BAB I PENDAHULUAN. ketertarikan untuk mengembangkan hubungan sosial yang terlihat dari pandangan

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, manusia dikenal sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri (Jackson-Dwyer, 2014). Semenjak lahir manusia sudah memiliki ketertarikan untuk mengembangkan hubungan sosial yang terlihat dari pandangan mata yang diberikan bayi saat melihat seseorang yang memandangnya dan saat merespon suara orang lain (Santrock, 2011). Manusia akan mencari sumber hubungan sosial selain yang diberikan oleh keluarganya dengan cara berteman dan membangun hubungan akrab dengan orang lain. Salah satu hubungan akrab yang lazim dilakukan oleh seorang individu adalah relasi pacaran. El-Hakim (2014) mengemukakan bahwa pacaran adalah serangkaian aktivitas bersama yang diwarnai keintiman berupa rasa saling memiliki dan saling terbuka yang dilakukan oleh pria dan wanita yang belum menikah. Kedua pria dan wanita tersebut memiliki keterikatan emosi dan menjadikan pacaran sebagai ajang saling mengenal dan melihat kecocokan antara satu sama lain sebelum menikah. Kedua definisi di atas memberikan gambaran bahwa pacaran adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan bersama dengan lawan jenis sebagai aktualisasi ketertarikan individu, dimana aktivitas tersebut diwarnai dengan keintiman dan keterikatan emosi. Aktivitas tersebut juga menjadi sarana untuk saling mengenal dan melihat kecocokan antara kedua individu tersebut sebelum memutuskan untuk menikah. 1

2 2 Banyak hal yang dapat mendorong individu untuk melakukan pacaran. Menurut El-Hakim (2014) terdapat beberapa hal yang mendasari remaja untuk melakukan pacaran. Alasan-alasan tersebut antara lain globalisasi teknologi dan media, melemahnya kontrol lingkungan, bergesernya nilai dan fungsi keluarga, berkurangnya perhatian orang tua, berkurangnya komunikasi di dalam keluarga, berkurangnya kemampuan untuk menyerap nilai-nilai agama dan budaya, pendidikan seksual bagi remaja yang kurang terarah, dan keinginan besar remaja untuk mencoba-coba. Selain itu, sebuah artikel yang ditulis Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga Kabupaten Buleleng pun mengemukakan hal serupa, bahwa fenomena pacaran pada remaja dipengaruhi oleh arus media dan tayangan televisi yang tidak mendidik, maraknya lagu-lagu cinta sampai pada jejaring sosial yang aktivitasnya tidak terkendali. Tentu hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para orang tua, apalagi banyak anak yang sudah mulai berpacaran sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang seharusnya masih sibuk belajar dan bermain (Suyasa, 2017). Rice dan Dolgin (2002) mengemukakan salah satu tujuan remaja untuk berpacaran yaitu sebagai ajang perolehan status dan pengakuan sosial, sehingga terdapat suatu kebanggaan tersendiri bagi remaja yang memiliki pacar di hadapan orang di sekitarnya terutama di hadapan teman-temannya. Masyarakat bahkan memiliki anggapan bahwa individu yang tidak memiliki pacar akan dianggap kurang gaul (El-Hakim, 2014). Sebuah artikel juga mengemukakan bahwa tujuan remaja berpacaran adalah untuk membuktikan bahwa dirinya cukup menarik dan

3 3 untuk mengikuti pergaulan teman-temannya agar tidak ketinggalan (Lenggono, 2016) Tujuan berpacaran untuk menaikkan status tersebut berkaitan dengan fenomena saat ini marak terjadi, yaitu fenomena yang sering disebut dengan Relationship Goals. Pada dasarnya, apa yang marak disebut relationship goals adalah dua pasangan yang sering memperlihatkan kemesraan dan kerukunan mereka di jejaring sosial sehingga membuat orang lain iri dan berpikir bahwa ketika mereka berpacaran maka mereka harus seperti kedua pasangan tersebut. Tak jarang pemahaman ini dijadikan acuan individu untuk menjalin hubungan dengan pacarnya, meskipun banyak gambaran relationship goals yang sering mereka lihat tidak sesuai dengan norma-norma sosial dan budaya. Contohnya berpacaran secara vulgar, memamerkan kemesraan di depan umum, sampai pada membelikan hadiah mewah saat pacarnya ulang tahun (Nurohmah, 2016). Individu yang menerima paparan informasi mengenai relationship goals tersebut beranggapan bahwa apa yang ditampilkan di jejaring sosial adalah apa yang benar-benar terjadi di dunia nyata. Padahal menurut penelitian Emery, Muise, Dix, dan Le (2014) individu yang sering menampakkan hubungan romantisnya pada orang lain merupakan individu yang memiliki dimensi kelekatan anxiety, dimana mereka beranggapan bahwa mereka tidak bisa dicintai dan takut ditinggalkan. Individu juga akan cenderung memperlihatkan hubungannya di Facebook lebih banyak dari biasanya ketika mereka sedang merasa tidak aman (insecure) tentang perasaan pasangannya terhadap dirinya. Sebuah penelitian di Indonesia juga mengemukakan hal serupa. Swandono (2014)

