IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Sistem Batch. Percobaan pendahuluan berupa composting yang merupakan proses dekomposisi bahan dengan perlakuan semi-aerob dilakukan sebelum penelitian skala 20 L dalam sistem batch dan skala 300 L dengan sistem semi-kontinyu. Tujuan utama dari perlakuan ini adalah agar bahan terdegradasi dengan cepat sehingga mendapatkan substrat yang mampu mempercepat proses produksi biogas. Dari percobaan pendahuluan diperoleh beberapa hasil diantaranya karakteristik bahan substrat yang terdiri dari bagase tebu, kulit nanas serta campuran bagase tebu dan kulit nanas dengan perlakuan semi-aerob. Penelitian dengan sistem batch bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter proses terhadap laju produksi biogas, total produksi biogas dari masing-masing perlakuan serta persentase efisiensi penurunan bahan pencemar organik dalam bagase tebu dan kulit nanas. Sedang penelitian dengan sistem semi-kontinyu ditujukan untuk mengetahui pengaruh laju pengumpanan terhadap kondisi optimal produksi biogas Karakteristik Bahan Baku (Substrat) Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu limbah.bagase tebu dan limbah nanas. Analisis awal bahan meliputi parameter kadar abu, C/N, ph, temperatur, total solid (TS), volatile solid (VS) dan volatile fatty acid (VFA). Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung dalam bahan baku. Kadar air sangat mempengaruhi dekomposisi bahan organik. Mikroorganisme dapat bekerja dengan baik, bila kadar airnya berkisar antara 40 60%. Kadar air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pengurangan jumlah udara yang bersirkulasi, sehingga menciptakan kondisi anaerob. Sedangkan kadar air yang terlalu rendah dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati, sehingga proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tidak optimal. Hasil analisa menunjukkan kadar air bagase tebu sebesar 44,76% dan limbah nanas sebesar 93,63%. Price dan Cheremisinoff (1981) menyatakan bahwa peningkatan kadar air substrat dari 36% menjadi 99% dapat meningkatkan produksi biogas sampai 67%, namun kadar air yang terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas bakteri metanogenik. Hal ini disebabkan

2 31 karena penambahan air akan meningkatkan oksigen yang bersifat racun bagi bakteri anaerob. Sebaliknya bila kadar air yang terlalu rendah akan mengakibatkan terjadinya akumulasi asam asetat yang bersifat menghambat. Nilai rasio C/N bahan organik merupakan faktor penting dalam pengomposan. Hal ini berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme yang membutuhkan sumber karbon sebagai penyedia energi dan nitrogen sebagai zat pembangun sel mikroorganisme. Rasio C/ N merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam menentukan tingkat kematangan dan kualitas kompos. Rasio C/N yang ideal adalah (CPIS, 1992). Dalam proses pengomposan kandungan karbon organik akan berkurang karena terdekomposisi menjadi CO 2, uap air dan panas, sedangkan nitrogen organik relatif tetap. Oleh karenanya analisis yang digunakan adalah karbon organik dan nitrogen organik atau Total Kjeidahl Nitrogen (TKN). Nilai N total kompos semakin meningkat seiring dengan waktu pengomposan dibandingkan dengan C. Hal ini disebabkan unsur N cenderung tertahan dalam tumpukan kompos dan selama proses dekomposisi unsur N yang hilang hanya 5 %, sedangkan unsur C yang hilang sebanyak 50% (Alexander, 1977). Analisis kadar C dan TKN bertujuan untuk mengetahui kandungan karbon dan nitrogen organik dalam bahan sehingga dapat menjadi dasar acuan akan kebutuhan kedua unsur tersebut yang tersedia. Kedua unsur tersebut nantinya dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk menghasilkan produk akhir yang berupa gas metan (CH 4 ). Suhu merupakan faktor penting yang menunjukkan terjadinya proses dekomposisi bahan organik menjadi kompos. Suhu optimum proses pengomposan berkisar antara 35 0 C 55 0 C karena pada suhu tersebut aktivitas mikrorganisme berjalan dengan baik (Haug, 1980). Hasil yang diperoleh menunjukkan suhu meningkat mencapai 48,8 0 C dan suhu terendah mencapai 31,6 0 C. Hal ini disebabkan pada proses pengomposan kandungan O 2 dalam bahan sangat rendah (< 5%) dan kandungan CO 2 tinggi (> 20%). Dengan aerasi, dapat menambah kandungan O 2 dan mengurangi CO 2. Kondisi ini akan meningkatkan kegiatan mikroorganisme sehingga suhu meningkat dan CO 2 kembali akan meningkat. Dalam prosesnya akan terjadi difusi dengan udara, suplai O 2 tidak berjalan dengan lancar sehingga tejadi pengurangan O 2 jika bahan organik yang mudah didegradasi cepat habis, kegiatan mikroba akan berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya produksi CO 2 dan meningkatnya kandungan O 2 serta menurunnya suhu.

3 32 Pada umumnya dalam tumpukan kompos mempunyai nilai ph awal berkisar 6 7 (Gaur, 1983). Nilai ph yang cenderung menurun pada awal proses pengomposan menunjukkan telah terbentuknya asam-asam organik yang merupakan asam-asam yang lemah seperti asam laktat, butirat, propionat, asam asetat dan asam lemah lainnya. Sedang peningkatan nilai ph pada saat proses pengomposan disebabkan oleh perubahan asamasam organik CO 2 dan sumbangan kation-kation basa hasil mineralisasi bahan organik. Pada proses pengomposan kondisi basa disebabkan adanya perubahan nitrogen dan asam lemah menjadi amoniak. Pengomposan aerob biasanya dalam kondisi basa, sedangkan pengomposan anaerob berada dalam kondisi asam (Harada, 1993). Pertumbuhan mikroba dapat terjadi secara optimal pada ph 6 8. Pengontrolan ph dilakukan untuk mencegah keasaman tinggi yang menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen. Total Solid (TS) ialah padatan yang terkandung dalam bahan, dan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjukkan terjadinya proses dekomposisi padatan yang akan dirombak pada saat terjadi degradasi bahan. Sedangkan Volatile Solid (VS) merupakan jumlah padatan dalam bahan yang menguap pada pembakaran di atas suhu 550 o C. Total padatan menguap sering disebut juga sebagai padatan organik total. Parameter lainnya yang terkait dengan TS dan VS adalah nilai kadar abu. Kadar abu merupakan parameter yang diperlukan untuk menentukan kadar karbon total (AOAC, 1984). Besar kadar abu bagase yang digunakan sebesar 7,89 % tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh Harjo et al (1989) sebesar 8,8 %. Menurut Osman (2006) nilai TS bagase tebu yang digunakan sebagai substrat biogas dapat mencapai 94,67%, nilai VS mencapai 93,77% dan kadar abu 6,23%. Nilai ini bergantung pada jenis tebu yang digunakan. Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan parameter penting lainnya dalam proses dekomposisi anaerob. VFA adalah senyawa lemak yang telah dipecah menjadi asam lemak yang lebih sederhana oleh enzim lipase yang disekresi oleh mikroba. Dalam proses semi aerob pada tahap hidrolisis, padatan organik yang digunakan akan dipecah oleh enzim eksternal yang dihasilkan oleh bakteri yang ada serta dilarutkan dalam air yang terdapat di sekelilingnya. Tahapan ini sulit untuk diamati dan merupakan tahap pembentukan asam, karena sejumlah molekul akan diserap tanpa pemecahan lebih lanjut dan dapat didegradasi secara internal. Pada tahap hidrolisis dan asidogenesis akan terbentuk sejumlah asam, sehingga VFA akan mengalami kenaikan. Asam yang terbentuk

4 33 diantaranya asam laktat, asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Asam asetat merupakan senyawa organik yang akan diuraikan oleh acetocalstic methane bacteria menjadi metana dan karbon dioksida. Dekomposisi bahan organik berlangsung dalam lingkungan yang bervariasi dari kondisi aerobik ke anaerobik dan dari bakteri yang mampu tumbuh optimal pada temperatur mesofilik ke temperatur termofilik. Proses ini bergantung pada mikroorganisme yang terlibat, aerasi dan tingat kelembaban lingkungan serta karakteristik dari bahan yang dikomposkan. Kondisi aerobik dan termofilik lebih diinginkan karena laju dekomposisi bahan organik lebih cepat dan sempurna (Gaur, 1981). Menurut Ros dan Zupancic (2004), keuntungan lain yang didapatkan dari proses aerobik adalah pendegradasian senyawa organik makro yang terdapat pada substrat akan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan proses anaerobik, sehingga produk yang dihasilkan akan lebih optimal. Perlakuan pendekomposisian secara semi-aerobik yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu dengan aerasi dan penambahan bakteri EM4 yang bertujuan untuk mempersingkat fase adaptasi atau lag phase dari mikroorganisme pada saat permulaan proses dekomposisi, sehingga mempercepat pendegradasian. Selain itu, penambahan EM4 juga digunakan untuk mengantisipasi keterbatasan jenis mikroba alami dan ketidak mampuan mikroba alami untuk mendegradasi beberapa senyawa toksik seperti senyawa pestisida dalam bahan tersebut. Pengomposan (composting) atau pendekomposisian secara semi-aerobik pada bagase tebu dilakukan selama hari dan limbah nanas selama hari. Selama proses pengomposan tersebut dilakukan pengukuran suhu dan ph secara rutin. Pada Tabel 9 menunjukkan hasil analisa awal dan akhir pengomposan bahan baku substrat menggunakan EM4 dan Acticomp.

