IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA"

Transkripsi

1 IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA Pada bab ini akan diberikan gambaran secara deskriprif mengenai pola konsumsi rumah tangga di Pulau Jawa. Namun sebelumnya akan diuraikan secara ringkas mengenai profil kependudukan dan perekonomian Pulau Jawa. 4.1 Kondisi Kependudukan dan Perekonomian Pulau Jawa Pulau Jawa yang luasnya hanya 7 persen dari wilayah Indonesia dihuni oleh 57,49 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 136 juta jiwa. Sebaran penduduk di Pulau Jawa terlihat pada grafik berikut: (persen) Sumber: Hasil Sensus Penduduk 2010, Badan Pusat Statistik. Gambar 4.1 Distribusi penduduk di Pulau Jawa menurut provinsi tahun 2010 Berdasarkan hasil sementara Sensus Penduduk 2010, jumlah rumah tangga di Pulau Jawa adalah sebanyak ,3 ribu rumah tangga. Jumlah rumah tangga terbanyak adalah di Provinsi Jawa Barat, sebanyak ,6 ribu rumah tangga, diikuti Provinsi Jawa Timur sebanyak ,6 ribu rumah tangga, Provinsi Jawa Tengah 8 707,2 ribu rumah tangga, Provinsi Banten 2 631,0 ribu rumah tangga, Provinsi DKI Jakarta 2 548,2 ribu rumah tangga, dan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 1 043,7 ribu rumah tangga. Pada Grafik 4.1, bisa dilihat bahwa jumlah penduduk terbanyak adalah di Provinsi Jawa Barat, diikuti Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, DKI Jakarta, dan terakhir adalah di Provinsi DI Yogyakarta. Jika dilihat dari sisi perekonomian, Pulau Jawa memberikan kontribusi 58,12 persen dari total PDB Indonesia. Kontribusi terbesar berasal dari Provinsi DKI Jakarta, diikuti Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta.

2 32 PDRB (milyar rupiah) provinsi 0 DKI JABAR JATENG DIY JATIM BANTEN Sumber: Badan Pusat Statistik, Gambar 4.2 PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi di Pulau Jawa tahun Dinamika Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa Berdasarkan hasil olahan data Susenas Panel , komposisi pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa bisa dilihat pada Tabel 4.1. Jika dilihat menurut status wilayahnya, proporsi pengeluaran untuk kelompok komoditi makanan di wilayah perdesaan, masih di atas 50 persen, atau sekitar persen. Hal ini berbeda dengan wilayah perkotaan yang proporsinya sudah di bawah 45 persen. Sesuai dengan hukum Engel, bahwa semakin tinggi tingkat pendapatannya, maka proporsi pengeluaran untuk makanan akan semakin kecil. Tingkat pendapatan (pengeluaran) rata-rata ataupun tingkat kesejahteraan rata-rata di wilayah perkotaan lebih tinggi dibanding dengan wilayah perdesaan. Hal yang menarik di sini adalah, bahwa selama tahun , proporsi pengeluaran untuk kelompok komoditi makanan terus meningkat. Apakah selama periode tersebut terjadi penurunan tingkat pendapatan rata-rata atau tingkat kesejahteraan rata-rata rumah tangga di Pulau Jawa, hal ini memerlukan pengkajian lebih lanjut. Sementara itu, pada Tabel 4.1 juga bisa dilihat bahwa kebutuhan energi ratarata rumah tangga di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan rumah tangga di wilayah perdesaan. Hal ini terlihat dari proporsi pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk kelompok komoditi energi di perdesaan yang lebih rendah dibanding dengan proporsi pengeluaran rumah tangga rata-rata

3 33 untuk kelompok komoditi energi di wilayah perkotaan. Adapun hal yang bisa diungkap di sini adalah bahwa proporsi pengeluaran komoditi energi cenderung mengalami peningkatan, baik di wilayah perdesaan maupun wilayah perkotaan selama tahun Hal ini bisa mengindikasikan tingkat kebutuhan energi yang mengalami peningkatan ataupun tingkat harga kelompok komoditi energi yang mengalami peningkatan. Tabel 4.1 Proporsi pengeluaran sebulan rumah tangga menurut kelompok komoditi dan status wilayah di Pulau Jawa tahun (persen) Tahun makanan listrik Kelompok/komoditi (persen) lpg, gas kota, dan batu bara minyak tanah bensin dan solar non makanan lainnya Total (ribu rupiah) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Perdesaan ,71 2,62 0,28 2,01 3,78 35, (614) ,34 2,46 0,29 1,87 4,39 34, (567) ,49 2,46 1,10 1,20 4,50 35, (638) ,87 2,51 2,42 0,32 4,94 33, (706) Perkotaan ,13 3,32 0,84 1,90 5,28 47, (1 279) ,82 3,11 0,98 1,65 6,11 45, (1 159) ,90 2,93 1,95 0,75 5,91 45, (1 265) ,04 3,10 2,52 0,25 6,32 43, (1 346) Perdesaan dan Perkotaan ,96 3,09 0,66 1,94 4,78 43, (1 279) ,41 2,89 0,75 1,73 5,52 41, (1 159) ,25 2,76 1,65 0,90 5,42 42, (1 265) ,45 2,93 2,49 0,27 5,93 40, (1 346) Sumber: Susenas Panel , diolah. Tabel 4.1 juga menunjukkan bahwa baik di wilayah perdesaan, perkotaan, maupun secara total, proporsi pengeluaran yang terbesar adalah untuk sub kelompok komoditi bensin dan solar. Adapun penggunaan bensin dan solar pada data ini adalah selain untuk kebutuhan transportasi juga untuk bahan bakar generator, namun proporsi penggunaan bensin dan solar untuk bahan bakar

4 34 generator masih relatif kecil. Menurut perkembangannya selama tahun , bisa dilihat bahwa proporsi pengeluaran rata-rata sub kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara baik di perdesaan, perkotaan, ataupun secara total, terus mengalami peningkatan sedangkan proporsi pengeluaran rata-rata sub kelompok komoditi minyak tanah terus menurun. Hal ini sejalan dengan adanya program konversi minyak tanah ke lpg yang dilakukan oleh pemerintah. Bisa dilihat juga pada Tabel 4.1 bahwa rata-rata pengeluaran sebulan rumah tangga di perdesaan di Pulau Jawa untuk semua kelompok komoditi lebih rendah dibandingkan rata-rata pengeluaran sebulan di perkotaan. Dari tahun 2007 hingga tahun 2010, rata-rata pengeluaran sebulan menurut komoditi cenderung mengalami peningkatan, kecuali komoditi minyak tanah yang terus mengalami penurunan. Baik nilai absolutnya maupun nilai relatifnya/proporsinya, rata-rata pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa mengalami penurunan. Namun, jika dilihat menurut wilayah, proporsi rata-rata pengeluaran untuk komoditi minyak tanah di perdesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan, meskipun secara absolut adalah sebaliknya. Tingkat pengeluaran kelompok makanan dan non makanan lainnya perkapita antar provinsi disajikan pada Tabel 4.2. Jika dilihat dari rata-rata pengeluaran per kapitanya, baik untuk kelompok komoditi makanan maupun non makanan lainnya (selain energi), rata-rata pengeluaran per kapita terbesar adalah rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga di DKI Jakarta. Sedangkan rumah tangga di Provinsi Jawa Tengah memiliki rata-rata pengeluaran per kapita yang terrendah untuk kedua kelompok komoditi tersebut. Pada Tabel 4.2 nampak bahwa pada tahun , rumah tangga di Provinsi DKI Jakarta menempati urutan teratas dari semua provinsi dalam ratarata pengeluaran per kapitanya untuk semua komoditi energi kecuali minyak tanah pada tahun 2009 dan Secara umum, pada tingkat harga energi yang relatif sama (tidak berbeda jauh), bisa dikatakan bahwa penduduk yang tinggal di Provinsi DKI Jakarta lebih banyak/boros dalam menggunakan energi.

5 35 Tabel 4.2 Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan rumah tangga menurut kelompok komoditi dan provinsi di Pulau Jawa tahun (ribu rupiah) Provinsi makanan listrik lpg, gas kota, dan batu bara minyak tanah bensin dan solar non makanan lainnya (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 2007 DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Sumber: Susenas Panel , diolah.

6 36 Secara umum, rata-rata pengeluaran per kapita di semua provinsi mengalami peningkatan untuk semua komoditi, kecuali minyak tanah. Rata-rata pengeluaran per kapita di semua provinsi untuk komoditi minyak tanah mengalami penurunan yang cukup besar kecuali untuk rumah tangga di Provinsi DKI Jakarta yang mengalami penurunan kurang dari 50 rupiah per orang. Penurunan ini seiring dengan peningkatan pengeluaran per kapita untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. Dari sini terlihat bahwa terjadi peralihan konsumsi dari minyak tanah ke komoditi lpg, gas kota, dan batu bara.

7 V. ELASTISITAS PERMINTAAN ENERGI RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA 5.1 Hasil Estimasi Model Model AIDS pada kelompok komoditi makanan, energi, dan non makanan lainnya merupakan sebuah sistem persamaan permintaan yang secara ekonometrik diestimasi dengan model SUR. Berdasarkan hasil pengolahan yang terlampir pada Lampiran 1, nilai adjusted R-square model AIDS adalah 79,86 persen. Hal ini berarti variabel penjelas yang digunakan bisa menjelaskan 79,86 persen keragaman data, sedangkan sisanya yakni sebesar 20,14 persen dijelaskan oleh faktor lain. Nilai Pr> t menunjukkan bahwa semua variabel bebas (harga masing-masing kelompok komoditi dan pengeluaran rumah tangga) juga variabel dummy wilayah (desa dan kota) serta tren tahun, mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap variabel proporsi pengeluaran kelompok komoditi ((Pr> t ) < 0,01) (Tabel 5.1). Tabel 5.1 Hasil estimasi parameter sistem persamaan LA-AIDS Estimasi parameter makanan Persamaan kelompok komoditi lpg, gas kota, listrik dan batu bara minyak tanah bensin dan solar (1) (2) (3) (4) (5) (6) konstanta 0, , harga: makanan 0, , listrik 0, , lpg, gas kota, 0, ,51E-04 dan batu bara minyak tanah 0, , bensin dan 0, , solar non makanan -0, ,00564 lainnya pengeluaran RT 0, , dummy desa kota -0, , tren tahun 0, , Angka di dalam kurung adalah p-value. -0, , ,51E-04-0, ,0012 0, , , , , , , , ,0012-0, , , , , , , , , , , , , , , ,00159

8 Elastisitas Harga Pembahasan elastisitas permintaan, baik elastisitas harga sendiri, elastisitas silang, maupun elastisitas pendapatan (dalam hal ini didekati dengan nilai pengeluaran) berdasarkan estimasi parameter model yang diperoleh, dilakukan secara total (menyeluruh untuk wilayah perdesaan dan perkotaan yang ada di Pulau Jawa) dan juga terpisah. Tabel 5.2 berikut akan menunjukkan hasil penghitungan elastisitas permintaan rumah tangga (karena perubahan harga sendiri) di Pulau Jawa baik di perdesaan, perkotaan, maupun untuk total wilayah. Selain dibedakan menurut karakteristik wilayah, nilai elastisitas tersebut juga dihitung per tahun untuk melihat perkembangannya per tahun: Tabel 5.2 Elastisitas harga sendiri rumah tangga di Pulau Jawa menurut status wilayah dan komoditi tahun Komoditi (1) (2) (3) (4) (5) (6) Perdesaan makanan -0,86-0,87-0,86-0,87-0,86 listrik -1,00-1,00-1,00-1,00-1,00 lpg, gas kota, dan batu bara -3,11-3,30-1,47-1,19-1,46 minyak tanah -1,14-1,14-1,20-1,62-1,19 bensin dan solar -1,20-1,20-1,20-1,18-1,19 non makanan lainnya -0,55-0,53-0,55-0,53-0,54 Perkotaan makanan -0,83-0,84-0,84-0,84-0,84 listrik -1,00-1,00-1,00-1,00-1,00 lpg, gas kota, dan batu bara -1,64-1,55-1,22-1,15-1,27 minyak tanah -1,11-1,11-1,20-1,63-1,16 bensin dan solar -1,15-1,15-1,15-1,15-1,15 non makanan lainnya -0,63-0,61-0,61-0,61-0,61 Perdesaan + Perkotaan makanan -0,85-0,85-0,85-0,86-0,85 listrik -1,00-1,00-1,00-1,00-1,00 lpg, gas kota, dan batu bara -1,98-1,91-1,30-1,17-1,34 minyak tanah -1,12-1,13-1,20-1,63-1,18 bensin dan solar -1,17-1,17-1,17-1,16-1,17 non makanan lainnya -0,59-0,57-0,58-0,57-0,58 Sumber: hasil olahan data Susenas Panel

9 39 Baik di perdesaan, perkotaan, maupun total, hasil elastisitas permintaan harga sendiri untuk semua komoditi bernilai negatif. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa ketika harga meningkat, maka jumlah barang yang diminta untuk komoditi tersebut akan turun. Jika dilihat lebih lengkap, untuk tahun , nilai mutlak elastisitas untuk komoditi makanan dan non makanan lainnya nilainya kurang dari satu. Untuk komoditi makanan berturut-turut untuk perdesaan, perkotaan, dan total nilai mutlak elastisitasnya adalah 0,86; 0,84; dan 0,85. Sedangkan untuk komoditi non makanan lainnya nilai mutlak elastisitasnya adalah 0,54; 0,61; dan 0,58 berturut-turut untuk perdesaan, perkotaan, dan keduanya. Nilai ini menunjukkan bahwa bagi rumah tangga baik di perdesaan maupun perkotaan di Pulau Jawa, kelompok komoditi makanan dan non makanan lainnya (selain energi) adalah barang inelastis, yakni suatu barang yang proporsi perubahan jumlah barang yang diminta kurang dari proporsi perubahan harganya. Hal ini menggambarkan bahwa kelompok komoditi makanan dan non makanan lainnya merupakan kebutuhan pokok bagi rumah tangga di Pulau Jawa, sehingga perubahan harganya tidak banyak mengubah jumlah permintaannya. Untuk komoditi listrik, nilai elastisitasnya untuk semua kelompok wilayah adalah minus 1,00. Hal ini menunjukkan bahwa listrik merupakan barang yang bersifat elastis unit di semua wilayah di Pulau Jawa. Jika harga listrik berubah satu persen, maka jumlah listrik yang diminta akan berubah sebesar 1,00 persen, dengan perkataan lain, proporsi perubahan listrik yang diminta mengikuti atau sama dengan proporsi perubahan harganya. Sementara itu, untuk komoditi energi lainnya, seperti lpg, gas kota, dan batu bara; minyak tanah; dan bensin dan solar, nilai mutlak elastisitasnya lebih dari satu. Sehingga komoditi-komoditi tersebut termasuk barang elastis untuk rumah tangga di Pulau Jawa. Hal ini terkait dengan relatif masih rendahnya proporsi pengeluaran energi untuk rumah tangga di Pulau Jawa. Adapun komoditi lpg, gas kota, dan batu bara memiliki nilai mutlak elastisitas yang terbesar dari semua komoditas tersebut, artinya komoditi tersebut merupakan komoditas yang paling elastis.

10 40 Jika dilihat berdasarkan karekteristik wilayah, nilai mutlak elastisitas harga sendiri di perdesaan di Pulau Jawa untuk ketiga komoditi energi yang lain lebih besar dibanding nilai mutlak elastisitas harga sendiri di perkotaan. Implikasinya, perubahan harga ketiga komoditi energi tersebut direspon lebih besar oleh rumah tangga di perdesaan dalam mengubah jumlah barang yang diminta. Begitu juga untuk komoditas makanan, meskipun nilainya tidak terlalu jauh berbeda. Sedangkan untuk kelompok komoditi non makanan lainnya (selain energi), nilai mutlak elastisitas harga sendiri rumah tangga di perdesaan di Pulau Jawa lebih kecil dibanding dengan nilai mutlak elastisitas harga sendiri rumah tangga di perkotaan di Pulau Jawa, masing-masing nilainya adalah minus 0,54 dan minus 0,61. Jumlah barang yang diminta untuk komoditi non makanan lainnya bagi rumah tangga di perkotaan di Pulau Jawa mengalami perubahan proporsi yang lebih besar dibanding jumlah barang yang diminta bagi rumah tangga di perdesaan, pada proporsi perubahan harga yang sama. Jika dilihat perkembangannya selama tahun 2007 hingga tahun 2010, elastisitas permintaan karena perubahan harga sendiri untuk kelompok komoditi makanan, listrik, bensin dan solar, serta kelompok komoditi non makanan lainnya dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, relatif tidak mengalami perubahan. Hal ini terkait dengan proporsi pengeluaran untuk komoditi tersebut relatif tidak mengalami perubahan yang berarti. Perbedaan nilai yang ada hanya sebesar 0,02. Nilainya berada pada kisaran minus 0,85 di perdesaan dan minus 0,86 di perkotaan untuk kelompok komoditi makanan, serta minus 0,96 secara total. Sedangkan nilai elastisitas non makanan lainnya nilainya antara minus 0,55 sampai dengan minus 0,53 di perdesaan, dan antara minus 0,63 sampai dengan minus 0,61 di perkotaan, secara total nilainya berkisar minus 0,59 hingga minus 0,57. Komoditi listrik, nilai elastisitasnya tetap sebesar minus 1,00, baik di perdesaan, perkotaan, maupun total untuk keduanya. Tetapnya elastisitas listrik ini dikaitkan dengan masih banyaknya rumah tangga di Indonesia, termasuk di pulau Jawa, yang belum mendapatkan akses listrik, sehingga rumah tangga tidak dapat serta merta menambah konsumsi listriknya dikarenakan pasokan listrik yang relatif terbatas. Selain itu, sebagian besar listrik yang dikonsumsi

11 41 oleh rumah tangga di Pulau Jawa adalah listrik yang didistribusikan langsung oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan tingkat harga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah (tarif dasar listrik - TDL). Elastisitas harga untuk permintaan bensin dan solar di wilayah perkotaan selama tahun 2007 hingga tahun 2010, tetap pada angka minus 1,15, sedangkan untuk total kedua wilayah nilai elastisitasnya sebesar minus 1,17 hingga minus 1,16. Sedangkan komoditi bensin dan solar di daerah perdesaan sedikit mengalami perubahan pada tahun 2007 hingga tahun 2010, nilainya berada pada kisaran minus 1,20 hingga minus 1,18. Lain halnya dengan kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. Nilai mutlak elastisitas harga sendiri untuk kelompok komoditi ini dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 cenderung menurun. Di perdesaan mulai dari minus 3,11 pada tahun 2007, sempat mencapai minus 3,30 pada tahun 2008, hingga menjadi minus 1,19 pada tahun Di perkotaan, dari minus 1,64 pada tahun 2007, menjadi minus 1,15 pada tahun Secara total, nilainya bergerak dari minus 1,98 menjadi minus 1,17. Sebaliknya untuk komoditi minyak tanah, nilai mutlak elastisitas harga sendiri-nya meningkat dari tahun 2007 sampai dengan tahun Mulai dari minus 1,12 sampai dengan minus 1,63 untuk total, minus 1,11 hingga minus 1,63 di perkotaan, dan minus 1,14 hingga minus 1,62 di perdesaan. Hal ini disebabkan jumlah konsumsi untuk kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara pada jangka waktu tersebut cenderung mengalami peningkatan seiring program konversi minyak tanah ke gas yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga semakin lama perubahan harga lpg, gas kota, dan batu bara yang terjadi memberikan dampak yang lebih kecil pada perubahan konsumsi komoditi tersebut. Sebaliknya untuk komoditi minyak tanah besaran elastisitasnya terus mengalami peningkatan di kedua wilayah. Hal ini terjadi seiring semakin langka dan semakin mahalnya minyak tanah, setelah dicabutnya subsidi dan juga pembatasan pasokan minyak tanah. 5.3 Elastisitas Silang Berikutnya adalah elastisitas silang kelompok komoditi seperti yang tersaji dalam Tabel 5.3. Secara umum baik di perdesaan, perkotaan, dan

12 42 keseluruhan, dampak perubahan jumlah barang yang diminta untuk suatu komoditi akibat satu persen perubahan harga komoditi lainnya tidak terlalu besar (kurang dari satu persen). Hal ini diduga disebabkan dengan tingkat hubungan (baik sebagai barang substitusi maupun komplementer) relatif rendah. Tabel 5.3 Elastisitas silang rumah tangga di Pulau Jawa menurut status wilayah dan komoditi tahun Permintaan komoditi Harga komoditi (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Perdesaan 1-0,01 0,01 0,01 0,01-0,17 2-0,14-0,00* 0,00* 0,03-0,35 3-0,06 0,00* - 0,20 0,20-0,94 4-0,16 0,00* 0,08-0,10-0,61 5-0,58 0,01 0,05 0, ,92 6-0,20-0,01-0,01-0,01-0,02 - Perkotaan 1-0,01 0,01 0,01 0,01-0,20 2-0,08-0,00* 0,00* 0,02-0,32 3 0,02 0,00* - 0,11 0,11-0,59 4-0,07 0,00* 0,06-0,08-0,55 5-0,31 0,00* 0,03 0, ,76 6-0,18-0,01-0,01-0,01-0,02 - Perdesaan + Perkotaan 1-0,01 0,01 0,01 0,01-0,19 2-0,11-0,00* 0,00* 0,02-0,34 3-0,01 0,00* - 0,15 0,14-0,72 4-0,12 0,00* 0,07-0,09-0,59 5-0,43 0,00* 0,04 0, ,83 6-0,19-0,01-0,01-0,01-0,02 - keterangan: 1 = makanan 2 = listrik 3 = lpg, gas kota, dan batu bara 4 = minyak tanah 5 = bensin dan solar 6 = non makanan lainnya * < 0,01 Sumber: hasil olahan data Susenas Panel Selain itu, bisa dilihat bahwa peningkatan harga makanan dan non makanan lainnya menurunkan jumlah barang yang diminta untuk komoditi

13 43 lainnya. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas silang yang negatif, yang menunjukkan bahwa komoditi makanan dan non makanan lainnya berkomplementer dengan komoditi-komoditi yang lain. Adapun jika dilihat dari besaran angkanya elastisitas silang akibat perubahan harga komoditi makanan dan komoditi non makanan lainnya di perdesaan lebih besar dibanding proporsi perubahan jumlah barang yang diminta di perkotaan. Hal ini mungkin disebabkan secara rata-rata pengeluaran per kelompok komoditi di perdesaan lebih rendah dibanding di perkotaan. Sementara itu, untuk elastisitas silang antar sub kelompok dalam kelompok komoditi energi, nilainya relatif tidak terlalu besar (e ij 0,20). Bahkan untuk komoditi listrik, perubahan harganya hanya mengubah proporsi jumlah yang diminta untuk komoditi lainnya sampai 0,01 persen. Seluruh elastisitas silang bernilai positif, yang artinya komoditi-komoditi energi tersebut saling bersubstitusi. Dilihat dari besarannya, tingkat substitusi listrik dengan komoditi lainnya sangat kecil. Bisa dikatakan bahwa antar komoditi energi tersebut belum bisa sepenuhnya saling mensubstitusi, karena memang fungsi dan kegunaannya relatif berbeda. Perkembangan nilai elastisitas silang semua kelompok komoditi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 disajikan pada Tabel 5.4. Perubahan nilai elastisitas silang semua kelompok komoditi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 pada umumnya tidaklah besar, kecuali elastisitas yang terkait dengan komoditi lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah. Hal ini disebabkan proporsi pengeluaran untuk komoditi-komoditi tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti kecuali untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah. Berkenaan dengan program konversi minyak tanah ke gas yang dijalankan oleh pemerintah, nilai elastisitas silang permintaan komoditi minyak tanah akibat perubahan harga komoditi lpg, gas kota, dan batu bara cenderung meningkat. Sebaliknya, nilai elastisitas silang permintaan komoditi lpg, gas kota, dan batu bara akibat perubahan harga komoditi minyak tanah cenderung turun. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran konsumsi komoditi minyak tanah ke komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. Sementara itu, dari tahun 2007

14 44 sampai dengan tahun 2010, proporsi perubahan jumlah barang yang diminta untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara akibat proporsi perubahan harga komoditi yang lain besarannya (nilai mutlaknya) cenderung menurun. Tabel 5.4 Elastisitas silang rumah tangga di Pulau Jawa menurut waktu, tahun Permintaan Harga komoditi komoditi (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) ,01 0,01 0,01 0,01-0,19 2-0,10-0,00* 0,00* 0,02-0,34 3 0,01-0,01-0,41 0,42-2,11 4-0,07 0,00* 0,05-0,06-0,40 5-0,41 0,00* 0,05 0, ,86 6-0,19-0,01-0,01-0,01-0, ,01 0,01 0,01 0,01-0,19 2-0,11-0,00* 0,00* 0,02-0,34 3-0,03-0,01-0,38 0,39-1,92 4-0,08 0,00* 0,05-0,06-0,40 5-0,43 0,00* 0,05 0, ,82 6-0,19-0,01-0,01-0,01-0, ,01 0,01 0,01 0,01-0,19 2-0,11-0,00* 0,00* 0,02-0,34 3-0,01 0,00* - 0,13 0,13-0,63 4-0,14 0,00* 0,08-0,10-0,68 5-0,44 0,00* 0,04 0, ,85 6-0,19-0,01-0,01-0,01-0, ,01 0,01 0,01 0,01-0,18 2-0,11-0,00* 0,01 0,02-0,33 3-0,01 0,00* - 0,08 0,07-0,35 4-0,46-0,01 0,25-0,33-2,18 5-0,42 0,00* 0,03 0, ,79 6-0,19-0,01-0,01-0,01-0,02 - keterangan: 1 = makanan 2 = listrik 3 = lpg, gas kota, dan batu bara 4 = minyak tanah 5 = bensin dan solar 6 = non makanan lainnya * < 0,01 Sumber: hasil olahan data Susenas Panel Sebaliknya, proporsi perubahan permintaan komoditi minyak tanah akibat proporsi perubahan harga komoditi yang lain besarannya (nilai mutlaknya) cenderung meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah komoditi minyak

15 45 tanah yang dikonsumsi oleh rumah tangga semakin sedikit dan kondisi sebaliknya terjadi untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. 5.4 Elastisitas Pendapatan (Pengeluaran) Elastisitas pendapatan adalah proporsi perubahan permintaan suatu komoditi akibat perubahan pendapatan. Pendapatan dalam penelitian ini didekati dengan total pengeluaran yang dilakukan oleh suatu rumah tangga. Asumsinya bahwa semua pendapatan yang diperoleh oleh suatu rumah tangga akan dibelanjakan semua (digunakan semuanya untuk konsumsi). Tabel 5.5 Elastisitas pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa menurut status wilayah dan komoditi tahun Komoditi Perdesaan Perkotaan Perdesaan dan Perkotaan (1) (2) (3) (4) Makanan 1,01 1,01 1,01 Listrik 1,45 1,38 1,41 Lpg, gas kota, dan batu bara 2,07 1,61 1,78 Minyak tanah 1,79 1,65 1,72 Bensin dan solar 2,57 2,14 2,33 Non makanan lainnya 0,80 0,84 0,82 Sumber: hasil olahan data Susenas Panel Sesuai dengan teori, elastisitas pengeluaran kelompok komoditi yang dianalisis menunjukkan angka yang positif, yang berarti peningkatan pengeluaran yang diperoleh oleh suatu rumah tangga akan meningkatkan konsumsi komoditi-komoditi tersebut. Secara umum, baik di perdesaan, perkotaan, maupun total, semua komoditi energi termasuk kelompok barang mewah (nilai elastisitas lebih dari satu) sedangkan kelompok komoditi makanan dan komoditi non makanan lainnya termasuk barang kebutuhan pokok (nilai elastisitas pendapatan kelompok komoditi makanan relatif mendekati 1). Hal ini terkait dengan masih relatif rendahnya porsi pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa untuk komoditi energi. Nilai elastisitas pengeluaran untuk kelompok komoditi bensin dan solar relatif besar, berturut-turut untuk perdesaan, perkotaan, dan total adalah 2,57; 2,14; dan 2,33 sedangkan nilai elastisitas pengeluaran kelompok komoditi energi yang lain kurang dari dua, kecuali untuk lpg, gas kota, dan batu bara di

16 46 perdesaan. Hal ini terkait dengan penggunaan bensin dan solar yang pada umumnya digunakan untuk bahan bakar kendaraan bermotor, yang masih merupakan barang mewah bagi sebagian besar rumah tangga di di Pulau Jawa. Adapun nilai elastisitas pengeluaran komoditi yang relatif paling kecil di antara elastisitas pengeluaran energi lainnya adalah elastisitas pengeluaran komoditi listrik. Hal ini menunjukkan bahwa listrik sudah mengarah sebagai komoditi yang merupakan kebutuhan pokok bagi rumah tangga di Pulau Jawa. Jika dilihat dari status wilayahnya, nilai elastisitas pengeluaran untuk komoditi-komoditi yang tergolong dalam kelompok komoditi energi di perdesaan relatif lebih besar dibandingkan dengan nilai elastisitas pengeluaran komoditi-komoditi tersebut di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi-komoditi energi tersebut masih merupakan barang kebutuhan yang lebih mewah untuk rumah tangga yang tinggal di perdesaan dibanding untuk rumah tangga yang tinggal di perkotaan. Diduga, hal ini terkait dengan lebih rendahnya porsi pengeluaran rumah tangga di perdesaan untuk komoditi energi dibanding porsi pengeluaran komoditi yang sama bagi rumah tangga di perkotaan. Untuk melihat perkembangan nilai elastisitas pengeluaran komoditi yang dianalisis bisa diamati pada Tabel 5.6. Seperti halnya elastisitas permintaan karena perubahan harga sendiri maupun karena perubahan harga komoditi lainnya, elastisitas permintaan kelompok komoditi makanan, listrik, bensin dan solar, serta komoditi non makanan lainya, karena perubahan pengeluaran, relatif tidak mengalami perubahan yang berarti. Sedangkan elastisitas pengeluaran untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara relatif mengalami penurunan, dan sebaliknya untuk komoditi minyak tanah, yang dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 terus meningkat. Untuk kelompok komoditi energi, pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, elastisitas pengeluarannya lebih besar dibanding elastisitas pengeluaran di perkotaan, kecuali untuk komoditi minyak tanah pada tahun 2009 dan tahun Hal ini dimungkinkan dengan semakin terbatasnya pasokan minyak tanah sehingga harganya juga menjadi lebih mahal, dan hal ini menyebabkan semakin berkurangnya pemakaian minyak tanah, terutama di perkotaan.

17 47 Tabel 5.6 Elastisitas pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa menurut waktu dan kelompok komoditi dari tahun Kelompok Komoditi (1) (2) (3) (4) (5) Perdesaan Makanan 1,01 1,01 1,01 1,01 Listrik 1,46 1,45 1,45 1,44 Lpg, gas kota, dan batu bara 5,89 6,33 2,09 1,42 Minyak tanah 1,57 1,56 1,83 3,64 Bensin dan solar 2,65 2,60 2,60 2,44 Non makanan lainnya 0,80 0,80 0,80 0,80 Perkotaan Makanan 1,01 1,01 1,01 1,01 Listrik 1,37 1,38 1,39 1,37 Lpg, gas kota, dan batu bara 2,47 2,27 1,49 1,34 Minyak tanah 1,42 1,45 1,84 3,70 Bensin dan solar 2,14 2,13 2,17 2,13 Non makanan lainnya 0,85 0,84 0,84 0,84 Perdesaan + Perkotaan Makanan 1,01 1,01 1,01 1,01 Listrik 1,41 1,41 1,42 1,40 Lpg, gas kota, dan batu bara 3,26 3,09 1,68 1,38 Minyak tanah 1,48 1,50 1,84 3,70 Bensin dan solar 2,36 2,33 2,36 2,27 Non makanan lainnya 0,83 0,82 0,82 0,82 Sumber: hasil olahan data Susenas Panel Elastisitas Permintaan Listrik serta Bensin dan Solar menurut Tingkat Pendapatan Khusus untuk listrik serta bensin dan solar akan dilakukan analisis elastisitas permintaannya untuk beberapa kelompok pendapatan. Adapun pengelompokkan dilakukan menurut tingkat pendapatan sehingga rumah tangga yang ada dibagi menjadi lima kelompok yang terdiri atas 20 persen rumah tangga dengan tingkat pendapatan terrendah pertama (1), terrendah kedua (2), menengah pertama (3), menengah kedua (4), dan tertinggi (5). Tabel 5.7 berikut menyajikan elastisitas permintaan listrik serta bensin dan solar untuk masing- masing kelompok pendapatan.

18 48 Tabel 5.7 Elastisitas harga dan pengeluaran komoditi listrik serta bensin dan solar menurut kelompok pendapatan rumah tangga di Pulau Jawa tahun Elastisitas - listrik Kelompok Pendapatan (1) (2) (3) (4) (5) (6) harga sendiri -1,00-1,00-1,00-1,00-1,00 pengeluaran 1,40 1,42 1,43 1,41 1,40 - bensin dan solar harga sendiri -1,48-1,23-1,17-1,14-1,11 pengeluaran 5,36 2,94 2,31 2,02 1,77 Sumber: hasil olahan data Susenas Panel Pada Tabel 5.7 bisa dilihat bahwa elastisitas harga dan pengeluaran untuk komoditi listrik relatif tidak berbeda untuk lima kelompok pendapatan yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku konsumsi listrik rumah tangga di Pulau Jawa relatif sama untuk rumah tangga pada lima kelompok pendapatan tersebut. Pada komoditi bensin dan solar, semakin tinggi kelompok pendapatannya besaran elastisitas harganya semakin kecil (semakin inelastis), namun besarnya masih lebih dari satu. Begitu juga elastisitas pendapatan (pengeluaran) untuk komoditi bensin dan solar, nilainya semakin kecil pada tingkat/kelompok pendapatan yang semakin tinggi, tetapi masih merupakan barang mewah (nilainya lebih dari satu). Artinya, perubahan jumlah bensin dan solar yang diminta, proporsinya masih lebih besar dibanding dengan proporsi perubahan harga bensin dan solar maupun perubahan pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa, akan tetapi besarnya porsi perubahan jumlah bensin dan solar yang diminta semakin kecil untuk kelompok pendapatan yang lebih besar. 5.6 Simulasi Perubahan Harga BBM dan Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan nilai elastisitas permintaan yang diperoleh untuk rumah tangga di Pulau Jawa pada tahun (total), akan dilakukan simulasi dengan beberapa skenario. Skenario I adalah kenaikan harga bbm (bensin dan solar) sebesar 11 persen dan harga listrik sebesar 15 persen. Skenario II adalah

19 49 kenaikan harga yang sama untuk bbm dan listrik seperti pada skenario I, namun diiringi dengan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar 4 persen. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada skenario I (Tabel 5.8) komoditi listrik dan bensin dan solar mengalami penurunan jumlah barang yang diminta, sedangkan komoditi energi lainnya mengalami peningkatan jumlah barang yang diminta. Tanpa peningkatan pendapatan (pengeluaran rumah tangga) penurunan konsumsi listrik di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan penurunan konsumsi listrik di perkotaan. Kondisi sebaliknya terjadi pada konsumsi bensin dan solar. Pada skenario I, peningkatan harga bensin dan solar sebesar 11 persen, tidak menurunkan jumlah makanan yang diminta, tetapi yang berkurang adalah jumlah barang yang diminta untuk non makanan lainnya. Konsumsi komoditi lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah mengalami sedikit peningkatan antara 0,80 hingga 2,18 persen. Tabel 5.8 Proporsi perubahan jumlah yang diminta berdasarkan hasil simulasi menurut komoditi dan karakteristik wilayah rumah tangga di Pulau Jawa (persen) Kelompok komoditi Perdesaan Perkotaan Perdesaan dan Perkotaan (1) (2) (3) (4) Skenario I makanan 0,22 0,26 0,24 listrik -14,63-14,75-14,69 lpg, gas kota, dan batu bara 2,18 1,15 1,54 minyak tanah 1,09 0,80 0,94 bensin dan solar -12,99-12,64-12,79 non makanan lainnya -0,42-0,32-0,37 Skenario II makanan 4,25 4,29 4,27 listrik -8,82-9,25-9,05 lpg, gas kota, dan batu bara 10,45 7,60 8,67 minyak tanah 8,26 7,40 7,82 bensin dan solar -2,71-4,06-3,48 non makanan lainnya 2,78 3,03 2,92 Sumber: hasil olahan data Susenas Panel

20 50 Peningkatan pengeluaran rumah tangga sebesar 4 persen ketika harga komoditi selain listrik serta bensin dan solar tetap, meningkatkan jumlah lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah yang diminta lebih dari 7 persen. Peningkatan konsumsi kedua komoditi tersebut di perdesaan lebih besar dibandingkan dengan peningkatan konsumsi komoditi yang sama di perkotaan. Jumlah minyak tanah yang diminta di perkotaan meningkat 7,40 persen sedangkan di perdesaan meningkat 8,26 persen. Peningkatan jumlah lpg, gas kota, dan batu bara yang diminta di perkotaan adalah 7,60 persen, sedangkan di perdesaan mencapai 10,45 persen. Komoditi makanan dan non makanan lainnya juga mengalami peningkatan jumlah barang yang diminta namun peningkatannya tidak sebesar kedua kelompok komoditi tersebut. Simulasi skenario II menghasilkan penurunan jumlah listrik serta bensin dan solar yang diminta. Penurunan konsumsi listrik di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan penurunan konsumsi listrik di perkotaan, begitu juga dengan penurunan konsumsi bensin dan solar. Hasil simulasi pada kedua skenario menyatakan bahwa pada tingkat pendapatan rumah tangga yang diprediksi masih akan meningkat, peningkatan harga memang bisa menekan tingkat konsumsi energi. Akan tetapi, hal ini bukanlah satu-satunya cara yang efektif dan belum tentu yang terbaik, mengingat energi sudah merupakan komoditi yang penting dalam konsumsi rumah tangga dan kebutuhannya pun semakin meningkat.

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang digunakan adalah data rumah tangga, khususnya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang sangat vital. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM mengambil peran di hampir semua

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori Teori Permintaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori Teori Permintaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori 2.1.1 Teori Permintaan Permintaan menunjukkan jumlah barang dan jasa yang akan dibeli konsumen pada periode waktu dan keadaan tertentu. Hubungan antara jumlah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas penentu kelangsungan perekonomian suatu negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai sektor dan kegiatan ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA Data pola konsumsi rumah tangga miskin didapatkan dari data pengeluaran Susenas Panel Modul Konsumsi yang terdiri atas dua kelompok, yaitu data pengeluaran

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA

VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA 161 VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA Pemodelan suatu fenomena seringkali tidak cukup hanya dengan satu persamaan, namun diperlukan beberapa persamaan. Pada Bab IV telah disebutkan bahwa ditinjau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia masih belum dapat mencapai target pembangunan di bidang energi hingga pada tahun 2015, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri masih ditopang oleh impor

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN III TAHUN 2014

INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN III TAHUN 2014 INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN III TAHUN 2014 No. 54/11/31/Th. XVI, 5 November 2014 A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang dihasilkan Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat. Kemiskinan menurut PBB didefenisikan sebagai kondisi di mana

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat. Kemiskinan menurut PBB didefenisikan sebagai kondisi di mana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bappenas (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Alam dan Energi dalam Pembangunan. meliputi semua yang terdapat dibumi baik yang hidup maupun benda mati,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Alam dan Energi dalam Pembangunan. meliputi semua yang terdapat dibumi baik yang hidup maupun benda mati, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumber Daya Alam dan Energi dalam Pembangunan 2.1.1 Sumber Daya Energi Sumber daya adalah segala sesuatu yang berguna dan mempunyai nilai di dalam kondisi dimana kita menemukannya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tersebut adalah batubara. Selama beberapa dasawarsa terakhir. kini persediaan minyak bumi sudah mulai menipis.

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tersebut adalah batubara. Selama beberapa dasawarsa terakhir. kini persediaan minyak bumi sudah mulai menipis. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia industri di Indonesia dengan cepat dan membawa dampak pada perekonomian, lapangan kerja dan peningkatan devisa Negara. Industri yang berkembang kebanyakan

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan 1. Model DICE ( Dinamic Integrated Model of Climate and the Economy) adalah model Three Boxes Model yaitu suatu model yang menjelaskan dampak emisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil komoditas pertanian berupa padi. Komoditas padi dikonsumsi dalam bentuk beras menjadi nasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. miskin mulai dari awal peradaban hingga sekarang ini. Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. miskin mulai dari awal peradaban hingga sekarang ini. Kemiskinan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan dan orang-orang miskin sudah dikenal dan selalu ada di setiap peradaban manusia. Oleh karena itu beralasan sekali bila mengatakan bahwa kebudayaan umat manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu indikator inflasi yang cukup penting adalah indeks harga konsumen (IHK) yang terbentuk dari indeks harga kelompok komoditi yang terdiri dari tujuh kelompok,

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 199 IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan data Susenas tahun 2008, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia di berbagai wilayah lebih banyak mengkonsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Peningkatan kebutuhan akan energi di Indonesia terus meningkat karena makin bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan serta pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Iva Prasetyo Kusumaning Ayu, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Iva Prasetyo Kusumaning Ayu, FE UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan berlangsungnya pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional, maka transformasi struktural dalam perekonomian merupakan suatu proses yang tidak terhindarkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi. Selain sebagai komoditas publik, sektor

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I TAHUN 2011

INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I TAHUN 2011 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 21/05/31/Th. XIII, 5 Mei 2011 INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I TAHUN 2011 A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 No. 31/07/36/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 622,84 RIBU ORANG Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I TAHUN 2015 No. 26/05/31/Th. XVII, 5 Mei 2015 A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi konsumen terkini yang dihasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka Pada bab ini akan disampaikan beberapa kajian pustaka mengenai teori permintaan, elastisitas permintaan dan BBM. 2.1.1 Teori

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

Secara garis besar penyusunan proyeksi permintaan energi terdiri dari tiga tahap,

Secara garis besar penyusunan proyeksi permintaan energi terdiri dari tiga tahap, 41 III. METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian Dalam penelitian ini bahan yang diperlukan adalah data ekonomi, kependudukan dan data pemakaian energi. Berikut adalah daftar data yang diperlukan sebagai

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015 No. 44/09/36/Th. IX, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 702,40 RIBU ORANG Pada bulan 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H14094022 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Permintaan Dan Kurva Permintaan Teori permintaan pada dasarnya merupakan perangkat analisis untuk melihat besaran jumlah barang atau jasa yang diminta

Lebih terperinci

PENERAPAN PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009 TERKAIT BBM BERSUBSIDI

PENERAPAN PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009 TERKAIT BBM BERSUBSIDI PENERAPAN PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009 TERKAIT BBM BERSUBSIDI 1. Permasalahan Penerapan aturan PBBKB yang baru merupakan kebijakan yang diperkirakan berdampak

Lebih terperinci

TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA Jumat, 30 Maret 2012

TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA Jumat, 30 Maret 2012 TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA Jumat, 30 Maret 2012 Pada periode 1993-2011 telah terjadi 13 (tiga belas) kali perubahan harga bersubsidi bahan bakar minyak (bensin

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR KOMODITAS PROTEIN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR KOMODITAS PROTEIN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS) Jurnal Matematika UNAND Vol. 2 No. 3 Hal. 162 166 ISSN : 2303 2910 c Jurusan Matematika FMIPA UNAND ANALISIS KETERKAITAN ANTAR KOMODITAS PROTEIN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2009

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2009 No. 29/07/51/Th. III, 1 Juli 2009 TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2009 Jumlah penduduk miskin di Bali pada bulan Maret 2009 tercatat sebesar 181,7 ribu orang, mengalami penurunan sebesar 33,99 ribu orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Harga bahan bakar minyak memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di suatu negara. Fluktuasi harga minyak mentah dunia mempengaruhi suatu negara

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN IV TAHUN 2014

INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN IV TAHUN 2014 INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN IV TAHUN 2014 No. 10/02/31/Th. XVII, 5 Februari 2015 A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang dihasilkan Badan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016 2 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 45/08/34/Th.XVIII, 5 Agustus 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II 2016 TUMBUH 5,57 PERSEN LEBIH

Lebih terperinci

BESAR SUBSIDI UNTUK DISTRIBUSI JAWA TIMUR TAHUN 2007 SEBESAR Rp.224,21/kWh

BESAR SUBSIDI UNTUK DISTRIBUSI JAWA TIMUR TAHUN 2007 SEBESAR Rp.224,21/kWh BESAR SUBSIDI UNTUK DISTRIBUSI JAWA TIMUR TAHUN 2007 SEBESAR Rp.224,21/kWh Dalam perkembangannya, untuk memenuhi keinginan dari permintaan calon pelanggan rumah tangga, PT.PLN mengeluarkan produk-produk

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TAHUN 2014 No. 09/02/36/Th.IX, 5 Februari 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TAHUN 2014 EKONOMI BANTEN TAHUN 2014 TUMBUH 5,47 PERSEN Perekonomian Banten tahun 2014 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara pengekspor dan pengimpor, baik untuk minyak mentah (crude oil) maupun produk-produk minyak (oil product) termasuk bahan bakar minyak. Produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2010 prevalensi merokok

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2010 prevalensi merokok 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, mengkonsumsi rokok dan produk tembakau lainnya sudah merupakan kebiasaan. Prevalensi konsumsi rokok cenderung meningkat dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 No. 44/10/31/Th. XIV, 1 Oktober 2012 PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 Laju pertumbuhan ekonomi yang diukur dari PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan total PDRB Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No.38/08/12/Th.VII, 6 Agustus 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN II-2012 Pertumbuhan ekonomi Aceh dengan migas pada triwulan II-2012 secara triwulanan (q-to-q) mencapai

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Pengendalian. Pengguna. Bahan Bakar Minyak.

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Pengendalian. Pengguna. Bahan Bakar Minyak. No.555, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Pengendalian. Pengguna. Bahan Bakar Minyak. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 14/02/35/Th. XIII, 5 Februari 2015 PERKEMBANGAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) JAWA TIMUR TRIWULAN 4 ITK Triwulan 4 Jawa Timur sebesar 110,23 dan Perkiraan

Lebih terperinci

Versi 27 Februari 2017

Versi 27 Februari 2017 TARGET INDIKATOR KETERANGAN 7.1 Pada tahun 2030, menjamin akses universal 7.1.1* Rasio elektrifikasi Indikator nasional yang sesuai dengan indikator layanan energi yang global (Ada di dalam terjangkau,

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 41/07/76/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 149,76 RIBU JIWA (11,30 PERSEN) Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara yang sedang mengalami proses perkembangan perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan struktur ekonomi pada hal yang paling mendasar.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Besarnya konsumsi listrik di Indonesia semakin lama semakin meningkat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Besarnya konsumsi listrik di Indonesia semakin lama semakin meningkat. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Besarnya konsumsi listrik di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Kenaikan konsumsi tersebut terjadi karena salah satu faktornya yaitu semakin meningkatnya jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia saat ini dihadapkan pada berbagai masalah dalam berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia saat ini dihadapkan pada berbagai masalah dalam berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini dihadapkan pada berbagai masalah dalam berbagai sektor termasuk krisis minyak dunia yang juga melibatkan Indonesia, dalam kasus ini semua

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 146,90 RIBU JIWA (11,19 PERSEN) Persentase penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobil merupakan suatu hal penting yang dianggap mampu membantu mempermudah hidup manusia. Untuk dapat dipergunakan sebagai mana fungsinya mobil menggunakan tenaga mesin

Lebih terperinci

ANALISIS INDUSTRI GAS NASIONAL

ANALISIS INDUSTRI GAS NASIONAL ANALISIS INDUSTRI GAS NASIONAL Biro Riset BUMN Center LM FEUI Meningkatnya beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) belakangan ini membuat pemerintah berupaya menekan subsidi melalui penggunaan energi alternatif,

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik BAB V Kesimpulan dan Saran 5. 1 Kesimpulan 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Indonesia merupakan negara pengekspor energi seperti batu bara dan gas alam. Seiring

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR 110,47

INDEKS TENDENSI KONSUMEN D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR 110,47 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA INDEKS TENDENSI KONSUMEN D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN SEBESAR 110,47 No. 45/08/34/Th.XV, 2 Agustus A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan

Lebih terperinci

Katalog BPS

Katalog BPS Katalog BPS. 9202001 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TAHUN 2013 ISSN : 2086-2350 Katalog BPS : 9202001 No. Publikasi : 07310.1307

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 118,18

INDEKS TENDENSI KONSUMEN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2014 SEBESAR 118,18 + BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 28/05/34/Th.XVI, 5 Mei INDEKS TENDENSI KONSUMEN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN SEBESAR 118,18 A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator

Lebih terperinci

Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014

Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014 Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014 Akhir-akhir ini di berbagai media ramai dibicarakan bahwa â œindonesia sedang mengalami krisis energiâ atau â œindonesia sedang

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL TERHADAP PERMINTAAN ENERGI DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK LEAP

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL TERHADAP PERMINTAAN ENERGI DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK LEAP ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL TERHADAP PERMINTAAN ENERGI DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK LEAP ABSTRAK Frans J. Likadja Jurusan Teknik Elektro, FST, Universitas

Lebih terperinci

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI Indikator yang lazim digunakan untuk mendapatkan gambaran kondisi pemakaian energi suatu negara adalah intensitas energi terhadap penduduk (intensitas energi per kapita)

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1. Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1. Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali Inflasi Januari 2016 Melambat dan Terkendali Inflasi pada awal tahun 2016 mengalami perlambatan dibandingkan dengan bulan lalu. Pada Januari 2016, inflasi IHK tercatat sebesar 0,51% (mtm), lebih rendah

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No.21/05/12/Th.VII, 7 Mei 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN I-2012 Pertumbuhan ekonomi Aceh dengan migas pada triwulan I-2012 secara triwulanan (q-to-q) mencapai

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 37/08/Th.XX, 7 Agustus 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I - 2017 EKONOMI ACEH SEMESTER I-2017 DENGAN MIGAS NAIK 3,67 PERSEN, TANPA MIGAS TUMBUH 3,54 PERSEN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA BARAT TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA BARAT TAHUN 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 11/02/32/Th.XVII, 5 Februari 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA BARAT TAHUN 2014 EKONOMI JAWA BARAT TAHUN 2014 TUMBUH 5,07 PERSEN MELAMBAT SEJAK LIMA TAHUN TERAKHIR Perekonomian

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 08/02/Th.XVII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN IV TAHUN Pertumbuhan ekonomi Aceh dengan migas pada triwulan IV- secara triwulanan (q-to-q) mencapaai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gas alam merupakan salah satu sumber daya energi dunia yang sangat penting untuk saat ini. Sebagian besar gas alam yang dijual di pasaran berupa sales gas (gas pipa)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan program Konversi minyak tanah ke LPG yang ditetapkan oleh

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan program Konversi minyak tanah ke LPG yang ditetapkan oleh I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan program Konversi minyak tanah ke LPG yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah mengurangi beban subsidi Pemerintah terhadap minyak tanah, mengalokasikan kembali minyak

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG No. 03/14/Th.IV, 15 September 2014 TINJAUAN PDRB MENURUT KONSUMSI MENCAPAI 69,42 Triliun Rupiah, Net Ekspor 53,44 Triliun Rupiah Dari Harga Berlaku Produk Domestik Regional

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2014 SEBESAR 4,24 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2014 SEBESAR 4,24 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 64/11/34/Th.XVI, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2014 SEBESAR 4,24 PERSEN 1. LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN III TAHUN

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017 SEBESAR 122,35

INDEKS TENDENSI KONSUMEN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017 SEBESAR 122,35 + BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 47/08/34/Th.XIX, 7 Agustus 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017 SEBESAR 122,35 A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen

Lebih terperinci

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040 KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040 Ana Rossika (15413034) Nayaka Angger (15413085) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB IV. BASELINE ANALISIS

BAB IV. BASELINE ANALISIS BAB IV. BASELINE ANALISIS 4.1 Analisis Emisi Dan Intensitas Energi Analisis intensitas emisi gas CO 2 (CO 2 /GDP) dan intensitas energi (E/GDP) akan dilakukan dengan menggunakan tahun 1990 sebagai baseline.

Lebih terperinci

Uka Wikarya. Pengajar dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat,

Uka Wikarya. Pengajar dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Kajian Kebijakan BBM Bersubsidi Oleh: Uka Wikarya Pengajar dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas it Indonesia Yayasan Institut Indonesia untuk Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan salah satu alternatif terbaik yang dapat dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup masyarakat.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN I. PEMOHON Mohamad Sabar Musman II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 47

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG HARGA JUAL ECERAN DAN KONSUMEN PENGGUNA JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG HARGA JUAL ECERAN DAN KONSUMEN PENGGUNA JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG HARGA JUAL ECERAN DAN KONSUMEN PENGGUNA JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2015 No. 13/0/33/Th.X, 5 Februari 016 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 015 EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 015 TUMBUH 5, PERSEN MENCAPAI PERTUMBUHAN TERTINGGI SELAMA LIMA TAHUN TERAKHIR Perekonomian Jawa Tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan suatu energi, khususnya energi listrik di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan suatu energi, khususnya energi listrik di Indonesia semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan suatu energi, khususnya energi listrik di Indonesia semakin berkembang menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan dari kebutuhan masyarakat sehari-hari seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan tenaga listrik dalam era globalisasi ini merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan tenaga listrik dalam era globalisasi ini merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Kebutuhan tenaga listrik dalam era globalisasi ini merupakan salah satu kebutuhan mendasar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk melakukan kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar bisa berupa banyak

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAHAN BAKAR. Minyak. Harga Jual Eceran.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAHAN BAKAR. Minyak. Harga Jual Eceran. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.399, 2014 BAHAN BAKAR. Minyak. Harga Jual Eceran. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN

Lebih terperinci

Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI

Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI Pangan merupakan kebutuhan pokok (basic need) yang paling azasi menyangkut kelangsungan kehidupan setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan dasarnya. Seseorang yang melakukan

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan dasarnya. Seseorang yang melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya memenuhi kebutuhannya, seseorang akan melakukan sesuatu kegiatan yang disebut konsumsi. Konsumsi merupakan suatu kegiatan menikmati nilai daya guna dari

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Thn. XIV, 5 Mei 2016 PERKEMBANGAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) JAWA TIMUR TRIWULAN I 2016 ITK Triwulan I 2016 Jawa Timur sebesar 105,38 dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008 BADAN PUSAT STATISTIK No.43/08/Th. XI, 14 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II- Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II-

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG No. 05/6474/Th.V, 28 Desember 2016 TINJAUAN PDRB KOTA BONTANG MENURUT PENGGUNAAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Penggunaan Kota Bontang dalam tahun 2015

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 11/02/16/Th.XVIII, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN EKONOMI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN TUMBUH 4,50 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008 BPS PROVINSI DKI JAKARTA PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008 No. 08/02/31/Th. XI, 16 Februari 2009 Secara total, perekonomian DKI Jakarta pada triwulan IV tahun 2008 yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011 No. 05/01/33/Th. VI, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin meningkatnya penggunaan energi sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin meningkatnya penggunaan energi sejalan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Dengan semakin meningkatnya penggunaan energi sejalan dengan berkembangnya perekonomian dan industri, maka disadari pula pentingnya penghematan energi

Lebih terperinci