4 4 menemukan bahwa individu mengunggah hubungannya ke jejaring sosial dipengaruhi berbagai tujuan, salah satunya adalah untuk memproteksi hubungannya. Proteksi tersebut dapat berupa proteksi internal yang merupakan perlindungan dari rasa jenuh dalam menjalin hubungan yang dirasakan individu. Unggahan ke jejaring sosial dianggap sebagai salah satu bentuk pencarian perhatian pasangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas mengunggah sesuatu mengenai hubungan ke jejaring sosial memang merasakan adanya potensi ketidakstabilan di dalam hubungan. Pada praktiknya relasi pacaran tidak hanya digunakan sebagai sarana pencarian pasangan hidup dan perolehan status sosial saja. Relasi pacaran memiliki dampak positif dan negatif bagi individu yang menjalankannya. Dampak positif dari dilakukannya pacaran antara lain adalah individu dapat belajar bersosialisasi dan memahami berbagai macam karakter orang lain. Sementara ada banyak pula dampak negatif yang dapat terjadi terkait relasi pacaran yang dilakukan, antara lain terjadinya kekerasan fisik, kekerasan seksual, kecenderungan untuk menjadi pribadi yang rapuh, menurunkan konsentrasi, menguras harta hingga kehamilan di luar nikah dan penularan penyakit menular seksual (Lenggono, 2016). Dampak negatif yang paling sering terjadi dalam pacaran adalah meningkatnya kedekatan fisik yang memicu dilakukannya aktivitas seksual oleh pasangan yang berpacaran. Fenomena relationship goals yang telah disinggung sebelumnya bisa jadi memberikan pengaruh pada kecenderungan individu untuk melakukan perilaku seksual pra nikah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sari

5 5 (2015) menghasilkan bahwa ada hubungan negatif antara keterpaparan media sosial dengan perilaku seksual remaja. Semakin tinggi keterpaparan remja terhadap media sosial, maka perilaku seksualnya juga akan semakin mengarah ke arah tidak baik. Rahardjo (2008) mengemukakan 34,37% partisipan penelitian yang dilakukan di salah satu universitas di Jakarta telah melakukan perilaku seks pranikah sampai tahap intercourse atau hubungan seksual. Penelitian lainnya dilakukan oleh Azinar (2013) terhadap 380 orang mahasiswa Universitas Negeri Semarang dan memperoleh hasil sebanyak 12,1% responden menyatakan pernah melakukan intercourse yang beresiko terhadap kehamilan yang tidak diinginkan. Perilaku seksual sebelum menikah merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan moral dan budaya bangsa Indonesia. Perilaku seksual pranikah tersebut juga dapat menimbulkan masalah lainnya, seperti kehamilan di luar nikah, seks bebas, hingga terjangkit penyakit menular seksual. Masalah-masalah terkait dengan perilaku pacaran yang di luar batas tersebut memicu Kementerian Pendidikan dan Budaya untuk memasukkan materi Gaya Pacaran Sehat pada Buku Pendidikan Jasmani Kelas XI untuk siswa SMA / MA / SMK yang sempat menimbulkan banyak reaksi di masyarakat (Carina, 2014). Keinginan untuk melakukan hubungan seksual dengan pacar pun melahirkan dampak lain seperti pemerkosaan (Wijaya, 2017). Lembar Fakta Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan (CATAHU) tahun 2017 mendukung berita di atas dengan mengemukakan bahwa kasus kekerasan seksual yang paling banyak terjadi di ranah rumah tangga atau ranah personal lainnya (KDRT/RP) paling banyak dilakukan oleh pacar yaitu sebanyak orang.

6 6 Jenis kekerasan seksual yang dilakukan dalam ranah KDRT/RP antara lain pemerkosaan sebanyak kasus dan pencabulan sebanyak kasus (Komnas Perempuan, 2017). Tak hanya kekerasan seksual, kekerasan dalam bentuk lainnya juga dapat terjadi selama pacaran. CATAHU 2017 mengungkapkan bahwa pada tahun 2016 Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) yang terjadi berjumlah kasus (21%) dan berada pada peringkat kedua setelah Kekerasan Terhadap Istri (KTI). Kekerasan dalam pacaran termasuk ke dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Relasi Personal lainnya (KDRT/RP) dengan jenis kekerasan yang terjadi antara lain kekerasan fisik berjumlah kasus (42%), kekerasan seksual sebanyak kasus (34%), kekerasan psikis sebanyak kasus (14%), dan kekerasan ekonomi sebanyak 978 kasus (10%) (Komnas Perempuan, 2017). Survei lainnya dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (BPPM DIY) terkait kekerasan pada perempuan dan anak mengungkapkan bahwa pada tahun 2014 terdapat 2 kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh pacar, 1 kasus penelantaran, 2 kasus kekerasan psikis, dan 38 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara pada tahun 2015 jumlahnya naik menjadi 10 kasus kekerasan fisik, 4 kasus penelantaran, 15 kasus kekerasan psikis, dan 67 kasus kekerasan seksual (BPPM DIY, 2016). Tak hanya perilaku seksual pranikah dan kekerasan dalam pacaran, masalah lainnya yang muncul akibat perilaku pacaran adalah meningkatnya stres yang terjadi akibat gagalnya relasi pacaran yang telah dijalani. Stres tersebut memicu

7 7 keinginan untuk melakukan hal menyimpang, seperti melakukan pembunuhan, bunuh diri, atau balas dendam kepada mantan pacar (Permana, 2017; Mulyadi, 2017; Handayani, 2017). Berdasarkan apa yang telah dibahas di atas, dapat disimpulkan bahwa relasi pacaran merupakan relasi yang dijalin oleh dua individu untuk saling mengenal dan mencocokkan diri sebelum pernikahan. Relasi tersebut diwarnai dengan keintiman seperti saling terbuka dan rasa saling memiliki. Relasi pacaran umumnya dilakukan pada masa remaja sampai dewasa. Keinginan remaja untuk menjalin relasi pacaran diantaranya dipengaruhi oleh arus globalisasi teknologi, berkurangnya pengawasan dan komunikasi di dalam keluarga sampai pada keinginan individu untuk mencoba hal baru. Pada praktiknya, relasi pacaran tidak hanya memberikan dampak positif pada individu yang melakukannya. Relasi pacaran yang berdampak positif dapat dijadikan sebagai ajang sosialisasi dan mengenal lebih banyak karakter manusia. Namun dampak negatif dari relasi pacaran pun tak kalah jumlahnya. Mulai dari kedekatan yang berlebihan yang mengarah pada aktivitas seksual sebelum menikah hingga kekerasan yang dilakukan saat berpacaran. Aktivitas seksual yang terjadi dalam relasi pacaran dapat memunculkan masalah lain misalnya kehamilan di luar pernikahan atau terjangkit Penyakit Menular Seksual (PMS). Selain itu, keinginan untuk melakukan aktivitas seksual dengan pacar juga memberikan dorongan pada individu untuk melakukan kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Relasi pacaran sebagai sarana pencocokan diri dengan lawan jenis juga tidak seluruhnya berhasil. Gagalnya relasi pacaran yang dijalani juga dapat

8 8 menimbulkan masalah baru seperti stres yang dapat memicu perilaku menyimpang lainnya. Perilaku tersebut di antaranya kecenderungan melukai diri sendiri sampai bunuh diri, pembalasan dendam berupa kekerasan terhadap mantan pacar, sampai pada pembunuhan terhadap mantan pacar atau keluarganya. Berdasarkan penjabaran di atas, terlihat bahwa dampak negatif dari relasi pacaran merupakan dampak-dampak yang mengancam kesejahteraan individu baik secara fisik maupun mental. Namun, meskipun dampak-dampak negatif tersebut dapat mengancam kesejahteraan individu, pacaran masih dianggap sebagai sesuatu yang lazim dilakukan. Selama ini penelitian mengenai sisi positif relasi pacaran dan bagaimana sisi positif tersebut mempengaruhi kesejahteraan individu belum banyak dilakukan di Indonesia. Begitu pula dengan penelitian yang secara khusus mengungkap aspek-aspek dan dinamika relasi pacaran, meskipun relasi pacaran merupakan relasi yang sangat lazim dilakukan dan sangat dekat keberadaannya dengan kehidupan manusia. Sehingga peneliti mengidentifikasi beberapa pertanyaan mengenai relasi pacaran tersebut. Contohnya apa saja aspek-aspek relasi pacaran dan bagaimana dinamika yang terjadi di dalam relasi pacaran sehingga pacaran tetap dilakukan meskipun memiliki banyak dampak negatif yang bisa mengancam kesejahteraan fisik dan mental individu yang menjalaninya? Pertanyaan-pertanyaan di atas untuk saat ini belum bisa dijawab. Selama ini penelitian-penelitian empiris yang telah dilakukan lebih banyak terfokus pada cinta, keluarga, atau korelasi antarvariabel di dalam sebuah relasi pacaran. Dan penelitian-penelitian mengenai relasi pacaran di Indonesia lebih banyak terfokus

9 9 pada sisi negatif dari relasi pacaran. Sementara penelitian yang terfokus pada aspek dan dinamika psikologis dari relasi pacaran yang mungkin dapat mengungkap sisi positif dari terbentuknya relasi pacaran masih sulit ditemukan. Permasalahan inilah yang akan diangkat dalam penelitian kali ini. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi relasi pacaran, terutama sisi positif dari relasi tersebut. Penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai aspek-aspek dan dinamika psikologis yang terjadi di dalam relasi pacaran. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktik pelaksanaannya. Adapun manfaat yang diharapkan, antara lain: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang baru terkait dengan relasi pacaran. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai relasi pacaran yang dapat digunakan untuk pengembangan teori dan diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih sempurna.

10 10 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pihak yang berkepentingan di bidang sosial dan pengembangan masyarakat untuk menyusun program pengembangan diri bagi masyarakat muda terkait dengan relasi pacaran.