya, 2002). Perlakuan kontrol menunjukan perkembangan gonad belum mengalami peningkatan yang signifikan ditandai dengan banyaknya oosit primer dan oosit sekunder atau telah mencapai fase TKG I merupakan previtelogenesis. Manfaat dari penelitian ini salah satunya dapat menyediakan induk matang gonad yang tidak terpengaruh musim dan berkolerasi dengan persedian benih sehingga akan mendorong pembenihan belut kearah industri. Secara ekonomi penelitian ini lebih menguntungkan karena mampu mematurasi gonad belut sawah terutama pada musim kemarau yang sangat sulit didapatkan sehingga mendorong budidaya belut secara massal. Aplikasi penelitian ini apabila diterapkan kepada petani memberikan pengaruh yang signifikan pada persediaan benih dengan asumsi, ukuran induk betina 30 g, satu ekor induk mampu menghasilkan 300 telur (Khanh dan Nganh, 2010), SR belut 50 % bahkan mampu mencapai 75 % (Khanh dan Nganh, 2010) dan HR 80 % mampu menghasilkan 1480 benih belut. Apabila benih belut sawah tersebut dipelihara selama 3 bulan dengan biaya operasional Rp (Kordi, 2011) dan mecapai ukuran 20 ekor/kg sehingga hasil belut adalah 99 kg. Asumsi harga belut adalah Rp ,-/kg ikan, maka yang keuntungan yang dihasilkan adalah Rp ,-. Penelitian ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan budidaya belut secara konvensional karena belut hanya menghasilkan benih pada awal musim penghujan dan akhir musim penghujan saja dan pemijahannya hanya 18

10 dilakukan selama dua kali dalam setahun, sehingga dengan induksi pematangan gonad dengan kombinasi hormon dan antidopamin mampu mempercepat kematangan gonad yang berkorelasi dengan peningkatan pemijahan belut dan produksi benih. 19