Laporan Analisis Kebijakan
|
|
- Fanny Sumadi
- 5 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Laporan Analisis Kebijakan TINGKAT PARTISIPASI DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA YANG MENGKONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI Oleh: Mewa Ariani Achmad Suryana Handewi P. Saliem Sri Hastuti PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN Bogor, September 2016
2 TINGKAT PARTISIPASI DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA YANG MENGKONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI PENDAHULUAN Tingkat partisipasi konsumsi adalah proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi jenis pangan tertentu terhadap total sampel atau populasi rumah tangga. Informasi ini secara khusus dikaji dalam konteks analisis kebijakan (anjak) untuk mengetahui proporsi rumah tangga yang benar-benar mengkonsumsi jenis pangan tertentu dan besarnya rata-rata konsumsi per kapita dari rumah tangga yang mengkonsumsi tersebut. Dengan mengetahui besarnya proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi pangan tertentu, perumusan kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan produksi, stabilisasi harga, neraca ketersediaan pangan, sampai pada intervensi gizi dapat dirumuskan dengan lebih tajam. Program dan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dirancang agar sasarannya dapat diidentifikasi dengan lebih tepat sehingga pencapaian sasaran tersebut dapat dicapai dengan lebih efisien dan efektif. Sebagai contoh program atau kegiatan yang bertujuan meningkatkan kualitas konsumsi pangan dan gizi dengan meningkatkan konsumsi protein hewani, pilihan jenis pangan yang dimanfaatkan serta wilayah dan kelompok pendapatan yang menjadi sasaran kegiatan dapat diidentifikasi dengan lebih tajam. Selain itu, efisiensi biaya dapat dicapai dengan mengidentifikasi pangan yang lebih tepat, yaitu jenis pangan atau makanan yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Dengan mengetahui angka partisipasi konsumsi dapat dipilih jenis pangan hewani yang dapat secara efisien mencapai sasaran program/kegiatan. Dalam anjak ini analisis dilakukan pada wilayah (pedesaan dan perkotaan), kelompok pendapatan, dan antar waktu. Keragaan antar Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Untuk pangan hasil peternakan, secara nasional tingkat partisipasi konsumsi paling tinggi adalah telur yang mencapai 73,8%, diikuti daging sebesar 38,5%, dan susu 31,6%. Untuk hasil perikanan, tingkat partisipasi konsumsi tertinggi adalah ikan laut sebesar 58,6%, sedangkan untuk ikan air tawar sebesar 32,3%. Ikan asin, baik tawar atau laut tingkat partisipasinya cukup tinggi, sekitar 51,2%. Tingkat partisipasi konsumsi hasil peternakan di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Untuk konsumsi daging, tingkat partisipasi konsumsi di perkotaan lebih dari 50% sementara di pedesaan sekitar 30%. Tingkat partisipasi konsumsi telur di kota mencapai 83% dan di desa sebesar 67%. Keragaan berbeda ditunjukkan oleh tingkat partisipasi konsumsi hasil perikanan. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga untuk ikan laut dan ikan asin sedikit lebih tinggi di pedesaan, sedangkan untuk ikan air tawar kebalikannya, yaitu lebih tinggi perkotaan (Tabel 1). Bila kita amati kehidupan rumah tangga di pedesaan yang memiliki pekarangan relatif luas 1
3 dibandingkan di perkotaan. Ibu dan/atau anggota rumah tangga dapat memelihara ternak ruminansia (umumnya dikandangkan), ayam (dikandangkan atau dilepas), dan ikan air tawar di kolam kecil; namun angka partipasi konsumsi hasil peternakan dan ikan air tawar lebih tinggi di perkotaan. Kondisi ini menggambarkan bahwa kegiatan memelihara ternak dan ikan oleh rumah tangga pada lahan pekarangan di pedesaan sebagian besar bukan untuk dikonsumsi sendiri melainkan sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan atau sumber dana (cash) bagi keluarga. Tabel 1. Tingkat Partisipasi Rumah Tangga untuk Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani, 2014 (%) Pangan Sumber Protein Hewani Indonesia Pedesaan Perkotaan Hasil Peternakan -Daging 38,5 29,9 50,1 -Telur 73,8 67,4 82,5 -Susu 31,6 24,4 41,2 Hasil Perikanan -Ikan Laut 58,6 59,7 57,0 -Ikan air tawar 32,3 30,1 35,3 -Ikan asin 51,2 53,6 48,0 Penelusuran lebih lanjut untuk beberapa jenis pangan hasil peternakan, diketahui angka partisipasi konsumsi rumah tangga untuk telur ayam ras dan daging ayam ras menempati dua posisi tertinggi, masing-masing 68,5% dan 29,4%. Sementara itu, angka partisipasi konsumsi daging sapi hanya 3,8%, hampir sama dengan tingkat partisipasi untuk ayam kampung (3,7%) dan sedikit lebih tinggi dari daging babi (3,3%). Untuk tingkat partisipasi konsumsi daging sapi, angka di perkotaan sebesar 6,6% dan di pedesaan 1,7%. Proporsi rumah tangga di perkotaan yang mengkonsumsi sebagian besar jenis pangan hasil peternakan lebih tinggi dari di pedesaan (Tabel 2). Tabel 2. Tingkat Partisipasi Konsumsi Rumah Tangga untuk Pangan Hasil Peternakan, 2014 (%) Pangan Hasil Ternak Indonesia Pedesaan Perkotaan Telur ayam ras 68,5 60,9 78,8 Daging ayam ras 29,4 20,2 41,9 Susu kental manis 16,8 15,1 19,2 Susu bubuk 8,3 4,2 13,8 Telur ayam kampung 5,2 6,0 4,1 Daging sapi 3,8 1,7 6,6 Daging ayam kampung 3,7 4,1 3,2 Daging babi 3,3 4,1 2,1 2
