A-1

Transkripsi

1 A-1

2 B-1

3 B-2

4 B-3

5 B-4

6 B-5

7 B-6

8 B-7

9 B-8

10 B-9

11 B-10

12 B-11

13 B-12

14 B-13

15 B-14

16 B-15

17 B-16

18 B-17

19 B-18

20 B-19

21 B-20

22 B-21

23 B-22

24 B-23

25 B-24

26 B-25

27 B-26

28 B-27

29 B-28

30 B-29

31 B-30

32 B-31

33 B-32

34 B-33

35 B-34

36 B-35

37 B-36

38 B-37

39 B-38

40 B-39

41 B-40

42 B-41

43 B-42

44 B-43

45 B-44

46 B-45

47 TRANSKRIP WAWANCARA Profil Narasumber Nama : Adek Media Roza Pekerjaan : 1) Redaktur Tempo ( ) 2) Manajer Riset di Katadata (2014-sekarang) Peneliti: Bagaimana pendapat pribadi Bapak atas kasus pembunuhan Engeline? Bapak Adek: Kasus pembunuhan Engeline ini peristiwa yang sangat tragis ya, buat masyarakat kaget, termasuk kita juga semua. Kita melihat bagaimana seorang anak kecil yang ditemukan tewas di bawah kandang ayam yang terkubur. Jadi ini benar-benarberita yang mengundang emosi dan simpati masyarakat. Bahkan saya juga secara pribadi, meskipun saya tidak menulis tentang itu, tapi saya selalu mengikuti pemberitaan tentang Engeline itu. Peneliti: Kita setuju bahwa kasus pembunuhan Engeline ini sempat menyita perhatian publik. Menurut bapak, apakah hal ini terjadi karena memang masyarakat murni simpati terhadap kasus itu atau karena efek pemberitaan di media massa? Bapak Adek: Pertama, apa yang terjadi kepada Engeline secara alamiah pasti mengundang emosi dan simpati masyarakat, itu satu hal. Kemudian, hal lain adalah bagaimana massifnya pemberitaan di media. Kita tau kalau kita liat di berita online, seperti detik.com misalnya, bukan lagi jam per jam perkembangan berita soal Engeline, tapi juga menit per menit. Kalau kita refresh detik.com, muncul lagi berita baru seputar Engeline. Begitu juga pemberitaan di media cetak. Berhari-hari berita ini bisa muncul di halaman depan, entah itu di Kompas, entah it di Tempo, bahkan dengan foto dan ilustrasi yang besar-besar. Di televisi juga, pagi, siang, sore, malam, perkembangan berita Engeline ini selalu dimuat. Jadi, kita ga bisa pisahkan apakah itu karena pemberitaan oleh media yang besar, yang massif ataukah simpati masyarakat. Pertama, masyarakat bisa tau informasi itu dari pemberitaan media. Mungkin kalau rumah masyarakat itu hanya sekitar di Bali atau sekitar di rumah Engeline, dia tau berita dari tetangga, dia simpati. Tapi bagaimana masyarakat yang di Aceh, yang di Papua, yang di luar negeri, mereka kan pasti tau dari media. Setelah mereka tahu, media kemudian memainkan peran yang lebih besar lagi, yaitu mengaduk-aduk emosi masyarakat. Sehingga membentuk opini publik. Mengaduk-aduk emosi itu adalah misalnya meda secara detil meceritakan C-1

48 bagaimana Engeline disiksa, dari kecil hidupnya menderita, dia selalu diberikan pakaian yang jelek, atau hal-hal yang tidak layak dilakukan pada anak kecil. Artinya Engeline mengalami penderitaan. Kemudian, bagaimana ia dipukuli. Jadi pemberitaan semacam ini akan mengaduk-aduk emosi pembaca, dan pembaca itu semakin emosional terhadap berita itu. Akhirnya, karena pemberitaan yang massif dan terus menerus, dan publik lama-lama terpengaruh, terbentuklah yang disebut opini publik. Opini publik dalam kasus Engeline contohnya adalah tuntutan bahwa pelaku harus dhukum mati, polisi harus mengungkap tuntas kasus ini. Dampaknya adalah polisi langsung menganggap kasus ini sangat penting sehingga menjadi prioritas polisi. Jadi, prosesnya adalah sebuah peristiwa yang mengundang emosi dan simpati publik, diumumkan secara massif lewat media massa, kemudian publik secara umum tahu dan bersimpati sehingga terbentuk opini publik, dan opini inilah yang menekan aparatur negara untuk mengungkap kasus ini. Peneliti: Jadi, sebenarnya kedua belah pihak ini saling berkesinambungan ya pak? Bapak Adek: Iya, betul. Peneliti: Menurut Bapak, selama kasus Engeline ini, bagaimana peranan media massa? Apakah berlebihan atau apakah itu sudah baik atau seperti apa? Bapak Adek: Kita tidak bisa melihat secara general ya, artinya ada sejumlah media massa yang memberitakan secara proporsional. Proporsional artinya media massa memberitakan tentang adanya peristiwa pembunuhan, kemudian ada penyelidikan, ada tersangka yang ditangkap, kemudian ada pengacara yang diwawancara, ada polisi yang bicara, ada pengamat. Sampai titik itu, masih proporsional. Tapi sebagian media juga melangkah lebih jauh, misalnya media yang memuat detil-detil kekerasan yang dialami oleh Engeline, misalnya secara gamblang disebutkan bahwa Engeline disiksa, disayat disini, kemudian dia dipukuli. Berita itu sangat dramatis, dan itu yang kita sebut berlebihan. Ada juga media yang cenderung menghakimi. Misalnya ketika polisi sudah menangkap seorang tersangka, tiba-tiba media langsung mencap polisi menangkap pembunuh Engeline. Contohnya seperti Si A harus dihukum mati, itu yang disebut media sudah melebihi wewenangnya sebagai pemberi informasi, tapi sudah mencap seseorang sebagai tersangka dan harus dihukum. Kalau dilihat secara general, yang terjadi adalah saat ini media berlomba-lomba untuk memberitakan apa yang terbaru dari kasus Engeline ini. Entah itu temen SDnya di wawancara, entah itu orang tuanya yang di Banyuwangi diwawancara, entah itu penjaga sekolah, dan lain sebagainya yang kadang berita-berita itu sebenarnya bukan fokus dari kasus pembunuhannya itu sendiri, itu tidak diperlukan. Tapi memang menjadi menarik dan dibaca publik, dan di satu sisi, media ingin mencapai rating yang tinggi, ingin banyak dibaca, terutama media online. Seperti detik.com, setiap menit selalu update dan kita sebagai pembaca juga me-refresh untuk mengetahui berita yang terbaru. Publik ingin tahu, dan media terpaksa membuat apapun yang bisa mereka tulis sehingga memang ada kesan media berlebihan dalam pemberitaan ini. Peneliti: C-2

49 Jadi, bisa dikatakan kalau media itu berlebihan jika ia mengekspos sisi dramatis, padahal seharusnya dalam kasus pembunuhan ini, lebih baik berfokus pada proses penyelidikan, pemeriksaan, seperti itu? Bapak Adek: Iya, jadi dalam kasus Engeline, berita yang ramai itu kan misalnya, bagaimana Engeline dibunuh, Engeline ditemukan sedang pegang boneka, bahkan ada foto-foto sebelum visum dia tersebar, kemudian wawancara dengan pihak-pihak lain yang tidak relevan. Tapi kemudian sedikit media yang menanyakan tentang keseriusan Polda atau Polres dalam menyidik kasus ini. Padahal kita tahu, polisi memerlukan beberapa hari sampai ibu angkatnya itu menjadi tersangka kan, padahal saat itu kita sudah sangat curiga, tapi kenapa polisi menunda-nunda ini. Ada apa di balik ini. Harusnya, fungsi media adalah mencari tahu itu. Apakah mungkin ada main mata antara polisi dengan ibu angkat ini, apakah sudah disuap, dan lain sebagainya. Tapi kemudian media ikut arus ke permainan yang sensasional, mengaduk emosi massa, dan lain sebagainya yang bukan merupakan inti dari masalah ini. Peneliti: Apakah ideologi berperan dalam pengkonstruksi berita dalam media massa? Bapak Adek: Ideologi pasti berperan, jadi satu media misalnya memiliki ideologi yaitu ingin menciptakan masyarakat sipil yang bersih dari korupsi, contohnya Tempo. Dalam setiap pemberitaannya, Tempo selalu mengungkap kasus-kasus korupsi. Tersangka korupsi ditulis besar-besar, kemudian dalam tanda kutip dipermalukan. Itu adalah salah satu bentuk dari pengejawantahan dari ideologi itu. Begitu juga suatu media yang concern dengan masalah anak, dengan masalah masa depan bangsa, kasus Engeline ini akan menjadi headline besar mereka. Mereka akan menjadikan Engeline sebagai representasi potret buruk anak Indonesia secara umum. Mereka akan berusaha menyebar kekhawatiran pada masyarakat bahwa inilah kondisi anak Indonesia sekarang sehingga kita harus peduli dan siaga dalam menjaga anak kita. Jadi ideologi, kemudian agenda setting, itu sangat mempengaruhi konsumsi pemberitaan media. Lain lagi dengan misalnya sebuah media yang memiliki afiliasi dengan Polri. Mereka akan menulis kasus Engeline dari sudut pandang polisi, bagaimana polisi berhasil menangkap tersangka, bagaimana polisi berhasil menemukan ini, jadi dar sisi keberhasilan polisi yang mereka sebut. Jadi ideologi sangat berpengaruh. Peneliti: Berdasarkan hasil penelitian saya, saya mendapatkan data bahwa Harian Kompas memberitakan 25 berita tentang pembunuhan Engeline selama satu bulan selama 11 Juni hingga 11 Juli. Keseluruhan 25 berita tersebut menberitakan tentang perkembangan pemeriksaan kasus pembunuhan Engeline, jadi dimulai dari pemeriksaannya, penetapan tersangkanya, penyelidikannya, dan lain-lain. Jadi, seperti yang Bapak bilang tadi bahwa itu adalah yang dibutuhkan oleh masyarakat, ya pak? Bapak Adek: Betul. Peneliti: C-3

50 Sedangkan, di Harian Warta Kota, saya menemukan data bahwa terdaat 15 berita dan dari seluruh berita tersebut tidak hanya berfokus hanya pada perkembangan pemeriksaan pembunuhan Engeline, tapi juga fokus pada simpati masyarakatnya. Menurut Bapak, yang mana yang lebih baik? Bapak Adek: Yang lebih baik tentu yang lebih terfokus pada proses hukum itu. Saya rasa yang dilakukan Kompas sudah cukup baik, apalagi kita tahu reputasi Kompas sebagai media mainstream yang kredibel dan menyasar kelompok masyarakat yang cukup berpendidikan, minimal lulusan SMA. Jadi, Kompas sudah melaksanakan kewajiban pers, yaitu mendidik publik. Dia memberitakan kasus hukumnya, fokusnya disitu tanpa lari ke hal-hal yang dramatisir. Bahwa kemudian ada satu atau dua kutipan yang agak dramatisir tentu tidak bisa dihindari. Tapi, fokus utama itu kan tentang pemeriksaan. Lain hal dengan Warta Kota, kita tahu Warta Kota dibuat oleh Kompas untuk bersaing dengan Pos Kota. Kita tahu semen pembaca Pos Kota, kemudian juga dulu pernah ada yang namanya Lampu Merah, Lampu Hijau, itu adalah segmen pembaca masyarakat kelas menengah ke bawah dan segmen pembaca ini cenderung dimanfaatkan untuk mencari keuntungan oleh media-media tersebut. Dengan mereka menyebarkan berita yang sensasional, berita yang berbau seks, berita kekerasan, dan disitulah tempat permainan Warta Kota. Saya boleh bilang, Warta Kota terjebak dalam praktek jurnalisme kuning, dimana media lebih mengutamakan sensasional, seks, kekerasan. Jadi, buat Kompas Gramedia, ini adalah sebuah kritik. Di satu sisi, dia punya media yang cerdas seperti Kompas, tapi di satu sisi dia juga mengambil keuntungan dari kelompok pembaca menengah ke bawah dengan membuat Warta Kota. Apa yang dilakukan oleh media-media kuning terhadap pemberitaan Engeline tentu tidak layak, bahkan beberapa di antaranya sangat bertentangan dengan kode etik jurnalistik. Misalnya kode etik jurnalistik melarang wartawan untuk mewawancarai keluarga korban yang sedang bersedih, tapi kemudian beberapa wartawan dengan memaksa mewawancarai si ibu korban yang di Banyuwangi, kemudian mengungkap hal-hal yang memancing emosional publik, dan sebagainya. Peneliti: Tapi dari hasil penelitian, ditemukan bahwa Harian Kompas mayoritas melihat dari sudut pandang aparat kepolisian. Sedangkan Warta Kota lebih melibatkan banyak sudut pandang, jadi ada sudut pandang aparat kepolisian, sudut pandang tersangka, dan sudut pandang masyarakat yang prihatin. Bapak Adek: Jadi dapat dikelompokkan, Kompas lebih fokus ke kasus hukum. Kemudian Warta Kota ada menulis kasus hukum, tapi ada juga yang menulis sensasional. Untuk yang kasus hukumnya lebih beragam di Warta Kota. Mungkin ini menarik ya, jadi ternyata Warta Kota bisa memiliki sumber lebih banyak dan itulah yang seharusnya dlakukan oleh media dalam meliput permasalahan-permasalahan hukum. Saya rasa Kompas lebih banyak mengandalkan aparat kepolisian, artinya mereka kurang maksimal dalam menggarap kasus ini. Wartawannya terjebak pada jurnalisme mangkal. Artinya wartawan cuma mangkal di kepolisian, menunggu polisi kasih informasi, kemudian pulang meliput. Yang seharusnya dilakukan wartawan adalah datang ke kantor polisi, tapi kemudian juga melakukan liputan di tempat-tempat lain, misalnya tempat kejadian perkara, wawancara dengan saksi, wawancara dengan pelaku, wawancara dengan pengacara, kemudian mencatat arsip-arsip, misalnya dalam kasus Engeline, bagaimana C-4

51 Engeline bisa menjadi anak angkat, hal-hal seperti itu harusnya digali. Jadi itulah kritik bagi Kompas. Peneliti: Jadi, ada kelebihan di Warta Kota dan juga di Kompas. Bisa ditarik kesimpulan bahwa pemberitaan di Warta Kota lebih objektif karena melibatkan banyak sudut pandang atau bagaimana? Bapak Adek: Saya tidak bisa bilang objektif sampai saya baca beritanya, tapi paling tidak, sebuah berita yang ditulis dengan sumber yang lebih banyak boleh dikatakan mendekati objektivitas, karena kita tahu kalau yang ditanya hanya polisi, jadi media hanya jadi congor polisi kan? C-5