5 34 Tabel 8. Karakteristik awal dan akhir pengomposan bahan baku substrat Parameter Bagase Kulit Bagase Tebu Kulit Nanas Tebu Nanas (Akhir) (Akhir) Awal Awal EM4 Acticomp EM4 Acticomp TS (%) 55,2 6,4 12,9 16,6 3,9 4,2 VS(%) 54,2 5,8 11,9 15,7 2,2 3,1 Kadar Air (%) 44,7 93,6 87,1 83,4 96,1 95,8 Kadar Abu (%) 7,89 0,57 0,96 0,82 0,1 0,1 C (%) 22,8 67,7 6,5 8,6 39,5 44,8 TKN (%) 0,1 0,9 0,1 0,1 2,1 2,5 Temp.( 0 C) 31,3 32,2 33,4 34,2 34,5 33,6 ph 6,3 5,9 6,9 7,4 7,3 7,6 Rasio C/N 227,5 72,80 64,8 85,9 19,12 17,83 VFA(mM) 68,4 21,7 74,1 104,8 30,7 89,4 Selain menggunakan EM4 sebagai sumber mikroba pendegradasi, juga digunakan Acticomp, produk dari Balai Penelitian Hasil Perkebunan. Hasil pengomposan EM4 dan Acticomp yang menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda, namun berdasarkan nilai C/N rasio yang diperoleh maka dipilih hasil pengomposan dengan menggunakan EM4 karena C/N rasionya mendekati nilai yang diinginkan, yakni C/N 25, 30 dan 35. Pada tahap semi-aerobik terjadinya proses dekomposisi yang dapat ditunjukkan dari parameter-parameter seperti total solid (TS); volatile solid (VS); volatile fatty acid (VFA); Temperatur (T) ; derajat keasaman (ph) dan rasio C/N. a. Total Solid (TS) Padatan dalam bagase tebu dan limbah nanas akan didegradasi oleh mikroba. Gambar 9 menunjukkan nilai TS dari proses semi-aerob yang dilakukan pada bahan baku substrat yang digunakan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan nilai TS dari kedua bahan baku substrat yang digunakan. Nilai TS awal bagase tebu yang digunakan sebesar 55,2 % menurun menjadi 12,9 % menggunakan EM4 dan sebesar 16,6% menggunakan Acticomp. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan adanya efisiensi TS sekitar 73,4 %. Sedangkan pada limbah nanas, nilai TS awal sebesar 6,4 % menurun menjadi 3,9 % jika menggunakan EM4 dan sebesar 4,2 % jika menggunakan Acticomp. Efisiensi TS limbah nanas diperoleh sekitar 36,4 %. Nilai efisiensi TS bagase yang diperoleh lebih besar dibandingkan efisiensi TS bagase

6 35 Gambar 9. Total Solid (TS) bahan baku substrat. yang diperoleh Chanakya et al (2006) pada pengomposan selama 40 hari diperoleh efisiensi TS sebesar 53%. Sedangkan efisiensi TS limbah nanas yang diperoleh lebih kecil dibandingkan efisiensi TS buah-buahan yang diperoleh Chanakya et al (2006) pada pengomposan selama 30 hari diperoleh efisiensi TS sebesar 51%. Efisiensi TS bagase yang tinggi dapat dicapai pada kondisi semi-aerobik dan termofilik karena laju dekomposisi bahan organik lebih cepat dan sempurna (Gaur, 1981). Hal ini memungkinkan mikroorganisme bekerja secara optimal. b. Volatile Solid (VS) Pada Gambar 10 menunjukkan nilai VS dari kedua jenis bahan baku substrat yang digunakan. Padatan yang menguap berasal dari kandungan organik substrat. Selama proses dekomposisi bahan organik akan dihasilkan garam-garam mineral yang tidak mudah menguap, yang menyebabkan jumlah VS mengalami penurunan. Nilai VS awal bagase tebu yang digunakan sebesar 54,24 % menurun menjadi 11,90 % menggunakan EM4 dan sebesar 15,74 % dengan menggunakan Acticomp. Dari hasil analisa diperoleh efisiensi VS bagase sekitar 74,54 %. Pada limbah nanas yang digunakan, nilai VS awal sebesar 5,8 % menurun menjadi 2,16 dengan menggunakan EM4 dan sebesar 3,04 % menggunakan Acticomp. Nilai efisiensi VS limbah nanas diperoleh sekitar 55,18 %. Nilai efisiensi VS bagase dan limbah nanas yang diperoleh lebih besar daripada yang diperoleh Chanakya et al (2006) pada

7 36 pengomposan bagase selama 40 hari, diperoleh efisiensi VS sebesar 49%, sedangkan pengomposan buah-buahan selama 30 hari mendapatkan efisiensi VS sebesar 45%. Gambar 10. Volatile Solid (VS) bahan baku substrat. Menurut Chanakya et al (2006) pola degradasi TS menyerupai degradasi VS, ini menunjukkan bahwa TS bahan yang didegradasi merupakan degradasi VS. Pada umumnya pola degradasi pada bahan makanan merupakan pola peluruhan eksponensial ( Lopez et al, 2004). c. Volatile Fatty Acid (VFA) Hasil analisa kenaikan nilai VFA dapat dilihat pada Gambar 11. Dari proses semi-aerobik yang berlangsung, akan terbentuk asetat yang akan didegradasi untuk melepas energi yang lebih besar dan menghasilkan karbondioksida dan sejumlah asam yang akan dimanfaatkan oleh bakteri anaerobik untuk memproduksi biogas. Dalam hal ini proses semi-aerobik mempunyai kelebihan yaitu bahwa substrat yang akan digunakan pada proses anaerobik telah mengandung asam asetat dan energi sehingga bakteri tidak memerlukan waktu yang lama untuk merombak substrat dan memproduksi biogas. Nilai VFA cenderung mengalami kenaikan karena pada proses semi-aerobik pada tahap asetogenesis berlangsung akan terjadi perombakan senyawa organik menjadi asam lemak menguap. Nilai VFA awal dari bagase yang digunakan

8 37 sebesar 68,37 mm dan meningkat menjadi 74,11 mm menggunakan EM4 dan menjadi 104,78 mm dengan menggunakan Acticomp. Nilai VFA awal bagase tebu Gambar 11. Kenaikan nilai Volatile Fatty Acid (VFA). yang relatip tinggi ini juga memungkinkan terbentuknya biogas secara optimal. Nilai VFA awal limbah nanas yang digunakan sebesar 21,71 mm dan meningkat menjadi. 30,67 mm jika menggunakan EM4 dan menjadi sebesar 89,44 mm jika menggunakan ActiComp. d. Suhu Suhu merupakan parameter kontrol terhadap aktivitas bakteri selama proses dekomposisi bahan organik. Pengomposan akan berlangsung secara optimal jika suhu yang dicapai sesuai dengan suhu optimum mikroorganisme. Suhu optimum pengomposan berkisar antara C (Haug, 1980). Sedangkan menurut Murbandono (1983) suhu optimum proses pengomposan berkisar antara C. Grafik perubahan suhu kompos bagase tebu ditunjukkan pada Gambar 12. Pada pengamatan suhu pengomposan bagase tebu tampak bahwa peningkatan suhu pengomposan cenderung naik pada hari ke-4 pekan pertama, dengan suhu optimal

9 38 Gambar 12. Perubahan suhu ( 0 C) selama pengomposan. pengomposan bagase berkisar antara 42,3 48,7 0 C. Peningkatan suhu disebabkan aktivitas mikroorganisme yang mendegradasi bahan organik. Panas yang ditimbulkan sebagian tertahan dalam tumpukan kompos dan sebagian menguap yang berupa uap air. Mikroorganisme yang tumbuh optimal dalam EM4 mencapai suhu 48,7 0 C, sedangkan pada Acticomp, mikroorganisme yang tumbuh optimal mencapai suhu 42,3 0 C. Mikroorganisme tersebut mempunyai suhu optimum yang berbeda untuk aktivitasnya, sehingga dapat dinyatakan bahwa kondisi tersebut merupakan integrasi dari suhu optimum berbagai kelompok mikroorganisme. Sedangkan suhu pengomposan limbah nanas cenderung stabil, yakni 33,6 0 36,3 0 C. Penurunan suhu secara drastis terjadi pada pengomposan bagase menggunakan EM4 mencapai 39,7 0 C pada hari ke-8. Sedang pengomposan menggunakan Acticomp mengalami penurunan suhu hingga 35,5 0 C pada hari ke-10 dan pada hari ke-13 aktivitas mikroorganisme mengalami peningkatan kembali sehingga suhu mencapai 39,3 0 C. Perlakuan aerasi pada pengomposan bagase tebu tidak mempengaruhi suhu pengomposan, karena rongga udara di gundukan bahan relatif cukup besar sehingga suplai oksigen ke dalam bahan cukup merata. Pada hari ke-30 suhu kompos EM4 maupun Acticomp mulai mendekati suhu kamar yaitu 33,2 35,5 0 C. hingga hari ke- 47. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan berada dalam tahap pematangan dengan indikasi suhu yang mendekati suhu kamar (32,7 0 C) yang mengakibatkan sumber karbon organik mulai berkurang dan aktivitas mikroorganisme mulai menurun sehingga panas yang dihasilkan sedikit.

