V. KETERKAITAN INDUSTRI CENGKEH DAN INDUSTRI ROKOK KRETEK NASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. KETERKAITAN INDUSTRI CENGKEH DAN INDUSTRI ROKOK KRETEK NASIONAL"

Transkripsi

1 V. KETERKAITAN INDUSTRI CENGKEH DAN INDUSTRI ROKOK KRETEK NASIONAL Secara umum, hasil pendugaan parameter berdasarkan kriteria ekonomi sudah cukup memuaskan, meskipun terdapat beberapa tanda dari parameter dugaan, yang tidak sesuai dengan harapan. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) dari persamaan-persamaan dalam model menunjukkan nilai yang relatif cukup tinggi, berkisar antara hingga Sementara itu, nilai uji F berkisar antara hingga , serta nilai statistik uji DW (Durbin-Watson) dan statistik uji Dh (Durbin-h), berturut-turut berkisar antara hingga dan hingga Tampak bahwa sebagian besar persamaan menghadapi masalah korelasi serial, namun dalam Pyndick dan Rubinfeld (1998) dijelaskan bahwa masalah korelasi serial hanya akan berpengaruh pada efisiensi pendugaan dan tidak menimbulkan bias pendugaan. Sedangkan pengujian pengaruh masingmasing peubah dalam setiap persamaan struktural menggunakan statistik uji-t. Pengujian terhadap parameter dugaan, menggunakan beberapa taraf α, yaitu: 1 persen (***), 5 persen (**), dan 10 persen (*), dan tanda * tersebut dinyatakan dalam semua tabel dimana peubah tersebut berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya Penawaran Cengkeh Luas Areal Tanaman Cengkeh Menghasilkan Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal tanaman cengkeh menghasilkan (ATM t ) disajikan pada Tabel 18. Tampak luas areal tanaman cengkeh yang menghasilkan, secara sangat nyata dipengaruhi oleh

2 137 tingkat harga riil cengkeh lima tahun sebelumnya (RPC t-5 ), peubah sandi kebijakan tataniaga II berdasarkan BPPC (DKTN2) dan luas areal tanaman cengkeh menghasilkan pada tahun sebelumnya (ATM t-1 ). Keragaman dari luas areal pertanaman cengkeh menghasilkan dapat dijelaskan dengan sangat baik yakni sebesar persen oleh ketiga peubah yang terdapat dalam persamaan tersebut. Tabel 18. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Areal Tanaman Cengkeh Menghasilkan Peubah Parameter Prob > Elastisitas Estimasi T Jk Pendek Nama Peubah INTERCEP Intersep RPC t ** 0.06 Harga Riil Cengkeh t-5 DKTN Kebijakan Tataniaga II ATM t Luas Areal Tanaman Menghasilkan t-1 R 2 = DW = Dh = Parameter estimasi dari harga riil cengkeh lima tahun sebelumnya (RPC t-5 ), sesuai dengan hipotesisnya yakni nyata dengan tanda positif. Elastisitas jangka pendek areal tanaman cengkeh menghasilkan terhadap tingkat harga riil cengkeh sebesar 0.06, berarti luas areal pertanaman cengkeh menghasilkan tidak responsif terhadap perubahan tingkat harga riil lima tahun sebelumnya. Apabila ada kenaikan harga riil cengkeh pada lima tahun yang lalu sebesar 10 persen, sementara faktor-faktor lainnya konstan, hanya akan meningkatkan luas areal tanaman cengkeh menghasilkan sebesar 0.6 persen. Rendahnya besaran elastisitas ini tampaknya berkaitan dengan relatif terbatasnya luas lahan yang umumnya dimiliki oleh petani cengkeh di Indonesia yang hanya berkisar antara 0.25 hingga 1.5 hektar. Hasil elastisitas yang rendah ini lebih kecil daripada hasil penelitian sebelumnya dari Gonarsyah (1996) sebesar 0.18 dan Wachyutomo

3 138 (1996) sebesar Hal ini, tampaknya berkaitan dengan laju pertumbuhan luas areal tanaman cengkeh menghasilkan yang cenderung menurun (Tabel 7), disamping persaingan lahan dengan komoditas lain. Selain itu, luas areal tanaman cengkeh menghasilkan juga dipengaruhi oleh luas areal tanaman cengkeh menghasilkan tahun sebelumnya Produktivitas Tanaman Cengkeh Menghasilkan Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivititas tanaman cengkeh menghasilkan (YTC t ) disajikan pada Tabel 19. Tampak bahwa produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan, secara bersama-sama, dipengaruhi secara nyata oleh tingkat harga riil cengkeh t-5 (RPC t-5 ), rasio luas areal tanaman cengkeh menghasilkan terhadap total luas areal tanaman cengkeh (ATMTTL), peubah sandi kebijakan usahatani (DUT), peubah sandi kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DKTN2), serta peubah sandi panen raya (DRAYA). Namun, hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan, memberikan hasil yang kurang memuaskan. Kemampuan menjelaskan kelima peubah dalam model tersebut, masih relatif rendah, hanya sebesar persen. Secara sendiri-sendiri, produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan, dipengaruhi oleh tingkat harga riil di pasar domestik periode t-5, peubah sandi kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, dan peubah sandi panen raya cengkeh. Sementara peubah sandi kebijakan usahatani dan peubah rasio luas areal tanaman cengkeh menghasilkan terhadap luas areal total (ATMTTL), tidak berpengaruh nyata, namun tandanya sesuai dengan dugaan awal. Parameter estimasi dari harga riil cengkeh lima tahun sebelumnya

4 139 (RPC t-5 ), nyata dengan tanda positif. Elastisitas jangka pendek produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan terhadap tingkat harga riil cengkeh sebesar 0.17, berarti produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan tidak responsif terhadap perubahan harga riil lima tahun sebelumnya. Apabila tingkat harga riil cengkeh pada lima tahun yang lalu meningkat sebesar 10 persen, sementara faktor-faktor lainnya konstan, produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan hanya meningkat sebesar 1.7 persen. Tabel 19. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tanaman Cengkeh Menghasilkan Peubah Parameter Prob > Elastisitas Estimasi T Jk Pendek Nama Peubah INTERCEP Intersep RPC t ** 0.17 Harga Riil Cengkeh t-5 ATMTTL Rasio Luas Areal Tanaman Cengkeh Menghasilkan Dgn Luas Total DUT Usahatani DKTN * - Tataniaga II DRAYA *** - Peubah Sandi Panen Raya Cengkeh R 2 = DW = Dh = Sementara itu, peubah sandi panen raya (DRAYA), meskipun berpengaruh sangat nyata pada produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan, namun pada saat berlangsungnya panen raya dan apabila faktor-faktor lainnya tetap, maka produktivitas pertanaman cengkeh menghasilkan hanya akan meningkat sebesar 0.05 ton per hektar. Sementara itu, temuan Gonarsyah (1996) menunjukkan bahwa pada saat berlangsungnya panen raya, produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan meningkat sebesar 0.03 ton per hektar, lebih rendah dari hasil penelitian ini. Relatif rendahnya besaran tersebut tampaknya

5 140 berkaitan dengan kurang intensifnya pemeliharaan tanaman cengkeh, juga karena serangan hama dan penyakit tanaman cengkeh di beberapa daerah sentra produksi yang menyebabkan produktivitas tanaman tersebut menurun. Sedangkan peubah sandi kebijakan tataniaga II berdasarkan BPPC (DKTN2), berpengaruh nyata pada produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan, namun dengan tanda yang bertentangan dengan dugaan awal. Artinya penerapan kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, berdampak menurunkan produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan. Penurunan produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan pada saat beroperasinya BPPC disebabkan relatif rendahnya harga cengkeh di pasar domestik pada saat itu karena terjadinya kelebihan pasokan (over supply) cengkeh, konsekuensinya penerimaan petani menurun sehingga petani enggan untuk memelihara tanaman cengkehnya. Malah di beberapa daerah ditemukan karena rendahnya harga petani enggan memetik cengkeh ketika waktu panen tiba Produksi Cengkeh Nasional Produksi cengkeh nasional merupakan perkalian antara luas areal dan produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan, yang dicirikan dengan persamaan identitas. Dengan demikian persamaan produksi cengkeh nasional, dirumuskan sebagai berikut: PRODC t = ATM t x YTC t Impor Cengkeh Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya impor cengkeh (IMPC t ) disajikan pada Tabel 20. Tampak bahwa impor cengkeh, secara

6 141 bersama-sama, dipengaruhi secara nyata oleh tingkat harga riil cengkeh impor (RPCM t ), produksi cengkeh nasional (PRODC t ), konsumsi cengkeh PRK untuk rokok jenis SKT (DCSKT t ), jenis SKM (DCSKM t ) dan jenis KLB (DCKLB t ), nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika (KURSR), peubah sandi kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DKTN2), dan peubah sandi kebijakan impor (DIMP). Keragaman dari impor cengkeh dapat dijelaskan dengan baik yakni sebesar persen oleh kedelapan peubah yang terdapat dalam persamaan tersebut. Tabel 20. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Cengkeh Peubah Parameter Prob > Elastisitas Estimasi T Jk Pendek Nama Peubah INTERCEP Intersep RPCM Harga Riil Cengkeh Impor PRODC *** Produksi Cengkeh Nasional DCSKT Konsumsi Cengkeh untuk SKT DCSKM Konsumsi Cengkeh untuk SKM DCKLB Konsumsi Cengkeh untuk KLB KURSR Nilai Tukar Riil Rp/US$ DKTN ** - Tataniaga II DIMP * - Impor R 2 = DW = Dh = Parameter estimasi dari produksi cengkeh nasional (PRODC t ) nyata dengan tanda negatif. Nilai elastisitas jangka pendek volume impor cengkeh terhadap produksi cengkeh nasional sebesar -2.88, berarti volume impor cengkeh responsif terhadap perubahan produksi cengkeh nasional. Apabila terjadi kenaikan produksi cengkeh sebesar 10 persen, sementara faktor-faktor lainnya konstan, akan diikuti oleh berkurangnya volume impor sebesar 28.8 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa impor cengkeh dilakukan untuk memenuhi

7 142 peningkatan permintaan cengkeh dalam negeri terutama untuk kebutuhan pabrik rokok kretek, sebagaimana temuan Wachyutomo (1996). Sementara itu, peubah sandi kebijakan tataniaga II berdasarkan BPPC, berpengaruh nyata dengan tanda negatif. Artinya, pada saat beroperasinya BPPC, maka volume impor cengkeh berkurang sebesar ribu ton. Hal ini sesuai dengan kondisi yang berlaku pada saat itu, dimana satu-satunya yang mendapat hak untuk melakukan impor cengkeh hanyalah BPPC. Sedangkan peubah sandi kebijakan impor berpengaruh nyata dengan tanda positif, hal ini bertentangan dengan dugaan awal bahwa adanya kebijakan tarif impor akan menghambat impor, tapi justru malah meningkatkan impor sebesar ribu ton. Secara teoritis, adanya pengenaan tarif impor akan berdampak meningkatkan harga cengkeh, dengan demikian impor cengkeh diasumsikan akan berkurang. Namun kenyataan yang berlaku adalah sebaliknya, hal ini tampaknya berkaitan erat dengan hasil pendugaan pada persamaan konsumsi cengkeh PRK, yang menunjukkan bahwa tingkat harga cengkeh di pasar domestik tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek, artinya berapapun tingkat harga cengkeh, PRK tetap melakukan pembelian cengkeh Stok Cengkeh Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya stok cengkeh nasional (STOC t ) disajikan pada Tabel 21. Saat ini, tidak ada informasi atau data yang akurat mengenaik stok cengkeh nasional, baik dari jumlah maupun keberadaannya. Di sisi petani cengkeh, stok yang dimilikinya relatif sedikit dan hanya bertahan paling lama 3 hingga 6 bulan. Di lain pihak, stok

8 143 cengkeh dari PRK sangat dirahasiakan, namun Siswono (2006) dalam tulisannya menyiratkan bahwa PRK memiliki stok paling tidak untuk dua tahun ke depan. Sementara itu, dengan berakhirnya masa beroperasi BPPC, maka stok cengkeh tidak dapat dikendalikan lagi, padahal hemat penulis, penguasaan stok disamping pengaitan pembelian cengkeh dengan pita cukai merupakan kunci untuk mendorong kearah kerjasama yang saling menguntungkan antara petani cengkeh dengan PRK. Tabel 21. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stok Cengkeh Peubah Parameter Prob > Elastisitas Estimasi T Jk Pendek Nama Peubah INTERCEP Intersep PRODC Produksi Cengkeh Nasional RPC Harga Riil Cengkeh RPCM Harga Riil Cengkeh Impor DKTN * - Tataniaga I DKTN ** - Tataniaga II STOC t *** - Stok Cengkeh Nasional t-1 R 2 = DW = Dh = Tabel 21 menunjukkan bahwa stok cengkeh nasional, secara bersamasama, dipengaruhi sangat nyata oleh produksi cengkeh nasional (PRODC t ), tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik (RPC t ), tingkat harga riil cengkeh impor (RPCM t ), kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 (DKTN1) dan kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DKTN2), serta stok cengkeh tahun sebelumnya (STOC t-1 ). Keragaman besarnya stok cengkeh nasional dapat dijelaskan dengan sangat baik yaitu sebesar persen oleh keenam peubah dalam model tersebut. Secara sendiri-sendiri, besarnya stok cengkeh nasional dipengaruhi secara nyata oleh peubah sandi kebijakan

9 144 tataniaga I dan II yakni berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 dan berdasarkan BPPC, juga oleh stok cengkeh nasional tahun sebelumnya. Sedangkan peubah produksi cengkeh, tingkat harga cengkeh di pasar domestik, dan tingkat harga cengkeh impor, tidak berpengaruh nyata. Sementara itu, dengan diterapkannya kebijakan tataniaga, baik yang berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 maupun berdasarkan BPPC, berdampak meningkatkan stok cengkeh nasional, yakni masing-masing sebesar ton dan ton. Tampak bahwa pada periode beroperasinya BPPC, stok cengkeh meningkat lebih cepat daripada periode sebelumnya, hal ini berkaitan dengan fungsi penyanggaan cengkeh dari BPPC Jumlah Penawaran Cengkeh Pada dasarnya, jumlah penawaran cengkeh merupakan penjumlahan dari produksi cengkeh nasional, volume impor cengkeh serta besarnya stok cengkeh nasional tahun yang lalu, dan dicirikan dengan persamaan identitas. Dengan demikian, jumlah penawaran cengkeh dapat dirumuskan sebagai berikut: SUPC t = PRODC + IMPC + STOC t Permintaan Cengkeh Permintaan akan cengkeh pada dasarnya adalah permintaan turunan (derived demand) dari permintaan akan rokok kretek. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, lebih dari 90 persen dari total permintaan cengkeh di pasar domestik merupakan konsumsi industri rokok kretek (pabrik rokok kretek), dan sisanya diserap oleh industri farmasi dan makanan, rumah tangga serta pasar internasional/ekspor. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan permintaan

10 145 cengkeh dalam penelitian ini adalah jumlah konsumsi cengkeh baik oleh pabrik rokok kretek maupun oleh non-pabrik rokok kretek ditambah ekspor cengkeh Konsumsi Cengkeh Nasional Pada dasarnya, jumlah konsumsi cengkeh nasional merupakan penjumlahan dari konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek dan konsumsi cengkeh non pabrik rokok kretek (Non-PRK), dan dicirikan dengan persamaan identitas. Dengan demikian, jumlah konsumsi cengkeh dapat dirumuskan sebagai berikut: DCDOM t = DCPRK t + DCNPRK t Konsumsi Cengkeh Pabrik Rokok Kretek Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek (DCPRK t ) disajikan pada Tabel 22. Tampak bahwa besarnya konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek, secara sangat nyata dipengaruhi oleh harga riil cengkeh di pasar domestik (RPC t ), produksi rokok kretek jenis SKT (PRODSKT t ), jenis SKM (PRODSKM t ) dan jenis KLB (PRODKLB t ), kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 (DKTN1) dan kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DKTN2) serta besarnya konsumsi cengkeh PRK periode t-1 (DCPRK t-1 ). Keragaman besarnya konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek dapat dijelaskan dengan sangat baik yaitu sebesar persen oleh ketujuh peubah dalam persamaan struktural tersebut. Peubah produksi rokok kretek jenis SKM (PRODSKM t ), berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek dengan nilai parameter estimasi yang bertanda positif. Elastisitas jangka pendek konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek terhadap produksi rokok kretek jenis SKM sebesar

11 , yang artinya konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek tidak responsif terhadap perubahan produksi rokok kretek jenis SKM. Apabila produksi rokok kretek jenis SKM meningkat sebesar 10 persen, sementara faktor-faktor lainnya tetap, maka konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek hanya meningkat sebesar 3.9 persen. Meskipun rokok jenis SKM menggunakan cengkeh lebih sedikit dibandingkan dengan rokok jenis SKT dan KLB, namun dari segi produksi, jumlahnya masih jauh lebih besar dari kedua jenis rokok tersebut. Dengan demikian, jika produksi rokok jenis ini meningkat maka konsumsi cengkeh PRK akan meningkat pula. Dan konsumsi cengkeh oleh PRK akan semakin meningkat apabila ditambah dengan konsumsi cengkeh dari PRK illegal (liar) yang juga memproduksi rokok illegal yang belum termasuk dalam persamaan ini, karena ketidaktersediaan datanya. Tabel 22. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Cengkeh Pabrik Rokok Kretek Peubah Parameter Prob > Elastisitas Estimasi T Jk Pendek Nama Peubah INTERCEP Intersep RPC Harga Riil Cengkeh PRODSKT Produksi Rokok Kretek Jenis SKT PRODSKM *** 0.39 Produksi Rokok Kretek Jenis SKM PRODKLB Produksi Rokok Kretek Jenis KLB DKTN Tataniaga I DKTN Tataniaga II DCPRK t ** - Konsumsi Cengkeh PRK t-1 R 2 = DW = Dh = Tabel di atas juga menunjukkan bahwa penerapan kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980, berdampak meningkatkan

12 147 konsumsi cengkeh PRK sebesar 676 ton, sedangkan kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC berdampak menurunkan konsumsi cengkeh sebesar ton. Menurunnya konsumsi cengkeh PRK pada saat periode BPPC, disebabkan oleh relatif mahalnya harga cengkeh yang ditawarkan BPPC, juga relatif besarnya stok cengkeh yang dimiliki Gappri. Oleh karena itu, supaya Gappri tunduk dan mau membeli cengkeh pada BPPC, maka pemerintah menetapkan kebijakan yang mengaitkan penyerahan cengkeh dengan pemesanan pita cukai melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan RI Nomor 221/kpb/IX/1994 dan Menteri Keuangan RI Nomor 475/KMK.05/ Konsumsi Cengkeh Non-Pabrik Rokok Kretek Yang dimaksud dengan konsumsi non-pabrik rokok kretek (DCNPRK) adalah konsumsi cengkeh untuk rumah tangga, industri kosmetik, industri farmasi dan industri lainnya, namun dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan konsumsi PRK. Pada penelitian ini, konsumsi cengkeh non-prk, didekati berdasarkan konsumsi per kapita dikali populasi penduduk dengan asumsi konsumsi cengkeh industri-industri lainnya relatif sedikit dan cenderung konstan, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: DCNPRK = DCKAP x POP Ekspor Cengkeh Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor cengkeh (EXPC t ) disajikan pada Tabel 23. Besarnya ekspor cengkeh dipengaruhi secara nyata oleh harga riil cengkeh ekspor (RPCX t ), produksi cengkeh (PRODC t ), konsumsi cengkeh PRK untuk rokok jenis SKT (DCSKT t ), jenis SKM (DCSKM t ) dan

13 148 jenis KLB (DCKLB t ), harga riil cengkeh di pasar domestik (RPC t ), nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika (KURSR). Keragaman besarnya ekspor cengkeh dapat dijelaskan dengan cukup baik yaitu sebesar persen oleh peubahpeubah dalam persamaan tersebut. Secara sendiri-sendiri, peubah konsumsi cengkeh PRK untuk SKT, SKM dan KLB, peubah harga riil cengkeh di pasar domestik, serta peubah nilai tukar riil (Rp/US$), berpengaruh sangat nyata terhadap ekspor cengkeh. Sementara, peubah-peubah lainnya tidak berpengaruh meskipun secara ekonomi, tandanya sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 23. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Cengkeh Peubah Parameter Prob > Elastisitas Estimasi T Jk Pendek Nama Peubah INTERCEP Intersep RPCX Harga Riil Cengkeh Ekspor PRODC Produksi Cengkeh Nasional DCSKT ** Konsumsi Cengkeh PRK untuk SKT DCSKM *** Konsumsi Cengkeh PRK untuk SKM DCKLB ** Konsumsi Cengkeh PRK untuk KLB RPC ** Harga Riil Cengkeh KURSR *** 3.69 Nilai Tukar Riil Rp/US$ R 2 = DW = Dh = Peubah konsumsi cengkeh PRK untuk rokok jenis SKT, SKM dan KLB berpengaruh nyata dengan tanda parameter estimasinya negatif. Elastisitas jangka pendek ekspor cengkeh terhadap perubahan konsumsi cengkeh untuk rokok jenis SKT, SKM dan KLB, masing-masing sebesar -5.31, dan artinya besarnya ekspor cengkeh responsif terhadap perubahan konsumsi cengkeh PRK untuk rokok SKT dan SKM dan tidak responsif untuk rokok KLB.

14 149 Apabila faktor-faktor lainnya konstan maka meningkatnya konsumsi cengkeh PRK, untuk rokok SKT dan SKM sebesar 10 persen, menyebabkan ekspor cengkeh berkurang masing-masing sebesar 53.1, dan 37.7 persen, namun apabila konsumsi cengkeh untuk rokok KLB meningkat sebesar 10 persen, maka akan menurunkan ekspor cengkeh sebesar 8.3 persen. Hasil ini kembali menegaskan bahwa ekspor cengkeh Indonesia bersifat residual, artinya dengan meningkatnya konsumsi cengkeh domestik, maka volume ekspor akan turun. Parameter estimasi dari harga riil cengkeh di pasar domestik (RPC t ), nyata dengan tanda negatif. Elastisitas jangka pendek ekspor cengkeh terhadap tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik sebesar -1.39, berarti ekspor cengkeh responsif terhadap perubahan tingkat harga riil di pasar domestik. Apabila tingkat harga riil cengkeh meningkat sebesar 10 persen, sementara faktor-faktor lainnya konstan, maka ekspor cengkeh menurun sebesar 13.9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pasar cengkeh yang paling potensial adalah pasar domestik. Selanjutnya, parameter estimasi dari nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika (KURSR) nyata dan bertanda positif. Elastisitas jangka pendek ekspor cengkeh terhadap perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 3.69, artinya besarnya ekspor cengkeh responsif terhadap perubahan kurs tersebut. Apabila nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika meningkat (depresiasi) sebesar 10 persen, ceteris paribus, maka volume ekspor cengkeh akan meningkat sebesar 36.9 persen Jumlah Permintaan Cengkeh Pada dasarnya, jumlah permintaan cengkeh merupakan penjumlahan dari jumlah konsumsi cengkeh nasional, besarnya ekspor cengkeh dan jumlah stok

15 150 cengkeh, yang dicirikan dengan persamaan identitas. Dengan demikian, jumlah permintaan cengkeh dapat dirumuskan sebagai berikut : DEMC t = DCDOM t + EXPC t + STOC t 5.3. Harga Cengkeh Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi harga riil cengkeh di pasar domestik (RPC t ), disajikan pada Tabel 24. Tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik dipengaruhi secara nyata oleh produksi cengkeh nasional (PRODC t ), konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek (DCPRK t ), kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 (DKTN1) dan kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DKTN2) serta harga riil cengkeh tahun sebelumnya (RPC t-1 ). Keragaman harga riil cengkeh dapat dijelaskan dengan cukup baik yakni sebesar persen oleh kelima peubah tersebut secara bersama-sama. Tabel 24. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Cengkeh Peubah Parameter Prob > Elastisitas Estimasi T Jk Pendek Nama Peubah INTERCEP Intersep PRODC Produksi Cengkeh Nasional DCPRK Konsumsi Cengkeh PRK DKTN * - Tataniaga I DKTN ** - Tataniaga II RPC t * - Harga Riil Cengkeh t-1 R 2 = DW = Dh = Secara sendiri-sendiri, dari kelima peubah tersebut, kebijakan tataniaga I berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 dan kebijakan tataniaga II berdasarkan BPPC, serta harga riil cengkeh tahun sebelumnya, berpengaruh nyata terhadap harga riil cengkeh di pasar domestik. Sementara peubah produksi

16 151 cengkeh nasional dan konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek tidak berpengaruh nyata, meskipun tandanya sesuai dengan dugaan awal. Parameter estimasi dari peubah sandi kebijakan tataniaga, baik yang berdasarkan Keppres RI Nomor 8 tahun 1980 (DKTN1) maupun berdasarkan BPPC (DKTN2), berpengaruh sangat nyata pada tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik, dengan tanda negatif. Artinya, penerapan kebijakan tataniaga pada periode 1980 hingga 1989 dan periode 1990 hingga 1998, berdampak menurunkan tingkat harga cengkeh di pasar domestik. Dalam sejarah percengkehan nasional, diterapkannya beberapa kebijakan tataniaga yang sebenarnya bertujuan untuk stabilisasi harga cengkeh melalui penetapan harga dasar, justru menyebabkan terjadinya penurunan harga yang cukup signifikan di tingkat domestik, apalagi di tingkat petani. Hal ini disebabkan oleh implementasi kebijakan yang menyinggung inefisiensi dalam sistem tataniaga dengan informasi pasar yang asimetrik. Pada Tabel 24 juga tampak bahwa tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik juga dipengaruhi oleh tingkat harga riil cengkeh pada periode t Permintaan, Ekspor dan Harga Rokok Kretek Permintaan Rokok Kretek Sehubungan dengan ketidaktersediannya data ataupun informasi mengenai permintaan rokok kretek maka dalam penelitian ini, permintaan rokok kretek didekati dengan menggunakan data konsumsi rokok kretek per kapita dikali dengan populasi penduduk Indonesia. Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya permintaan rokok kretek (DEMRK t ) disajikan pada Tabel 25. Tampak bahwa besarnya

17 152 permintaan rokok kretek, secara bersama-sama, dipengaruhi secara nyata oleh tingkat harga riil rokok kretek (RPRK t ), harga riil rokok putih (RPRP t ), produksi rokok kretek jenis SKT (PRODSKT t ), jenis SKM (PRODSKM t ), pendapatan riil per kapita (INCPKR), dan peubah sandi kebijakan di bidang kesehatan (DHEALTH). Keragaman besarnya permintaan rokok kretek dapat dijelaskan dengan sangat baik yaitu sebesar persen oleh peubah-peubah dalam persamaan tersebut. Secara sendiri-sendiri, peubah produksi rokok kretek jenis SKM dan jenis SKM, serta peubah sandi kebijakan di bidang kesehatan, berpengaruh nyata pada permintaan rokok kretek. Sedangkan peubah-peubah lainnya tidak berpengaruh terhadap permintaan rokok kretek, termasuk peubah harga riil rokok kretek dan harga riil rokok putih, namun tanda parameter estimasinya sesuai dengan dugaan awal. Tabel 25. Hasil Pendugaan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Rokok Kretek Peubah Parameter Prob > Elastisitas Estimasi T Jk Pendek Nama Peubah INTERCEP Intersep RPRK Harga Riil Rokok Kretek RPRP Harga Riil Rokok Putih PRODSKT *** 0.64 Produksi Rokok Kretek Jenis SKT PRODSKM *** 0.34 Produksi Rokok Kretek Jenis SKM PRODKLB Produksi Rokok Kretek Jenis KLB INCPKR Pendapatan Per Kapita Penduduk DHEALTH *** - Di Bidang Kesehatan R 2 = DW = Dh =

18 153 Parameter estimasi dari peubah produksi rokok kretek jenis SKT dan SKM, berpengaruh nyata terhadap permintaan rokok kretek. Elastisitas jangka pendek permintaan rokok kretek terhadap produksi rokok kretek jenis SKT dan SKM, masing-masing sebesar 0.64 dan 0.34, artinya permintaan rokok kretek tidak responsif terhadap perubahan produksi kedua jenis rokok kretek tersebut. Apabila produksi rokok kretek jenis SKT dan SKM meningkat sebesar 10 persen, sementara faktor-faktor lainnya konstan, maka permintaan rokok kretek hanya meningkat, masing-masing sebesar 6.4 dan 3.4 persen. Sementara itu, peubah sandi di bidang kesehatan, berpengaruh terhadap permintaan rokok kretek dan tandanya positif, artinya adanya kebijakan untuk pengamanan rokok bagi kesehatan masyarakat belum mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan yakni menurunkan konsumsi rokok kretek, malahan konsumsi cenderung meningkat Ekspor Rokok Kretek Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya ekspor rokok kretek (EXPRK t ) disajikan pada Tabel 26. Tampak bahwa besarnya ekspor rokok kretek, secara bersama-sama, dipengaruhi oleh harga riil ekspor rokok kretek (RPXRK t ), produksi rokok kretek SKT (PRODSKT t ), produksi rokok kretek SKM (PRODSKM t ), dan nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika (KURSR), serta kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 (DKTN1) dan kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DKTN2). Keragaman besarnya ekspor rokok kretek dapat dijelaskan dengan sangat baik yaitu sebesar prsen oleh keenam peubah dalam persamaan struktural tersebut.

19 154 Secara sendiri-sendiri, peubah produksi rokok kretek jenis SKT dan jenis SKM, dan peubah sandi kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980, berpengaruh nyata terhadap ekspor rokok kretek, sedangkan peubah harga riil ekspor rokok kretek, nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika dan peubah sandi kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, tidak berpengaruh nyata, namun tanda parameter estimasinya sesuai dengan dugaan awal. Tabel 26. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Rokok Kretek Peubah Parameter Prob > Elastisitas Estimasi T Jk Pendek Nama Peubah INTERCEP Intersep RPXRK Harga Riil Ekspor Rokok Kretek PRODSKT *** 2.40 Produksi Rokok Kretek SKT PRODSKM ** 0.55 Produksi Rokok Kretek SKM KURSR Nilai Tukar Riil Rp/US$ DKTN * - Tataniaga I DKTN Tataniaga II R 2 = DW = Dh = Parameter estimasi dari produksi rokok kretek jenis SKT dan jenis SKM nyata dengan tanda positif. Elastisitas jangka pendek, ekspor rokok kretek terhadap produksi rokok kretek SKT dan SKM, masing-masing sebesar 2.40 dan 0.55, berarti ekspor rokok kretek responsif terhadap perubahan produksi rokok kretek jenis SKT, tapi tidak responsif terhadap perubahan produksi rokok jenis SKM. Apabila produksi rokok kretek jenis SKT dan SKM meningkat sebesar 10 persen, sementara faktor-faktor lainnya konstan, maka ekspor rokok kretek akan meningkat masing-masing sebesar 24.0 dan 5.5 persen. Dibandingkan dengan

20 155 ekspor cengkeh secara langsung, ini menunjukkan bahwa ekspor cengkeh melalui rokok kretek merupakan sarana efektif untuk meningkatkan ekspor cengkeh nasional Harga Rokok Kretek Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi harga rokok kretek di pasar domestik (RPRK t ), disajikan pada Tabel 27. Tingkat harga riil rokok kretek dipengaruhi secara nyata oleh produksi rokok kretek jenis SKT (PRODSKT t ), jenis SKM (PRODSKM t ), permintaan rokok kretek (DEMRK t ), tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik (RPC t ), tarif cukai riil rokok kretek (RBEARK t ), peubah sandi kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 (DKTN1) dan kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DKTN2), serta peubah sandi kebijakan di bidang kesehatan (DHEALTH). Keragaman tingkat harga rokok kretek di pasar domestik dapat dijelaskan dengan sangat baik yaitu sebesar persen oleh peubah-peubah yang terdapat dalam persamaan tersebut. Tabel 27. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Rokok Kretek Peubah Parameter Prob > Elastisitas Estimasi T Jk Pendek Nama Peubah INTERCEP Intersep PRODSKT Produksi Rokok Kretek SKT PRODSKM ** Produksi Rokok Kretek SKM DEMRK Permintaan Rokok Kretek RPC ** 0.10 Harga Riil Cengkeh RBEARK *** Tarif Cukai Rokok Kretek DKTN *** - Tataniaga I DKTN *** - Tataniaga II DHEALTH R 2 = DW = Dh = 0.609

21 156 Secara sendiri-sendiri, dari delapan peubah yang terdapat dalam persamaan di atas, hanya peubah produksi rokok jenis SKT, permintaan rokok kretek dan sandi kebijakan di bidang kesehatan yang tidak berpengaruh nyata. Parameter estimasi dari peubah produksi rokok kretek jenis SKM (PRODSKM t ) nyata dengan tanda negatif. Elastisitas jangka pendek harga riil rokok kretek di pasar domestik terhadap produksi rokok kretek jenis SKM sebesar -0.35, artinya harga riil rokok kretek tidak responsif terhadap perubahan produksi rokok kretek jenis SKM, apabila produksi SKM meningkat sebesar 10 persen, sementara faktor-faktor lainnya konstan, maka harga rokok kretek hanya menurun sebesar 3.5 persen. Sedangkan parameter estimasi dari harga riil cengkeh di pasar domestik (RPC t ) nyata dengan tanda positif. Elastisitas jangka pendek harga riil rokok kretek terhadap harga riil cengkeh sebesar 0.10, artinya harga riil rokok kretek juga tidak responsif terhadap perubahan harga riil cengkeh di pasar domestik. Apabila tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik meningkat sebesar 10 persen, sementara faktor-faktor lainnya tidak berubah, maka harga riil rokok kretek hanya meningkat sebesar 1.0 persen. Peubah tarif cukai riil rokok kretek (RBEARK) berpengaruh nyata terhadap tingkat harga riil rokok kretek dengan tanda positif. Elastisitas jangka pendek harga riil rokok kretek terhadap tarif cukai rokok kretek sebesar 0.35, berarti tingkat harga riil rokok kretek juga tidak responsif terhadap perubahan tarif cukai rokok. Apabila tarif cukai rokok kretek meningkat sebesar 10 persen, sementara faktor-faktor lainnya konstan, harga riil rokok kretek hanya akan meningkat sebesar 3.5 persen. Adanya kebijakan tataniaga terhadap harga riil rokok kretek ternyata

22 157 memberikan tanda parameter estimasi yang positif. Kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres RI No. 8 Tahun 1980 (DKTN1) dan kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DKTN2), berpengaruh sangat nyata. Artinya, dengan diterapkannya kebijakan tataniaga baik pada masa sebelum BPPC beroperasi maupun pada masa BPPC, justru berdampak meningkatkan harga riil rokok kretek di pasar domestik Simpulan Berdasarkan uraian di atas maka secara umum, keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek dapat digambarkan melalui hubungan antara peubah-peubah yang terdapat dalam model ekonometrika sistem percengkehan nasional. Dengan asumsi ceteris paribus, dapat disimpulkan bahwa: 1. Produksi cengkeh domestik yang ditunjukkan oleh persamaan luas areal dan produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan, dipengaruhi oleh tingkat harga riil cengkeh di pasar domestik periode t-5, artinya dengan meningkatnya harga riil cengkeh di pasar domestik periode t-5, akan berdampak meningkatkan luas areal dan produktivitas tanaman cengkeh menghasilkan, meskipun dengan nilai elastisitas yang relatif kecil. 2. Impor cengkeh nasional dipengaruhi secara sangat nyata oleh produksi cengkeh domestik, dengan meningkatnya produksi cengkeh maka secara langsung akan berdampak menurunkan impor cengkeh. 3. Stok cengkeh nasional dipengaruhi secara sangat nyata oleh stok cengkeh oleh stok cengkeh periode t Konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek dipengaruhi secara sangat nyata oleh banyaknya produksi rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM), dengan

23 158 meningkatnya produksi untuk rokok jenis ini maka secara langsung akan berdampak pada meningkatnya konsumsi cengkeh PRK. 5. Ekspor cengkeh dipengaruhi oleh konsumsi cengkeh PRK baik untuk rokok jenis SKT, SKM dan KLB, dengan meningkatnya konsumsi cengkeh PRK untuk ketiga jenis rokok tersebut maka ekspor cengkeh akan berkurang. 6. Harga cengkeh di pasar domestik dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga yang pernah diterapkan dalam percengkehan nasional, yakni kebijakan berdasarkan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 dan kebijakan berdasarkan BPPC. Penerapan kedua kebijakan tersebut berdampak menurunkan harga cengkeh di pasar domestik. Sementara peubah konsumsi cengkeh PRK tidak berpengaruh nyata terhadap harga cengkeh di pasar domestik namun tandanya positif sesuai dengan yang diharapkan. 7. Permintaan rokok kretek dipengaruhi oleh produksi rokok jenis SKT dan SKM, meningkatnya produksi rokok jenis SKT dan SKM akan meningkatkan permintaan rokok kretek. Sementara harga rokok kretek sendiri tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan rokok kretek, namun tandanya negatif sesuai dengan dugaan awal. 8. Ekspor rokok kretek dipengaruhi oleh produksi rokok jenis SKT dan SKM, meningkatnya produksi rokok jenis SKT dan SKM akan meningkatkan ekspor rokok kretek. 9. Harga rokok kretek dipengaruhi secara nyata oleh harga cengkeh dan tarif cukai rokok kretek. Meningkatnya harga cengkeh dan tarif cukai akan berdampak meningkatkan harga rokok kretek

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran 4.1.1. Kerangka Konseptual Struktur percengkehan nasional ditopang oleh dan merupakan interaksi antara dua komponen utama, yaitu: pasokan/penawaran dan

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 66 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan bawang merah dalam penelitian

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA 5.1. Hasil Estimasi Model Hasil estimasi model dalam penelitian ini ditunjukkan secara lengkap pada Lampiran 4 sampai Lampiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi. perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara

I. PENDAHULUAN. Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi. perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara produsen sekaligus konsumen bahkan merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Seperti yang telah dijelaskan pada Bab IV, model integrasi pasar beras Indonesia merupakan model linier persamaan simultan dan diestimasi dengan metode two stage least squares

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 101 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan gula Indonesia dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional.

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu negara yang memiliki rasa ketergantungan dari negara lainnya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dirasa tidaklah mencukupi, apabila hanya mengandalkan sumber

Lebih terperinci

VI ANALISIS EKSPOR KEPITING INDONESIA

VI ANALISIS EKSPOR KEPITING INDONESIA VI ANALISIS EKSPOR KEPITING INDONESIA 6.1 Pengujian Asumsi Gravity model aliran perdagangan ekspor komoditas kepiting Indonesia yang disusun dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria pengujian asumsi-asumsi

Lebih terperinci

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN 5.1. Analisis Umum Pendugaan Model Dalam proses spesifikasi, model yang digunakan dalam penelitian ini mengalami beberapa modifikasi karena

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta. Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta. Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil yang tercantum pada Tabel 6.1. Koefisien determinan (R 2 ) sebesar

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT Data untuk membangun model ekonomi sebagaimana diuraikan pada Bab IV dianalisis untuk mendapatkan konfirmasi mengenai kualitas model yang dibangun,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di wilayah Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI LADA DI INDONESIA FACTORS THAT INFLUENCE THE PRODUCTION OF PEPPER IN INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI LADA DI INDONESIA FACTORS THAT INFLUENCE THE PRODUCTION OF PEPPER IN INDONESIA 1 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI LADA DI INDONESIA FACTORS THAT INFLUENCE THE PRODUCTION OF PEPPER IN INDONESIA Hamdani 1), Ermi Tety 2), Eliza 2) Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN 6.1. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian Kriteria pertama yang harus dipenuhi dalam analisis ini adalah adanya kesesuaian

Lebih terperinci

PROSPEK KONSUMSI CENGKEH DI INDONESIA

PROSPEK KONSUMSI CENGKEH DI INDONESIA PROSPEK KONSUMSI CENGKEH DI INDONESIA Oleh: Bambang Sayaka dan Benny Rachman') Abstrak Prospek cengkeh agaknya semakin tidak menentu sebagai akibat menurunnya harga cengkeh yang berkepanjangan serta sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produk domestik bruto (PDB) merupakan salah satu di antara beberapa variabel ekonomi makro yang paling diperhatikan oleh para ekonom. Alasannya, karena PDB merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Perkembangan Jagung Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang mempunyai

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Dasar Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional adalah teori yang menganalisis dasardasar terjadinya perdagangan internasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu wujudkan masyarakat adil dan makmur kita perlu melaksanakan pembangunan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Pendugaan Model Model persamaan simultan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ikan tuna Indonesia di pasar internasional terdiri dari enam persamaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 39 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Daya Saing Komoditi Mutiara Indonesia di Negara Australia, Hongkong, dan Jepang Periode 1999-2011 Untuk mengetahui daya saing atau keunggulan komparatif komoditi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 44 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Integrasi Pasar (keterpaduan pasar) Komoditi Kakao di Pasar Spot Makassar dan Bursa Berjangka NYBOT Analisis integrasi pasar digunakan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Terdapat penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan topik dan perbedaan objek dalam penelitian. Ini membantu penulis

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia

Lebih terperinci

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG Komoditas pertanian erat kaitannya dengan tingkat produktivitas dan efisiensi yang rendah. Kedua ukuran tersebut dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS. adalah perbedaan antara permintaan dan penawaran di suatu negara. Perbedaan

III. KERANGKA TEORITIS. adalah perbedaan antara permintaan dan penawaran di suatu negara. Perbedaan III. KERANGKA TEORITIS 3.1 Konsep Pemikiran Teoritis Pada pasar kopi (negara kecil), keinginan untuk memperdagangkannya adalah perbedaan antara permintaan dan penawaran di suatu negara. Perbedaan antara

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi

Lebih terperinci

VI. ANALISIS EKONOMETRIKA PERKEMBANGAN INDUSTRI TPT INDONESIA. Pada bagian ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan

VI. ANALISIS EKONOMETRIKA PERKEMBANGAN INDUSTRI TPT INDONESIA. Pada bagian ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan VI. ANALISIS EKONOMETRIKA PERKEMBANGAN INDUSTRI TPT INDONESIA Pada bagian ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan parameter persamaan struktural dalam model ekonometrika perkembangan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengenai hasil dari uji statistik yang terdiri dari uji F, uji t, dan uji R-squared.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengenai hasil dari uji statistik yang terdiri dari uji F, uji t, dan uji R-squared. V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil estimasi dan pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi dalam tiga pemaparan umum yaitu pemaparan secara statistik yang meliputi pembahasan mengenai hasil dari uji statistik

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Penentuan daerah ini dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini, akan dipaparkan tinjauan penelitian terdahulu, serta tulisan maupun makalah tentang perkembangan dan kebijakan percengkehan nasional yang terkait dengan penelitian

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP,

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP, V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP, selisih tingkat suku bunga, selisih inflasi dan selisih neraca pembayaran terhadap kurs

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Setelah dilakukan pengolahan data time series bulanan tahun 2005 sampai

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Setelah dilakukan pengolahan data time series bulanan tahun 2005 sampai FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA 6.1 Pengujian Hipotesis Setelah dilakukan pengolahan data time series bulanan tahun 2005 sampai 2008, diperoleh hasil regresi sebagai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi perumusan masalah, perancangan tujuan penelitian, pengumpulan data dari berbagai instansi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BERAS INDONESIA TAHUN JURNAL PUBLIKASI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BERAS INDONESIA TAHUN JURNAL PUBLIKASI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BERAS INDONESIA TAHUN 1993-2013 JURNAL PUBLIKASI OLEH : Nama : Futikha Kautsariyatun Rahmi Nomor Mahasiswa : 12313269 Jurusan : Ilmu Ekonomi FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR TEH PTPN

BAB VI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR TEH PTPN BAB VI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR TEH PTPN 6.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Teh PTPN Analisis regresi berganda dengan metode OLS didasarkan pada beberapa asumsi yang harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Areal Tanaman Perkebunan Perkembangan luas areal perkebunan perkebunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pengembangan luas areal

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

V. KERAGAAN PASAR DUNIA MINYAK NABATI

V. KERAGAAN PASAR DUNIA MINYAK NABATI V. KERAGAAN PASAR DUNIA MINYAK NABATI Dalam bab ini disajikan dan dibahas hasil estimasi persamaan struktural dalam model kerterkaitan harga minyak nabati dan minyak bumi dalam perdagangan dunia minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai potensi besar yang dimilikinya baik potensi alam, sumberdaya manusia, maupun teknologi tentunya memiliki berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Penawaran Menurut Sukirno (2013) teori penawaran menerangkan tentang ciri hubungan antara harga sesuatu barang dan jumlah barang yang ditawarkan para

Lebih terperinci

STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING LADA PUTIH INDONESIA MELALUI ANALISIS PENAWARAN EKSPOR DAN PERMINTAAN IMPOR LADA PUTIH DUNIA

STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING LADA PUTIH INDONESIA MELALUI ANALISIS PENAWARAN EKSPOR DAN PERMINTAAN IMPOR LADA PUTIH DUNIA STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING LADA PUTIH INDONESIA MELALUI ANALISIS PENAWARAN EKSPOR DAN PERMINTAAN IMPOR LADA PUTIH DUNIA EDIZAL Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trdinanti Palembang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Estimasi Parameter Model Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur adalah dengan menggunakan metode

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISA MODEL PERSAMAAN REKURSIF FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN EKSPOR CPO INDONESIA

BAB 5 ANALISA MODEL PERSAMAAN REKURSIF FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN EKSPOR CPO INDONESIA BAB 5 ANALISA MODEL PERSAMAAN REKURSIF FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN EKSPOR CPO INDONESIA Pada bagian metodologi penelitian telah dijelaskan bahwa adanya ketidaksamaan satuan antara variabel ekspor CPO dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 dan

Lebih terperinci

Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE)

Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) Volume 6, Nomor 1, Juli 2015 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS RESPON PENAWARAN DAN PERMINTAAN KARET ALAM INDONESIA Agrippina Sinclair,* Djaimi Bakce,** dan Jum

Lebih terperinci

Daerah Jawa Barat, serta instansi-instansi lain yang terkait.

Daerah Jawa Barat, serta instansi-instansi lain yang terkait. IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data sekunder untuk keperluan penelitian ini dilaksanakan pada awal bulan juli hingga bulan agustus 2011 selama dua bulan. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Asumsi Klasik Untuk menghasilkan hasil penelitian yang baik, pada metode regresi diperlukan adanya uji asumsi klasik untuk mengetahui apakah

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN IMPOR BAWANG MERAH DI INDONESIA. Theresia Wediana Pasaribu Murni Daulay

ANALISIS PERMINTAAN IMPOR BAWANG MERAH DI INDONESIA. Theresia Wediana Pasaribu Murni Daulay ANALISIS PERMINTAAN IMPOR BAWANG MERAH DI INDONESIA Theresia Wediana Pasaribu Murni Daulay Abstract This research has a purpose to know the development of import demand of shallot in Indonesia and what

Lebih terperinci

ICASERD WORKING PAPER No.34

ICASERD WORKING PAPER No.34 ICASERD WORKING PAPER No.34 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN BAWANG MERAH DI INDONESIA Ening Ariningsih dan Mari Komariah Tentamia Maret 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di wilayah Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan.  [10 II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan komoditas kedelai, khususnya peranan kedelai sebagai sumber protein nabati bagi masyarakat. Tidak hanya itu, kedelai juga ditinjau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI KAKAO DI KABUPATEN MUARO JAMBI. Kata kunci: Tanaman kakao, Produktifitas dan fungsi produksi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI KAKAO DI KABUPATEN MUARO JAMBI. Kata kunci: Tanaman kakao, Produktifitas dan fungsi produksi Volume 17, Nomor 2, Hal. 01-08 Januari Juni 2015 ISSN:0852-8349 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI KAKAO DI KABUPATEN MUARO JAMBI Ardhiyan Saputra Staf Pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menyumbang devisa negara yang

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa pada tanggal 4 Oktober 2017, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati tar

2017, No c. bahwa pada tanggal 4 Oktober 2017, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati tar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1485, 2017 KEMENKEU. Cukai Hasil Tembakau. Tarif. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

Lebih terperinci

ANALISIS EKSPOR CENGKEH DI INDONESIA

ANALISIS EKSPOR CENGKEH DI INDONESIA ANALISIS EKSPOR CENGKEH DI INDONESIA Ratna Sartikasari Irawan, Darsono, Erlyna Wida Riptanti Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Jalan Ir Sutami No 36-A Kentingan, Jebres,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. dengan kekuatan permintaan dan penawaran (Waluya, 2003)

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. dengan kekuatan permintaan dan penawaran (Waluya, 2003) TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Harga suatu barang ekspor dan impor merupakan variabel penting dalam merncanakan suatu perdagangan internasional. Harga barang ekspor berhadapan dengan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan dalam

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan dalam V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Estimasi Variabel Dependen PDRB Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan

Lebih terperinci

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA Penelitian ini membagi responden berdasarkan jenis lahan, yaitu lahan sawah irigasi dan tadah hujan, serta keikutsertaan petani dalam

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam 219 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan 8.1.1. Berdasarkan pengujian, diperoleh hasil bahwa guncangan ekspor nonagro berpengaruh positip pada kinerja makroekonomi Indonesia, dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tantangan, baik dari faktor internal maupun eksternal. Masalah kesenjangan dan

BAB I PENDAHULUAN. tantangan, baik dari faktor internal maupun eksternal. Masalah kesenjangan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi era otonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik dari faktor internal maupun eksternal. Masalah kesenjangan dan isu globalisasi berimplikasi

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series merupakan data

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A14301041 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Luas wilayah Indonesia dengan keragaman agroklimatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia dan salah satu sumber pendapatan bagi para petani. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan

Lebih terperinci

1 of 5 21/12/ :02

1 of 5 21/12/ :02 1 of 5 21/12/2015 14:02 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. Komoditas yang ditanami diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, teh, kakao, dan komoditas

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 34 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi harga komoditas kakao dunia tidak ditentukan. Waktu pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Februari

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 57 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Estimasi Model Dalam analisis data panel perlu dilakukan beberapa pengujian model, sebagai awal pengujian pada ketiga model data panel statis yakni pooled least square (PLS),

Lebih terperinci

: Pengaruh Luas Lahan, Jumlah Produksi, Kurs Dollar Amerika Serikat dan Inflasi Terhadap Ekspor Kakao Indonesia Kurun Waktu ABSTRAK

: Pengaruh Luas Lahan, Jumlah Produksi, Kurs Dollar Amerika Serikat dan Inflasi Terhadap Ekspor Kakao Indonesia Kurun Waktu ABSTRAK Judul Nama : Pengaruh Luas Lahan, Jumlah Produksi, Kurs Dollar Amerika Serikat dan Inflasi Terhadap Ekspor Kakao Indonesia Kurun Waktu 1994-2013 : I Kadek Edi Wirya Berata Nim : 1206105079 ABSTRAK Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1121, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Cukai. Tembakau. Tarif. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN

Lebih terperinci

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN I. PENDAHULUAN 1. Salah satu target utama dalam Rencana Strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu bidang produksi dan lapangan usaha yang paling tua di dunia yang pernah dan sedang dilakukan oleh masyarakat. Sektor pertanian adalah sektor

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Produksi Pupuk Urea PT. Pupuk Kujang Produksi Pupuk Urea

V. PEMBAHASAN Perkembangan Produksi Pupuk Urea PT. Pupuk Kujang Produksi Pupuk Urea V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Produksi Pupuk Urea PT. Pupuk Kujang 5.1.1. Produksi Pupuk Urea ton 700.000 600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 100.000 - Tahun Sumber : Rendal Produksi PT. Pupuk Kujang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian internasional, diantaranya yaitu impor. Kegiatan impor yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian internasional, diantaranya yaitu impor. Kegiatan impor yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, seperti Indonesia serta dalam era globalisasi sekarang ini, suatu negara tidak terlepas dari kegiatan perekonomian

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI 7.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier 7.1.1. Pendugaan Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier Model yang digunakan untuk mengestimasi fungsi produksi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci