BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 12 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Gambaran Umum Southern Bluefin Tuna Southern Bleufin Tuna (SBT) atau tuna sirip biru adalah ikan yang memiliki habitat di perairan laut lepas dan sekitar pesisir, tetapi selalu menghindari muara-muara sungai yang berkadar garam rendah, serta bermigrasi disekitar laut Pasifik dan wilayah perairan air hangat laut Mediteranian. SBT termasuk ikan buas karena memangsa ikan kecil, cumi-cumi, dan udang. Nama lain SBT adalah red tuna Mediteranian, masuk dalam golongan famili Scombridae, bergenus Thunnus, dengan nama ilmiah Thunnus thynnus (DKP, 2007). Selain spesies tersebut, beberapa spesies lain yang berasal dari famili Scombridae adalah longfin tuna (Thunnus alalunga) dan yellowfin tuna (Thunnus albacares). Gambar 5. Southern Bluefin Tuna/Thunnus thynnus (FAO, 2006) Literatur yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada 2007 diuraikan bahwa; nama red tuna berasal dari karakteristik warna daging, sedangkan nama bluefin tuna dberi karena sirip belakangnya nampak berwarna biru. Ciri fisik biologi SBT seperti pada Gambar 5, ditandai dengan badan memanjang seperti torpedo dan berpenampang bulat serta tergolong tuna besar. Tapisan insang pada busur insang pertama dengan kepala dan mata besar. Sirip punggung pertama berjari-jari 12-13, dan 14 jari-jari lemah pada sirip

2 13 punggung kedua, diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah 14, diikuti 18 jari-jari sirip tambahan. Terdapat 2 lidah/cuping diantara sirip perutnya. Sisik kecil menutupi badannya, sisik pada korselet agak besar, tetapi tidak selalu nyata. Satu lunas kaut pada batang ekor, diapit oleh dua lunas kecil pada ujung belakangnya. Bluefin tuna merupakan salah satu bonefish terbesar yang ada, karena dapat memiliki ukuran mencapai panjang tiga meter dengan beratnya mencapai hampir 700 kg. Didukung dengan bentuk fisik ikan yang berbentuk torpedo atau kerucut dan ramping, serta struktur otot yang kuat, ikan ini memiliki kemampuan luar biasa dalam bermigrasi antar samudera. Umumnya SBT dapat ditandai dengan warna biru kehijauan pada bagian atas dan putih perak pada bagian bawah. Terdapat totol-totol warna putih pada bagian perutnya; kekuningan pada ujung sirip punggung sirip kedua dan dubur, serta jari-jari sirip tambahan. Bluefin tuna -- pada fase tertentu -- merupakan ikan yang suka hidup dalam kawanan kecil bersama-sama dengan binatang lain yang seukuran. Pada periode reproduksi sekitar bulan April-Mei, kawanan menjadi lebih banyak dan secara kompak mengambil keuntungan dari arus yang mengalir untuk bermigrasi. Fase reproduksi dimulai ketika SBT mencapai wilayah sekitar laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara selama musim panas bulan Juli dan Agustus. Kawanan mulai berputar-putar membentuk pusaran air yang pada gilirannya meletakkan gametes (produk seksual) di tengah-tengah pusaran, seperti pada Gambar 6. Didorong oleh gaya sentripetal yang dihasilkan dari gerakan perputaran tersebut, maka terjadi pertemuan dan peleburan gamet. SBT betina meletakkan puluhan juta telur; berbentuk bulat dan berukuran sekitar 1 mm serta dilengkapi dengan tetesan berminyak agar telur tetap mengapung.

3 14 Gambar 6. Pemijahan Southern Bluefin Tuna (FAO, 2006) Fase reproduksi diakhiri ketika tuna kehilangan semangat berkawan, lelah dan lamban, berhenti sejenak di sepanjang pantai untuk mencari makan, setelah itu bermigrasi kembali kearah pesisir Autralia hingga Pantai Barat Afika Selatan. Telur-telur menetas sekitar 2 hari kemudian dan larva voracious berukuran 3 mm muncul. Larva-larva ini selanjutnya dalam beberapa bulan mampu mencapai panjang 45 cm. Dalam beberapa tahun, tuna-tuna muda tersebut hidup di wilayah pemijahan dan selanjutnya bermigrasi sampai mencapai kematangan seksual. 3.2 Potensi dan Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia Menurut data DKP (1998) potensi penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia tahun 1998, Samudera Hindia memiliki potensi perikanan tuna yang cukup besar, seperti pada Tabel 2. Jenis-jenis ikan tuna yang terdapat di wilayah perairan ini adalah Yellowfin, Big eye dan Albacore di laut barat Sumatera; Yellowfin, Big eye, Albacore dan Soutern Bluefin Tuna (SBT) di laut selatan Jawaa dan Bali serta Nusa Tenggara. Tingkat pemanfaatan tuna di perairan ini menurut data tahun 1998 rata-rata masih dibawah 50%.