10 39 Pada pengomposan limbah nanas tampak bahwa suhu cenderung konstan, pengomposan menggunakan EM4 mencapai suhu 32,3-41,3 0 C dan pengomposan menggunakan Acticomp mencapai suhu 33,3 40,3 0 C dan secara bertahap suhu mencapai stabil ± 34 0 C. Hal ini menunjukkan bahwa mikroba yang bekerja pada pengomposan limbah nanas adalah jenis mesofilik. Ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Chaiprasert (2001) bahwa pada kondisi mesofilik mikroba yang bekerja pada limbah industri pengalengan nanas lebih kondisuf dalam menghasilkan produk intermediat seperti asam propionat yang berperan dalam pembentukan produksi biogas. e. Derajat Keasaman (ph) Perubahan ph dalam proses pengomposan menunjukkan aktivitas bakteri dalam mendegradasi bahan organik dan melakukan metabolisme. Nilai ph selama proses pengomposan diamati 3 hari sekali sampai waktu pematangan kompos. Perubahan nilai ph kompos bagase dan nanas dapat dilihat pada Gambar 13. Nilai ph selama proses pengomposan cenderung berfluktuasi untuk semua perlakuan. Nilai ph bagase relatif kecil fluktuasinya. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan aktivator baik EM4 maupun ActiComp akan meningkatkan ph dan akan diimbangi dengan pembentukan asam-asam organik seperti asam laktat, yang akan menurunkan nilai ph. Nilai ph Gambar 13. Perubahan ph selama pengomposan

11 40 awal bagase sebesar 6,32 dan pada hari ke-40 pengomposan nilai ph mencapai netral sebesar 7,12 7,37. Hal ini disebabkan karena selama proses degradasi protein organik akan menghasilkan NH 3 yang akan berikatan dengan air membentuk NH 4 OH yang bersifat basa, sehingga ph meningkat (Wimbanu, 2005). Pada hari ke-3 nilai ph awal nanas sebesar 4,44 5,17 meningkat sebesar 6,85 7,56 pada hari ke- 9. Hal ini disebabkan adanya penambahan aktivator EM4 dan ActiComp memberikan peningkatan aktivitas bakteri secara signifikan. e. Rasio C/N Setiap bahan organik yang akan dikomposkan memiliki karakateristik yang berlainan. Menurut Sulaeman (2007), unsur karbon (C) dan nitrogen (N) merupakan karakteristik terpenting dalam bahan organik dan berguna untuk mendukung proses pengomposan. Menurut Osman (2006) bagase tebu memiliki nilai rasio C/N 131,34 sedangkan dari Chinese Biogas Manual (1979) bagase tebu memiliki nilai rasio C/N 150. Nilai rasio C/N awal bagase tebu yang digunakan sebesar 227,5. Gambar 14. Perubahan nilai rasio C/N setelah pengomposan. Sedangkan Bardiya (1996) mendapatkan nilai rasio C/N kulit nanas sebesar 55. Ini juga tidak berbeda jauh dari nilai rasio C/N limbah kulit nanas yang digunakan sebesar 72,80. Nilai rasio C/N yang diinginkan sebesar (Yani dan Darwis, 1990). Oleh karena itu perlu ditambahkan kotoran sapi, agar mencapai nilai rasio C/N yang diharapkan (Gaur, 1981). Selama proses aerobik akan terjadi pemanfaatan sumber karbon dan nitrogen oleh mikroba. Ini dapat diindikasikan dengan adanya

12 41 penurunan pada nilai rasio C/N. Pada Gambar 14 menunjukkan nilai rasio C/N yang diperoleh, rasio C/N awal bagase tebu sebesar 227,50 menurun menjadi sebesar 64,8 jika menggunakan EM4 dan sebesar 85,9 jika menggunakan Acticomp. Rasio C/N awal limbah nanas sebesar 72,80 menurun menjadi sebesar 19,12 jika menggunakan EM4 dan sebesar 17,83 jika menggunakan Acticomp. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penggunaan atau pemanfaatan karbon dan nitrogen sebagai nutrisi mikroba untuk tumbuh dan berkembang (Yani dan Darwis, 1990) Dekomposisi Bahan Secara Anaerobik Substrat yang digunakan pada tahap anaerob merupakan substrat yang sudah melalui tahap perlakuan pendahuluan, sehingga substrat tersebut sudah mengandung sejumlah asam yang dapat langsung digunakan oleh bakteri. Substrat tersebut sudah mengalami proses hidrolisis dan asedogenesis sehingga pada perlakuan utama (anaerob) langsung masuk ke tahapan asetogenesis atau bahkan langsung masuk ke tahapan metanogenesis. Dalam fermentasi anaerob ini dilakukan penambahan kotoran sapi yang digunakan sebagai sumber nitrogen bagi mikroorganisme. Kotoran sapi juga digunakan sebagai sumber inokulum bagi bakteri metanogen yang akan merombak asam asetat, CO 2, dan H 2 menjadi metan. Kotoran sapi merupakan substrat yang dianggap paling cocok sebagai sumber pembuat biogas. Kotoran sapi mengandung bakteri penghasil gas metan yang terdapat dalam perut hewan ruminansia (Meynell, 1976). Keberadaan bakteri di dalam usus besar hewan ruminansia membantu proses fermentasi, sehingga proses pembentukan biogas dapat dilakukan lebih cepat (Sufyandi, 2001). Pada Tabel 10 ditunjukkan karakteristik kotoran sapi yang digunakan sebagai sumber inokulum.

13 42 Tabel 9. Karakteristik sumber inokulum Parameter Proses Kotoran Sapi Padatan total, TS (%) 13,8 Padatan menguap, VS (%) 11,3 Derajat Keasaman, ph 5,6 Karbon organik (%) 29,9 TKN (%) 1,5 Kadar Air (%) 86,2 Rasio C/N 20,6 Dalam proses anaerob dilakukan variasi substrat bagase tebu, kulit nanas dan campuran bagase tebu dan kulit nanas serta variasi rasio C/N 25, 30 dan 35. Perlakuan anaerob memberikan pengaruh terhadap perubahan parameter proses berikut : Parameter Proses Anaerob. 1. Chemical Oxygen Demand (COD) Chemical Oxygen Demand (COD) adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau miligram per liter yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik dalam air. Dalam proses pendegradasian, substrat akan mengalami penurunan jumlah kandungan bahan Gambar 15. Kandungan COD pada kondisi anaerob. organik, sehingga nilai COD yang dihasilkan akan mengalami penurunan. Ini terjadi karena bakteri memanfaatkan oksigen dalam merombak substrat, dan nilai penurunan

14 43 COD bergantung pada besarnya bahan organik yang telah didekomposisi. Dalam hal ini bakteri akan memanfaatkan oksigen pada proses penguraian senyawa-senyawa organik, maka nilai COD akan mengalami penurunan. Pengukuran nilai COD dilakukan pada awal, hari ke-20 dan hari ke-40 proses anaerobik. Nilai COD dapat dilihat pada Gambar 15. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa COD cenderung menurun. Hal ini disebabkan adanya laju pembentukan asam lemak menguap (VFA), asam laktat, etanol dan senyawa sederhana lainnya dari monomer hasil dekomposisi polimer organik dan laju konsumsi asam-asam serta senyawa tersebut yang bervariasi. Pada Tabel 11. ditunjukkan penurunan COD pada hari ke-20 dan hari ke-40. Penurunan awal yang relatif besar menunjukkan bahwa bakteri pengurai mulai berkembang biak dan banyak oksigen yang digunakan. Nilai COD pada bagase tebu dengan C/N 35 (Bg-35) dan kontrol menunjukkan kecenderungan penurunan nilai COD yang relatif hampir sama selama fermentasi 48 hari, yakni dengan efisiensi COD sebesar ± 38,8 %. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang optimalnya konsumsi senyawa organik oleh bakteri, atau tingginya laju penguraian senyawa organik kompleks menjadi senyawa sederhana (Budhi et al, 1999). Efisiensi laju penurunan pencemar organik COD sangat dipengaruhi Tabel 10. Penurunan kandungan COD (mg/l) Substrat Sampai Hari ke-20 Sampai Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Co oleh kondisi ph substrat (Mahajoeno,2008). Pada Bg-30 diperoleh efisiensi COD tertinggi sebesar 82,5 % dengan ph berkisar 7,55 7,87 dan suhu berkisar 29 o 30,4 o C. Hal itu dikarenakan bahwa pada kondisi tersebut mendukung bakteri untuk

15 44 melakukan proses degradasi. Dari Tabel 11 juga menunjukkan bahwa sampai hari ke- 40 aktivitas bakteri masih cukup tinggi dalam memanfaatkan oksigen untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terkandung dalam substrat. 2. Derajat Keasaman (ph) Nilai ph sangat erat hubungannya dengan jumlah mikroba perombak. Selama proses anaerob, bakteri akan menghasilkan sejumlah asam sehingga nilai ph akan cenderung mengalami penurunan. Gambar 16a, 16b dan 16c menunjukkan perubahan nilai ph bagase tebu, limbah nanas dan campuran bagase tebu dan limbah nanas sebagai substrat terhadap laju produksi biogas dalam 48 hari pada proses anaerob. Dalam penelitian ini menghasilkan nilai ph yang berfluktuasi, selain ph mengalami penurunan, ph juga mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan karena pada proses aerobik telah dihasilkan gas amonia (NH 3 ) dan karbon dioksida (CO 2 ). Amonia merupakan gas yang bersifat basa (Sahidu, 1983). Bagase memiliki masa inkubasi yang relatif panjang (± hari) maka dimungkinkan terjadinya fluktuasi ph, karena proses fermentasi masih berlangsung. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan nilai ph yang meningkat. Pada hari ke- 20 dan ke- 40 ketiga sampel bagase (Bg-25; Bg-30 dan Bg-35) a). Bagase tebu

16 45 b). Limbah nanas c). Campuran bagase dan limbah nanas Gambar 16. Perubahan ph terhadap laju produksi biogas dari berbagai substrat mempunyai nilai ph yang sama, yakni ± 7,75 dan laju produksi biogas yang berfluktuasi (Gambar 16a). Produksi biogas kumulatif tertinggi dicapai oleh Bg-25 mencapai 8,16 L selama fermentasi 48 hari pada ph berkisar 7,27 7,81. Produksi kumulatif ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Pound (!981) yakni sebesar 8,5 L dengan menggunakan limbah batang tebu. Laju produksi gas Bg-35 mendekati laju produksi gas dari kontrol, yang merupakan fermentasi substrat bagase tebu. Pada Gambar 16b perubahan nilai ph limbah nanas selama proses fermentasi anaerobik menunjukkan kecenderungan meningkat pada hari ke-12 sampai hari ke-16. Hal ini memperlihatkan bahwa aktivitas mikroba pendegradasi mulai meningkat dan sampai pada hari ke-40 nilai ph limbah nanas meningkat mencapai ± 7,44 dan

17 46 cenderung konstan. Peningkatan laju produksi gas pada Ns-25 dan Ns-30 tidak signifikan, sedangkan pada Ns-35 meningkat secara signifikan dengan laju produksi gas sebesar 0,546 L/hari pada ph berkisar 6,22 7,15. Laju produksi gas yang diperoleh sedikit lebih kecil dibandingkan yang diperoleh oleh Bardiya (1996) sebesar 0,725 L/ hari. Pada Gambar 16c ditunjukkan perubahan nilai ph campuran limbah nanas dan bagase tebu terhadap laju produksi gas selama 48 hari dalam proses fermentasi anaerobik. Nilai ph campuran bagase dan limbah nanas cenderung meningkat, menunjukkan aktivitas mikroba masih terus berlangsung. Pada hari ke-20 nilai ph dari BNs-35 mencapai 6,42 dan pada hari ke-48 nilai ph dari ketiga campuran (BNs-25; BNs-30 dan BNs-35) sama, yakni ± 7,16. Laju produksi gas cenderung meningkat, namun produksi gas kumulatif tertinggi diperoleh BNs-35 sebesar 12,62 L pada ph berkisar 6,15 7, Suhu ( 0 C) Perubahan suhu bagase tebu, limbah nanas dan campuran bagase dan limbah nanas sebagai substrat terhadap laju produksi gas selama proses fermentasi anaerobik ditunjukkan pada Gambar 17a, 17b dan 17c. Pada Gambar 17a menunjukkan bahwa awal perlakuan, suhu digester mencapai ± 29,4 0 C dan pada hari ke-20 suhu pada Bg- 25 dan Bg-35 turun mencapai 28,8 0 C dan kemudian berfluktuasi. Ini mengindikasikan bahwa aktivitas mikroba masih berlangsung. Mikroba yang bekerja adalah jenis mesofilik, karena aktivitasnya pada suhu 28,7 0 30,4 0 C. Semakin tinggi suhu, reaksi juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang. Laju produksi gas berfluktuatif. Namun penurunan suhu tidak terlalu mempengaruhi laju produksi gas, karena pada suhu tersebut bakteri masih mampu beraktivitas. Produksi biogas kumulatif tertinggi dicapai oleh Bg-25 sebesar 8,16 L pada suhu 29,3 0 30,3 0 C.

18 47 a). Bagase tebu b). Limbah nanas c). Campuran bagase dan limbah nanas Gambar 17. Perubahan suhu terhadap laju produksi biogas dari berbagai substrat Pada Gambar 17b menunjukkan bahwa perubahan suhu limbah nanas terhadap laju gas selama proses fermentasi anaerobik selama 48 hari mempunyai kecenderungan

19 48 menurun. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroba telah mulai menurun. Jenis mikroba yang bekerja adalah mesofilik dengan rentang suhu 28,4 0 30,2 0 C. Pada suhu 29,1 0 30,2 0 C produksi gas kumulatif tertinggi dicapai Ns-35 sebesar 17,24 L. Menurut Chaiprasert et al (2001) pada kondisi mesofilik, aktivitas mikroba optimal menghasilkan produk intermediat seperti asam asetat, asam butirat dan asam propianat yang berperanan dalam pembentukan gas metan. Asam propionat tidak terbentuk dalam kondisi termofilik. Pada Gambar 17c menunjukkan bahwa perubahan suhu pada campuran bagase dan limbah nanas terhadap laju produksi gas selama 48 hari dalam proses fermentasi anaerob sampai hari ke-20 suhu cenderung meningkat dan mencapai ± 30,5 0 C. Penurunan suhu campuran bagase dan limbah nanas terus berlangsung sampai hari ke- 40. Pada hari ke-28 dicapai laju produksi gas tertinggi oleh BNs-35 sebesar 514 ml/hari dengan suhu 29,8 0 C. Laju poduksi gas pada substrat campuran bagase tebu dan limbah nanas mendekati laju produksi gas pada substrat limbah nanas (523 ml /hari). Ini menunjukkan bahwa pada substrat campuran, senyawa organik yang terkandung dalam limbah nanas akan lebih mudah terdegradasi dan mendukung aktivitas mikroba anaerob untuk pembentukan asam lemak menguap (VFA), asam laktat, etanol dan senyawa sederhana lainnya. Sedangkan bagase tebu karena memiliki kadar lignin yang relatif tinggi, agak sulit untuk dilakukan degradasi. 4. Volatile Fatty Acid (VFA). Pada Gambar 18 tampak hasil analisis VFA pada ketiga substrat setelah diinkubasi selama 48 hari menunjukkan bahwa VFA tertinggi sebesar 95,84 mm pada awal proses, hari ke-20 VFA mencapai sebesar 125,24 mm dan hari ke-40 VFA mencapai 161,03 mm dihasilkan oleh substrat campuran bagase tebu dan limbah nanas dengan C/N rasio 35 (BNs-35). Pembentukan VFA pada BNs-35 mencapai optimal, karena ketersediaan sumber C (karbon), baik dari bagase tebu maupun dari limbah nanas. Kadar VFA yang rendah dapat terjadi karena pengaruh ph, dimana ketika VFA terakumulasi dalam campuran bahan dan menjadi meningkat jumlahnya, maka ph akan mengalami penurunan dan bersifat asam (Han Qi Yu et al, 2002). Nilai ph rendah < 6 pada awal proses, akan mengakibatkan tidak maksimalnya mikroorganisme untuk

20 49 menghasilkan metan, karena terjadi denaturasi enzim dalam mikroba yang berperan dalam tahap metanogenesis (Nijaguna, 2002). Kandungan VFA terbesar Gambar 18. Jumlah VFA yang terbentuk pada proses fermentasi anaerob. adalah asam asetat yang terbentuk dalam tahap asetogenesis dan metanogenesis yang berperanan dalam proses pembentukan gas. Kadar VFA akan sebanding dengan laju produksi gas. Tabel 11. Peningkatan kadar VFA(mM) Substrat Sampai Hari ke-20 Sampai Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Co Pada Tabel 12 ditunjukkan besarnya VFA (mm) yang terbentuk pada hari ke-20 dan hari ke-40. Pada perlakuan Bg-25 terjadi penurunan VFA, hal ini dimungkinkan karena rendahnya konsentrasi substrat yang digunakan, sehingga VFA yang terbentuk mengalami penurunan, karena pada tahap metanogenesis asam asetat yang terkandung dalam VFA tersebut diubah oleh bakteri metanogen menjadi metan (CH 4 ). Hal ini

21 50 dinyatakan dengan adanya kandungan CH 4 sebesar 75% yang dihasilkan dari perlakuan Bg-25 adalah yang tertinggi. 5. Total Solid (TS) Hasil degradasi bahan terlihat pada Gambar 19 dengan adanya penurunan kadar TS dari substrat. Pengukuran kadar TS dilakukan pada awal proses, hari ke-20 dan hari ke-40. Berkurangnya TS terlihat dengan penurunan grafik pada semua perlakuan, walaupun penurunannya tidak signifikan (Tabel 12). Hal ini mungkin disebabkan kandungan lignin yang cukup tinggi pada bagase, sehingga proses degradasi atau perombakan bahan organik membutuhkan waktu relatif lama. Penurunan TS dalam substrat tidak berbanding lurus terhadap laju produksi gas. Hal ini disebabkan karena tidak semua padatan dapat dimanfaatkan oleh mikroba. Efisiensi TS pada bagase sebesar 18,1% diperoleh dari perlakuan Bg-25 dengan nilai TS awal sebesar Gambar 19. Nilai TS (%) dalam proses fermentasi anaerobik. 10,5% (w/v). Pada perlakuan Ns-35 dengan nilai TS awal sebesar 7,7% (w/v) diperoleh efisiensi TS tertinggi sebesar 39%. Sedangkan efisiensi TS pada campuran bagase dan limbah nanas sebesar 17% diperoleh dari perlakuan BNs-35 dengan nilai TS awal sebesar 8,8% (w/v). Pada fermentasi anaerobik selama 40 hari, kadar TS bagase pada perlakuan Bg-25 sebesar 8,6% (w/v) sama dengan kadar TS bagase yang diperoleh Osman et al (2003) yakni sebesar 8,8% (w/v). Sedangkan kadar TS limbah nanas pada perlakuan Ns-35 sebesar 7,7% (w/v) lebih kecil dari kadar TS limbah nanas yang diperoleh Bardiya et al (1996) yakni sebesar 49% (w/v) pada fermentasi anaerobik selama 30 hari.

