4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.5 Pertumbuhan Mikroalga Pertumbuhan mikroalga yang dipisahkan pada penelitian ini dilakukan pada dua jenis limbah cair yaitu limbah cair RPH dan limbah cair peternakan (PET). Pertumbuhan dilakukan pada bak kultivasi yang berukuran 50 cm x 30 cm x 35 cm. Sebelum dicampurkan dengan inokulum mikroalga limbah cair terlebih dahulu dilakukan karakterisasi. Tabel 1 menunjukkan karakteristik limbah cair RPH dan limbah cair peternakan yang digunakan sebagai media kultur. Tabel 1 Karakteristik limbah cair yang digunakan Parameter Satuan Nilai (awal) PET RPH TSS mg/l Kekeruhan FTU Warna PtCo COD mg/l Fosfat mg/l NH 4 mg/l NO 3 mg/l ph Berdasarkan hasil karakterisasi yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa beberapa kandungan senyawa organik yang ada pada limbah cair RPH dan limbah cair peternakan mendekati nilai baku mutu air limbah untuk usaha peternakan. Hal ini dapat dilihat pada nilai TSS limbah cair RPH yaitu 340 mg/l. Dengan demikian limbah cair RPH yang digunakan tergolong kedalam limbah tercemar karena melebihi baku mutu air limbah usaha peternakan sapi berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 tahun 2009 yaitu sebesar 300 mg/l. Untuk itu pengolahan diperlukan untuk menurunkan zat pencemar yang ada pada limbah tersebut. Dilihat dari nilai COD yaitu untuk limbah cair RPH sebesar 136 mg/l dan limbah cair peternakan sebesar 176 mg/l, nilai ini belum melebihi baku mutu air limbah yaitu 200 mg/l, namun untuk mengurangi beban pencemaran maka pengolahan melalui pemanfaatan limbah cair menjadi media pertumbuhan mikroalga menjadi suatu alternatif yang cukup baik untuk diterapkan.

2 Kandungan zat organik yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan mikroalga dan akan mencemari lingkungan. Untuk itu, untuk mengurangi kandungan bahan organik tersebut dilakukan penanganan pendahuluan (pretreatment). Penanganan pendahuluan yang dilakukan meliputi penyaringan. Penyaringan bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan zat terlarut berukuran besar yang ada pada limbah cair RPH dan limbah cair peternakan. Menurut Sirait et al. (2008), mengolah limbah secara aerobik memanfaatkan aktivitas mikroba aerob dalam kondisi aerob untuk menguraikan zat organik yang terdapat dalam air limbah menjadi zat inorganik yang stabil dan tidak memberikan dampak pencemaran terhadap lingkungan. Menurut Kawaroe et al. (2010) unsur hara yang dibutuhkan mikroalga terdiri dari mikronutrien dan makronutrien. Makronutrien antara lain C, H, N,P K, S, Mg dan Ca. Sedangkan makronutrien yang dibutuhkan antara lain adalah Fe, Cu, Mn, Zn, Co, Mo, Bo, Vn dan Si. Pertumbuhan mikroalga pada media kultur dapat diindikasikan dengan perubahan warna air yang awalnya jernih atau bening menjadi berwarna hijau. Warna hijau yang timbul menandakan keberadaan mikroalga karena mikroalga memiliki pigmen hijau atau klorofil. Mikroalga yang biasa dijumpai di danau dan di kolam adalah Chlorophyta (alga hijau) yang memiliki klorofil dan mampu melakukan fotosintesis (Kawaroe et al. 2010). Gambar 5 dan 6 menunjukkan limbah cair RPH dan limbah cair peternakan sebelum dan sesudah ditumbuhi mikroalga. Gambar 5 (a) Limbah cair RPH dan (b) media kultur (RPH).

3 Gambar 6 (a) Limbah cair peternakan dan (b) media kultur (peternakan). Waktu yang dibutuhkan mikroalga untuk tumbuh pada media kultur (RPH) dan media kultur (peternakan) adalah hari. Pada media kultur (RPH), mikroalga tumbuh menyebar pada cairan, sedangkan pada media kultur peternakan mikroalga selain tumbuh menyebar di cairan juga sebagian besar berkumpul di permukaan media. Karakterisasi terhadap media kultur (RPH dan PET) dilakukan sebelum proses koagulasi/flokulasi diterapkan. Kondisi awal media kultur yang telah ditumbuhi mikroalga sebelum dipisahkan dinilai sebagai kondisi mikroalga pada kondisi tanpa penambahan dosis koagulan dan pengaturan ph (untuk koagulasi/flokulasi kimia) dan waktu kontak 0 menit (untuk koagulasi/flokulasi elektrik). Kondisi awal media kultur sebelum mikroalga dipisahkan dapat dilihat pada Tabel 1. Dapat dilihat pada Tabel 2, nilai TSS yang diasumsikan sebagai jumlah mikroalga yang ada meningkat dari kondisi media kultur sebelum diinokulasikan (lihat Tabel 1). Beberapa parameter lain seperti COD dan konsentrasi fosfat mengalami penurunan. Hal ini menandakan bahwa zat organik yang terdapat pada media kultur dipergunakan untuk metabolisme mikroalga. Menurut Ginting (2007), penggunaan zat organik pada limbah menandakan terjadinya mekanisme pengolahan limbah cair secara biologis. Pengolahan limbah biologis yang terjadi pada penelitian ini terjadi secara aerobik. Mikroalga berperan dalam penyediaan oksigen untuk bakteri pengolah limbah. Hal ini terjadi karena mikroalga memiliki kemampuan untuk berfotosintesis dan menghasilkan oksigen.

4 Tabel 2 Karakteristik media kultur sebelum diberi perlakuan pendahuluan koagulasi Nilai Parameter Satuan Media kultur (PET) Media kultur (RPH) TSS mg/l Kekeruhan FTU Warna PtCo COD mg/l Fosfat mg/l ph Pemilihan Nilai Batasan Optimasi Proses Koagulasi Kimia Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (Lampiran 1) dengan menggunakan analisa awal TSS, kekeruhan dan warna serta analisa lanjutan nilai COD, fosfat dan ph maka dipilih nilai-nilai ph dan dosis yang digunakan sebagai central (pusat) dengan kode 0 pada perancangan komposit terpusat. Gambar 7 (a) dan 7 (b) menunjukkan grafik hubungan dosis koagulan PAC terhadap parameter TSS. Pada Gambar 7 (a) yaitu untuk media kultur (RPH), hasil uji jar test pertama memberikan hasil TSS yang terendah (9 mg/l) adalah untuk perlakuan dengan dosis 50 mg/l pada ph 7.3. Selanjutnya dilakukan uji coba lagi dengan pengaturan ph yaitu pada ph 7 dan diperoleh 2 nilai TSS terendah yaitu 6 mg/l dan 7 mg/l pada dosis PAC 75 mg/l dan 125 mg/l, sehingga nilai ph dan dosis yang ditetapkan sebagai central adalah diantara nilai dosis PAC tersebut yaitu 100 mg/l pada ph yang sama (ph 7). Gambar 7 (b) dan 7 (c) menunjukkan hasil penelitian pendahuluan untuk uji pendahuluan jar test media kultur (peternakan) dengan koagulan PAC. Pada grafik dapat dilihat bahwa nilai TSS terendah adalah pada ph 7 dengan dosis PAC 225 mg/l.

5 TSS (mg/l) (ph 7) 50 (ph 7,3) 75 (ph 7) 75 (ph 7,3) 100 (ph 7,3) 125 (ph 7) 125 (ph 7,3) 150 (ph 7,3) 175 (ph 7) Dosis PAC (mg/l) (a) TSS (mg/l) Dosis PAC (mg/l) (b) TSS (mg/l) ,5 6,75 7 7,25 7,5 7,75 8 ph Gambar 7 Grafik hubungan (a) dosis PAC terhadap nilai TSS pada media kultur (RPH) dan hubungan (b) dosis PAC serta (c) ph terhadap nilai TSS pada media kultur (peternakan). Hubungan dosis ferro sulfat dengan nilai TSS pada media kultur (RPH) dan media kultur (peternakan) ditunjukkan pada Gambar 8 (a) dan ( b). Pada Gambar 8 (a) dapat dilihat bahwa nilai TSS terendah adalah 8 mg/l dan 7 mg/l pada ph 6.5 dengan dosis ferro sulfat 60 mg/l dan 70 mg/l, sehingga dosis yang ditetapkan sebagai central adalah 65 mg/l dengan ph 6.5. Gambar 8 (b) menunjukkan hasil penelitian pendahuluan untuk uji pendahuluan jar test media kultur peternakan dengan koagulan ferro sulfat. Pada grafik dapat dilihat bahwa nilai TSS terendah adalah pada ph 6,5 dengan dosis ferro sulfat 110 mg/l. Nilainilai yang ditetapkan sebagai central secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 3. (c)

6 TSS (mg/l) Dosis ferro sulfat (mg/l) TSS (mg/l) (a) Dosis ferro sulfat (mg/l) (b) Gambar 8 Grafik hubungan dosis ferro sulfat terhadap nilai TSS pada (a) media kultur (RPH) dan (b) media kultur (peternakan). Tabel 3 Nilai-nilai ph dan dosis yang digunakan sebagai central No Perlakuan ph Dosis (mg/l) 1 Media kultur (RPH) dengan PAC Media kultur (peternakan) dengan PAC Media kultur (RPH) dengan ferro sulfat Media kultur (peternakan) dengan ferro sulfat Proses Koagulasi Elektrik Penetapan central (pusat) untuk teknik koagulasi elektrik yaitu berdasarkan pada hasil penelitian Afriyanti (2011) yang menyebutkan bahwa efisiensi pemisahan mikroalga yang terbaik menggunakan teknik koagulasi elektrik adalah pada input energi listrik 15 volt dengan waktu 40 menit. Taraf untuk faktor input energi listrik (X 1 ) yaitu -1 (10 volt) dan +1 (20 volt), dan taraf untuk faktor waktu (X 2 ) yaitu -1 (30 menit) dan +1 (50 menit). Tabel 4 menunjukkan matrik satuan percobaan yang diujikan pada penelitian utama.