4 Hampir 80% rumah tangga perkotaan mengkonsumsi telur ayam ras, sementara angka tersebut untuk rumah tangga pedesaan sekitar 61%. Untuk konsumsi daging ayam ras, angka partisipasi konsumsi rumah tangga perkotaan sebesar 41,9%, atau dua kali lipat dari angka tersebut di pedesaan (20,2%). Angka partisipasi konsumsi susu kental manis di perkotaan (19,2%) lebih tinggi dibandingkan di pedesaan (15,1%), seperti disajikan dalam Tabel 2. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga untuk sumber protein hewani dari hasil perikanan berdasarkan jenis ikan berkisar antara 6% (terendah, ikan mas) sampai 24% (tertinggi, ikan tongkol). Yang populer dikonsumsi oleh masyarakat, selain ikan tongkol/tuna/cakalang adalah ikan asin teri (21%), ikan laut kembung (15%) dan ikan air tawar mujair dan bandeng (>10%), seperti disajikan dalam Tabel 3. Kecuali untuk udang, walaupun ada perbedaan angka partisipasi konsumsi beberapa jenis ikan, tetapi perbedaan tersebut tidak melebihi 50%. Untuk udang tingkat partisipasi konsumsi di perkotaan (11,3%) sekitar dua lipat dibandingkan di pedesaan (5,2%). Tabel 3. Tingkat Partisipasi Konsumsi Rumah Tangga untuk Pangan Hasil Perikanan, 2014 (%) Pangan Hasil Perikanan Indonesia Pedesaan Perkotaan Tongkol/tuna/cakalang 23,9 24,0 23,8 Ikan asin teri 20,6 12,0 18,5 Ikan laut kembung 14,8 15,1 19,2 Ikan air tawar mujair 10,8 9,7 12,3 Ikan air tawar bandeng 10,0 9,4 10,7 Udang 7,8 5,2 11,3 Ikan laut teri 5,5 5,5 5,5 Ikan air tawar mas 5,5 4,9 6,4. Jika disandingkan dengan pangan hasil peternakan dan perikanan, angkaangka partisipasi konsumsi jenis pangan yang dikaji dalam anjak ini memiliki keragaan yang relatif serupa, di bawah 20%, kecuali untuk telur ayam ras, daging ayam ras, dan ikan laut tongkol/tuna/cakalang. Secara umum tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga untuk hasil perikanan di perkotaan lebih tinggi dibanding di pedesaan, kecuali untuk tongkol/tuna/cakalang. Sementara itu, tingkat partisipasi konsumsi pangan hasil perikanan relatif lebih tinggi dari pangan hasil peternakan. Dari sisi penyediaan pangan sumber protein hewani, kampanye gemar makan ikan air tawar ataupun ikan laut masih harus ditingkatkan lebih gencar lagi melalui sosialisasi dan komunikasi yang lebih efektif. Ikan merupakan sumber protein per gram yang lebih murah dan lebih sehat dibandingkan dengan daging merah. Konsumsi sumber protein hewani per kapita pada tahun 2014 antara rata-rata nasional dengan rata-rata yang mengkonsumsi berbeda jauh, yang menggambarkan volume konsumsi per kapita dari rumah tangga yang mengkonsumsi sudah cukup tinggi. Tabel 4 menunjukkan pada tahun 2014 tingkat konsumsi daging, telur, dan 3
5 susu per kapita kelompok rumah tangga yang mengkonsumsi pangan tersebut masing-masing sebesar 13,6 kg, 9,0 kg, dan 6,3 kg. Dibandingkan dengan rata-rata konsumsi per kapita penduduk Indonesia, tingkat konsumsi/kapita dari kelompok yang mengkonsumsi tersebut untuk daging 2,6 lipat; telur 1,4 lipat; dan susu 3,2 lipat dari rata-rata nasional. Walaupun belum termasuk tinggi dibandingkan standar negara maju atau capaian negara tetangga Malaysia dan Thailand, tetapi volume konsumsi ini sudah relatif besar. Namun sekali lagi, angka ini hanya rata-rata bagi rumah tangga yang mengkonsumsi, yang angka partisipasinya masih kecil, seperti telah didiskusikan di bagian atas. Untuk produk hasil perikanan, rata-rata konsumsi per kapita dari kelompok pengkonsumsi pangan ini untuk ikan laut sebesar 23,87 kg, ikan air tawar 15,32 kg dan ikan asin 4,60 kg, atau 1,7; 3,1; dan 1,9 lipat dari rata-rata tingkat konsumsi per kapita secara agregat untuk masing-masing komoditas tersebut (Tabel 4). Dari gambaran di atas, ikan laut cukup dominan sebagai sumber protein hewani dari perikanan, karena baik angka partisipasi maupun tingkat konsumsi paling tinggi dibandingkan jenis ikan lainnya. Tabel 4. Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani per Kapita, Rata-rata Nasional dan Ratarata yang Mengkonsumsi, 2014 Pangan Sumber Protein Hewani Rata-rata nasional (kg) Rata-rata yang mengkonsumsi (kg) Rasio yang mengkonsumsi/ rata-rata nasional Daging 5,24 13,61 2,6 Telur 6,65 9,00 1,4 Susu 1,98 6,26 3,2 Ikan laut 13,98 23,87 1,7 Ikan air tawar 4,96 15,32 3,1 Ikan asin 2,36 4,60 1,9 Rincian konsumsi per kapita untuk jenis pangan sumber protein hewani hasil peternakan disajikan dalam Tabel 5. Terdapat perbedaan yang cukup besar untuk rata-rata konsumsi per kapita antara di pedesaan dan perkotaan untuk daging sapi (0,13 kg dan 0,45 kg) dan daging ayam ras (2,44 kg dan 5,01 kg). Konsumsi per kapita di pedesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan terjadi untuk daging kerbau, daging ayam kampung dan telur ayam kampung. Rata-rata konsumsi per kapita dari rumah tangga yang mengkonsumsi pangan tersebut yang volumenya lebih tinggi di pedesaan hanya terjadi untuk daging sapi dan kerbau, serta daging unggas (ayam ras dan kampung). Untuk telur dan susu terjadi sebaliknya, konsumsi per kapita di perkotaan lebih tinggi dibanding di pedesaan. Di perkotaan, rata-rata konsumsi per kapita dari rumah tangga yang mengkonsumsi untuk daging sapi 6,8 kg, kerbau 6,5 kg, dan kambing/domba 10,2 kg. Untuk pangan hasil ternak lainnya, rata-rata konsumsi per kapita tersebut adalah 4
6 12,0 kg ayam ras, 14,9 kg ayam kampung, 9,3 kg telur ayam ras, 4,8 telur ayam kampung, dan 10,6 susu murni. Volume konsumsi per kapita ini cukup besar, namun hanya terjadi pada sebagian kelompok orang yang mengkonsumsinya, seperti terlihat dari angka partisipasi di atas. Tabel 5. Konsumsi Pangan Hasil Peternakan Rata-rata Nasional dan Rata-rata yang Mengkonsumsi di Pedesaan dan Perkotaan, 2014 (Kg/kapita) Pangan Hasil Ternak Rata-rata nasional Rata-rata yang konsumsi Desa Kota Desa Kota Daging ruminansia - Sapi 0,13 0,45 8,04 6,82 - Kerbau 0,03 0,01 7,53 6,49 - Kambing/domba 0,02 0,02 9,90 10,20 Daging unggas - Ayam ras 2,44 5,01 12,08 11,97 - Ayam kampung 0,65 0,48 16,08 14,91 Telur - Ayam ras 5,26 7,32 8,63 9,29 - Ayam kampung 0,24 0,20 3,91 4,75 - Itik 0,17 0,15 5,89 6,29 - Asin 0,04 0,10 3,41 3,67 Susu - Murni 0,01 0,08 10,29 10,58 - Kental manis 0,52 0,70 3,47 3,67 - Bubuk 0,35 1,27 8,38 9,20 Sumber: Susenas Keragaan Antar Waktu: Selama periode enam tahun ( ) tidak ada perkembangan yang signifikan dari angka partisipasi konsumsi rumah tangga untuk pangan hasil peternakan. Angka partisipasi konsumsi daging selama periode tersebut dapat dikatakan stagnan pada level rendah, malahan untuk daging sapi menurun dari 5,2% tahun 2008 menjadi 3,8% tahun Demikian juga untuk angka partisipasi konsumsi susu kental manis. Untuk daging ayam ras dan telur ayam ras angka partisipasi konsumsi tersebut meningkat walaupun dengan percepatan yang lamban, yaitu dari 26,3% menjadi 29,4% untuk daging ayam ras dan dari 66,2% menjadi 68,5% untuk telur ayam ras (Tabel 6). Tabel 7 menyajikan rata-rata konsumsi per kapita untuk jenis pangan sumber protein hewani dari kelompok penduduk yang mengkonsumsi tahun 2008 dan Untuk kelompok rumah tangga yang mengkonsumsi, rata-rata konsumsi pangan ternak per kapita pada tahun 2014 untuk daging sapi dan kerbau masing-masing sekitar 7 kg, daging kambing/domba 10 kg, daging ayam ras 12 kg dan daging ayam kampung 16 kg. Untuk pangan kelompok telur, tingkat konsumsi per kapita telur 5
7 ayam ras, telur ayam kampung, telur itik, dan telur asin masing-masing sekitar 9 kg, 4 kg, 6 kg dan 4 kg, sedangkan untuk susu murni mencapai 11 kg. Tabel 6. Perkembangan Tingkat Partisipasi Rumah Tangga untuk Konsumsi Pangan Hasil Peternakan, 2008, 2011 dan 2014 (%) Pangan Hasil Ternak Daging ruminansia - Sapi 5,2 5,4 3,8 - Kerbau 0,3 0,5 0,3 - Kambing/domba 0,4 0,3 0,2 - Babi 2,6 3,7 3,3 Daging ungags - Ayam ras 26,3 26,5 29,4 - Ayam kampung 4,7 4,4 3,7 - Lainnya 5,9 5,0 5,0 Telur - Ayam ras 66,2 65,2 68,5 - Ayam kampung 7,6 6,5 5,2 - Itik 4,4 3,7 2,7 - Asin 2,7 2,0 1,8 Susu - Murni 0,4 0,4 0,4 - Kental manis 17,3 17,2 16,8 - Bubuk 8,7 7,8 8,3 Dibandingkan dengan keragaan tahun 2008, tingkat konsumsi pangan sumber protein hewani dari rumah tangga yang mengkonsumsi pada tahun 2014 semuanya lebih tinggi, kecuali untuk susu murni dan susu kental manis. Peningkatan konsumsi per kapita/tahun dalam periode tersebut relatif rendah, yaitu 0,9% untuk daging ayam ras; 0,6% untuk telur ayam ras; dan 2,8% untuk daging sapi. Dengan memahami Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia yang meningkat sekitar 5% setiap tahun selama periode , keragaan ini menunjukkan (1) tingkat konsumsi per kapita rumah tangga yang mengkonsumsi pangan hasil peternakan masih rendah dan (2) komoditas pangan hasil peternakan mempunyai elatisitas pendapatan positif. 6
8 Tabel 7. Rata-rata Konsumsi Pangan Rumah Tangga yang Mengkonsumsi Pangan Hasil Peternakan, 2008 dan 2014 (Kg/kapita) Pangan Hasil Ternak Rata-rata konsumsi Daging ruminansia - Sapi 6,12 7,13 - Kerbau 7,08 7,20 - Kambing/domba 7,67 10,02 Daging ungas - Ayam ras 11,41 12,01 - Ayam kampung 13,67 15,62 Telur - Ayam ras 8,63 8,96 - Ayam kampung 4,03 4,20 - Itik 5,95 6,04 - Asin 3,56 3,58 Susu - Murni 11,08 10,54 - Kental manis 3,72 3,57 - Bubuk 8,96 8,98 Keragaan antar Kelompok Pendapatan Sesuai dengan teori ilmu ekonomi, karena pangan hasil peternakan memiliki elastisitas permintaan yang positif dan elastis (>1), maka makin tinggi pendapatan rumahtangga makin besar proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi daging, telur, dan susu. Tabel 8 mengkonfirmasi kebenaran teori tersebut. Pada kelompok rumah tangga sepertiga terbawah atau kelompok pendapatan rendah, tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga tersebut untuk daging sapi di bawah 1% (0,9%), malahan untuk daging kerbau hanya 0,3%, dan untuk daging kambing/domba hanya 0,1%. Dengan meningkatnya pendapatan, angka partisipasi konsumsi daging sapi meningkat, yaitu menjadi 3.4% untuk kelompok berpendapatan sedang dan 10,3% untuk kelompok berpendapatan tinggi. Perilaku yang sama terjadi pada angka partisipasi konsumsi untuk kelompok daging unggas, telur, dan susu. Angka partisipasi konsumsi daging ayam ras pada rumah tangga berpendapatan tinggi (sepertiga teratas) cukup tinggi, sekitar 43% dan pada sepertiga kelompok pendapatan terbawah angka tersebut kurang dari setengahnya, yaitu hanya 18%. Pada pangan kelompok telur, tingkat partisipasi konsumsi telur ayam ras pada sepertiga rumah tangga berpendapatan terbawah cukup tinggi, yaitu 62,4%, meningkat menjadi 73,5% untuk kelompok berpendapatan sedang, dan turun menjadi 71,0% pada kelompok berpendapatan tinggi. Walaupun anjak ini tidak mengkaji penyebab pola konsumsi tersebut secara mendalam, pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi patut diperkirakan dalam pemilihan paket makanannya pertimbangan kesehatan menjadi salah satu 7
9 unsur yang penting. Isu banyaknya kandungan kolesterol pada kuning telur menyebabkan rumah tangga berpendapatan tinggi mulai mengurangi konsumsi telur. Tabel 8. Tingkat Partisipasi Rumah Tangga untuk Konsumsi Pangan Hasil Peternakan Berdasarkan Kelompok Pendapatan, 2014 (%) Pangan Hasil Kelompok Pendapatan Ternak Rendah Sedang Tinggi Daging ruminansia - Sapi 0,9 3,4 10,3 - Kerbau 0,3 0,2 0,4 - Kambing/domba 0,1 0,2 0,3 - Babi 3,0 3,1 4,2 Daging ungas - Ayam ras 17,8 34,5 42,6 - Ayam kampung 2,4 4,1 5,6 - Lainnya 2,6 5,4 9,2 Telur - Ayam ras 62,4 73,5 71,0 - Ayam kampung 4,9 5,2 5,8 - Itik 1,9 3,1 3,4 - Asin 1,0 2,0 3,0 Susu - Murni 0,2 0,4 0,9 - Kental manis 12,1 19,5 21,1 - Bubuk 3,0 8,2 19,0 DKI Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat partisipasi konsumsi tertinggi untuk daging secara keseluruhan (62,7%), diikuti Jawa Barat (55,1%) dan Kalimantan Selatan (46,9%). Dalam kelompok pangan daging, terdapat daging sapi dan daging ayam ras yang angka partisipasi konsumsinya terbesar yaitu di Jakarta. Angka partisipasi konsumsi rumah tangga untuk daging sapi di Sumatera Barat dan Jawa Timur berada di urutan kedua dan ketiga setelah Jakarta. Sementara itu untuk tingkat partisipasi konsumsi daging ayam ras, tiga provinsi dengan angka partisipasi tertinggi adalah Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Walaupun demikian, perbedaan angka partisipasi tersebut relatif dekat, yaitu sekitar 5% untuk Jakarta dan Jawa Barat, dan 8% antara Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Tabel 9 menyajikan angka-angka tersebut, dan secara konsisten menunjukkan bahwa di tiga provinsi dengan angka partisipasi tinggi sekalipun, tingkat partisipasi konsumsi daging sapi relatif rendah yaitu sekitar 10. Tingkat partisipasi konsumsi di tiga provinsi tertinggi masing-masing sebesar 80% untuk telur dan 50% untuk daging ayam ras. 8
10 Dengan karakter ekonomi terintegratif dengan ekonomi global dan dengan penduduk sekitar 20 juta jiwa, Jakarta lantas menjadi pasar produk pangan, dalam hal ini hasil-hasil peternakan. Sementara Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan juga mengkonsumsi protein hewani dengan angka partisipasi konsumsi yang cukup besar, namun ketiga provinsi ini juga produsen produk hasil peternakan tersebut. Dengan demikian, sekali lagi dapat dipahami bila harga pangan hasil peternakan di Jakarta lebih volatil dari provinsi lainnya. Untuk provinsi di luar Jakarta, volatilitas harga pangan hasil peternakan lebih disebabkan oleh adanya informasi harga yang mengalir cepat dari pusat pasar di Jakarta yang disikapi cepat oleh para pelaku pasar, bukan hanya karena kekurangan pasokan. Tabel 9. Tingkat Partisipasi Konsumsi Rumah Tangga untuk Konsumsi Pangan Hasil Peternakan dari Tiga Provinsi Tertinggi, 2014 Pangan Provinsi Tingkat Partisipasi (%) Daging (total) DKI Jakarta 62.7 Jawa Barat 55,1 Kalimantan Selatan 46,9 Daging sapi DKI Jakarta 11,2 Sumatera Barat 9,4 Jawa Timur 9,2 Daging ayam ras DKI Jakarta 54,7 Jawa Barat 49,1 Kalimantan Selatan 41,0 Telur ayam ras Jawa Barat 85,6 DKI Jakarta 83,3 Jawa Timur 76,8 Sesuai dengan yang diperkirakan, tingkat konsumsi pangan sumber protein hewani berdasarkan kelompok pendapatan memperlihatkan bahwa semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi pula konsumsi per kapita pangan sumber protein hewani (Tabel 10). Konsumsi daging ayam (ras dan kampung) per kapita pada tahun 2014 pada rumah tangga kelompok masyarakat berpendapatan rendah, sedang, dan tinggi masing-masing sebesar 19,1 kg; 27,7 kg; dan 36,7 kg; untuk daging sapi, angka tersebut adalah 4,0 kg; 5,6 kg; dan 8,7 kg. Gambaran yang sama ditunjukkan untuk tingkat konsumsi telur ayam (ras dan kampung), yaitu masing-masing sebesar 9,8 kg; 13,4 kg; dan 18,4 kg. 9
11 Tabel 10. Rata-rata Konsumsi Rumah Tangga yang Mengkonsumsi Pangan Hasil Peternakan Berdasarkan Kelompok Pendapatan, 2014 Pangan Hasil Ternak Kelompok Pendapatan (kg/kapita) Rendah Sedang Tinggi Daging ruminansia - Sapi 4,0 5,6 8,7 - Kerbau 5,5 7,6 9,7 - Kambing/domba ,3 13,5 - Babi 9,8 13,3 17,1 Daging unggas - Ayam ras 7,6 11,4 16,7 - Ayam kampung 11,5 16,3 20,0 Telur - Ayam ras 6,7 9,3 12,2 - Ayam kampung 3,1 4,1 6,2 - Itik 4,4 5,9 8,1 - Asin 2,4 3,2 4,8 Susu - Murni 7,1 8,1 13,6 - Kental manis 2,1 3,5 4,8 - Bubuk 5,5 7,7 11,2 Perilaku yang sama terjadi juga pada konsumsi hasil perikanan. Rumah tangga kelompok berpendapatan rendah yang mengkonsumsi ikan laut dan ikan air tawar sebesar 18,8 dan 11,8 kg perkapita. Pada kelompok rumah tangga berpendapatan sedang sebesar 24,7 kg dan 15,2 kg, dan pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi menjadi 31,0 kg dan 20,4 kg. Perilaku agak berbeda ditunjukkan oleh konsumsi ikan asin, walau masih terjadi peningkatan. Dengan adanya perbedaan kelas pendapatan, tingkat konsumsi ikan asin per kapita meningkat namun relatif kecil, yaitu dari 4,1 kg untuk kelompok berpendapatan rendah menjadi 4,8 untuk pendapatan sedang dan 5,6 kg untuk pendapatan tinggi (Tabel 11). Sekali lagi, penjelasan untuk konsumsi telur dari persepsi konsumen tentang pangan dan kesehatan, dapat diterapkan kepada ikan asin terkait dengan dampaknya terhadap tekanan darah tinggi. Tabel 11. Rata-rata Konsumsi Rumah Tangga yang Mengkonsumsi Pangan Hasil Perikanan Berdasarkan Kelompok Pendapatan, 2014 Pangan Hasil Perikanan Kelompok Pendapatan (kg/kapita) Rendah Sedang Tinggi Ikan laut 18,8 24,7 31,0 Ikan air tawar 11,8 15,2 20,4 Ikan asin 4,1 4,8 5,6 Udang 7,5 8,8 12,4 10
12 KESIMPULAN DAN TINDAK LANJUT Dari keragaan tingkat partisipasi dan volume konsumsi per kapita pangan sumber protein hewani seperti didiskusikan di atas, dapat disimpulkan dan dirumuskan beberapa alternatif kebijakan pembangunan pangan sebagai berikut: 1. Telur ayam ras sudah terbiasa dikonsumsi oleh rumah tangga baik di pedesaan maupun perkotaan. Partisipasi rumah tangga yang mengkonsumsi telur ayam ras yang paling tinggi dari keseluruhan pangan sumber protein hewani yang dikaji. Karena harga telur ayam ras relatif murah dibandingkan produk pangan hewani lainnya, kemampuan produksi telur secara nasional sudah dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan teknologi untuk meningkatkan produksi telur sesuai peningkatan permintaan sudah dikuasai, telur ayam dapat dijadikan sebagai bahan pangan sumber protein hewani yang relatif murah untuk memperbaiki kualitas konsumsi protein hewani masyarakat. 2. Rumah tangga di pedesaan memelihara ternak di lahan pekarangan dengan skala kecil/rumah tangga, sebagian besar bukan ditujukan sebagai sumber protein bagi keluarganya dan bukan pula sebagai usaha komersial, tetapi sebagai sumber dana/uang bila diperlukan untuk keperluan rumah tangga yang mendadak atau penting. Pernyataan ini didukung oleh temuan angka partisipasi konsumsi pangan hasil peternakan di pedesaan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan tingkat partisipasi konsumsi di perkotaan. Temuan lain menunjukkan tingkat partisipasi dan konsumsi per kapita hasil peternakan dan perikanan dari rumah tangga berpendapatan tinggi cukup tinggi. Diketahui pula makin tinggi pendapatan, makin tinggi pula konsumsi per kapita untuk pangan sumber protein hewani. 3. Fakta pada butir (2) dapat dimanfaatkan dalam penyusunan kebijakan upaya perbaikan pola konsumsi pangan masyarakat, yaitu: (a) perbaikan pola konsumsi pangan menuju Beragam Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA) akan terjadi bila terjadi perbaikan pendapatan perseorangan atau rumah tangga dan (b) intervensi langsung yang dapat dilakukan adalah: (i) sosialisasi dan pendidikan tentang pangan dan gizi, khususnya pola konsumsi B2SA lebih diintensifkan bagi semua lapisan masyarakat dan (ii) pemberian tambahan makanan, khususnya sumber protein, bagi kelompok penduduk berpendapatan rendah, terutama yang rentan yaitu anak balita dan ibu hamil serta menyusui. 4. Hampir seluruh produksi daging dan telur ayam kampung dihasilkan dari usaha rumah tangga, sedikit dari usaha kecil dan menengah. Ternyata walaupun pengusahaannya berpola subsisten di pekarangan sempit, misal sebagian besar pakan dari limbah makanan rumah tangga dan pemeliharaannya tidak dikandangkan, tetapi budidaya ternak ayam kampung 11
13 oleh rumah tangga bukan untuk dikonsumsi sendiri namun sebagai sumber uang bagi rumah tangga. Ada pemeo menarik di pedesaan mengenai ayam kampung ini, yaitu: anggota rumah tangga sendiri hanya akan makan ayam kampung yang dipeliharanya apabila yang bersangkutan sakit atau ayamnya yang sakit. Dengan menyadari perilaku rumah tangga seperti ini, pemberdayaan rumah tangga untuk pengembangan usaha ayam kampung tetap perlu didorong dengan cepat karena akan menghasilkan tambahan pendapatan bagi rumah tangga sehingga meningkatkan kemampuan untuk meningkatkan volume dan keragaman pangan yang dikonsumsinya dan meningkatkan penyediaan pangan daging ayam kampung dan telur ayam kampung di pasar. 5. Daging sapi ternyata dikonsumsi sedikit rumah tangga, dengan angka partisipasi sekitar 4% (di kota 7% dan di desa 2%). Selama ini daging sapi dijadikan salah satu dari lima pangan penting yang diupayakan peningkatan produksinya untuk mencapai swasembada, namun sasaran tersebut belum pernah tercapai. Selain itu harga per kg daging sapi relatif mahal sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat berpendapatan rendah. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga untuk daging ayam ras cukup besar, yaitu sekitar 30%, dengan volume produksi domestik yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, dan harga per kg daging ayam (juga per gram protein) relatif murah dibandingkan daging sapi. Sehubungan itu, untuk mencapai sasaran yang lebih besar yaitu perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan kualitas pangan yang dikonsumsinya, sasaran swasembada daging sapi sebaiknya ditinjau kembali, diperluas menjadi sasaran swasembada daging, atau lebih luas lagi swasembada protein hewani asal peternakan, atau bahkan swasembada protein hewani asal ternak dan ikan. 6. Provinsi DKI Jakarta yang hampir seluruh wilayahnya berciri kota pada umumnya tidak memproduksi sendiri kebutuhan pangan untuk penduduknya, tetapi tingkat partisipasi konsumsi hasil-hasil peternakan ternyata paling tinggi diantara provinsi di Indonesia. Jakarta memenuhi kebutuhan pangannya dengan mendatangkan dari provinsi lain dan impor. Dapat dimengerti pada saat pasokan ke provinsi ini terganggu karena adanya gangguan dalam rantai pasok di dalam negeri (karena kondisi alam atau gangguan tranportasi) ataupun hambatan impor, maka pasokan pangan akan terganggu, dan akan segera direspon oleh pasar dalam bentuk kenaikan harga pangan. Sensitivitas pelaku pasar di Jakarta terhadap kelancaran pasokan pangan paling tinggi, sehinggi volatilitas harga pangan di Jakarta paling tinggi dibandingkan di kota besar lainnya di Indonesia. Berkaitan dengan jamiman stabilisasi penyediaan dan harga pangan sumber protein hewani di Jakarta, meningkatkan kelancaran alur pangan atau pemasaran pangan hasil peternakan dari pusat-pusat produksi dalam negeri ke Jakarta 12
14 perlu menjadi salah satu prioritas dari kebijakan pangan nasional. Perbaikan rantai pasok dan penyediaan pangan sampai pusat pasar sebaiknya menjadi tugas dan fungsi Direktorat Jenderal teknis di lingkup Kementerian Pertanian. 13
I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dengan kondisi daratan yang subur dan iklim yang menguntungkan. Pertanian menjadi sumber mata pencaharian sebagian penduduk dan berkontribusi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus diimbangi dengan kesadaran masyarakat akan arti penting peningkatan gizi dalam kehidupan. Hal
Lebih terperinciPRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA
PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA Oleh : I Wayan Rusast Abstrak Pertumbuhan ekonomi telah menggeser pola konsumsi dengan penyediaan produk pangan ternak yang lebih besar.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aktivitas ekonomi dalam agribisnis adalah bisnis peternakan. Agribisnis bidang ini utamanya dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kebutuhan masyarakat akan produk-produk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan utama suatu negara, tingkat
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan utama suatu negara, tingkat kesejahteraan masyarakat serta merta akan menjadi satu tolak ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan.
Lebih terperinciMASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PETERNAKAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT*)
MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PETERNAKAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT*) I. LATAR BELAKANG 1. Dalam waktu dekat akan terjadi perubahan struktur perdagangan komoditas pertanian (termasuk peternakan)
Lebih terperinciBab 4 P E T E R N A K A N
Bab 4 P E T E R N A K A N Ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Perkembangan populasi ternak utama
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu sub sektor pertanian yang mempunyai potensi yang sangat baik untuk menopang pembangunan pertanian di Indonesia adalah subsektor peternakan. Di Indonesia kebutuhan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih 220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sub sektor peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan sub sektor peternakan perlu untuk dilakukan karena sub
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat kearah protein hewani telah meningkatkan kebutuhan akan daging sapi. Program
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian dari pertumbuhan industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut (Muhammad Rasyaf. 2002).
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peternakan merupakan salah satu dari lima subsektor pertanian. Peternakan adalah kegiatan memelihara hewan ternak untuk dibudidayakan dan mendapatkan keuntungan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Populasi ternak sapi di Sumatera Barat sebesar 252
PENDAHULUAN Usaha pengembangan produksi ternak sapi potong di Sumatera Barat selalu dihadapi dengan masalah produktivitas yang rendah. Menurut Laporan Dinas Peternakan bekerja sama dengan Team Institute
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari sektor
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang berperan menyediakan pangan hewani berupa daging, susu, dan telur yang mengandung zat gizi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tabel I.1 Jumlah Unit Usaha di Indonesia Tahun (unit) (unit) 99,99 2. Usaha Besar (unit) (orang) (orang)
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) merupakan salah satu bagian yang memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat, terutama masyarakat pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan peranan sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani dan berbagai keperluan industri. Protein
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kontribusi sektor peternakan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional antara tahun 2004-2008 rata-rata mencapai 2 persen. Data tersebut menunjukkan peternakan memiliki
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sub sektor peternakan merupakan salah satu kegiatan pembangunan yang menjadi skala prioritas karena dapat memenuhi kebutuhan protein hewani yang dibutuhkan oleh
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang
Lebih terperinciIII. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA
III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA A. Pengertian Pangan Asal Ternak Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat berupa melaksanakan produksi, perdagangan dan distribusi produk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan peternakan merupakan tanggung jawab bersama antaran pemerintah, masyarakat dan swasta. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan
Lebih terperinciDESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR
Sosial Ekonomi DESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR ST. Rohani 1 & Muhammad Erik Kurniawan 2 1 Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. akan zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro yaitu karbohidrat, protein, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani siklus hidupnya membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Kebutuhan zat gizi bagi tubuh meliputi kebutuhan akan zat gizi makro dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. salah satu cara memperbaiki keadaan gizi masyarakat (Stanton, 1991).
1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mengkonsumsi pangan yang bergizi tinggi sudah semakin baik. Kesadaran ini muncul dikarenakan
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor peternakan merupakan salah satu pilar dalam pembangunan agribisnis di Indonesia yang masih memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Komoditi peternakan mempunyai
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lapangan kerja, memeratakan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan
BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, memeratakan pembagian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koperasi dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi sosial negara sedang berkembang dengan membantu membangun struktur ekonomi dan sosial yang kuat (Partomo,
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agroindustri adalah usaha untuk mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi berbagai produk yang dibutuhkan konsumen (Austin 1981). Bidang agroindustri pertanian dalam
Lebih terperinciBoks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI
Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI Pangan merupakan kebutuhan pokok (basic need) yang paling azasi menyangkut kelangsungan kehidupan setiap
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. gizi yang tinggi yang disekresikan oleh kelenjar mamae dari hewan betina
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan produk cair berwarna putih yang mengandung nilai gizi yang tinggi yang disekresikan oleh kelenjar mamae dari hewan betina dengan tujuan utama untuk
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi asupan gizi tubuh. Susu
PENDAHULUAN Latar Belakang Susu merupakan salah satu hasil peternakan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi asupan gizi tubuh. Susu adalah hasil sekresi dari ambing ternak mamalia seperti
Lebih terperinciDEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 2007
MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PETERNAKAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT Disampaikan pada : Acara Seminar Nasional HPS Bogor, 21 Nopember 2007 DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak zaman dahulu manusia telah menggunakan susu sebagai bahan pangan. Manusia mengambil susu dari hewan yang memiliki kelenjar susu seperti sapi, kuda dan domba. Masyarakat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. bisnis ikan air tawar di dunia (Kordi, 2010). Ikan nila memiliki keunggulan yaitu
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu jenis ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas penting dalam bisnis ikan air tawar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Budidaya ayam ras khususnya ayam broiler sebagai ayam pedaging,
1 BAB I PENDAHULUAN Budidaya ayam ras khususnya ayam broiler sebagai ayam pedaging, mengalami pasang surut, terutama pada usaha kemitraan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya fluktuasi harga
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan konsumsi daging dan produk-produk peternakan dalam negeri semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan dan daya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lele salah satunya adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Ikan lele dumbo
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hewan yang memiliki potensi budidaya yang menjanjikan di Indonesia. Berbagai macam ikan dapat dibudidayakan, terutama ikan air tawar yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi
Lebih terperinciDATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014
DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari Departemen Pertanian, bahwa komoditas daging sapi. pilihan konsumen untuk meningkatkan konsumsi daging sapi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang meningkat diiringi dengan perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan, dan perubahan gaya hidup yang terjadi di masyarakat yang
Lebih terperinciPOLA PERDAGANGAN MASUKAN DAN KELUARAN USAHA TERNAK AYAM RAS"
POLA PERDAGANGAN MASUKAN DAN KELUARAN USAHA TERNAK AYAM RAS" Oleh : Imas Nur ' Aini21 Abstrak Usaha peternakan ayam ras yang telah berkembang dengan pesat ternyata tidak disertai dengan perkembangan pemasaran
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.
1.1. Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN Usaha perunggasan di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir. Perkembangan usaha tersebut memberikan
Lebih terperinciDISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA Handewi P.S. Rachman, Mewa Ariani, dan T.B. Purwantini Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging sapi merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi untuk kebutuhan protein manusia, daging sapi digolongkan sebagai salah satu produk
Lebih terperinciPOTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Lebih terperincitentang Prinsip-prinsip Pembuatan Kandang dan Kegiatan Belajar 2 membahas tentang Macam-macam Kandang. Modul empat, membahas materi Sanitasi dan
ix S Tinjauan Mata Kuliah ejalan dengan perkembangan zaman, jumlah penduduk Indonesia juga semakin bertambah, diikuti oleh meningkatnya pendapatan dan tingkat pendidikan, maka kebutuhan dan kesadaran konsumsi
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas peternakan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh karakteristik produk yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Kondisi ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. konsumsi pangan hewani seperti daging, telur, susu dan ikan (Jafrinur, 2006).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kecukupan pangan dan gizi adalah suatu hal yang sangat penting sekali karena itu pembangunan peternakan diarahkan untuk memenuhi kecukupan pangan dan gizi masyarakat
Lebih terperinciBAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN
BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Visi SKPD adalah gambaran arah pembangunan atau kondisi masa depan yang ingin dicapai SKPD melalui penyelenggaraan tugas
Lebih terperinciPEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN
PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN Oleh : Tenaga Ahli Badan Ketahanan Pangan Dr. Ir. Mei Rochjat Darmawiredja, M.Ed SITUASI DAN TANTANGAN GLOBAL Pertumbuhan Penduduk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011
1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Peternakan adalah kegiatan membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen pada faktor-faktor produksi. Peternakan merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, selain ikan dan telur, guna memenuhi kebutuhan akan protein.
Lebih terperinciDIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Jakarta, 26 Januari 2017 Penyediaan pasokan air melalui irigasi dan waduk, pembangunan embung atau kantong air. Target 2017, sebesar 30 ribu embung Fokus
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Tabel 1. Konsumsi Telur dan Daging Broiler pada Beberapa Negara ASEAN Tahun 2009
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak perusahaan yang bergerak di bidang perunggasan, baik dari segi pakan unggas, komoditi unggas, dan pengolahan produk unggas dalam skala besar
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dengan kepemilikan rata-rata 2-3 ekor sapi. Biasanya sapi potong banyak
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini peternakan sapi potong masih dalam bentuk skala rumah tangga dengan kepemilikan rata-rata 2-3 ekor sapi. Biasanya sapi potong banyak dibudidayakan di daerah
Lebih terperinciCIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH
CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH Oleh: Achmad Djauhari dan Supena Friyatno*) Abstrak Kelompok rumah tangga adalah sasaran utama dalam program peningkatan dan perbaikan tingkat
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang dikenal
PENDAHULUAN Latar Belakang Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang dikenal dengan sebutan ayam buras (ayam bukan ras) atau ayam sayur. Ayam kampung memiliki kelebihan pada daya adaptasi tinggi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Protein hewani merupakan salah satu nutrisi yang sangat dibutuhkan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Protein hewani merupakan salah satu nutrisi yang sangat dibutuhkan manusia. Keberadaan protein hewani sangat berpengaruh bagi pertumbuhan, kesehatan, dan kecerdasan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Agribisnis peternakan memberikan banyak kontribusi bagi bangsa Indonesia yaitu sebagai penyedia lapangan pekerjaaan dan berperan dalam pembangunan. Berdasarkan data statistik
Lebih terperinciANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)
ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Rachman dan Yuni Marisa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Lebih terperinciMenakar Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di dalam Negeri Menuju Swasembada 2014
Menakar Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di dalam Negeri Menuju Swasembada 2014 Menakar Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di dalam Negeri Menuju Swasembada 2014 Penyusun: Tjeppy D Soedjana Sjamsul Bahri
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk olahannya) sangat besar dan diproyeksikan akan meningkat sangat cepat selama periode tahun
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dikembangkan dan berperan sangat penting dalam penyediaan kebutuhan pangan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan sektor yang berpeluang sangat besar untuk dikembangkan dan berperan sangat penting dalam penyediaan kebutuhan pangan khususnya protein hewani. Kebutuhan
Lebih terperinciKarya Ilmiah Bisnis ayam jawa super online
Nama : Rizal Alan Yahya Kelas : S1-SI-09 NIM : 11.12.6004 Tugas : Lingkungan Bisnis Karya Ilmiah Bisnis ayam jawa super online 1 A. Abstrak Tujuan dari pembuatan toko online ini adalah untuk pengembangan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan ketahanan pangan Nasional pada hakekatnya mempunyai arti strategis bagi pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah yang dimanfaatkan sebagian besar penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dimana dalam pemenuhannya menjadi tanggung
Lebih terperinciDUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL
DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL Prof. Dr. Ir. Achmad Suryana MS Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian I. PENDAHULUAN Populasi penduduk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mendapatkan manfaat dan hasil dari kegiatan tersebut (Putra et. al., 2015). Usaha
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub-sektor di dalam sektor pertanian yang berperan dalam kegiatan pengembangbiakan dan membudidayakan ternak untuk mendapatkan manfaat dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar paling utama bagi manusia adalah kebutuhan pangan. Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan mengakibatkan kebutuhan permintaan
Lebih terperinciOUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUB SEKTOR PETERNAKAN DAGING AYAM
OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUB SEKTOR PETERNAKAN DAGING AYAM Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2015 OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN DAGING AYAM ISSN : 1907-1507 Ukuran Buku
Lebih terperinciANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN DAN PENYIMPANAN BARANG KEBUTUHAN POKOK DAN BARANG PENTING
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN DAN PENYIMPANAN BARANG KEBUTUHAN POKOK DAN BARANG PENTING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil komoditas pertanian berupa padi. Komoditas padi dikonsumsi dalam bentuk beras menjadi nasi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lain yang sesuai dengan kebutuhan ternak terutama unggas. industri peternakan (Rachman, 2003). Selama periode kebutuhan
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Di daerah tropis seperti Indonesia, jagung memiliki kontribusi sebagai komponen industri pakan. Lebih dari 50% komponen pakan pabrikan adalah jagung. Hal ini
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Kemitraan merupakan hubungan kerjasama secara aktif yang dilakukan. luar komunitas (kelompok) akan memberikan dukungan, bantuan dan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan mempunyai peranan yang cukup penting bagi kehidupan manusia agar dapat hidup sehat, karena manusia memerlukan protein. Pemenuhan kebutuhan protein dalam tubuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.
I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)
Lebih terperinciTabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari ketersediaan sumberdaya yang ada di Indonesia, Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini memberikan andil terhadap perbaikan gizi masyarakat, khususnya protein hewani yang sangat dibutuhkan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Komoditas Sejarah Ayam Petelur. Ayam liar atau ayam hutan adalah ayam yang pertama kali dipelihara oleh
11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Komoditas 2.1.1. Sejarah Ayam Petelur Ayam liar atau ayam hutan adalah ayam yang pertama kali dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Ayam liar tersebut merupakan bagian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam pembangunan nasional Indonesia, sub sektor peternakan merupakan bagian dari sektor
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam pembangunan nasional Indonesia, sub sektor peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian. Disadari atau tidak, sub sektor peternakan memiliki peranan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sumber : Badan Pusat Statistik
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada diantara benua Asia dan Australia serta Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia
Lebih terperinci