22 51 Tabel 12. Penurunan kadar TS (%) Substrat Sampai Hari ke-20 Sampai Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Co Pada Tabel 13 tampak bahwa degradasi TS pada hari ke-20 lebih tinggi dibandingkan degradasi TS hari ke-40, ini menunjukkan bahwa pada hari ke-20 aktivitas mikroba lebih tinggi dibandingkan aktivitas mikroba pada hari ke Volatile Solid (VS) Hasil yang diperoleh pada Gambar 20 menunjukkan nilai VS pada awal, hari ke- 20 dan hari ke-40. Pola penurunan pada TS dan VS tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh TS dari substrat terdegradasi menjadi VS yang dapat digunakan oleh bakteri untuk menghasilkan biogas. Efisiensi VS tertinggi diperoleh pada perlakuan Ns -35 sebesar 47,5 % dengan kadar VS awal sebesar Gambar 20. Nilai VS (%) dalam proses fermentasi anaerobik.

23 52 5,9% (w/v). Kadar VS bagase pada perlakuan Bg-25 sebesar 9,3% (w/v) jauh lebih rendah dari kadar VS bagase yang diperoleh Osman et al (2003) yakni sebesar 86,4% (w/v). Demikian juga kadar VS limbah nanas pada perlakuan Ns-35 sebesar 5,9% (w/v) jauh lebih kecil dari kadar VS limbah nanas yang diperoleh Bardiya et al (1996) yakni sebesar 51% (w/v) pada fermentasi anaerobik selama 30 hari. Pada Tabel 14 ditunjukkan besarnya penurunan VS pada hari ke-20 dan hari ke- 40. Dalam proses kombinasi antara semi-aerob dan anaerob belum memberikan hasil yang sesuai. Hal ini mungkin disebabkan karena proses degradasi dengan bantuan mikroba yang sangat peka terhadap faktor lingkungan, sehingga aktivitasnya kurang stabil. Selain itu mikroba yang berperan heterogen, karena proses degradasi anaerob terjadi beberapa tahapan dan setiap tahapan jenis mikroba yang berperan berbeda (Reith et.al, 2003). Tabel 13. Penurunan kadar VS (%) Substrat Sampai Hari ke-20 Sampai Hari ke-40 Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Co Produksi dan Komposisi Biogas a. Produksi Biogas. Laju produksi biogas yang dihasilkan dalam proses anaerobik diukur setiap hari selama proses fermentasi 48 hari. Pada Gambar 21 tampak bahwa produksi gas mulai terlihat pada hari ke-4. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa laju produksi biogas tertinggi dicapai oleh perlakuan Ns -35, BNs -35 dan BNs-30 berturut-turut sebesar 523 ml/hari, 514 ml/hari dan 466 ml/hari. Pada ketiga perlakuan tersebut menunjukkan laju produksi gas sangat fluktuatif, ini mungkin disebabkan bahwa aktivitas mikroba pengurai belum sepenuhnya optimal, karena adanya pengaruh dari

24 53 faktor- faktor lingkungan, seperti pengadukan dan terbentuknya lapisan scum yang mengganggu proses pembentukan biogas. Laju produksi biogas dari limbah nanas pada perlakuan Ns-35 sebesar 523 ml/hari jauh lebih kecil dibandingkan laju produksi biogas limbah nanas yang diperoleh Bardiya et al (1996) sebesar 1300 ml/hari. Hal ini mungkin kurang optimalnya pengkondisian awal proses fermentasi anaerobik. Sedangkan pada perlakuan Ns-25, Ns-30 dan BNs-25 menunjukkan laju produksi biogas yang relatif nyaris sama, yakni sebesar 118,2 ml/ hari. Laju produksi biogas harian pada perlakuan Bg-25 dan Bg-30 masing-masing sebesar 170 ml/ hari dan 129,7 ml/ hari. Laju produksi biogas harian bagase yang diperoleh lebih kecil dibandingkan laju produksi biogas harian yang diperoleh Pound et al (1981) sebesar 375 ml/hari dari limbah batang tebu dengan komposisi terdiri 20% inokulum: 56,7% slurry segar : 23,3% limbah batang tebu. Sedangkan laju produksi pada Bg-35 relatif sama dengan laju produksi biogas pada kontrol. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa bahan substrat sangat menentukan laju produksi biogas. Menurut Chanakya et al (2006) laju produksi biogas yang rendah dari bahan pakan ternak disebabkan karena tidak cukup tersedia kolonisasi bakteri metanogen sehingga menghambat konversi asam dari bahan substrat yang diumpankan. Reduksi VS awal yang tinggi juga menyebabkan laju produksi biogasnya rendah. Fluktuasi laju produksi biogas dan peningkatan VFA Gambar 21. Laju produksi biogas harian dalam proses fermentasi anaerobik

25 54 membutuhkan periode waktu ± 100 hari. Campuran bagase tebu dan biomassa dapat digunakan sebagai biofilter untuk mendegradasi bahan organik terlarut pada reaktor jenis Down Flow Fixed Bed Reactor (DFFBR). Pada Gambar 22 tampak bahwa produksi biogas kumulatif tertinggi selama 48 hari diperoleh oleh perlakuan Ns-35 dengan kadar TS 7,7% (w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 17,2 L atau 203,1 L/kg TS, BNs-35 dengan kadar TS 8,2% (w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 12,6 L atau 69,9 L/kg TS dan BNs- 30 dengan kadar TS 8,1% (w/v) menghasilkan biogas sebanyak 12,3 L atau 32,3 L/kg TS. Gambar 22. Produksi biogas kumulatif pada proses fermentasi anaerobik Sedangkan produksi biogas kumulatif Bg-25 dengan kadar TS 10,5%(w/v) mampu menghasilkan biogas sebesar 8,2 L atau 78,1 L/ kg TS dan Bg-30 dengan kadar TS 10,5% (w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 6,2 L atau 35,2 L/kg TS. Produksi biogas kumulatif Ns-25 dengan kadar TS 6,9%(w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 5,8 L atau 16,2 L/kg TS, Ns-30 dengan kadar TS 6,9%(w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 5,8 L atau 30 L/kg TS dan BNs-25 dengan kadar TS 7,9%(w/v) mampu menghasilkan biogas sebanyak 5,3 L atau 10,3 L/kg TS. Produksi biogas kumulatif tertinggi dari perlakuan Ns-35 yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar 203,1 L/kg TS jauh lebih kecil dibandingkan produksi kumulatif yang diperoleh Bardiya et al (1996) sebesar 413 L/kg TS dari fermentasi anaerob limbah

26 55 nanas selama 40 hari. Sedangkan produksi biogas kumulatif bagase tebu dari perlakuan Bg-25 yang diperoleh sebesar 78,1 L/kg TS lebih tinggi daripada yang diperoleh Pound et al (1981) sebesar 18 L/kg TS dari limbah batang tebu dengan komposisi 20% inokulum: 56,7% slurry segar : 23,3% limbah batang tebu. Produksi biogas kumulatif Bg-25 yang diperoleh juga lebih besar dari yang diperoleh Osman et al (2006) yakni sebesar 51,5 L/kg TS dari campuran bagase tebu dan kotoran ayam. Sedangkan produksi biogas kumulatif kontrol nyaris sama dengan produksi biogas kumulatif Bg-35. Ini menunjukkan bahwa pada Bg-35 tidak terjadi pertumbuhan mikroba yang optimal, sehingga proses fermentasi anaerob yang terjadi mirip dengan kontrol. Ini mungkin disebabkan pada Bg-35 tidak terjadi keseimbangan antara C dan N yang dibutuhkan oleh mikoba untuk tumbuh dan berkembang biak. Menurut Yani dan Darwis (1990), mikroba yang berperan dalam proses secara anaerobik membutuhkan nutrisi untuk tumbuh dan berkembang, berupa sumber karbon (C) dan sumber nitrogen (N). Bagase tebu mempunyai kandungan lignoselulosa yang cukup tinggi, sehingga pada Bg-35 unsur N tidak dapat mengimbangi ketersediaan unsur C yang berlebihan. Perbandingan C/N dari bahan organik sangat menentukan aktivitas mikroba dan produksi biogas (Fry, 1974). b. Komposisi Biogas. Gambar 23. Kandungan gas CH 4 (%) pada proses fermentasi anaerobik Pada Gambar 23 tampak hasil uji persentase CH 4 yang terkandung dalam produksi biogas pada hari ke-20 dan ke-40 dalam proses fermentasi anaerob. Persentase CH 4 dari hari ke-20 sampai hari ke-40 menunjukkan peningkatan. Pada

27 56 awal proses anaerob akan terbentuk gas CO 2. Ini terjadi pada tahap hidrolisis dan asidogenesis. Pada hari ke-20 proses fermentasi telah mencapai tahap pembentukan gas metan (CH 4 ) namun belum optimal, sedangkan pada hari ke-40, proses anaerob tahap metanogenesis telah mencapai kestabilan, sehingga pembentukan gas metan dapat mencapai optimal. Hal ini juga menunjukkan adanya keseimbangan antara laju proses asidogenesis dan metanogenesis (Chanakya et al, 1999). Kualitas biogas yang dihasilkan ditentukan dengan besarnya persentase CH 4. Menurut Chanakya et al. (1999) komposisi gas metan(ch 4 ) yang dihasilkan dari biogas dengan bahan baku bagase tebu > 60%, sedangkan pada kondisi mesofilik, komposisi CH 4 yang dihasilkan dari biogas dengan bahan baku limbah nanas mencapai 79 % (Chaiprasert et al, 2001). Kualitas biogas terbaik ditunjukkan oleh perlakuan Bg-25 dengan kadar TS sebesar 10,5% (w/v) menghasilkan CH 4 sebesar 75%, BNs-35 dengan kadar TS sebesar 8,2% (w/v) menghasilkan CH 4 sebesar 74% serta Bg-30 dengan kadar TS sebesar 10,5%(w/v) menghasilkan CH 4 sebesar 70%. Kadar TS bahan ikut berperan dalam menentukan kadar CH 4 yang dihasilkan. Namun tingginya kualitas biogas pada perlakuan Bg-25 dan Bg-30 tidak diimbangi dengan laju produksinya. Pada perlakuan Ns-35 dengan kadar TS sebesar 7,7% (w/v) mampu menghasilkan biogas tertinggi, yakni sebesar 203,1 L/kg TS memiliki kandungan CH 4 sebesar 67%, maka diperoleh 136,1 L CH 4 /kg TS. Kandungan CH 4 terendah diperoleh dari perlakuan Bg-35 yakni sebesar 44%, sedangan pada kontrol diperoleh kandungan CH 4 sebesar 65%. Berdasarkan perhitungan total nilai kalor terbesar ditunjukkan pada perlakuan Ns-35 yaitu substrat limbah nanas dengan C/N rasio 35, menunjukkan nilai total kalor sebesar 5145 kj dan BNs-35 yaitu substrat campuran bagase tebu dan limbah nanas dengan C/N rasio 35 menunjukkan nilai kalor total sebesar 1955,2 kj. Walaupun memiliki kandungan CH 4 yang cukup tinggi (75 % dan 70%) pada perlakuan Bg-25 dan Bg-30 namun laju produksinya sangat rendah. Pada Tabel 11 ditunjukkan produksi biogas kumulatif dan komposisi kandungan CH 4 sampai hari ke-20 dan hari ke-40 dari sampel substrat yang digunakan.

28 57 Tabel 14. Produksi kumulatif dan komposisi biogas dalam.sistem batch JENIS PROD.BIOGAS SAMPAI SAMPAI SUBSTRAT KUMULATIF HARI KE-20 HARI KE-40 (ml) * % % Bg Bg Bg Ns Ns Ns BNs BNs BNs Co Keterangan : *) Produksi biogas kumulatif selama 48 hari Analisa Satistik Uji ANOVA pada taraf 5 % menunjukkan bahwa pengaruh suhu pada jenis substrat memberikan perbedaan yang tidak nyata, sedangkan pengaruh suhu pada variasi C/N rasio menunjukkan perbedaan yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pengaruh suhu terhadap C/N 25 dan C/N 30 tidak signifikan, sedangkan pada C/N 35 ada pengaruh signifikan. Pengaruh ph pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Dari uji lanjut Duncan ditunjukkan bahwa pengaruh ph pada jenis substrat(bg, Ns dan BNs) dan variasi C/N (C/N 25, 30 dan 35) memberikan perbedaan yang nyata. Pengaruh TS dan VS pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Pengaruh COD pada jenis substrat menunjukkan perbedaan yang nyata, sedangkan pengaruh COD pada variasi C/N menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Pengaruh VFA pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pengaruh VFA pada jenis substrat(bg, Ns dan BNs) dan variasi C/N (C/N 25, 30 dan 35) memberikan perbedaan yang nyata. Pengaruh produksi biogas pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pengaruh produksi

29 58 biogas pada jenis substrat (Bg, Ns dan BNs) dan variasi C/N (C/N 25, 30 dan 35) memberikan perbedaan yang nyata. Pengaruh CH 4 pada jenis substrat menunjukkan perbedaan yang nyata, sedangkan pengaruh CH 4 pada variasi C/N menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (Lampiran 18) Penelitian Sistem Semi-Kontinyu. Reaktor UASB ( Up-flow Anaerobic Sludge Blanket) volume 300 L digunakan dalam penelitian sistem semi- kontinyu yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh laju pengumpanan terhadap laju produksi biogas dan efisiensi pengurangan bahan organik. Berdasarkan hasil produksi biogas skala laboratorium dengan menerapkan perlakuan Ns-35 yang menghasilkan produksi biogas kumulatif sebesar 17,2 L atau 203,1 L/ kg TS dalam 40 hari atau produksi harian rata-rata sebesar 0,431 L/hari, maka dilakukan pengumpanan mulai dari laju umpan 1,4 kg TS /L /hari ; 2,3 kg TS/ L/hari dan 4,1 kg TS/ m 3 /hari masing-masing diberikan selama 3 hari. Sebagai kontrol bioreaktor diisi dengan kotoran sapi dengan laju umpan 24,8 kg TS/L. Ini dilakukan untuk menentukan Residence Time. Setiap tahap pengumpanan, diukur ph, suhu, COD dan produksi biogas yang diperoleh Pengaruh Laju Pengumpanan Interaksi laju pengumpanan, produksi biogas dan suhu substrat bertujuan untuk mengetahui kondisi optimal laju penyimpanan substrat. Pengadukan dilakukan untuk memperoleh homogenitas substrat dalam perlakuan peningkatan laju penyimpanan. Hasil interaksi ketiga parameter dapat ditunjukkan dalam Gambar 24. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa produksi biogas berfluktuasi. Pada awal proses dilakukan pengumpanan dengan kotoran ternak yang digunakan sebagai kontrol, laju produksi biogas mencapai 64,4 L/hari, kemudian diberikan laju umpan 1,4 kg TS/L/hari, 2,3 kg TS/L /hari dan 4,1 kg TSL /hari masing-masing selama 3 hari untuk melihat pengaruh laju pengumpanan terhadap produksi biogas. Pada awal pengumpanan terjadi penurunan produksi biogas, dan selanjutnya laju produksi biogas

30 59 Gambar 24. Pengaruh laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan suhu. kembali meningkat seiring dengan meningkatnya laju pengumpanan hingga mencapai 86,6 L/hari pada laju pengumpanan 4,1 kg TS/L /hari. Ini menunjukkan bahwa laju pengumpanan yang diberikan tidak cukup mempengaruhi laju produksi biogas. Hal ini dimungkinkan karena limbah nanas didekomposisi secara cepat dan hanya sebagian kecil yang tersisa dalam proses fermentasi anaerob. Menurut Chanakya et al (2006) limbah buah-buahan dalam bentuk Solid state Stratified Bed (SSB) dengan laju umpan sebesar 2 gr TS/L/hari tidak mempengaruhi proses fermentasi anaerobik. Pada awal proses fermentasi anaerob, suhu substrat mencapai 29,4 0 C dan meningkat sampai hari ke-8 mencapai 32,2 0 C, sedangkan pada hari ke-9 suhu mengalami penurunan mencapai 30,6 0 C. Hal ini mungkin disebabkan pengadukan yang kurang homogen, sehingga mengganggu aktivitas mikroba pendegradasi. Pada hari ke-14 suhu mengalami peningkatan mencapai 33,8 0 34,6 0 C dan cenderung stabil seiring dengan penambahan laju pengumpanan. Hal ini menunjukkan bahwa Residence Time yang diperoleh adalah 14 hari. Penambahan umpan awal dapat mengoptimalkan aktivitas mikroba yang menyebabkan peningkatan suhu, namun setelah Residence Time kecenderungan suhu menjadi tetap, dimungkinkan karena jenis mikroba yang bekerja adalah mesofilik dengan rentang suhu 29,4 0 C 34,6 0 C.

31 60 Gambar 25. Pengaruh laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan nilai ph. Hasil yang diperoleh pada Gambar 25 menunjukkan bahwa produksi biogas yang fluktuatif dengan nilai ph substrat 6,38 7,78 menunjukkan kecenderungan nilai ph yang stabil sampai pada laju pengumpanan 4,1 kg TS/L/hari Menurut Yacoeb et al. (2006) bahwa kondisi ph hasil perombakan masih memungkinkan mendukung aktivitas bakteri metanogenik sehingga produksi biogas masih dapat meningkat. Nilai ph yang tidak kurang dari 7 mengindikasikan bahwa biodegradasi asam-asam organik berlangsung dengan baik. Menurut Berardino et al (2000) proses digestasi anaerobik dengan sistem semi kontinyu pada limbah cair industri makanan berlangsung baik pada kondisi ph 7,2 8,4. Proses fermentasi anaerob memanfaatkan berbagai macam mikro organisme yang bekerja didalam perombakan substrat yang kaya akan bahan organik. Dalam proses perombakan tersebut menghasilkan berbagai macam zat yang mungkin dapat menghambat kinerja mikroba perombak, karena mikroba tersebut sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, khususnya ph dan suhu. Dilain pihak penurunan ph akan mengganggu aktivitas mikroba perombak, dan hasil perombakan yang berupa asam-asam organik siap untuk diubah menjadi biogas dalam proses metanogenik (Reith et al. 2003).