4 15 No. Tabel 2. Estimasi Potensi, Produksi, dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Berdasarkan Jenis dan Wilayah Penangkapan Pada Tahun 1997 Wilayah Penangkapan 1. Samudera Hindia Barat Sumatera 2. Samudera Hindia Selatan Jawa 3. Samudera Hindia Selatan Bali dan Nusa Tenggara Jenis Ikan Yellowfin Big eye Albacore Yellowfin Big eye Albacore SBT Yellowfin Big eye Albacore SBT Luas Area (1000 m 2 ) Ikan/ton pancing Berat (kg/100 pancing) Indeks Kelimpahan (kg/100 pancing) Sumber: Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia, 1998 (DJPT DKP 2006). Potensi Lestari (ton/tahun) Produksi 1997 (ton) Tingkat Pengusahaan (%) Wilayah laut di selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara pada Tabel 2 ternyata memiliki arti strategis dalam perikanan tuna dunia. Arti strategis itu terkait dengan habitat beruaya atau memijah SBT yang berlangsung di wilayah laut tersebut. Kondisi ini membawa konsekuensi-konsekuensi dalam pengelolaan sumberdaya ikan SBT, yakni Indonesia dituntut agar dapat ikut serta dalam konvensi CCSBT dengan menjadi anggota penuh organisasi pengelolaan sumberdaya ikan regional. Keanggotaan Indonesia dalam CCSBT penting artinya, khususnya bagi negara pelaku utama penangkapan SBT. Sebagai negara yang memiliki wilayah laut tempat beruaya SBT, kebijakan-kebijakan Indonesia dalam pengelolaan dan pemanfaatan SBT dapat berdampak langsung pada kelangsungan sumberdaya dan kegiatan industri perikanan tuna SBT dunia. Indonesia diharapkan dapat terikat dengan konvensi CCSBT, sehingga setiap regulasi perikanan tangkap yang dikeluarkan oleh otoritas perikanan Indonesia, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan SBT di Samudera Hindia, diharapkan tetap berada pada koridor untuk mendukung tujuan utama konvensi CCSBT. Tujuan tersebut adalah menjamin aktivitas penangkapan tidak akan mengurangi keefektifan langkahlangkah pengelolaan, konservasi dan semua keputusan yang tertuang dalam konvensi. Salah satu keputusan konvensi yang terpenting adalah pengaturan jumlah kuota penangkapan SBT.

5 16 Jepang dan Australia adalah negara anggota CCSBT yang memiliki kuota penangkapan SBT terbesar dan menurut data FAO dan CCSBT tahun 2005, jumlah tangkapan kedua dunia mendominasi jumlah tangkapan SBT dunia dan telah berlangsung sejak tahun Indonesia sebagai negara tempat beruaya SBT, kegiatan industri penangkapan SBT mulai tercatat dalam data CCSBT pada tahun Wilayah kegiatan penangkapan industri SBT Indonesia, menurut laporan FAO dan CCSBT sekitar Area 57 di Samudera Hindia seperti pada Gambar 7. Area 57 dikategorikan sebagai daerah beruaya SBT dan kegiatan penangkapan Indonesia pada area tersebut menggunakan alat tangkap tuna long line dengan sebaran kapal tuna long line dapat dilihat pada Lampiran 1. Gambar 7. Peta Area 57 Samudera Hindia (FAO, 2003) Berdasarkan data FAO dan CCSBT, negara-negara yang turut menangkap SBT di Area 57 adalah Australia, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Filipina dan Taiwan dengan komposisi produksi dan alat tangkap seperti pada Tabel 3.

6 17 Tabel 3. Produksi SBT Negara-Negara di Area Penangkapan 57 Samudera Hindia Negara Alat Produksi (Ton) tangkap Australia Longline Purse seine Sub Total Australia Indonesia Longline Japan Longline Korea, Republic of Longline Longline New Zealand Other gears Troll line Sub Total New Zealand Philippines Longline Taiwan Longline Sumber : Diolah dari data FAO dan CCSBT (2006) Sepanjang sejarah keterlibatan Indonesia dalam industri penangkapan SBT dari , produksi SBT Indonesia cenderung berfluktuasi seperti terlihat pada Gambar 8. Jumlah produksi tertinggi pada tahun 1997 yang mencapai 13,74% dari total produksi CCSBT dunia. Pasca 1997, tingkat produksi SBT Indonesia mengalami penurunan dan tidak pernah mendekati angka Pada tahun 2005 jumlah hasil tangkap cenderung membaik, yakni mencapai 11,46% dari total hasil tangkap dunia. Kenaikkan produksi 2005 penting artinya bagi industri SBT Indonesia, namun kenaikkan tersebut ternyata melampaui kuota yang ditetapkan oleh CCSBT. Seiring dengan kenaikan produksi ini pada tahun 2005, Indonesia mendapat sanksi embargo ekspor komoditi SBT ke negara-negara anggota CCSBT. Sanksi tersebut merupakan konsekuensi pelanggaran kuota dan keengganan Indonesia menjadi anggota penuh CCSBT.

7 18 Ton Indonesia Tahun Total Dunia Gambar 8. Grafik Perkembangan Produksi SBT (Ton) Indonesia dan Share dengan Produksi SBT Dunia (diolah dari CCSBT, 2006) Kegitan penangkapan SBT oleh nelayan Indonesia, umumnya menggunakan alat tangkap rawai tuna atau tuna long lines. Alat tangkap tuna long line merupakan rangkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu tuna long line biasanya mengoperasikan mata pancing untuk sekali turun. Alat ini dioperasikan di laut lepas atau perairan samudera dan bersifat pasif, yakni menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran, seperti tampak pada Gambar 9. Gambar 9. Rawai Tuna atau Tuna Longlines (DJPT-DKP, 2006)

8 19 Cara kerja alat ini secara umum adalah pancing diturunkan ke perairan, lalu mesin kapal dimatikan. sehingga kapal dan alat tangkap akan hanyut mengikuti arah arus (drifting). Drifting berlangsung selama kurang lebih empat jam dan selanjutnya mata pancing diangkat kembali ke atas kapal. Untuk mendukung kefektifan alat ini, umpan longline harus bersifat atraktif, misalnya sisik ikan mengkilat, tahan di dalam air, dan tulang punggung kuat. Umpan dalam pengoperasian alat tangkap ini berfungsi sebagai alat pemikat ikan yang umumnya ikan pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella sp.), kembung (Rastrelliger sp.), dan bandeng (Chanos chanos). 3.3 Perkembangan Perdagangan Southern Bluefin Tuna Jepang merupakan negara produsen sekaligus importir Southern Bluefin Tuna (SBT) terbesar dunia. Jumlah produksi SBT Jepang mencapai sekitar ton pada tahun 2005 atau sekitar 47% produksi SBT dunia. Negara kedua yang memiliki produksi terbesar adalah Australia dengan jumlah produksi mencapai sekitar ton pada tahun Indonesia pada tahun yang sama berada pada urutan ketiga produsen tuna dengan jumlah produksi mencapai ton atau 12% produk SBT dunia, seperti terlihat pada Gambar 10. Korea* 0,24% New Zealand 1,68% South Africa Philippines0,15% 0,34% Indonesia Taiwan 11,46% 6,00% Misc. 0,00% Other 0,03% Australia 33,41% Japan 46,68% Gambar 10. Grafik Perbandingan Produksi SBT (Ton) Indonesia Tahun 2005 dengan Negara Produsen Lain (diolah dari CCSBT, 2006)

9 20 Disisi lain, Jepang merupakan negara pengimpor SBT terbesar dunia seperti pada Gambar 11 dengan jumlah pada 2005 mencapai sekitar ton. Impor tersebut bersumber dari ekspor beberapa negara, khususnya Australia dan Indonesia yang merupakan pengekspor terbesar SBT ke Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan Jepang untuk komoditi CCSBT sangat tinggi, sehingga kebutuhan tersebut tidak hanya dipenuhi melalui produksi industri perikanan SBT Jepang saja, tetapi juga dipenuhi melalui kegiatan impor SBT dari negara lain. Hingga saat ini, Jepang merupakan pangsa pasar SBT terbesar dunia Jepang Lainnya Jul-Dec 2003 Jan-Jun 2003 Jul-Dec 2004 Jan-Jun 2004 Jul-Dec 2005 Jan-Jun 2005 Jul-Dec Gambar 11. Grafik Kegiatan Impor SBT (kg) Jepang (diolah dari data CCSBT, 2006) Disamping Jepang, sepanjang tercatat beberapa negara pengimpor SBT, seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, Filipina, Hongkong, Singapura, Belgia, Cina, Italia, dan beberapa negara timur tengah. Berdasarkan catatan ekspor-impor SBT oleh CCSBT, jumlah total volume impor negara-negara tersebut ternyata masih di bawah jumlah impor SBT Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa daya serap pasar SBT Jepang sangat tinggi, sehingga sebagian besar produksi SBT dunia dipasarkan ke Jepang. Perkembangan impor SBT Jepang dari seperti tampak pada Tabel 4.

10 21 Tabel 4. Negara Pengimpor dan Jumlah Impor Periode Negara Periode dan Volume Impor (kg) Pengimpor Jan Jul-Dec Jan-Jun Jul-Dec Jun Jul-Dec Jan-Jun Jul-Dec Jepang AS Korea Selatan Hongkong Filipina Lainnya Sumber : Diolah dari data CCSBT (2007) Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor SBT dunia disamping Australia, Taiwan, Selandia Baru dan beberapa negara lainnya. Perkembangan ekspor SBT Indonesia menunjukkan bahwa Jepang masih merupakan tujuan utama ekspor SBT Indonesia. Sepanjang jumlah ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2002 yang mencapai sekitar 217,21 ton SBT, seperti tampak pada Gambar 12. Bila angka produksi atau jumlah tangkap Indonesia dibandingkan dengan jumlah ekspornya, khususnya ekspor ke Jepang sebagai pangsa pasar utama, maka terlihat bahwa jumlah ekspor Indonesia masih di bawah jumlah produksinya. Kemungkinan sebagian besar produksi SBT Indonesia masih ditujukan untuk konsumsi dalam negeri atau kegiatan tersebut tidak tercatat Ekspor Produksi Gambar 12. Grafik Perbandingan Ekspor dan Produksi (kg) SBT Indonesia (diolah dari data CCSBT, 2006)

11 22 Dibandingkan dengan beberapa negara eksportir lainnya seperti Australia, Taiwan dan Selandia baru, ekspor SBT Indonesia ke Jepang masih sangat rendah. Gambar 13 menunjukkan, sepanjang tahun , Australia adalah negara yang mendominasi pasar utama pengekspor SBT dengan jumlah ekspor tertinggi mencapai ton pada tahun Negara-negara lain yang memanfaatkan pasar SBT Jepang seperti Taiwan dan Selandia Baru belum mampu menyaingi kemampuan ekspor SBT Australia. Jumlah ekspor tertinggi Taiwan dan Selandia Baru sepanjang hanya mencapai ton dan 344,6 ton yang terjadi pada tahun Kilogram Indonesia Rep. Korea Selandia Baru Filipina Lainnya Taiwan Australia Tahun Gambar 13. Grafik Ekspor SBT (kg) Negara-negara Eksportir Utama ke Jepang Periode (diolah dari data CCSBT, 2006) 3.4 Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan pada mulanya dimulai dengan pendekatan faktor biologi yang umum dikenal dengan pendekatan maximum sustainable yield (MSY). Menurut Fauzi (2004) inti pendekatan ini mengasumsikan bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga bila surplus tersebut dipanen (tidak lebih atau tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable).

12 23 Beberapa dekade, pendekatan MSY telah menjadi arus utama dalam pengelolaan sumberdaya ikan di banyak negara, meski berbagai kritik menunjukkan bahwa pendekatan MSY mengandung banyak kelemahan. Kelemahan mendasar pendekatan MSY diantaranya tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Fauzi (2004) kritik pendekatan terhadap MSY dilontarkan lebih jauh oleh Concrad dan Clark (1987) dengan menyatakan pendekatan MSY: 1. Bersifat tidak stabil, karena perkiraan stok yang meleset dapat mengarah pada pengurangan stok (stock depletion); 2. Konsep didasarkan pada pendekatan steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state; 3. Mengabaikan perhitungan nilai ekonomi terhadap stok ikan yang tidak dipanen (imputed value); 4. Mengabaikan aspek interdepensi dari sumberdaya, dan 5. Sulit diterapkan pada kondisi perikanan yang memiliki cirri beragam jenis (multispecies). Penyempurnaan atas berbagai kelemahan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan telah mulai dirintis dengan mendisain pengelolaan yang bertitiktolak pada pendekatan ekonomi. Salah satu pendekatan yang kemudian dikembangkan adalah pendekatan bioekonomi, yakni suatu pendekatan yang lahir dari persoalan yang paling mendasar dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan. Persoalan mendasar tersebut adalah mencari titik keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi sumber daya ikan dengan keharusan untuk menjaga kelestariannya. Menjembatani kedua kepentingan tersebut, yakni kepentingan ekonomi dengan kepentingan konservasi (biologi) telah melahirkan pendekatan bioekonomi, yakni suatu pendekatan yang diperkenalkan pertama kali oleh Scout Gordon untuk menganalisis pengelolaan sumber daya ikan yang optimal. Pendekatan bioekonomi diperlukan untuk menutupi kelemahan-kelemahan konsep MSY yang diperkenalkan oleh Schaefer pada Konsep MSY bertitiktolak pada pendekatan biologi semata, yakni tingkat panen sumber daya ikan pada batas MSY yang akan menjamin kelestarian sumber daya tersebut. Beberapa persoalan kemudian diabaikan dalam perhitungan MSY, dan menurut

13 24 Fauzi (2005), pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana biaya pemanenan ikan, bagaimana pertimbangan sosial ekonomi akibat pengelolaan sumber daya ikan serta bagaimana dengan nilai ekonomi terhadap sumber daya yang tidak dipanen atau intrinsic value (dibiarkan di laut). Kekurangan-kekurangan pendekatan biologi ini melahirkan konsep bioekonomi yang menempatkan aspek sosial dan ekonomi sebagai pertimbangan yang krusial dalam pengelolaan sumber daya ikan. Hal ini yang membedakan antara pendekatan biologi dengan bioekonomi. Menurut Fauzi (2005) pendekatan biologi bertujuan menciptakan pengelolaan untuk pertumbuhan biologi, sedangkan pendekatan bioekonomi bertujuan mengelola sumber daya ikan secara aspek ekonomi dengan kendala aspek-aspek biologi. Pendekatan biologi dalam Konsep Schaefer menurut Anderson (1984) beranjak pada asumsi bahwa pertumbuhan biomass ikan mengikuti fungsi populasi. Pertumbuhan biomass tersebut dapat digambarkan melalui Kurva Analisis Keseimbangan Populasi (Population Equilibrium Analysis) yang ditunjukkan dengan garis x sebagai garis jumlah populasi dan garis y sebagai garis pertumbuhan per periode, seperti pada Gambar 14., (weight) f E4 f E3 a) Growth Curve F 3 f E2 F 2f o f E1 F 1f o A 0 P 3 P 0 P 2 P 1 P * Population (weight) Equilibrium Population b) P * P 1 Population Equilibrium Curve P 2 E 1 E 2 E 3 Gambar 14. Population Equilibrium Analysis (Anderson, 1984) E/T

14 25 Gambar 14a menunjukkan bahwa pada tingkat populasi ikan sebesar P 3 pertumbuhan biomass berada pada F 3. Pada tingkat keseimbangan tersebut, pertumbuhan biomass masih terus berlangsung atau mengalami pertumbuhan positif karena faktor mortalitas secara alamiah lebih kecil dari pertumbuhannya. Pada tingkat P * pertumbuhan telah mencapai tingkat natural equilibrium population atau tidak adanya pertumbuhan alamiah dari biomass. Kondisi ini biasanya ditunjukkan dengan laju pertumbuhan sama dengan nol dan tingkat populasi sesuai dengan carrying capacity. Gambar 14b menunjukkan masukkan aktivitas manusia dalam bentuk penangkapan (effort) terhadap biomass mengakibatkan penurunan jumlah biomass. Pada tingkat effort sebesar E 1 maka jumlah populasi biomas mengalami penurunan menjadi P 1. Diasumsikan dalam kurva tersebut, setiap penambahan 1 unit E akan menurunkan jumlah populasi P sebesar satu satuan. Hubungan antara populasi biomass (P) dengan kegiatan penangkapan (E) menurut Anderson (1984) pada Gambar 14 sama dengan f 0. Setiap kegiatan manusia dalam penangkapan sebesar E 1 unit maka catch menjadi f 0 dan populasi biomass berada pada titik P 1 dan jumlah tangkapan berada pada F 1. Hubungan antara jumlah tangkap (F) dengan effort (E) sebagai akibat introduksi manusia melalui penangkapan dalam pertumbuhan biomass, dijelaskan Anderson (1984) seperti pada Gambar 15. Catch by Weight Short-run Yield for P 2 a) F 3 Short-run Yield for P 3 F 2 F 1 Maximum Sustainable Yield (MSY) Total Sustainable Yield Catch by Weight E 1 E 2 Average Sustainable Yield, F/E E 3 b) E/T Marginal Sustainable Yield, F/ E E/T Gambar 15. Kurva Sustainable Yield (Anderson, 1984)

15 26 Garis total sustainable yield merupakan garis pertumbuhan populasi yang menunjukkan daya dukung sumberdaya perikanan. Pada tingkat effort sebesar E 1 pada garis tersebut, jumlah tangkap sebesar F 1. Kenaikkan jumlah E dari E 1 ke E 2 akan menyebabkan kenaikkan jumlah F dari F 1 ke F 2. Kenaikkan tersebut diikuti dengan kenaikkan sustainable yield, hingga penambahan effort yang terus berlangsung akan mengurangi pertumbuhan jumlah populasi biomass (P). Kondisi ini ditunjukkan dengan kenaikkan effort ke E 3 dan catch ke F 3 menyebabkan penurunan sustainable yield. Penurunan tersebut seperti pada Gambar 15b, garis average sustainable yield dan marginal sustainable yield yang terus menurun. Titik marginal sustainable yield sama dengan nol pada Gambar 15 adalah titik maximum sustainable yield (MSY). Konsep biologi tersebut, menurut Fauzi (2004), kemudian dikembangkan oleh Gordon dengan menambah faktor ekonomi seperti harga dan biaya 19. Faktor tersebut ditambah dengan cara mengalikan harga dengan produksi lestari, maka akan diperoleh kurva penerimaan (TR = ph) dan mengalikan biaya persatuan input dengan upaya (effort), sehingga diperoleh kurva total biaya (TC=cE) yang linier terhadap upaya. Penggabungan fungsi penerimaan dan fungsi biaya tersebut akan membentuk kurva Model Gordon-Schaefer. Kurva Model Gordon-Schaefer menurut Anderson menunjukkan kondisi open akses dan maksimum ekonomi yield dalam industri perikanan tangkap. Kondisi open akses dan maksimum ekonomi yield ditunjukkan pada Gambar 16. Keuntungan maksimum secara ekonomi (maximum economic yield) terjadi pada titik E 1, yakni ketika penerimaan total (revenue) penangkapan ikan lebih tinggi dari biaya total. Jika kondisi keuntungan maksimal ini dibiarkan tanpa regulasi atau kendali (open access), maka mendorong bertambahnya pelaku industri perikanan atau pelaku tersebut memperbesar kapasitas produksinya melalui penambahan jumlah effort. 19 Asumsi yang digunakan untuk menyusun model Gordon-Schaefer (Fauzi, 2004) adalah : a. Harga per satuan output, (Rp/kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastik sempurna b. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan c. Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal d. Struktur pasar bersifat kompetitif e. Hanya faktor penangkapan yang dihitung (tidak termasuk faktor pasca panen dan sebagainya)

16 27 $ Total Cost a) Maximum Profit Total Revenue $ E 1 E 2 E 3 E/T MR C AR C b) MC - AR C - $ E 1 E 2 E 3 E/T Gambar 16. Open Access and Maximum Economic Yield (Anderson, 1984) Penambahan jumlah effort akan menggeser E hingga pada titik keseimbangan open akses di E 3. Keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi terkuras habis (driven to zero), sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, dan tidak ada perubahan pada tingkat upaya. Kondisi ini identik dengan ketidakadaan hak milik (property rights) pada sumberdaya atau lebih tepat adalah ketidakadaan hak kepemilikan yang dikuatkan secara hukum (enforceable). Pergeseran E pada titik E 2 akibat bertambahnya pelaku atau kapasitas industri menghasilkan tingkat produksi yang maksimal. Titik ini disebut maximum sustainable yield (MSY), yakni suatu kondisi yang menghasilkan tingkat produksi yang tinggi dan lestari secara sumberdaya. Meski secara produksi sangat tinggi dan secara sumberdaya lestari, namun total cost yang dibutuhkan untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut lebih besar dibandingkan kondisi MEY. Oleh sebab itu MEY merupakan produksi maksimum secara ekonomi dan merupakan tingkat upaya optimal secara sosial (socially optimum). Sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan mis-allocation sumberdaya, karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif ekonomi

17 28 lainnya. Hal ini merupakan inti dari prediksi Gondon, bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Disisi lain, tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) 20 dibandingkan dengan effort (Hannesson, 1993). Untuk mengetahui dampak ekonomi terhadap kondisi MEY maka dibutuhan analisis dampak ekonomi, yakni metodologi untuk menentukan sejauh mana perubahan-perubahan dalam peraturan, kebijakan, ataupun adanya penemuan teknologi yang baru, atau pengaruh perubahan pendapatan regional dan aktivitas ekonomi lainnya, dalam perubahan tingkat pendapatan, pengeluaran dan pekerjaan. Langkah yang diperlukan untuk melakukan analisis dampak ekonomi terhadap kondisi MEY adalah menentukan nilai ekonomi dari suatu aktivitas perekonomian. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan atas nilai ekonomi tersebut didasarkan pada aktivitas-aktivitas ekonomi. Pengukuran ini tidak dapat dilakukan berdasarkan nilai sosial ataupun hal-hal lain yang diangap bernilai bagi kehidupan seseorang Teknik untuk mengukur aktivitas ekonomi atau pasar tersebut secara umum disebut sebagai analisis dampak ekonomi. Bila suatu kebijakan baru ditetapkan untuk suatu aktivitas ekonomi di wilayah tertentu. analisis dapak ekonomi akan mengukur dampak penetapan kebijakan tersebut pada rentetan dampak ekonomi. Asumsinya penetapan suatu kebijakan akan mendorong tersedianya lapangan kerja, pembelian atas produkproduk lokal, tersedianya layanan transportasi atau perkembangnya suatu aktivitas perekonomian. Disisi lain dampak yang dapat timbul dari suatu kebijakan ekonomi adalah individu dan perusahaan akan meningkatkan daya beli mereka terhadap berbagai produk baru yang berkembang. Hal ini berarti setiap kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan menciptakan rentetan perubahan aktivitas ekonomi, yakni perubahan tingkat pengeluaran (the new spending). Begitu pun bila suatu kebijakan baru yang diterapkan dapat pula mendorong perubahan negatif dari pendapatan individu atau masyarakat. 20 Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara social (Eo) jauh lebih kecil disbanding yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY (E MSY )

18 29 Variabel-variabel yang akan digunakan untuk mengukur dampak ekonomi dalam perubahan regulasi penangkapan SBT di Samudera Hindia adalah menentukan nilai Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Secara teori NPV menunjukkan tingkat diskonto pada tahun mendatang dan IRR menunjukkan tingkat kemampuan pengembalian investasi kegiatan ekonomi. Penentuan nilai NPV dan IRR didasarkan pada asumsi tiga kondisi atau skenario yang mungkin menjadi pilihan kebijakan yang akan ditempuh Indonesia. Ketiga skenario tersebut adalah (1) NVP dan IRR pada status observe atau peninjau, dengan status bukan anggota; (2) NVP dan IRR pada status cooperating non-member atau anggota tidak tetap dengan kewenangan terbatas; dan (3) NVP dan IRR pada status member atau anggota penuh dengan kewenangan penuh. Perhitungan NPV dan IRR pada ketiga skenario tersebut menjadi parameter untuk menentukan status yang paling menguntungkan bagi pengembangan industri SBT Indonesia.

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri perikanan, karena wilayah

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati

Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati Economics History of Fisheries Ikan telah dikonsumsi sejak zaman Homo Erectus sampai Homo sapiens (38 000 tahun yang lalu) Desa nelayan yang menjadi pusat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya udang laut yang sangat besar, yakni sekitar 78 800 ton per tahun yang terdiri dari 74 000 ton per tahun untuk

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang 2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi Klasifikasi ikan Tembang (Gambar 1) menurut www.fishbase.org (2012) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timur, khususnya di PPP Labuhan. Penelitian ini difokuskan pada PPP Labuhan karena pelabuhan perikanan tersebut

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

Alat bantu Gill net Pengertian Bagian fungsi Pengoperasian

Alat bantu Gill net Pengertian Bagian fungsi Pengoperasian Hand line: Pancing ulur merupakan suatu alat penangkap ikan yang terdiri dari seutas tali dengan mata pancing berbentuk seperti jangkar. Pada mata pancing diikatkan umpan. Berdasarkan klasifikasi DKP tahun

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi prime mover bagi pemulihan ekonomi Indonesia, karena prospek pasar komoditas perikanan dan kelautan ini terus meningkat

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah seluruh keragaman bentuk kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati terjadi pada semua lingkungan mahluk hidup, baik di udara, darat, maupun

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Ikan cakalang (sumber : http//www.fishbase.org)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Ikan cakalang (sumber : http//www.fishbase.org) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspek Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Cakalang sering disebut skipjack tuna dengan nama lokal cakalang. Adapun klasifikasi cakalang menurut Matsumoto, et al (1984) adalah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

Esda UC = User Cost. MCo = Kurva harga agregat dari semua firm di suatu industri (marginal extraction cost)

Esda UC = User Cost. MCo = Kurva harga agregat dari semua firm di suatu industri (marginal extraction cost) Esda 2016 1. User cost antara lain dipengaruhi oleh ekspektasi bahwa permintaan terhadap sumberdaya mineral akan naik pada masa yang akan datang. Jelaskan bagaimana hal ini berdampak pada efficient rate

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004) 24 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) dan dilaksanakan selama periode bulan Maret 2011 hingga Oktober

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 29 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Produksi tuna Indonesia di Samudera Hindia IOTC memfokuskan pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia. Jenis tuna yang dikelola adalah tuna albakora (albacore),

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

MODEL ANALISIS EKONOMI DAN OPTIMASI PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PERIKANAN

MODEL ANALISIS EKONOMI DAN OPTIMASI PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PERIKANAN Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005 MODEL ANALISIS EKONOMI DAN OPTIMASI PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PERIKANAN Dosen Fakultas Pengetajuan Ilmu Sosial Universitas Medan Abstrak: Peranan perikanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia.

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia. Latar Belakanq Indonesia adalah negara maritim, lebih dari 70% dari luas wilayahnya, seluas 3,l juta km2, terdiri dari laut. Setelah deklarasi Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) pada tanggal 21 Maret

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna 38 6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Berdasarkan data statistik Palabuhanratu tahun 1997-2011, hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami fluktuasi. Jika dilihat berdasarkan data hasil

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SD ALAM PULIH (kasus SD Ikan) Luh Putu Suciati

PENGELOLAAN SD ALAM PULIH (kasus SD Ikan) Luh Putu Suciati PENGELOLAAN SD ALAM PULIH (kasus SD Ikan) Luh Putu Suciati Beda antara SDA pulih & tak pulih kemampuan regenerasi atau reproduksi Pertanyaan ekonomi mendasar : seberapa ekstraksi yg harus diambil saat

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun Cacth (ton) 46 4 HASIL 4.1 Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Jumlah dan nilai produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru yang didaratkan di PPP Muncar dari tahun 24 28 dapat dilihat pada Gambar 4 dan

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis masalah Kemiskinan dan Ketimpangan pendapatan nelayan di Kelurahan Bagan Deli dan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengelolaan dan Pemanfaatan SDI di Perairan Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengelolaan dan Pemanfaatan SDI di Perairan Indonesia 2 TINJAUAN PUSTAKA Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1999), sebagai sebuah sistem, keberhasilan pengelolaan sumberdaya perikanan akan sangat ditentukan oleh berfungsinya tiga sub sistem yaitu (1)

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 18 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di muara arah laut dan muara arah sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. PPP Labuan memiliki batas administratif,

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Perikanan Kabupaten Agam Aktifitas kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Agam hanya terdapat di satu kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Mutiara. Wilayah ini terdiri atas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah daratan 1,9 juta km 2 dan wilayah laut 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai 81.290 km, Indonesia memiliki potensi sumber

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

seine yang digunakan sebagai sampel, ada 29 (97%) unit kapal yang tidak

seine yang digunakan sebagai sampel, ada 29 (97%) unit kapal yang tidak 5 PEMBAHASAN Hasil penghitungan pemanfaatan kapasitas penangkapan dengan menggunakan single output (total tangkapan) berdasarkan bulan ( Agustus 2007 Juli 2008) menunjukkan bahwa hanya ada 1 2 unit kapal

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA

BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA 36 BAB V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA 5.1 Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna Industri perikanan tangkap tuna (SBT) di Perairan Samudera

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Selat Sunda Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa sehingga perairan ini merupakan pertemuan antara perairan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu sumberdaya hayati laut bernilai ekonomis tinggi karena memiliki daging yang gurih dan lezat, hampir 80 % bagian tubuhnya merupakan bagian yang dapat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Selat Makassar sebagai wilayah perairan laut yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan salah satu wilayah perairan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan alasan dan kriteria

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun 37 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Aspek Teknis Perikanan Purse seine Aspek teknis merupakan aspek yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan, yaitu upaya penangkapan, alat

Lebih terperinci

ANALISIS BIO EKONOMI TUNA MADIDIHANG ( Thunnus albacares Bonnaterre 1788) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPPNRI) 573

ANALISIS BIO EKONOMI TUNA MADIDIHANG ( Thunnus albacares Bonnaterre 1788) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPPNRI) 573 ANALISIS BIO EKONOMI TUNA MADIDIHANG ( Thunnus albacares Bonnaterre 1788) DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (WPPNRI) 573 R.Diyan Krisdiana*, Dulmi ad Iriana**, Otong Suhara Djunaedi**,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan perikanan di Indonesia secara umum bersifat terbuka (open access), sehingga nelayan dapat dengan leluasa melakukan kegiatan penangkapan di wilayah tertentu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi

I. PENDAHULUAN. merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya kelautan Indonesia yang sangat tinggi sesungguhnya merupakan keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang semestinya menjadi modal utama bangsa untuk

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru. 3 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 009 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar - Perairan Selat Bali, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perairan Selat Bali terletak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan dan industri yang bergerak dibidang perikanan memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan devisa bagi negara. Hal tersebut didukung dengan luas laut Indonesia

Lebih terperinci

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa 2) Politeknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia merupakan hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna (Prager et

BAB I PENDAHULUAN. dunia merupakan hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna (Prager et BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan berparuh (Istioporidae dan Xiphiidae) merupakan hasil tangkapan kedua terbesar setelah tuna, dimana terkadang tidak tercatat dengan baik di logbook (Cramer et

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian lndonesia memegang peran yang cukup penting, mengingat potensi sumberdaya ikan tuna di perairan lndonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

POTENSI LESTARI SUMBERDAYA IKAN TUNA DI PERAIRAN SELATAN JAWA DAN PRODUKTIVITAS PER-TRIP TUNA LONGLINE DI PPS CILACAP, JAWA TENGAH NIA KURNIAWATI

POTENSI LESTARI SUMBERDAYA IKAN TUNA DI PERAIRAN SELATAN JAWA DAN PRODUKTIVITAS PER-TRIP TUNA LONGLINE DI PPS CILACAP, JAWA TENGAH NIA KURNIAWATI POTENSI LESTARI SUMBERDAYA IKAN TUNA DI PERAIRAN SELATAN JAWA DAN PRODUKTIVITAS PER-TRIP TUNA LONGLINE DI PPS CILACAP, JAWA TENGAH NIA KURNIAWATI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodrijah 1, Agus Arifin Sentosa 2, dan Prihatiningsih 1 Disampaikan

Lebih terperinci