7 Tabel 4 Matrik satuan percobaan Kode nilai RPH dengan PAC PET dengan PAC RPH dengan ferro sulfat PET dengan ferro sulfat RPH dan PET (elektrik) No Input energi X 1 X 2 ph Dosis (mg/l) ph Dosis (mg/l) ph Dosis (mg/l) ph Dosis (mg/l) listrik (volt) Waktu (menit)

8 4.3 Penentuan Optimasi Proses TSS TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganik (Huda 2009). Pada penelitian ini mikroalga yang dapat dipisahkan dilihat dari selisih nilai TSS sebelum dilakukan koagulasi sebagai perlakuan pendahuluan dan nilai TSS setelah dilakukan koagulasi. Pada koagulasi kimia digunakan dua jenis koagulan yaitu PAC dan ferro sulfat. Pengaruh yang diberikan pada kedua jenis media kultur yang digunakan menunjukkan hasil yang berbeda. Pada media kultur (RPH) dengan menggunakan koagulan PAC efisiensi tertinggi yaitu 99% didapatkan dengan penambahan PAC sebanyak 75 mg/l pada ph 6.5, sedangkan pada media kultur cair (peternakan) efisiensi tertinggi yaitu 99% didapatkan dengan penambahan PAC sebanyak 225 mg/l pada ph 7. Hasil yang didapatkan pada media kultur (RPH) berbeda dengan hasil perhitungan optimasi menggunakan metode respon permukaan, dimana nilai optimal untuk efisiensi TSS pada media kultur (RPH) dengan menggunakan koagulan PAC adalah 98% yang didapatkan dengan penambahan PAC sebanyak 100 mg/l pada ph 7, sedangkan pada media kultur (peternakan) nilai optimal untuk efisiensi TSS adalah 98% dengan penambahan PAC sebanyak 200 mg/l pada ph Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B. Perbedaan yang cukup besar terlihat pada dosis koagulan yang diberikan yaitu pada media kultur (peternakan) dosis yang diberikan jauh lebih besar daripada dosis yang diberikan pada media kultur RPH. Hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik yang cukup tinggi pada media kultur (peternakan) sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk dapat terkoagulasi dengan baik. Pada media kultur (RPH) dengan menggunakan koagulan ferro sulfat efisiensi tertinggi yaitu 99.18% didapatkan dengan penambahan ferro sulfat sebanyak 70 dan 65 mg/l pada ph 6.75 dan 6.5, sedangkan pada media kultur (peternakan) efisiensi tertinggi yaitu 98% didapatkan dengan penambahan ferro sulfat sebanyak 110 mg/l pada ph 6.5. Menurut hasil perhitungan optimasi menggunakan metode respon permukaan, nilai optimal untuk efisiensi TSS pada

9 media kultur (RPH) dengan menggunakan koagulan ferro sulfat adalah 99% yang didapatkan dengan penambahan ferro sulfat sebanyak 65 mg/l pada ph 6.5, sedangkan pada media kultur (peternakan) nilai optimal untuk efisiensi TSS adalah 81% dengan penambahan ferro sulfat sebanyak 120 mg/l pada ph Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D. Penggunaan koagulan ferro sulfat pada perlakuan ini terutama untuk media kultur (peternakan) tidak sebesar penggunaan koagulan PAC yaitu hanya kurang lebih setengahnya, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan ferro sulfat untuk melakukan agregasi pada media kultur (peternakan) lebih kuat dibandingkan menggunakan PAC. Media kultur sesudah diberi perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. Gambar 9 (a) Media kultur (RPH) setelah diberi perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC dan (b) media kultur (peternakan) setelah diberi perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC. Gambar 10 (a) Media kultur (RPH) setelah diberi perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat dan (b) media kultur (peternakan) setelah diberi perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat.

10 Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan teknik koagulasi elektrik untuk media kultur (RPH) efisiensi tertinggi (79%) diperoleh pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) efisiensi tertinggi (67%) diperoleh pada input energi listrik 7.98 volt selama 40 menit. Dilihat dari pengaruh waktu maka terdapat persamaan yaitu efisiensi tertinggi diperoleh selama 40 menit, namun jika dilihat dari pengaruh tegangan yang diberikan maka cukup memberikan hasil yang berbeda dimana pada media kultur (peternakan) hanya memerlukan tegangan yang rendah untuk menghasilkan efisiensi pemisahan (dilihat dari parameter TSS) yang tinggi sedangkan pada media kultur (RPH) memerlukan tegangan 2 kali lebih besar. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa untuk memisahkan mikroalga tidak harus menggunakan tegangan yang cukup tinggi. Hasil optimasi menunjukkan nilai yang berbeda yaitu pada media kultur RPH adalah 79% dengan input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan efisiensi optimal untuk limbah cair peternakan adalah 49% pada input energi listrik dan waktu yang sama yaitu 15 volt selama 40 menit. Nilai efisiensi yang diperoleh tidak sebesar nilai efisiensi dari hasil eksperimen namun faktor yang digunakan untuk mendapatkan efisiensi TSS yang optimal adalah sesuai dengan yang diperkirakan pada penelitian pendahuluan yaitu 15 volt dengan waktu selama 40 menit, dimana kedua faktor ini selanjutnya ditetapkan sebagai titik central untuk melakukan penelitian utama. Data lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F. Media kultur sesudah diberi perlakuan koagulasi elektrik dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

11 Gambar 11 Mikroalga pada media kultur (RPH) dengan perlakuan pendahuluan koagulasi elektrik, (a) mikroalga yang mengapung, (b) mikroalga yang mengendap dan (c) mikroalga yang menempel pada elektroda. Gambar 12 Mikroalga pada media kultur (peternakan) dengan perlakuan pendahuluan koagulasi elektrik, (a) mikroalga yang mengapung, (b) mikroalga yang mengendap dan (c) mikroalga yang menempel pada elektroda.

12 Koagulasi elektrik melibatkan reaksi kimia didalamnya. Menurut Rohman (2009), prinsip dasar dari elektrokoagulasi adalah reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Interaksi yang terjadi di dalam larutan yaitu: (1) migrasi menuju muatan elektroda yang berlawanan (elektroforesis) dan netralisasi muatan, (2) kation atau ion hidroksil membentuk endapan dengan pengotor, (3) interaksi kation logam dengan ion OH - membentuk sebuah hidroksida dengan sifat adsorpsi yang tinggi selanjutnya berikatan dengan polutan, (4) oksidasi polutan sehingga sifat toksiknya berkurang (Holt et al. 2002). Reaksi reduksi-oksidasi mengganggu kestabilan larutan limbah sehingga zat yang tersuspensi pada larutan tersebut juga mengalami destabilitas. Ketidakstabilan muatan pada limbah cair dan mikroalga menyebabkan mikroalga dengan muatan yang sejenis membentuk flok untuk mencapai kestabilannya kembali dengan melakukan koagulasi. Mikroalga yang membentuk flok atau terkoagulasi jika sudah mencapai bobot yang cukup akan mengendap. Sedangkan mikroalga yang masih ringan akan terbawa gas H 2 dan mengapung. Pada Gambar 11 dan 12 terlihat perbedaan flok mikroalga yang berhasil dipisahkan. Pada media kultur (RPH) flok yang terbentuk lebih berat sehingga cenderung lebih banyak yang mengendap, sedangkan pada media kultur (peternakan) flok yang terbentuk masih cenderung ringan sehingga lebih banyak yang mengapung. Pengukuran nilai TSS tidak hanya dilakukan dengan spektrofotometer tetapi juga menggunakan kertas saring miliphore (0.42 µm), hal ini dilakukan untuk membandingkan nilai TSS yang didapatkan. Tabel 5 menunjukkan hasil pengamatan yang telah dilakukan.

13 Tabel 5 Perbandingan pengukuran TSS No Kode Spektrofotometer (mg/l) Miliphore (mg/l) 1 A 5 (15 volt, 40 menit) A 4 (20 volt, 50 menit) B 5 (15 volt, 40 menit) B 4 (20 volt, 50 menit) C 5 (ph 7, 100 mg/l PAC) C 11 (ph 7, 64,64 mg/l PAC) D 5 (ph 7, 225 mg/l PAC) D 11 (ph 7, 189,65 mg/l PAC) E 9 (ph 6,15; 65 mg/l Ferro sulfat) E 7 (ph 6,5; 65 mg/l Ferro sulfat) F 9 (ph 6,15; 110 mg/l Ferro sulfat) F 7 (ph 6,5; 110 mg/l Ferro sulfat) 8 24 Keterangan: A: Media kultur (RPH) dengan perlakuan koagulasi elektrik B: Media kultur (peternakan) dengan perlakuan koagulasi elektrik C: Media kultur (RPH) dengan perlakuan koagulasi kimia (PAC) D: Media kultur (peternakan) dengan perlakuan koagulasi kimia (PAC) E: Media kultur (RPH) dengan perlakuan koagulasi kimia (ferro sulfat) F: Media kultur (peternakan) dengan perlakuan koagulasi kimia (ferro sulfat) Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa secara umum nilai TSS hasil pengukuran dengan menggunakan kertas miliphore lebih tinggi dibandingkan hasil pengukuran menggunakan spektrofotometer, hal ini disebabkan karena tingkat ketelitian metode pengukuran menggunakan kertas miliphore lebih tinggi, namun penggunaan spektrofotometer lebih menghemat waktu dan biaya sehingga pengukuran nilai TSS untuk penelitian ini dilakukan dengan spektrofotometer Kekeruhan Parameter lain yang diamati pada penelitian ini adalah kekeruhan. Kekeruhan atau turbidity digunakan untuk menyatakan derajat kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan - bahan yang melayang biasanya bahan organik dan inorganik (Huda 2009 dalam Afriyanti 2011). Semakin pekat atau keruh suatu limbah cair yang dibuang ke lingkungan maka kualitas limbah dan keamanannya terhadap lingkungan semakin buruk. Selain berpengaruh pada penurunan nilai TSS, koagulasi/flokulasi yang diterapkan sebagai perlakuan pendahuluan juga berpengaruh pada nilai kekeruhan dari limbah yang digunakan. Hal ini berarti selain dapat memisahkan mikroalga, juga memberikan manfaat tambahan yaitu

14 dengan mengolah limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan sehingga parameter yang berbahaya bagi lingkungan dapat diminimalisir. Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 99% pada ph 7 dengan dosis 100 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 97% pada ph 7.25 dengan dosis 250 mg/l. Hasil optimasi nilai efisiensi tidak berbeda jauh yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 98.8% pada ph 7 dengan dosis 100 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) sebesar 95% pada ph 7.25 dengan dosis 200 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 99% pada ph 6.75 dengan dosis 60 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 97% pada ph 6.5 dengan dosis mg/l. Hasil optimasi efisiensi parameter kekeruhan menunjukkan nilai efisiensi yang lebih rendah daripada hasil eksperimen yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 97% pada ph 6.5 dengan dosis 65 mg/l, dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 52% pada ph 6.75 dengan dosis 120 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D). Dosis yang digunakan pada kedua media kultur tidak terlalu jauh berbeda, namun hasil optimasi efisiensi pada media kultur (peternakan) cukup jauh berbeda jika dibandingkan dengan hasil eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor ph dan dosis ferro sulfat sangat berpengaruh terhadap parameter kekeruhan. Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan elektrik diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 64% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 69% pada input energi listrik 10 volt selama 30 menit. Hasil optimasi efisiensi dengan menggunakan metode respon permukaan untuk penerapan proses koagulasi elektrik menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 64% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 55% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit (data dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F). Faktor input dan waktu yang ditetapkan berdasarkan optimasi berbeda dengan hasil efisiensi tertinggi menurut eksperimen, input energi listrik yang ditetapkan

15 lebih tinggi daripada 10 volt yaitu 15 volt dan waktunya lebih lama yaitu 40 menit. Hasil eksperimen menunjukkan nilai efisiensi kekeruhan yang lebih tinggi yaitu 69%, hal ini menunjukkan bahwa dengan input energi listrik yang lebih rendah dan waktu lebih pendek dapat dihasilkan efisiensi kekeruhan yang lebih tinggi Warna Warna merupakan karakteristik lain yang cukup penting untuk diamati. Semakin gelap warna limbah cair maka kualitas limbah cair tersebut semakin buruk sehingga perlu diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 98% pada ph 7 dengan dosis 100 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 92% pada ph 7 dengan dosis 225 mg/l. Hasil optimasi nilai efisiensi tidak berbeda jauh yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 98% pada ph 7 dengan dosis 100 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) sebesar 87% pada ph 7.25 dengan dosis 200 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 95% pada ph 6.75 dengan dosis 70 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 92% pada ph 6.5 dengan dosis mg/l. Hasil optimasi efisiensi parameter warna menunjukkan nilai efisiensi yang lebih rendah daripada hasil eksperimen yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 93% pada ph 6.5 dengan dosis 65 mg/l, dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 65% pada ph 6.75 dengan dosis 120 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D). ). Dosis yang digunakan pada kedua media kultur tidak terlalu jauh berbeda, namun hasil optimasi efisiensi pada media kultur (peternakan) cukup jauh berbeda jika dibandingkan dengan hasil eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor ph dan dosis ferro sulfat juga sangat berpengaruh terhadap parameter warna. Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan elektrik diperoleh nilai efisiensi tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 56% pada input

16 energi listrik 15 volt selama 40 menit dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 56% pada input energi listrik 7.98 volt selama 40 menit. Hasil optimasi efisiensi dengan menggunakan metode respon permukaan untuk penerapan proses koagulasi elektrik menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 54% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 41% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit (data dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F). Penurunan warna yang terjadi pada proses koagulasi disebabkan oleh proses adsorbsi koagulan. Pada proses koagulasi kimia diperoleh efisiensi penurunan warna sekitar 90% sedangkan pada koagulasi elektrik hanya sekitar 50% Hal ini disebabkan karena mikroalga yang berhasil dipisahkan masih belum optimal sehingga berpengaruh pada warna yang terukur yaitu masih cukup pekat. Zat warna yang terukur ditimbulkan dari pigmen klorofil yang dimiliki oleh mikroalga COD Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) dari suatu limbah cair merupakan parameter yang penting untuk menunjukkan kualitas limbah cair tersebut. Nilai COD media kultur RPH dan media kultur peternakan sebelum diberi perlakuan adalah 136 mg/l dan 176 mg/l, nilai ini masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 200 mg/l untuk limbah cair usaha atau kegiatan peternakan sapi (Peraturan MenLH No. 11 tahun 2009). Nilai COD mengalami penurunan hampir setengahnya setelah ditumbuhi oleh mikroalga yaitu 75.2 mg/l untuk media kultur (RPH) dan 86.4 mg/l untuk media kultur (peternakan). Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan limbah cair sebagai media kultur mikroalga secara efektif dapat menurunkan nilai COD limbah cair tersebut sehingga lebih aman untuk dibuang ke lingkungan. Penurunan nilai COD yang terjadi setelah diberi perlakuan pendahuluan koagulasi/flokulasi kimia dan elektrik tidak terlalu besar namun masih terjadi penurunan. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC diperoleh nilai efisiensi penurunan COD tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 28% pada ph 6.3 dengan

17 dosis 100 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 36% pada ph 6.6 dengan dosis 225 mg/l. Hasil optimasi untuk efisiensi parameter COD cukup rendah yaitu untuk media kultur (RPH) adalah 18% pada ph 7 dengan dosis PAC 100 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 25% pada ph 7.25 dengan dosis PAC 200 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat diperoleh nilai efisiensi tertinggi untuk penurunan nilai COD yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 25% pada ph 6.25 dengan dosis 70 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 24% pada ph 6.15 dengan dosis 110 mg/l. Hasil optimasi efisiensi menunjukkan nilai yang cukup berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) adalah 18% pada ph 6.5 dengan dosis ferro sulfat 65 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) hanya sebesar 3% pada ph 6.75 dengan dosis 120 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan elektrik diperoleh nilai efisiensi tertinggi untuk penurunan nilai COD yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 24% pada input energi listrik 7.98 volt selama 40 menit dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 19% pada input energi listrik 20 volt selama 30 menit. Hasil optimasi efisiensi dengan menggunakan metode respon permukaan untuk penerapan proses koagulasi elektrik menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 23% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 14% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit (data dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F). COD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat - zat organik yang ada pada suatu cairan atau limbah cair menjadi CO 2 dan H 2 O. COD merupakan salah satu indikator penting untuk pencemaran didalam air yang disebabkan oleh limbah yang mengandung bahan organik. Secara umum COD yang tinggi pada suatu limbah menunjukkan adanya bahan pencemar organik dalam jumlah banyak.

18 4.3.5 Fosfat Fosfor merupakan salah satu elemen utama yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroalga secara normal. Menurut Richmond (1986) dalam Afriyanti (2011) kekurangan fosfor dapat menyebabkan perubahan morfologi sel, misalnya perubahan bentuk dan ukuran sel, karena fosfor berperan dalam transfer energi dan sintesa asam nukleat. Pada limbah cair, P-organik sering dinilai sebagai konsentrasi fosfat. Fosfat merupakan senyawa organik yang dapat mencemari lingkungan, sehingga apabila konsentrasi fosfat cukup tinggi maka sebaiknya dilakukan pengolahan terlebih dahulu terhadap limbah cair tersebut sebelum dibuang ke lingkungan. Konsentrasi awal fosfat limbah cair RPH dan limbah cair peternakan adalah mg/l dan mg/l. Setelah ditumbuhi mikroalga terjadi penurunan konsentrasi fosfat yang cukup besar yaitu 4.21 mg/l untuk limbah cair RPH dan mg/l untuk limbah cair peternakan. Penurunan konsentrasi fosfat ini disebabkan karena mikroalga menggunakan P-organik dalam jumlah yang cukup banyak, dan diketahui bahwa mikroalga yang tumbuh pada limbah cair pun cukup banyak. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu nilai efisiensi penurunan konsentrasi fosfat adalah sebesar 100%, untuk media kultur (RPH) pada ph 6.5 dan ph 7 dengan dosis 125 mg/l dan 100 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) pada ph 6.75 dan ph 7 dengan dosis 200 mg/l dan 225 mg/l. Hasil optimasi efisiensi untuk parameter konsentrasi fosfat tidak jauh berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) adalah 99% pada ph 7 dengan dosis PAC 100 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 100% pada ph 7.25 dengan dosis PAC 200 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B). Hasil efisiensi konsentrasi fosfat ini cukup baik karena pada ph netral dan dosis yang lebih rendah daripada hasil eksperimen dapat memperoleh efisiensi penurunan konsentrasi fosfat sekitar 100%. Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat diperoleh nilai efisiensi sebesar 100% untuk penurunan konsentrasi fosfat yaitu untuk media kultur (RPH) pada ph 6.75 dengan dosis 60 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) pada ph 6.5 dengan dosis mg/l. Hasil optimasi

19 efisiensi untuk proses koagulasi menggunakan koagulan ferro sulfat yaitu untuk media kultur (RPH) adalah 100% pada ph 6.5 dengan dosis 65 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 91% pada ph 6.75 dengan dosis 120 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan elektrik diperoleh nilai efisiensi tertinggi untuk penurunan konsentrasi fosfat yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 85% pada input energi listrik 20 volt selama 50 menit dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 79% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit. Hasil optimasi efisiensi dengan menggunakan metode respon permukaan untuk penerapan proses koagulasi elektrik menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 77% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 78% pada input energi listrik 15 volt selama 40 menit (data dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F) ph Nilai ph dari media kultur (RPH) dan media kultur (peternakan) sebelum diberi perlakuan adalah 6.5 dan 6.3. Setelah ditumbuhi mikroalga nilai ph mengalami sedikit peningkatan yaitu 7.3 untuk media kultur (RPH) dan 6.7 untuk media kultur (peternakan). Hal ini menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan limbah cair sebagai media kultur mikroalga maka dapat memperbaiki nilai ph cairan. Media kultur mengalami perubahan ph setelah diberi perlakuan pendahuluan koagulasi kimia dan koagulasi elektrik. Media kultur yang mengalami perlakuan pendahuluan koagulasi kimia dengan koagulan PAC dan ferro sulfat nilai ph berkisar pada ph netral (cenderung asam) yaitu , namun yang diberi perlakuan pendahuluan koagulasi elektrik nilai ph berada diatas 7 yaitu Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan PAC diperoleh nilai efisiensi perubahan ph tertinggi yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 24% pada ph 6.3 dengan dosis 100 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 15% pada ph 6.6 dengan

20 dosis 225 mg/l. Hasil optimasi efisiensi untuk parameter ph menggunakan kogulan PAC menunjukkan hasil yang cukup berbeda terutama untuk media kultur (peternakan). Efisiensi parameter ph untuk media kultur (RPH) yaitu 12% pada ph eksperimen 7 dengan dosis PAC 100 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) hanya sebesar 3% pada ph eksperimen 7.25 dengan dosis PAC 200 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3A dan 3B). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan ferro sulfat diperoleh nilai efisiensi tertinggi untuk perubahan nilai ph yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 29% pada ph 6.25 dengan dosis 70 mg/l dan untuk media kultur (peternakan) sebesar 19% pada ph 6.25 dan ph 6.15 dengan dosis 120 mg/l dan 110 mg/l. Hasil optimasi efisiensi untuk parameter ph menggunakan kogulan ferro sulfat menunjukkan hasil yang cukup berbeda. Efisiensi parameter ph untuk media kultur (RPH) yaitu 12% pada ph eksperimen 6.5 dengan dosis ferro sulfat 65 mg/l, sedangkan untuk media kultur (peternakan) hanya sebesar 6% pada ph eksperimen 6.75 dengan dosis ferro sulfat 120 mg/l (data dapat dilihat pada Lampiran 3C dan 3D). Pada penerapan perlakuan pendahuluan dengan koagulan elektrik diperoleh nilai efisiensi tertinggi untuk perubahan nilai ph yaitu untuk media kultur (RPH) sebesar 7% pada input energi listrik 20 volt dan 15 volt selama 50 menit dan menit serta untuk media kultur (peternakan) sebesar 16% pada input energi listrik volt dan 15 volt selama 40 menit dan menit. Hasil optimasi efisiensi pada penerapan proses koagulasi elektrik menunjukkan hasil yang lebih rendah yaitu untuk media kultur (RPH) adalah 4% dengan input energi listrik 15 volt selama 40 menit, sedangkan untuk media kultur (peternakan) adalah 13% dengan input energi listrik 15 volt selama 40 menit data dapat dilihat pada Lampiran 3E dan 3F). Kurva efisiensi hubungan antara masing-masing faktor yaitu ph, dosis PAC, dosis ferro sulfat, input dan waktu terhadap masing-masing respon pada media kultur (RPH) dan media kultur (peternakan) dapat dilihat pada Lampiran 4-9.

21 4.3.7 Optimasi Proses Koagulasi Kimia dengan PAC Desain model yang terpilih dari hasil analisis penentuan model pada media kultur peternakan untuk respon TSS adalah model kuadratik. Hasil uji analisis ragam yaitu model berpengaruh nyata terhadap respon karena prob<f yaitu (nilai prob<f, kurang dari 0.05 menunjukkan bahwa model tersebut nyata), sedangkan kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat tidak nyata karena nilainya lebih besar dari 0.1 yaitu 0,6055. Standar deviasi untuk model adalah 1.86 dengan nilai R 2 = 84.49% dan rasio menunjukkan rasio tersebut sudah baik untuk mengarahkan desain model karena rasio yang baik adalah lebih besar dari 4. Pada respon kekeruhan, model yang terbentuk adalah model linier, namun model tidak berpengaruh nyata karena prob>f yaitu Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat tidak nyata karena nilainya lebih besar dari 0.1 yaitu Standar deviasi untuk model adalah 5.09 dengan nilai R 2 = 51.15% dan rasio 5.366, meskipun nilai R 2 tidak terlalu tinggi namun nilai rasio sudah cukup baik untuk mengarahkan desain model karena rasio yang baik adalah lebih besar dari 4. Pada respon warna, model yang terbentuk adalah model kuadratik, model berpengaruh nyata karena prob<f yaitu Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat tidak nyata karena nilainya lebih besar dari 0.1 yaitu Standar deviasi untuk model adalah 20.5 dengan nilai R 2 = 83.99% dan rasio Pada respon COD tidak terpilih model persamaan sehingga Y = 66.2 dan merupakan nilai rata-rata keseluruhan untuk prediksi nilai respon Y (COD). Standar deviasinya adalah Respon fosfat memiliki model kuadratik dengan nilai prob>f yaitu , hal ini menunjukkan bahwa model tidak berpengaruh nyata terspon. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat nyata karena nilainya kurang dari 0.1 yaitu Standar deviasi untuk model adalah 0.21 dengan nilai R 2 = 59.58% dan rasio Hasil uji analisis ragam untuk respon ph menunjukkan bahwa model yang terpilih adalah linier. Nilai prob<f yaitu yang menunjukkan bahwa model berpengaruh nyata terhadap respon. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat tidak nyata karena nilainya lebih besar dari 0.1 yaitu , hal ini menunjukkan bahwa model sudah sesuai dengan trend atau plot dari model linier. Standar deviasi untuk model adalah 0.18 dengan nilai R 2 = 70.76% dan rasio Hasil

22 analisis ragam dapat dilihat lebih lengkap pada Lampiran 19, 20, 21, 22, 23 dan 24. Hasil optimasi pada media kultur peternakan yang telah ditumbuhi mikroalga yaitu dengan faktor dosis PAC 225 mg/l pada ph 7 didapatkan nilai respon TSS = 6 mg/l, kekeruhan = 18 FTU, warna = 79.4 PtCo, COD = 66.2 mg/l, konsentrasi fosfat = mg/l dan ph = 6.3. Masing-masing respon memiliki model persamaan untuk mendapatkan nilai dari respon berdasarkan faktor dosis dan ph optimal. Data dapat dilihat pada Lampiran 2B. Nilai dari faktor dosis dan ph optimal (225 mg/l dan 7) akan dibandingkan dengan hasil eksperimen untuk memperoleh selisih antara hasil respon optimal dengan hasil eksperimen (Lampiran 13-18). Berdasarkan optimasi dengan menerapkan proses koagulasi kimia menggunakan koagulan/flokulan PAC pada media kultur (peternakan) yang telah ditumbuhi mikroalga, nilai faktor yang optimal merupakan titik central sehingga berdasarkan hasil eksperimen didapatkan tiga nilai untuk masing-masing respon. Nilai TSS yang didapatkan dari hasil eksperimen adalah 6 mg/l, 6 mg/l dan 4 mg/l. Jika dibandingkan dengan nilai respon optimal maka nilai pertama dan kedua adalah sama yaitu 6 mg/l, sedangkan jika dibandingkan dengan nilai respon model terdapat sedikit perbedaan yaitu sebesar 0.2%. Untuk nilai hasil eksperimen ketiga yaitu 4 mg/l terdapat perbedaan sebesar 50% dengan nilai respon model. Pada nilai kekeruhan juga terdapat perbedaan yaitu nilai hasil eksperimen adalah 14 FTU, 15 FTU, dan 14 FTU. Nilai ketiganya berbeda dengan nilai respon model maupun optimasi, terdapat perbedaan sebesar 30% dan 21%. Nilai untuk respon warna berdasarkan hasil eksperimen yaitu 73 PtCo, 73 PtCo, 66 PtCo, sedangkan untuk model dan optimasi adalah 79.4 PtCo sehingga terdapat perbedaan sebesar 9% dan 20% antara hasil eksperimen dengan model. Pada nilai COD juga terdapat perbedaan yaitu nilai hasil eksperimen adalah 59.2 mg/l, 60.8 mg/l dan 61.6 mg/l. Nilai respon model dengan optimasi pada parameter COD ini adalah sama, hal ini disebabkan karena berdasarkan metode permukaan respon tidak terbentuk model persamaan sehingga nilai respon (Y) hanya ditunjukkan sebesar 66.2 mg/l. Apabila dibandingkan maka terdapat perbedaan nilai yaitu sebesar 12%, 9% dan 7%. Pada respon konsentrasi fosfat

23 terdapat perbedaan yang cukup besar antara hasil eksperimen kedua dan ketiga dengan model, namun untuk hasil eksperimen pertama hanya terdapat sedikit perbedaan. Hasil eksperimen menunjukkan nilai mg/l, mg/l dan mg/l, sedangkan nilai model adalah mg/l sehingga terdapat perbedaan sebesar 3%, 23% dan 27%. Nilai ph hasil eksperimen pertama adalah sebesar 6.6. Terdapat perbedaan sebesar 5% dengan nilai ph model (ph 6.3). Sedangkan untuk nilai ph hasil eksperimen kedua dan ketiga adalah sama yaitu sebesar 6.26 sehingga terdapat perbedaan sebesar 1%. Desain model yang terpilih dari hasil analisis penentuan model pada media kultur RPH untuk respon TSS adalah model linier. Hasil uji analisis ragam yaitu model tidak berpengaruh nyata terhadap respon karena prob>f (5%) = (nilai prob>f, lebih dari 0.05 menunjukkan bahwa model tersebut tidak nyata), kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat nyata karena nilainya kurang dari 0.1 yaitu 0,0044. Standar deviasi untuk model adalah 7.49 dengan nilai R 2 = 21.01% dan rasio 2.614, nilai R 2 masih cukup rendah dan rasio juga belum mengarahkan desain model dengan baik karena rasio yang baik adalah lebih besar dari 4. Pada respon kekeruhan, model yang terbentuk adalah model kuadratik, namun model tidak berpengaruh nyata karena prob>f yaitu Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat nyata karena nilainya kurang dari 0.1 yaitu Standar deviasi untuk model adalah dengan nilai R 2 = 62.20% dan rasio Pada respon warna, model yang terbentuk adalah model kuadratik, model tidak berpengaruh nyata karena prob>f yaitu Standar deviasi untuk model adalah dengan nilai R 2 = 69.97% dan rasio Pada respon COD model persamaan yang terpilih adalah linier dengan nilai prob>f yaitu , hal ini menunjukkan bahwa model tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat nyata karena nilainya kurang dari 0.1 yaitu 0,0894. Standar deviasi untuk model adalah 3.48 dengan nilai R 2 = 27.22% dan rasio Respon fosfat memiliki model linier dengan nilai prob>f yaitu , hal ini menunjukkan bahwa model tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat nyata karena nilainya kurang dari 0.1 yaitu Standar deviasi untuk model adalah dengan nilai R 2 = 30.73%

24 dan rasio Hasil uji analisis ragam untuk respon ph menunjukkan bahwa model yang terpilih adalah kuadratik. Nilai prob>f yaitu yang menunjukkan bahwa model tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Kesalahan pemodelan (lack of fit) bersifat tidak nyata karena nilainya lebih besar dari 0.1 yaitu , hal ini menunjukkan bahwa model sudah sesuai dengan trend atau plot dari model kuadratik. Standar deviasi untuk model adalah 0.26 dengan nilai R 2 = 77.76% dan rasio Hasil analisis ragam dapat dilihat lebih lengkap pada Lampiran 25, 26, 27, 28, 29 dan 30. Hasil optimasi pada media kultur (RPH) yang telah ditumbuhi mikroalga yaitu dengan faktor dosis PAC 100 mg/l pada ph 7 didapatkan nilai respon TSS = 9 mg/l, kekeruhan = 5 FTU, warna = 16 PtCo, COD = 61.3 mg/l, konsentrasi fosfat = mg/l dan ph = 6.4. Masing-masing respon memiliki model persamaan untuk mendapatkan nilai dari respon berdasarkan faktor dosis dan ph optimal. Data dapat dilihat pada Lampiran 2A. Nilai dari faktor dosis dan ph optimal (100 mg/l dan 7) akan dibandingkan dengan hasil eksperimen untuk memperoleh selisih antara hasil respon optimal dengan hasil eksperimen (dapat dilihat pada Lampiran 13-18). Berdasarkan optimasi dengan menerapkan proses koagulasi kimia menggunakan koagulan PAC pada media kultur (RPH) yang telah ditumbuhi mikroalga, nilai faktor yang optimal juga merupakan titik central sehingga berdasarkan hasil eksperimen didapatkan tiga nilai untuk masing-masing respon. Nilai TSS yang didapatkan berdasarkan hasil eksperimen adalah 5 mg/l, 5 mg/l dan 4 mg/l. Hasil yang didapatkan ini memiliki perbedaan yang cukup besar jika dibandingkan dengan nilai respon model yaitu 9 mg/l. Perbedaan antara hasil eksperimen dengan respon model adalah sebesar 82% dan 127%. Pada nilai kekeruhan, apabila dibandingkan dengan hasil eksperimen terdapat perbedaan namun tidak sebesar pada nilai TSS. Hasil eksperimen untuk kekeruhan adalah 4 FTU, 4 FTU dan 6 FTU, berdasarkan perhitungan maka terdapat perbedaan sebesar 25% dan 17% dengan nilai respon model. Hasil eksperimen warna yaitu 16 PtCo, nilai yang didapatkan ini sama dengan hasil perhitungan respon model. Hasil eksperimen untuk parameter COD yaitu 62.4 mg/l, 60.8 mg/l dan 63.2 mg/l, sedangkan hasil perhitungan berdasarkan respon model yaitu 61.3

25 mg/l sehingga terdapat perbedaan sebesar 2%, 1% dan 3% antara hasil eksperimen dengan respon model. Pada parameter konsentrasi fosfat diperoleh hasil eksperimen mg/l, mg/l dan mg/l, sedangkan hasil perhitungan berdasarkan respon model adalah mg/l. Pada konsentrasi fosfat ini terdapat perbedaan yang cukup besar antara hasil eksperimen dengan respon model yaitu sebesar 336%, 771% dan 1226%. Hasil eksperimen untuk parameter ph yaitu 6.6, 6 dan 6.7, sedangkan hasil perhitungan respon model adalah 6.4. Apabila dibandingkan antara hasil eksperimen dengan nilai respon model maka terdapat perbedaan sebesar 3%, 7% dan 4%. Efektivitas pemilihan titik optimal dari faktor yang digunakan (ph dan dosis) pada proses koagulasi kimia menggunakan koagulan PAC sebagai perlakuan pendahuluan pada teknik pemisahan mikroalga dilihat dari parameter TSS yang terukur. Berdasarkan perhitungan maka pada media kultur peternakan selisih antara hasil eksperimen dengan nilai respon model lebih kecil yaitu berkisar antara 0.2%-50% sedangkan pada media kultur (RPH) lebih besar yaitu 82% dan 127%. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai central untuk ph dan dosis yang juga merupakan pendugaan awal titik optimal telah sesuai dengan rancangan pada metode permukaan respon. Hubungan ph (X 1 ) dan dosis PAC (X 2 ) pada media kultur (peternakan) terhadap masing-masing respon ditunjukkan pada Gambar 13. Pada Gambar 13 (a), 13 (c) dan 13 (e) dapat dilihat bahwa nilai TSS, warna dan konsentrasi fosfat terus menurun dan mencapai titik optimal (6 mg/l, 78 PtCo dan mg/l) pada ph 7 dan dosis PAC 225 mg/l, kemudian terjadi sedikit peningkatan. Penurunan nilai ph dan dosis PAC bersifat kuadratik pada daerah penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ph dan dosis PAC diatas 7 dan 225 mg/l akan menghambat proses koagulasi mikroalga pada media kultur peternakan, dimana koagulan pada media kultur telah menjadi jenuh sehingga tidak bekerja secara optimal lagi untuk menurunkan kadar TSS, warna dan konsentrasi fosfat. Menurut Alaerts (1984), PAC memiliki beberapa keunggulan untuk digunakan sebagai koagulan yaitu efektif bekerja pada rentang ph 5-10, menghasilkan lumpur lebih sedikit dan memiliki efek korosi yang jauh lebih kecil.

26 Pada Gambar 13 (b) dapat dilihat bahwa nilai kekeruhan terus menurun dan mencapai titik optimal pada kekeruhan = 18 FTU, sedangkan pada Gambar 13 (f) menunjukkan bahwa nilai ph media kultur setelah diberi perlakuan semakin meningkat sehingga mencapai titik optimal yaitu 6.3. Model persamaan yang terbentuk berdasarkan gambar adalah linier pada daerah percobaan. Gambar 13 (d) yaitu kurva respon COD menunjukkan bahwa tidak terbentuk suatu model persamaan, berdasarkan metode respon permukaan tidak terpilih suatu model untuk menunjukkan hubungan antara faktor ph dan dosis PAC terhadap respon COD sehingga hanya terdapat satu nilai untuk semua kombinasi percobaan yaitu 66.2 mg/l. Hubungan ph (X 1 ) dan dosis PAC (X 2 ) pada media kultur (RPH) terhadap masing-masing respon ditunjukkan pada Gambar 14. Pada Gambar 14 (a) dan 14 (e) dapat dilihat bahwa nilai TSS dan konsentrasi fosfat terus mengalami peningkatan hingga mencapai titik optimal yaitu 9 mg/l dan mg/l. Pada Gambar 14 (b) dan 14 (c) dapat dilihat bahwa nilai kekeruhan dan warna terus mengalami penurunan hingga mencapai titik optimal (kekeruhan = 5 FTU dan warna = 16 PtCo). Penurunan nilai ph dan dosis PAC yang diikuti bersifat kuadratik pada daerah percobaan, pada titik tertentu nilai kekeruhan dan warna kembali meningkat. Nilai kekeruhan dan warna pada media kultur (RPH) ini lebih rendah daripada media kultur (peternakan).

27 W a r n a ( U n it P t C o ) p H K e k e r u h a n ( F T U T u r b id it y ) F o s f a t ( m g / L ) T S S ( m g / L ) C O D ( m g / L ) ware l ve predicted value ow predicted value Design-Expert Software Factor Coding: Actual COD Design points above predicted value Design points below predicted value X1 = B: Dosis X2 = A: ph X2: Dosis (mg/l) X1: ph X2: Dosis (mg/l) X1: ph are l ve predicted value w predicted value 30 (a) Design-Expert Software Factor Coding: Actual Fosfat Design points above predicted value Design points below predicted value (d) 25 X1 = A: ph X2 = B: Dosis oftware ctual above predicted value below predicted value X2: Dosis (mg/l) 6.75 (b) X1: ph Design-Expert Software Factor Coding: Actual ph Design points above predicted value Design points below predicted value X2: Dosis (mg/l) (e) X1: ph X1 = A: ph X2 = B: Dosis X2: Dosis (mg/l) 6.75 (c) X1: ph X2: Dosis (mg/l) Gambar 13 Kurva permukaan respon 3 dimensi hubungan antara ph dan dosis dengan (a) respon TSS, (b) kekeruhan, (c) warna, (d) COD, (e) fosfat dan (f) ph pada media kultur (peternakan) dengan koagulan PAC. (f) X1: ph 7.25

28 Gambar 14 (d) merupakan kurva yang menunjukkan hubungan antara ph (X 1 ) dan dosis PAC (X 2 ) terhadap COD. Kurva menunjukkan nilai COD pada respon model dibangun berdasarkan model persamaan linier, sedangkan Gambar 14 (f) yang merupakan kurva hubungan antara ph (X 1 ) dan dosis PAC (X 2 ) dengan parameter ph. Nilai ph terus mengalami peningkatan menuju ph netral dan mencapai titik optimal pada faktor ph 7 dan dosis PAC 100 mg/l. Penggunaan PAC sebagai koagulan pada proses koagulasi kimia sebagai perlakuan pendahuluan pada teknik pemisahan mikroalga pada kedua media kultur memberikan hasil yang cukup efektif yaitu diperoleh nilai optimal untuk TSS adalah berkisar antara 4-6 mg/l pada ph yang sama yaitu 7 namun dengan dosis PAC yang berbeda yaitu untuk media kultur (peternakan) adalah 225 mg/l dan media kultur (RPH) adalah 100 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar mikroalga yang telah ditumbuhkan pada kedua media kultur telah berhasil dipisahkan, namun dosis PAC sebagai koagulan masih cukup besar.

29 W a r n a ( U n it P t C o ) p H K e k e r u h a n ( F T U T u r b id it y ) F o s f a t ( m g / L ) T S S ( m g / L ) C O D ( m g / L ) Software Actual s above predicted value s below predicted value Design-Expert Software Factor Coding: Actual COD Design points above predicted value Design points below predicted value X1 = A: ph X2 = B: Dosis Software ctual above predicted value below predicted value X2: Dosis (mg/l) (a) X1: ph 7.50 Design-Expert Software Factor Coding: Actual Fosfat Design points above predicted value Design points below predicted value X2: Dosis (mg/l) (d) X1: ph X1 = A: ph X2 = B: Dosis X2: Dosis (mg/l) X1: ph X2: Dosis (mg/l) X1: ph 7.50 Software Actual ts above predicted value ts below predicted value (b) Design-Expert Software Factor Coding: Actual ph Design points above predicted value Design points below predicted value X1 = A: ph X2 = B: Dosis (e) X2: Dosis (mg/l) X1: ph X2: Dosis (mg/l) X1: ph 7.50 (c) (f) Gambar 14 Kurva permukaan respon 3 dimensi hubungan antara ph dan dosis dengan respon (a) respon TSS, (b) kekeruhan, (c) warna, (d) COD, (e) fosfat dan (f) ph pada media kultur (RPH) dengan koagulan PAC.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas Air Tanah Gambut dengan Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Rasidah a, Boni P. Lapanporo* a, Nurhasanah a

Peningkatan Kualitas Air Tanah Gambut dengan Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Rasidah a, Boni P. Lapanporo* a, Nurhasanah a Peningkatan Kualitas Air Tanah Gambut dengan Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Rasidah a, Boni P. Lapanporo* a, Nurhasanah a a Prodi Fisika, FMIPA Universitas Tanjungpura, Jalan Prof. Dr. Hadari Nawawi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ).

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ). 0.45 µm, ph meter HM-20S, spektrofotometer serapan atom (AAS) Analytic Jena Nova 300, spektrofotometer DR 2000 Hach, SEM-EDS EVO 50, oven, neraca analitik, corong, pompa vakum, dan peralatan kaca yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya sektor industri pertanian meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kehidupan dan kesehatan manusia (Sunu, 2001). seperti Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat,

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kehidupan dan kesehatan manusia (Sunu, 2001). seperti Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan di bidang industri dan teknologi membawa kesejahteraan khususnya di sektor ekonomi. Namun demikian, ternyata juga menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan,

Lebih terperinci

APLIKASI METODE ELEKTROKOAGULASI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH COOLANT. Arie Anggraeny, Sutanto, Husain Nashrianto

APLIKASI METODE ELEKTROKOAGULASI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH COOLANT. Arie Anggraeny, Sutanto, Husain Nashrianto APLIKASI METODE ELEKTROKOAGULASI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH COOLANT Arie Anggraeny, Sutanto, Husain Nashrianto Program Studi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan Jalan Pakuan PO BOX 452,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin besarnya laju perkembangan penduduk dan industrialisasi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Padatnya pemukiman dan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya kegiatan manusia akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampaui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai usaha telah dilaksanakan oleh pemerintah pada akhir-akhir ini untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat yang dicita-citakan yaitu masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. penyamakan kulit dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS Mini

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. penyamakan kulit dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS Mini 43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Proses elektrokoagulasi terhadap sampel air limbah penyamakan kulit dilakukan dengan bertahap, yaitu pengukuran treatment pada sampel air limbah penyamakan kulit dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin tinggi dan peningkatan jumlah industri di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin tinggi dan peningkatan jumlah industri di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penurunan kualitas air merupakan salah satu bentuk penurunan kualitas lingkungan sebagai akibat dari tingkat pertambahan penduduk yang semakin tinggi dan peningkatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya.

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. BAB I PENDAHULUAN I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. Sumber pencemaran lingkungan diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran yang melampui daya dukungnya. Pencemaran yang. mengakibatkan penurunan kualitas air berasal dari limbah terpusat (point

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran yang melampui daya dukungnya. Pencemaran yang. mengakibatkan penurunan kualitas air berasal dari limbah terpusat (point BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah yang timbul akibat meningkatnya kegiatan manusia adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampui daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

BAB II AIR LIMBAH PT. UNITED TRACTORS Tbk

BAB II AIR LIMBAH PT. UNITED TRACTORS Tbk BAB II AIR LIMBAH PT. UNITED TRACTORS Tbk 2.1. Sumber Limbah ini antara lain: Sumber air limbah yang ada di PT. United Tractors Tbk saat Dari proses produksi, (proses produksi/ bengkel, dan cuci unit),

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terbagi atas 6 bagian, yaitu : 1. Analisa karakteristik air limbah yang diolah. 2.

Lebih terperinci

RACE-Vol.4, No.1, Maret 2010 ISSN PENGARUH PASANGAN ELEKTRODA TERHADAP PROSES ELEKTROKOAGULASI PADA PENGOLAHAN AIR BUANGAN INDUSTRI TEKSTIL

RACE-Vol.4, No.1, Maret 2010 ISSN PENGARUH PASANGAN ELEKTRODA TERHADAP PROSES ELEKTROKOAGULASI PADA PENGOLAHAN AIR BUANGAN INDUSTRI TEKSTIL RACE-Vol.4, No.1, Maret 21 ISSN 1978-1979 PENGARUH PASANGAN ELEKTRODA TERHADAP PROSES ELEKTROKOAGULASI PADA PENGOLAHAN AIR BUANGAN INDUSTRI TEKSTIL Oleh Agustinus Ngatin Yunus Tonapa Sarungu Mukhtar Gozali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit bebas bulu dan urat di bawah kulit. Pekerjaan penyamakan kulit mempergunakan air dalam jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 18 BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperoleh dari berbagai sumber, tergantung pada kondisi daerah setempat. Kondisi sumber air pada setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum sehingga merupakan modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif, keberadaan industri juga dapat menyebabkan dampak

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif, keberadaan industri juga dapat menyebabkan dampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan sektor industri menjadi salah satu sektor penting, dimana keberadaannya berdampak positif dalam pembangunan suatu wilayah karena dengan adanya industri maka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Pengenalan Air Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

Jurusan. Teknik Kimia Jawa Timur C.8-1. Abstrak. limbah industri. terlarut dalam tersuspensi dan. oxygen. COD dan BOD. biologi, (koagulasi/flokulasi).

Jurusan. Teknik Kimia Jawa Timur C.8-1. Abstrak. limbah industri. terlarut dalam tersuspensi dan. oxygen. COD dan BOD. biologi, (koagulasi/flokulasi). KINERJA KOAGULAN UNTUK PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU KETUT SUMADA Jurusan Teknik Kimia Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur email : ketutaditya@yaoo.com Abstrak Air

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota besar, semakin banyak didirikan Rumah Sakit (RS). 1 Rumah Sakit sebagai sarana upaya perbaikan

Lebih terperinci

PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD)

PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) Diperoleh penurunan kadar COD optimum pada variasi tumbuhan Tapak Kuda + Kompos 1 g/l. Nilai COD lebih cepat diuraikan dengan melibatkan sistem tumbuhan

Lebih terperinci

Gambar 3. Penampakan Limbah Sisa Analis is COD

Gambar 3. Penampakan Limbah Sisa Analis is COD IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Limbah Laboratorium Limbah laboratorium yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah sisa analisis COD ( Chemical Oxygen Demand). Limbah sisa analisis COD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan salah satu pusat industri batik yang dikenal sejak

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan salah satu pusat industri batik yang dikenal sejak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yogyakarta merupakan salah satu pusat industri batik yang dikenal sejak zaman kerajaan Mataram ke-1. Pembatikan merupakan teknik mewarnai kain dengan menempelkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsep buatan dan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Di

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR APLIKASI ELEKTROKOAGULASI PASANGAN ELEKTRODA BESI UNTUK PENGOLAHAN AIR DENGAN SISTEM KONTINYU. Surabaya, 12 Juli 2010

SEMINAR TUGAS AKHIR APLIKASI ELEKTROKOAGULASI PASANGAN ELEKTRODA BESI UNTUK PENGOLAHAN AIR DENGAN SISTEM KONTINYU. Surabaya, 12 Juli 2010 SEMINAR TUGAS AKHIR APLIKASI ELEKTROKOAGULASI PASANGAN ELEKTRODA BESI UNTUK PENGOLAHAN AIR DENGAN SISTEM KONTINYU Oleh : Andri Lukismanto (3306 100 063) Dosen Pembimbing : Abdu Fadli Assomadi S.Si MT Jurusan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENGOLAHAN AIR SUNGAI

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENGOLAHAN AIR SUNGAI 85 Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.7 No.2 PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENGOLAHAN AIR SUNGAI Fitri Ayu Wardani dan Tuhu Agung. R Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

Serbuk Biji Kelor Sebagai Koagulan Harimbi Mawan Dinda Rakhmawati

Serbuk Biji Kelor Sebagai Koagulan Harimbi Mawan Dinda Rakhmawati SERBUK BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES KOAGULASI FLOKULASI LIMBAH CAIR PABRIK TAHU Harimbi Setyawati 1), Mawan Kriswantono 2), Dinda An Nisa 3), Rakhmawati Hastuti 4) 1,3,4 Program Studi Teknik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Air Baku Aliran Sungai Cihideung Air baku merupakan sumber air bersih yang dapat berasal dari air hujan, air tanah, air danau, dan air sungai. Air sungai merupakan salah satu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan dan kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Rumus untuk perhitungan TSS adalah sebagai berikut: TSS = bobot residu pada kertas saring volume contoh Pengukuran absorbans

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph Salah satu karakteristik limbah cair tapioka diantaranya adalah memiliki nilai ph yang kecil atau rendah. ph limbah tapioka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan-bahan yang ada dialam. Guna memenuhi berbagai macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. bahan-bahan yang ada dialam. Guna memenuhi berbagai macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia banyak memerlukan berbagai macam bahan-bahan yang ada dialam. Guna memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya tersebut manusia melakukan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

A. BAHAN DAN ALAT B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas bahan uji dan bahan kimia. Bahan uji yang digunakan adalah air limbah industri tepung agar-agar. Bahan kimia yang

Lebih terperinci

BAB 4 HASL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASL DAN PEMBAHASAN 30 BAB 4 HASL DAN PEMBAHASAN 4.1 UPAL-REK Hasil Rancangan Unit Pengolahan Air Limbah Reaktor Elektrokimia Aliran Kontinyu (UPAL - REK) adalah alat pengolah air limbah batik yang bekerja menggunakan proses

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara langsung maupun dalam jangka panjang. Berdasarkan sumbernya, limbah

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara langsung maupun dalam jangka panjang. Berdasarkan sumbernya, limbah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Cair Secara sederhana limbah cair dapat didefinisikan sebagai air buangan yang berasal dari aktivitas manusia dan mengandung berbagai polutan yang berbahaya baik secara

Lebih terperinci

STUDI PENURUNAN KONSENTRASI NIKEL DAN TEMBAGA PADA LIMBAH CAIR ELEKTROPLATING DENGAN METODE ELEKTROKOAGULASI

STUDI PENURUNAN KONSENTRASI NIKEL DAN TEMBAGA PADA LIMBAH CAIR ELEKTROPLATING DENGAN METODE ELEKTROKOAGULASI STUDI PENURUNAN KONSENTRASI NIKEL DAN TEMBAGA PADA LIMBAH CAIR ELEKTROPLATING DENGAN METODE ELEKTROKOAGULASI ABSTRAK Rachmanita Nofitasari, Ganjar Samudro dan Junaidi Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Rumah Makan Sederhana Natar-Lampung Selatan.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Rumah Makan Sederhana Natar-Lampung Selatan. 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Kerja Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Makan Sederhana Natar-Lampung Selatan. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biomassa dari bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Limbah deidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak negatif jika

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah laboratorium dengan

BAB V PEMBAHASAN. Pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah laboratorium dengan BAB V PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah laboratorium dengan menggunakan gabungan metode elektrokoagulasi dan EAPR. Parameter yang digunakan yaitu logam berat Pb, Cu, COD dan ph.

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH Spectra Nomor 8 Volume IV Juli 06: 16-26 KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH Sudiro Ika Wahyuni Harsari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan 2. Alat

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan 2. Alat III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Limbah cair usaha kegiatan peternakan dari MT Farm Ciampea b. Air Danau LSI IPB. c.

Lebih terperinci

Menentukan Dimensi Setiap Peralatan yang Diperlukan Sesuai Proses yang Terpilih Menentukan Luas Lahan yang Diperlukan Menentukan Biaya Bangunan

Menentukan Dimensi Setiap Peralatan yang Diperlukan Sesuai Proses yang Terpilih Menentukan Luas Lahan yang Diperlukan Menentukan Biaya Bangunan perancangan FASILITAS FLOW SHEET PROSES PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI Menentukan Dimensi Setiap Peralatan yang Diperlukan Sesuai Proses yang Terpilih Menentukan Luas Lahan yang Diperlukan Menentukan Biaya

Lebih terperinci

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang OP-18 REKAYASA BAK INTERCEPTOR DENGAN SISTEM TOP AND BOTTOM UNTUK PEMISAHAN MINYAK/LEMAK DALAM AIR LIMBAH KEGIATAN KATERING Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan suatu bahan pokok yang sangat diperlukan oleh setiap mahluk hidup yang ada di bumi. Keberadaan sumber air bersih pada suatu daerah sangat mempengaruhi

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS ELEKTROFLOKULATOR DALAM MENURUNKAN TSS DAN BOD PADA LIMBAH CAIR TAPIOKA

EFEKTIFITAS ELEKTROFLOKULATOR DALAM MENURUNKAN TSS DAN BOD PADA LIMBAH CAIR TAPIOKA Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1 Juni 10 ISSN : 1979-5858 EFEKTIFITAS ELEKTROFLOKULATOR DALAM MENURUNKAN TSS DAN BOD PADA LIMBAH CAIR TAPIOKA Hery Setyobudiarso (Staf Pengajar Jurusan Teknik Lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Uji Pengendapan dengan Variasi Konsentrasi Koagulan dan Variasi Konsentrasi Flokulan

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Uji Pengendapan dengan Variasi Konsentrasi Koagulan dan Variasi Konsentrasi Flokulan BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Uji Pengendapan dengan Variasi Konsentrasi Koagulan dan Variasi Konsentrasi Flokulan Hasil pengujian tahap awal ini ditunjukkan pada Gambar 4.1 yaitu grafik pengaruh konsentrasi flokulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan industri adalah salah satu kegiatan sektor ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi sektor industri terhadap

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan dalam kultivasi yakni 3 unit bak/wahana kultivasi raceway (p = 100 cm, l = 60 cm, dan t = 40 cm), 12 unit aquarium (p = 40 cm, l = 25 cm,

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2006), menjadi peluang besar bagi industri ini dalam pemanfaatan limbah untuk

I. PENDAHULUAN. 2006), menjadi peluang besar bagi industri ini dalam pemanfaatan limbah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pabrik pengolahan kelapa sawit menghasilkan limbah cair dalam jumlah yang besar, yaitu berkisar antara 600-700 liter/ton tandan buah segar (TBS) (Naibaho, 1999) atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberadaan industri dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun juga tidak jarang merugikan masyarakat, yaitu berupa timbulnya pencemaran lingkungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

PERBAIKAN KUALITAS AIR LIMBAH INDUSTRI FARMASI MENGGUNAKAN KOAGULAN BIJI KELOR (Moringa oleifera Lam) DAN PAC (Poly Alumunium Chloride)

PERBAIKAN KUALITAS AIR LIMBAH INDUSTRI FARMASI MENGGUNAKAN KOAGULAN BIJI KELOR (Moringa oleifera Lam) DAN PAC (Poly Alumunium Chloride) PERBAIKAN KUALITAS AIR LIMBAH INDUSTRI FARMASI MENGGUNAKAN KOAGULAN BIJI KELOR (Moringa oleifera Lam) DAN PAC (Poly Alumunium Chloride) Etih Hartati, Mumu Sutisna, dan Windi Nursandi S. Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu Berdasarkan analisis ANAVA (α=0.05) terhadap Hubungan antara kualitas fisik dan kimia

Lebih terperinci

Mn 2+ + O 2 + H 2 O ====> MnO2 + 2 H + tak larut

Mn 2+ + O 2 + H 2 O ====> MnO2 + 2 H + tak larut Pengolahan Aerasi Aerasi adalah salah satu pengolahan air dengan cara penambahan oksigen kedalam air. Penambahan oksigen dilakukan sebagai salah satu usaha pengambilan zat pencemar yang tergantung di dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber daya alam merupakan bagian penting bagi kehidupan dan. keberlanjutan manusia serta makhluk hidup lainnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber daya alam merupakan bagian penting bagi kehidupan dan. keberlanjutan manusia serta makhluk hidup lainnya. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya alam merupakan bagian penting bagi kehidupan dan keberlanjutan manusia serta makhluk hidup lainnya. Namun dalam pemanfaatannya, manusia cenderung melakukan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan Data Hasil Percobaan Pengumpulan data hasil percobaan diperoleh dari beberapa pengujian, yaitu: a. Data Hasil Pengujian Sampel Awal Data hasil pengujian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. air dapat berasal dari limbah terpusat (point sources), seperti: limbah industri,

BAB 1 PENDAHULUAN. air dapat berasal dari limbah terpusat (point sources), seperti: limbah industri, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran air yang terus meningkat telah menurunkan kualitas air di seluruh dunia. Pencemaran air disebabkan oleh jumlah manusia dan kegiatan manusia yang beragam.

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK PADA SKALA LABORATORIUM DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELEKTROKOAGULASI

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK PADA SKALA LABORATORIUM DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELEKTROKOAGULASI VOLUME 5 NO. 1, JUNI 2009 PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK PADA SKALA LABORATORIUM DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELEKTROKOAGULASI Andik Yulianto, Luqman Hakim, Indah Purwaningsih, Vidya Ayu Pravitasari

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS LIMBAH CAIR BATIK SEBELUM DAN SESUDAH DIOLAH DENGAN TAWAS DAN SUPER FLOK TERHADAP BIOINDIKATOR (Cyprinus carpio L)

UJI TOKSISITAS LIMBAH CAIR BATIK SEBELUM DAN SESUDAH DIOLAH DENGAN TAWAS DAN SUPER FLOK TERHADAP BIOINDIKATOR (Cyprinus carpio L) UJI TOKSISITAS LIMBAH CAIR BATIK SEBELUM DAN SESUDAH DIOLAH DENGAN TAWAS DAN SUPER FLOK TERHADAP BIOINDIKATOR (Cyprinus carpio L) Yuli Pratiwi 1*, Sri Hastutiningrum 2, Dwi Kurniati Suyadi 3 1,2,3 Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari proses soaking, liming, deliming, bating, pickling, tanning, dyeing,

BAB I PENDAHULUAN. dari proses soaking, liming, deliming, bating, pickling, tanning, dyeing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri rumah tangga yang sering dipermasalahkan karena limbahnya yang berpotensi mencemari lingkungan yang ada di sekitarnya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

Penyisihan Besi (Fe) Dalam Air Dengan Proses Elektrokoagulasi. Satriananda *) ABSTRAK

Penyisihan Besi (Fe) Dalam Air Dengan Proses Elektrokoagulasi. Satriananda *) ABSTRAK Penyisihan Besi (Fe) Dalam Air Dengan Proses Elektrokoagulasi Satriananda *) ABSTRAK Air yang mengandung Besi (Fe) dapat mengganggu kesehatan, sehingga ion-ion Fe berlebihan dalam air harus disisihkan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Aerasi untuk Menurunkan Polutan Lindi Pengolahan lindi menjadi efluen yang aman untuk dibuang ke lingkungan dilakukan melalui proses aerasi dengan memberikan empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laboratorium merupakan salah satu penghasil air limbah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Laboratorium merupakan salah satu penghasil air limbah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laboratorium merupakan salah satu penghasil air limbah dengan kandungan bahan-bahan berbahaya yang cukup tinggi, sehingga diperlukan suatu pengolahan sebelum dibuang

Lebih terperinci

Oleh: Rizqi Amalia ( ) Dosen Pembimbing: Welly Herumurti ST. M.Sc

Oleh: Rizqi Amalia ( ) Dosen Pembimbing: Welly Herumurti ST. M.Sc Oleh: Rizqi Amalia (3307100016) Dosen Pembimbing: Welly Herumurti ST. M.Sc JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2011 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian Penelitian biofiltrasi ini targetnya adalah dapat meningkatkan kualitas air baku IPA Taman Kota Sehingga masuk baku mutu Pergub 582 tahun 1995 golongan B yakni

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Prosedur Penelitian Tahapan penelitian yang dilakukan kali ini secara keseluruhan digambarkan oleh Gambar III.1. Pada penelitian kali akan digunakan alum sebagai koagulan.

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 1 (2017), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 1 (2017), Hal ISSN : Analisis Kualitas Air Sumur Bor di Pontianak Setelah Proses Penjernihan Dengan Metode Aerasi, Sedimentasi dan Filtrasi Martianus Manurung a, Okto Ivansyah b*, Nurhasanah a a Jurusan Fisika, Fakultas Matematika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesehatan lingkungan. Hampir semua limbah binatu rumahan dibuang melalui. kesehatan manusia dan lingkungannya (Ahsan, 2005).

I. PENDAHULUAN. kesehatan lingkungan. Hampir semua limbah binatu rumahan dibuang melalui. kesehatan manusia dan lingkungannya (Ahsan, 2005). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Limbah binatu mengandung sisa deterjen, pewangi, pelembut, pemutih, dan senyawa aktif metilen biru yang sulit terdegradasi dan berbahaya bagi kesehatan lingkungan. Hampir

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE ELEKTROKOAGULASI DENGAN PRESIPITASI HIDROKSIDA UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT RUSYADI WICAHYO AULIANUR

PERBANDINGAN METODE ELEKTROKOAGULASI DENGAN PRESIPITASI HIDROKSIDA UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT RUSYADI WICAHYO AULIANUR PERBANDINGAN METODE ELEKTROKOAGULASI DENGAN PRESIPITASI HIDROKSIDA UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT RUSYADI WICAHYO AULIANUR DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS 6.1 Pre Eksperimen BAB VI HASIL Sebelum dilakukan eksperimen tentang pengolahan limbah cair, peneliti melakukan pre eksperimen untuk mengetahui lama waktu aerasi yang efektif menurunkan kadar kandungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri kelapa sawit. Pada saat ini perkembangan industri kelapa sawit tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. industri kelapa sawit. Pada saat ini perkembangan industri kelapa sawit tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar untuk pengembangan industri kelapa sawit. Pada saat ini perkembangan industri kelapa sawit tumbuh cukup pesat. Pada tahun

Lebih terperinci

STUDI PENURUNAN KONSENTRASI NIKEL DAN TEMBAGA PADA LIMBAH CAIR ELEKTROPLATING DENGAN METODE ELEKTROKOAGULASI

STUDI PENURUNAN KONSENTRASI NIKEL DAN TEMBAGA PADA LIMBAH CAIR ELEKTROPLATING DENGAN METODE ELEKTROKOAGULASI STUDI PENURUNAN KONSENTRASI NIKEL DAN TEMBAGA PADA LIMBAH CAIR ELEKTROPLATING DENGAN METODE ELEKTROKOAGULASI Rachmanita Nofitasari, Ganjar Samudro dan Junaidi Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua makhluk hidup. Maka, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh

Lebih terperinci

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015 PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015 A. PEMANTAUAN KUALITAS AIR DANAU LIMBOTO Pemantauan kualitas air ditujukan untuk mengetahui pengaruh kegiatan yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik sludge 4.1.1. Sludge TPA Bantar Gebang Sludge TPA Bantar Gebang memiliki kadar C yang cukup tinggi yaitu sebesar 10.92% dengan kadar abu sebesar 61.5%.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah cair Menurut PP No 82 tahun 2001 limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Limbah cair berasal dari dua jenis sumber yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkebunan dan domestik (Asmadi dan Suharno, 2012). limbah cair yang tidak ditangani dengan semestinya. Di berbagai tempat

BAB I PENDAHULUAN. perkebunan dan domestik (Asmadi dan Suharno, 2012). limbah cair yang tidak ditangani dengan semestinya. Di berbagai tempat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya kegiatan manusia merupakan salah satu penyebab tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampaui daya dukungnya. Pencemaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir-hampir 0,1% dari padanya berupa benda-benda

Lebih terperinci

I. Tujuan Setelah praktikum, mahasiswa dapat : 1. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi 2. Menentukan efisiensi pengendapan

I. Tujuan Setelah praktikum, mahasiswa dapat : 1. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi 2. Menentukan efisiensi pengendapan I. Tujuan Setelah praktikum, mahasiswa dapat : 1. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi 2. Menentukan efisiensi pengendapan II. Dasar Teori Sedimentasi adalah pemisahan solid dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung

BAB I PENDAHULUAN. tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun cair. Limbah padat dihasilkan dari proses penyaringan dan penggumpalan. Limbah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kandungan nilai gizi yang cukup tinggi. Bahan baku pembuatan tahu adalah

I. PENDAHULUAN. kandungan nilai gizi yang cukup tinggi. Bahan baku pembuatan tahu adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahu merupakan salah satu makanan tradisional yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia. Pada tahun 2010 usaha tahu di Indonesia mencapai angka 84.000 unit usaha. Unit

Lebih terperinci

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALAMI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI FARMASI

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALAMI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI FARMASI al Kimiya, Vol. 2, No. 1, Juni 215 PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALAMI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI FARMASI DYAH DWI POERWANTO, 1 EKO PRABOWO HADISANTOSO, 1*

Lebih terperinci

RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR. Oleh DEDY BAHAR 5960

RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR. Oleh DEDY BAHAR 5960 RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR Oleh DEDY BAHAR 5960 PEMERINTAH KABUPATEN TEMANGGUNG DINAS PENDIDIKAN SMK NEGERI 1 (STM PEMBANGUNAN) TEMANGGUNG PROGRAM STUDY KEAHLIAN TEKNIK KIMIA KOPETENSI KEAHLIAN KIMIA

Lebih terperinci