32 61 Gambar 26. Pengaruh laju umpan terhadap produksi biogas dan nilai COD. Hasil yang diperoleh pada Gambar 26 menunjukkan bahwa efisiensi COD pada kontrol sebesar ± 30% bahkan pada pengumpanan awal sebesar 1,4 kg TS/L/hari, efisiensi COD turun menjadi 6,3 %. Selanjutnya sampai laju umpan 4,1 kg TS/L/hari efisiensi COD dapat mencapai 80%. Efisiensi COD yang berfluktuatif disebabkan proses perombakan/ fermentasi anaerob terjadi pada berbagai tingkatan dan dilakukan oleh berbagai jenis mikroba yang peka terhadap lingkungan. Efisiensi COD yang diperoleh sesuai dengan yang diperoleh Chinnaraj et al ( 2005) bahwa dengan reaktor UASB didapatkan efisiensi COD sebesar %, dimana dengan waktu retensi 20 jam dan laju umpan 5,75 kg COD/ m 3 / hari mampu menghasilkan biogas sebesar 520 L/kg COD. Dari hasil analisa kandungan CH 4 pada sistem kontinyu diperoleh kandungan CH 4 sebesar ± 70 %. Hasil ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Chaiprasert (2001) bahwa limbah nanas dengan masa inkubasi 30 hari mempunyai kandungan metan (CH 4 ) berkisar 60% Analisis Kelayakan Ekonomi Limbah Nanas sebagai Bahan Baku Biogas Analisis kelayakan tekno-ekonomi dilakukan berdasarkan perhitungan sederhana yang mengacu pada hasil produksi skala semi-lapang sistem kontinyu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui aspek ekonomi dari teknologi anaerob dengan membandingkan antara besarnya biaya pengeluaran dengan nilai manfaat yang diterima dalam suatu investasi pada jangka waktu tertentu. Analisis ini meliputi

33 62 perhitungan : Benefit Cost Ratio (B/C), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Period (PBP). Perhitungan didasarkan pada banyaknya produksi gas yang dihasilkan dalam sistem kontinyu, kemudian dikonversikan dengan BBM (solar). Perhitungan produksi biogas dengan sistem kontinyu dilakukan dengan mengunakan tandon air dengan volume 4000 liter sebagai unit reaktor anaerob dan sebagai pengumpul gas digunakan tandon air dengan volume 500 liter, yang bersatu dengan unit reaktor, sehingga model reaktor/ digesternya adalah floating dome. Penentuan ukuran digester didasarkan pada banyaknya limbah nanas yang dihasilkan oleh PT. Marizafood dalam sekali produksi. Limbah nanas yang dihasilkan dalam satu kali produksi sebesar kg per hari. Berdasarkan hasil produksi biogas skala semi-kontinyu menggunakan digester dengan volume 300 liter maka diperoleh laju produksi gas optimal sebesar 64,4 L/ hari dengan laju umpan 1,4 kg TS/L /hari. Laju pengumpanan sebesar 1,4 kg TS/L /hari diberikan pada reaktor dengan volume 4000 L akan menghasilkan 24,242 m 3 biogas/hari dan jika dikonversikan sama dengan 15,03 liter minyak tanah/hari, dengan asumsi 1 m 3 biogas setara dengan 0,62 liter minyak tanah. Analisis finansial untuk produksi biogas dalam reaktor model floating dome menggunakan asumsi sebagai berikut : Analisis dilakukan selama 10 tahun umur proyek Tingkat suku bunga 12 % Biaya dan harga selama masa proyek dianggap konstan Penyusutan produksi sebesar 10 % setiap tahun akibat menurunnya kinerja beberapa peralatan. Hasil perhitungan kelayakan finansial produksi biogas dengan menggunakan reaktor model floating dome yang meliputi B/C rasio, NPV dan IRR menunjukkan bahwa investasi proyek pembangunan instalasi pembangkit biogas tersebut layak untuk dikembangkan. Dari perhitungan diperoleh nilai B/C rasio sebesar 1,75; nilai NPV pada DR 12 % sebesar Rp ,- dengan nilai IRR sebesar 56,57 %, sedangkan nilai PBP (Pay Back Period) diperoleh sebesar 19,7 bulan (Lampiran 20, hal 102). Pada Tabel 15 ditunjukkan biaya modal, biaya tetap dan biaya operasional proyek produksi biogas dari limbah nanas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS

PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 2 No. 2 (Desember 2012): 56-64 PEMANFAATAN BAGASE TEBU DAN LIMBAH NANAS SEBAGAI BAHAN BAKU PENGHASIL BIOGAS Utilization of Sugarcane Bagasse and Pineapple

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Perkembangan kebutuhan energi dunia yang dinamis di tengah semakin terbatasnya cadangan energi fosil serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia tahun 2014 memproduksi 29,34 juta ton minyak sawit kasar [1], tiap ton minyak sawit menghasilkan 2,5 ton limbah cair [2]. Limbah cair pabrik kelapa sawit

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas jerami padi dan sludge. Pertimbangan atas penggunaan bahan tersebut yaitu jumlahnya yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB Darmaga. Jerami telah didiamkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biogas Biogas menjadi salah satu alternatif dalam pengolahan limbah, khususnya pada bidang peternakan yang setiap hari menyumbangkan limbah. Limbah peternakan tidak akan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prinsip Pembuatan Biogas Prinsip pembuatan biogas adalah adanya dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme secara anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS Oleh : Selly Meidiansari 3308.100.076 Dosen Pembimbing : Ir.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebagai dasar penentuan kadar limbah tapioka yang akan dibuat secara sintetis, maka digunakan sumber pada penelitian terdahulu dimana limbah tapioka diambil dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Peternakan Usaha peternakan sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia karena sebagai penghasil bahan makanan. Produk makanan dari hasil peternakan mempunyai

Lebih terperinci

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob Pertumbuhan total bakteri (%) IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob dalam Rekayasa GMB Pengujian isolat bakteri asal feses sapi potong dengan media batubara subbituminous terhadap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri kelapa sawit telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir dan menyumbang persentase terbesar produksi minyak dan lemak di dunia pada tahun 2011 [1].

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bagian terbesar dari kebutuhan energi di dunia selama ini telah ditutupi oleh bahan bakar fosil. Konsumsi sumber energi fosil seperti minyak dan batu bara dapat menimbulkan

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu kegiatan pertanian yang dominan di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an. Indonsia memproduksi hampir 25 juta matrik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian masih menjadi pilar penting kehidupan dan perekonomian penduduknya, bukan hanya untuk menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas sampah organik dan sludge. Pertimbangan atas penggunaan bahan tersebut yaitu jumlahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biogas merupakan salah satu energi berupa gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biogas merupakan salah satu energi terbarukan. Bahanbahan yang dapat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang diperlukan adalah limbah padat pertanian berupa jerami padi dari wilayah Bogor. Jerami dikecilkan ukuranya (dicacah) hingga + 2 cm. Bahan lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Saat ini Indonesia merupakan produsen minyak sawit pertama dunia. Namun demikian, industri pengolahan kelapa sawit menyebabkan permasalahan lingkungan yang perlu mendapat

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI ENERGI ALTERNATIF TERBARUKAN BIOGAS DARI KOTORAN SAPI Bambang Susilo Retno Damayanti PENDAHULUAN PERMASALAHAN Energi Lingkungan Hidup Pembangunan Pertanian Berkelanjutan PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOGAS Dapat

Lebih terperinci

Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure

Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure Sariyati Program Studi DIII Analis Kimia Fakultas Teknik Universitas Setia Budi Surakarta

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN J. Tek. Ling Edisi Khusus Hal. 58-63 Jakarta Juli 2008 ISSN 1441-318X PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN Indriyati dan Joko Prayitno Susanto Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph Salah satu karakteristik limbah cair tapioka diantaranya adalah memiliki nilai ph yang kecil atau rendah. ph limbah tapioka

Lebih terperinci

ANALISIS PERAN LIMBAH SAYURAN DAN LIMBAH CAIR TAHU PADA PRODUKSI BIOGAS BERBASIS KOTORAN SAPI

ANALISIS PERAN LIMBAH SAYURAN DAN LIMBAH CAIR TAHU PADA PRODUKSI BIOGAS BERBASIS KOTORAN SAPI ANALISIS PERAN LIMBAH SAYURAN DAN LIMBAH CAIR TAHU PADA PRODUKSI BIOGAS BERBASIS KOTORAN SAPI Inechia Ghevanda (1110100044) Dosen Pembimbing: Dr.rer.nat Triwikantoro, M.Si Jurusan Fisika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang kaya akan sumber sumber energi terbarukan yang potensial, namun pengembangannya belum cukup optimal. Sebenarnya kebijakan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi

Lebih terperinci

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam Yommi Dewilda, Yenni, Dila Kartika Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis Padang

Lebih terperinci

Adelia Zelika ( ) Lulu Mahmuda ( )

Adelia Zelika ( ) Lulu Mahmuda ( ) Adelia Zelika (1500020141) Lulu Mahmuda (1500020106) Biogas adalah gas yang terbentuk sebagai hasil samping dari penguraian atau digestion anaerobik dari biomasa atau limbah organik oleh bakteribakteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Terkait dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010 dan Bahan Bakar Minyak (BBM) per Januari 2011, maka tidak ada

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOGAS dari LIMBAH PETERNAKAN

PEMBUATAN BIOGAS dari LIMBAH PETERNAKAN PEMBUATAN BIOGAS dari LIMBAH PETERNAKAN Roy Renatha Saputro dan Rr. Dewi Artanti Putri Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax:

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Bakteri Anaerob pada Proses Pembentukan Biogas dari Feses Sapi Potong dalam Tabung Hungate. Data pertumbuhan populasi bakteri anaerob pada proses pembentukan biogas dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi 31 IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Penelitian yang telah dilakukan terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob. Biogas dapat dihasilkan pada hari ke 4 5 sesudah biodigester

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan salah satu produk

BAB I PENDAHULUAN. Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan salah satu produk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan salah satu produk samping berupa buangan dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang berasal dari air kondensat pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS

PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS Pembentukan biogas dipengaruhi oleh ph, suhu, sifat substrat, keberadaan racun, konsorsium bakteri. Bakteri non metanogen bekerja lebih dulu dalam proses pembentukan biogas untuk

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU DAN C/N RASIO TERHADAP PRODUKSI BIOGAS BERBAHAN BAKU SAMPAH ORGANIK SAYURAN

PENGARUH SUHU DAN C/N RASIO TERHADAP PRODUKSI BIOGAS BERBAHAN BAKU SAMPAH ORGANIK SAYURAN PENGARUH SUHU DAN C/N RASIO TERHADAP PRODUKSI BIOGAS BERBAHAN BAKU SAMPAH ORGANIK SAYURAN Oleh ENDANG YULISTIAWATI F34103034 2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah Oleh : Nur Laili 3307100085 Dosen Pembimbing : Susi A. Wilujeng, ST., MT 1 Latar Belakang 2 Salah satu faktor penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, energi menjadi persoalan yang krusial di dunia, dimana peningkatan permintaan akan energi yang berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam negeri sehingga untuk menutupinya pemerintah mengimpor BBM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam negeri sehingga untuk menutupinya pemerintah mengimpor BBM BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Masyarakat di Indonesia Konsumsi bahan bakar fosil di Indonesia sangat problematik, hal ini di karenakan konsumsi bahan bakar minyak ( BBM ) melebihi produksi dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri yang sangat potensial dan berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia telah menyumbang

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN BIOGAS DARI CAMPURAN AMPAS TAHU DAN KOTORAN SAPI : EFEK KOMPOSISI

LAPORAN PENELITIAN BIOGAS DARI CAMPURAN AMPAS TAHU DAN KOTORAN SAPI : EFEK KOMPOSISI LAPORAN PENELITIAN BIOGAS DARI CAMPURAN AMPAS TAHU DAN KOTORAN SAPI : EFEK KOMPOSISI Oleh: LAILAN NI MAH, ST., M.Eng. Dibiayai Sendiri Dengan Keputusan Dekan Nomor: 276d/H8.1.31/PL/2013 FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

TINJAUAN LITERATUR. Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari

TINJAUAN LITERATUR. Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari TINJAUAN LITERATUR Biogas Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan suatu gas yang sebahagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan energi gas memang sudah dilakukan sejak dahulu. Pemanfaatan energi. berjuta-juta tahun untuk proses pembentukannya.

BAB I PENDAHULUAN. dan energi gas memang sudah dilakukan sejak dahulu. Pemanfaatan energi. berjuta-juta tahun untuk proses pembentukannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Energi mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua aktivitas manusia sangat tergantung pada energi. Berbagai alat pendukung, seperti alat penerangan,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Mei 2008. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan Volume 2, Nomor 1, Januari 2010, Halaman 43 54 ISSN: 2085 1227 Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Teknik Lingkungan,

Lebih terperinci

SNTMUT ISBN:

SNTMUT ISBN: PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK (BUAH - BUAHAN) PASAR TUGU MENJADI BIOGAS DENGAN MENGGUNAKAN STARTER KOTORAN SAPI DAN PENGARUH PENAMBAHAN UREA SECARA ANAEROBIK PADA REAKTOR BATCH Cici Yuliani 1), Panca Nugrahini

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013 Sejarah Biogas BIOGAS (1770) Ilmuwan di eropa menemukan gas di rawa-rawa. (1875) Avogadro biogas merupakan produk proses anaerobik atau proses fermentasi. (1884) Pasteur penelitian biogas menggunakan kotoran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI BIOETANOL MELALUI PROSES ANAEROB (FERMENTASI)

PEMBUATAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI BIOETANOL MELALUI PROSES ANAEROB (FERMENTASI) PEMBUATAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI BIOETANOL MELALUI PROSES ANAEROB (FERMENTASI) Dwi Setiana Wati, Rukmanasari Dwi Prasetyani Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL Pada penelitian pendahuluan-1 digunakan beberapa jenis bahan untuk proses degradasi anaerobik. Jenis bahan tersebut diantaranya adalah kulit pisang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob). Komponen dalam biogas terdiri

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu

Lebih terperinci

Pengolahan Limbah Cair Tahu secara Anaerob menggunakan Sistem Batch

Pengolahan Limbah Cair Tahu secara Anaerob menggunakan Sistem Batch Reka Lingkungan Teknik Lingkungan Itenas No.1 Vol.2 Jurnal Institut Teknologi Nasional [Pebruari 2014] Pengolahan Limbah Cair Tahu secara Anaerob menggunakan Sistem Batch ANGRAINI 1, MUMU SUTISNA 2,YULIANTI

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi anaerob. Pembentukan biogas berlangsung melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini masalah sampah menjadi permasalahan yang sangat serius terutama bagi kota-kota besar seperti Kota Bandung salah satunya. Salah satu jenis sampah yaitu sampah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah perlunya usaha untuk mengendalikan akibat dari peningkatan timbulan

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah perlunya usaha untuk mengendalikan akibat dari peningkatan timbulan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk memberikan efek negatif, salah satunya adalah terjadinya peningkatan timbulan sampah. Konsekuensi dari permasalahan ini adalah perlunya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Bedding kuda didapat dan dibawa langsung dari peternakan kuda Nusantara Polo Club Cibinong lalu dilakukan pembuatan kompos di Labolatorium Pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang cepat dan perkembangan industri yang terus meningkat menyebabkan permintaan energi cukup besar. Eksploitasi sumber energi yang paling banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biogas

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biogas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Pembentukan biogas berlangsung melalui suatu proses fermentasi anaerob atau tidak berhubungan dengan udara bebas. Proses fermentasinya merupakan suatu oksidasi - reduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Timbulnya kelangkaan bahan bakar minyak yang disebabkan oleh ketidakstabilan harga minyak dunia, maka pemerintah mengajak masyarakat untuk mengatasi masalah energi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB Darmaga dan berbagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan bahan organik oleh mikroorganisme (bakteri) dalam kondisi tanpa udara (anaerobik). Bakteri ini

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu. Suhu o C IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap 1. Pengomposan Awal Pengomposan awal bertujuan untuk melayukan tongkol jagung, ampas tebu dan sabut kelapa. Selain itu pengomposan awal bertujuan agar larva kumbang

Lebih terperinci

1. Limbah Cair Tahu. Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output. Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg. Tahu 80 kg. manusia. Proses. Ampas tahu 70 kg Ternak

1. Limbah Cair Tahu. Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output. Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg. Tahu 80 kg. manusia. Proses. Ampas tahu 70 kg Ternak 1. Limbah Cair Tahu. Tabel Kandungan Limbah Cair Tahu Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg Proses Tahu 80 kg manusia Ampas tahu 70 kg Ternak Whey 2610 Kg Limbah Diagram

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Unsur Hara Makro Serasah Daun Bambu Analisis unsur hara makro pada kedua sampel menunjukkan bahwa rasio C/N pada serasah daun bambu cukup tinggi yaitu mencapai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Kandungan Limbah Lumpur (Sludge) Tahap awal penelitian adalah melakukan analisi kandungan lumpur. Berdasarkan hasil analisa oleh Laboratorium Pengujian, Departemen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sifat fisik. mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sifat fisik. mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai VI. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat fisik 1. Suhu kompos Pengamatan suhu dilakukan untuk mengetahui perubahan aktivitas mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai bahan organik.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Dan Analisis Data Pada penelitian ini parameter yang digunakan adalah kadar C-organik dan nilai Total Suspended Solid (TSS). Pengaruh perbandingan konsentrasi

Lebih terperinci

Analisis Kelayakan Ekonomi Alat Pengolah Sampah Organik Rumah Tangga Menjadi Biogas

Analisis Kelayakan Ekonomi Alat Pengolah Sampah Organik Rumah Tangga Menjadi Biogas Analisis Kelayakan Ekonomi Alat Pengolah Sampah Organik Rumah Tangga Menjadi Biogas Tofik Hidayat*, Mustaqim*, Laely Dewi P** *PS Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Pancasakti Tegal ** Dinas Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan sumber energi fosil yang semakin menipis, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan sumber energi fosil yang semakin menipis, sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan sumber energi fosil yang semakin menipis, sedangkan kebutuhan energi semakin meningkat menyebabkan adanya pertumbuhan minat terhadap sumber energi alternatif.

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto, 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Limbah Ternak 2.1.1. Deksripsi Limbah Ternak Limbah didefinisikan sebagai bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses atau kegiatan manusia dan tidak digunakan lagi pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari perombakan bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Bahan organik dapat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahanbahan organik termasuk diantaranya; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo selama 3.minggu dan tahap analisis

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN KERANGKA PEMIKIRAN

3. METODE PENELITIAN KERANGKA PEMIKIRAN 3. METODE PENELITIAN 3. 1. KERANGKA PEMIKIRAN Ide dasar penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu teknik pengolahan limbah pertanian, yaitu suatu sistem pengolahan limbah pertanian yang sederhana,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PERKEMBANGAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA Indonesia berada pada posisi terdepan industri kelapa sawit dunia. Panen rata-rata tahunan minyak sawit mentah Indonesia meningkat sebesar

Lebih terperinci

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL A PENGEMBANGAN PROSES DEGRADASI SAMPAH ORGANIK UNTUK PRODUKSI BIOGAS DAN PUPUK

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL A PENGEMBANGAN PROSES DEGRADASI SAMPAH ORGANIK UNTUK PRODUKSI BIOGAS DAN PUPUK MAKALAH PENDAMPING : PARALEL A SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA IV Peran Riset dan Pembelajaran Kimia dalam Peningkatan Kompetensi Profesional Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Bel akang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Bel akang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa sekarang ini bukan hanya pertumbuhan penduduk saja yang berkembang secara cepat tetapi pertumbuhan di bidang industri pemakai energi pun mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 39 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Rata-Rata Jumlah Bakteri yang Terdapat pada Feses Sapi Potong Sebelum (inlet) dan Sesudah (outlet) Proses Pembentukan Biogas dalam Reaktor Tipe Fixed-Dome Hasil perhitungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat terhadap pentingnya protein hewani, maka permintaan masyarakat

PENDAHULUAN. masyarakat terhadap pentingnya protein hewani, maka permintaan masyarakat 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi yang baik di bidang peternakan, seperti halnya peternakan sapi potong. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Perubahan Fisik 1. Suhu Kompos Temperatur merupakan penentu dalam aktivitas dekomposisi. Pengamatan dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber pendapatan, juga memiliki sisi negatif yaitu berupa limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan oleh

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa)

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa) PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa) Irvan, Permata Mhardela, Bambang Trisakti Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci