5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Produksi Perikanan Analisis data hasil tangkapan ikan di Kabupaten Bengkalis dilakukan terhadap 3 spesies ikan demersal yaitu ikan bawal hitam (Formio niger), bawal putih (Pampus argenteus) dan kurau/senangin (Eleutheronema sp). Deskripsi dari ketiga ikan demersal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis di Kabupaten Bengkalis dari tahun dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis No. Bawal Hitam Produksi (Ton) Bawal Senangin Putih Total Rata-rata Sumber Data Olahan dari : Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau

2 Produksi dari ketiga spesies ikan demersal tersebut dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar Produksi (Ton) Bawal Hitam Bawal Putih Senangin Gambar 16. Grafik data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis Produksi rata-rata tertinggi berturut-turut adalah ikan senangin ton, bawal putih ton dan bawal hitam ton. Dari tahun ke tahun hasil tangkapan dari ketiga spesies juga memperlihatkan trend yang meningkat. Kenaikan yang terus menerus ini akan menjadi masalah dalam analisis time series. Untuk menentukan apakah data bersifat trending (non stationary), maka dilakukan analisis stationary dengan uji Dickey Fuller serta handling data yang bersifat trending dengan menggunakan teknik co-integration. Hasil analisis dari data hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan (pukat pantai, jaring insang hanyut dan jermal) dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari hasil analisis tersebut terlihat bagaimana share hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap tersebut terhadap ikan bawal hitam, bawal putih dan kuro/senangin. Untuk lebih jelasnya hasil tangkapan dari masing-masing alat dapat dilihat pada Gambar 17. Dari gambar tersebut terlihat bahwa sepanjang tahun

3 pengamatan alat tangkap yang memiliki hasil tangkapan tertinggi adalah jaring insang hanyut dan yang terendah adalah pukat pantai. 86 1,400 1,200 1, Produksi (Ton) Pukat Pantai Jaring Insang hanyut Jermal Gambar 17. Hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan dalam analisis 5.2 Standarisasi Unit Effort Sebelum dilakukan asumsi parameter biologi, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi data dan standardisasi dari unit upaya (effort). Kalibrasi dilakukan mengingat data spesifik mengenai upaya yang ditujukan khusus untuk spesies target yang digunakan dalam penelitian ini tidak tersedia. Dalam perikanan yang multi-species dan multi-gear seperti di perairan Kabupaten Bengkalis, maka problem yang kemudian muncul adalah kesulitan untuk mendapatkan data upaya yang langsung untuk setiap spesies, karena satu alat tangkap dapat menangkap lebih dari satu spesies ikan target. Menurut Smith (1993) dan Fauzi (1998), agregasi upaya merupakan satu-satunya cara pengukuran upaya yang dapat diandalkan pada perikanan multi-spesies.

4 87 Dalam penentuan standardisasi effort dalam studi ini digunakan unit jumlah trip per tahun dari tiga alat tangkap yaitu pukat pantai, jaring insang hanyut dan jermal. Pemilihan ketiga alat tangkap ini didasarkan pada kondisi bahwa ketiga alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang dominan digunakan di lokasi penelitian. Ketiga alat tangkap tersebut juga secara konstan menangkap ketiga spesies target dari tahun ke tahun. Spesifikasi dan gambar dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Tabel 12. Standardisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis P. Pantai CPUE Indeks Standarisasi J.I. hanyut Jermal P. Pantai Jermal P. Pantai Jermal Total Effort (Trip) Sumber Data Olahan dari : Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau Karena ketiga alat tangkap tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap ikan, maka diperlukan standardisasi unit fishing effort. Proses standardisasi dilakukan dengan menggunakan formula pada persamaan

5 88 (3.6) 4, yang meliputi data dari tahun 1985 sampai dengan Dengan menggunakan jaring insang hanyut sebagai alat standard 5, hasil perhitungan standardisasi effort dapat dilihat pada Tabel Estimasi Parameter Biologi Beberapa parameter biologi yang diperlukan dalam studi ini menyangkut parameter pertumbuhan (r), carrying capacity (K) dan koefisien daya tangkap (q). Ketiga parameter tersebut diduga dengan menggunakan metode Clarke, Yoshimoto dan Pooley (CYP). Pendugaan parameter dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SHAZAM setelah terlebih dahulu dilakukan uji stationarity dari data dan prosedur Cochran-Orcutt untuk menguji auto correlation dari variabel (Lampiran 5). Hasil uji Dickey Fuller dapat dilihat pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Hasil uji Dickey Fuller No. Varibel Tanpa Trend Dengan Trend 1. LnCPUE E t + E t Hasil uji stationarity dengan menggunakan prosedur Dickey-Fuller test mengindikasikan bahwa variabel effort menunjukkan adanya gejala nonstationary (trending). Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai kritis dari Dickey-Fuller test yang lebih kecil dari nilai absolut 2.57 (sedangkan Log CPUE dengan tanpa trend menunjukkan data stationer). Dengan hasil tersebut, maka dilakukan pendekatan teknik co-integration untuk menghadapi masalah nonstationarity dalam pendugaan parameter ini. Setelah dilakukan teknik co- 4 Metode untuk standardisasi fishing effort ada beberapa cara, sebagai contoh Stark (1971), juga Hilborn dan Walters (1992). Namun demikian kedua metode tersebut tidak dapat diimplementasikan dalam penelitian ini karena data yang diperlukan tidak tersedia, serta perhitungan yang cukup kompleks. 5 Dalam studi ini jaring insang hanyut digunakan sebagai standard mengingat proporsi terbesar jumlah hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Bengkalis diperoleh dari alat tangkap ini.

6 integration dan melalui iterasi Cochran-Orcutt untuk menghilangkan autokorelasi, maka dihasilkan parameter biologi untuk analisis seperti disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil analisis nilai parameter biologi No. Parameter Nilai 1. r K q Durbin-Watson Estimasi Parameter Ekonomi Struktur Biaya Hasil analisis terhadap perhitungan biaya per unit standardized effort dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Total biaya kegiatan penangkapan ikan target dari tahun No. Biaya Real (Rp Juta/ton) Total Biaya (Rp juta)

7 Untuk jelasnya perkembangan biaya operasional untuk penangkapan ikan dari alat tangkap yang sudah distandarisasi dapat dilihat pada Gambar Biaya (Rp juta) Total Biay a (Rp juta) Gambar 18. Total biaya penangkapan ikan taget dari tahun Gambar 18 memperlihatkan bahwa biaya operasional menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa seiring dengan pertambahan waktu maka biaya untuk melaut juga semakin meningkat Estimasi Discount Rate Dari hasil perhitungan discount rate dengan teknik Kula, akan diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Kabupaten Bengkalis sebagai g=11% (Lampiran 6). Dengan menggunakan standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam dari Brent (1997) sebesar 1, dan ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) dari Ramsey 6, sebesar 15% maka diperoleh nilai real discount rate (r) sebesar (4%). Nilai ini merupakan nilai yang cukup konservatif untuk sumberdaya alam, dan patut dipertimbangkan penggunaannya dalam eksploitasi sumberdaya alam. Tentu 6 Idealnya perhitungan real interest rate dalam model Kula ini harus memperhitungkan ρ pure time preference, namun nilai ini harus dihitung berdasarkan kemungkinan survival rate-rata (average survival probability). Namun demikian, kenyataan data di lapangan tidak tersedia, sehingga nilai ρ ini disubsitusi oleh nominal discount rate sebagaimana dirumuskan pada persamaan Ramsey.

8 91 saja, dalam hal ini sumberdaya perikanan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dalam penelitian ini selanjutnya, perhitungan nilai ekonomi (rente) sumberdaya dilakukan dengan berbasiskan dua macam discount rate tersebut. 5.5 Estimasi Sustainable Yield Setelah parameter biologi ditentukan, maka nilai parameter-parameter tersebut digunakan untuk menduga nilai tangkap lestari serta melakukan perbandingan dengan nilai tangkap aktual. Hal ini diperlukan untuk melihat bagaimana keragaan (performance) dari produksi perikanan selama periode waktu Hasil perbandingan untuk fungsi Gompertz dan fungsi logistik dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Perbandingan produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer) Effort (Trip) Produksi Aktual (Ton) Sust. Yield Gompertz (Ton) Sust. Yield Schaefer (Ton) Sumber data diolah dari: Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau

9 92 Tabel 16 memperlihatkan bahwa nilai produksi lestari sepanjang tahun untuk fungsi Gompertz relatif lebih tinggi dari fungsi Schaefer, walaupun secara umum hampir tidak menunjukkan perbedaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 19. Produksi (10 Ton) Produksi Aktual Gompertz Schaefer Gambar 19. Produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer) Perbandingan tersebut kemudian diperkuat dengan analisis Copes eye ball method untuk melihat trajektori atau loop kontraksi dan ekspansi dari input (effort). Dari analisis sustainable yield dengan menggunakan parameterparameter biologi, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Gompertz : ( Et) h t = E t exp Schaefer : 2 h t = E t E t Dengan menggunakan persamaan tersebut, maka kurva sustainable yield-effort akan diperoleh. Analisis Copes eye ball kemudian digunakan untuk melihat trajektori dari kedua fungsi lestari di atas. Selanjutnya dilakukan overlay antara produksi aktual dengan sustainable yield sebagaimana disajikan pada Gambar 20 dan 21.

10 Produksi '02 '97 '98 '01 '00 '99 '94 '95 '96 '90 '92 '93 '89 '91 '88 '86 '87 ' Effort Gambar 20. Copes eye ball sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) 150 '02 Produksi '98 '01 '97'00 '99 '94'95 '96 '90 '92 '93 '89 '91 '88 '87 '86 ' Effort Gambar 21. Copes eye ball sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Logistik)

11 94 Gambar 20 dan 21 memperlihatkan bahwa kurva dengan garis hitam solid menunjukkan kurva sustainable yield, sedangkan kurva dengan garis merah untuk fungsi Gompertz dan logistik yang merupakan trajektori produksi aktual. Selanjutnya Gambar 22 dan 23 memperlihatkan bahwa jika produksi aktual diplot terhadap fungsi lestari, maka terlihat adanya pola ekspansi dan kontraksi. Ekspansi yang akan terjadi, bergerak ke arah titik maksimum sustainable yield, pada periode berikutnya akan terjadi kontraksi yang menuju ke pola awal. Yield ekspansi kontraksi Effort Gambar 22. Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) Yield ekspansi kontraksi Effort Gambar 23. Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Logistik)

12 Degradasi Sumberdaya Perikanan Analisis mengenai degradasi sumberdaya perikanan dalam studi ini merupakan salah satu hal yang penting dilakukan. Hasil perhitungan koefisien degradasi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dapat dilihat pada Lampiran 7. Laju degradasi sumberdaya perikanan untuk produksi aktual dan lestari dapat dilihat pada Gambar 24 dan 25. Gambar 24 dan 25 memperlihatkan bahwa laju degradasi sumberdaya perikanan baik dengan menggunakan data produksi aktual maupun data produksi lestari memiliki pola yang relatif sama, dimana koefisien degradasi yang rendah terjadi di awal-awal periode kemudian mengalami peningkatan pada periode-periode selanjutnya. Hal ini berkaitan dengan makin meningkatnya produksi aktual selama kurun waktu pengamatan Koefisien Degradasi Koefisien Degradasi Lestari Gambar 24. Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi lestari

13 Koefisien Degradasi Koefisien Degradasi Aktual Gambar 25. Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi aktual Selanjutnya perbandingan antara laju degradasi dengan produksi aktual dapat dilihat pada Gambar 26. Dari gambar terlihat bahwa laju degradasi memiliki pola yang relatif sama dengan produksi aktual. Laju degradasi mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi aktual, begitu juga sebaliknya, ketika terjadi penurunan produksi aktual maka laju degradasi juga mengalami penurunan. Produksi (10 Ton) 1,600 1, Koefisien Degradasi Produksi Aktual Koefisien Degradasi 0.10 Gambar 26. Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual

14 97 Perbandingan laju degradasi sumberdaya perikanan dengan upaya aktual dapat dilihat pada Gambar 27. Dari gambar terlihat bahwa secara umum degradasi memiliki pola yang relatif sama dengan upaya aktual, dimana peningkatan dari upaya juga diikuti dengan peningkatan degradasi. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan upaya akan dapat menjadi penyebab terjadinya peningkatan degradasi. Untuk itu diperlukan tindakan pengelolaan terhadap upaya sehingga laju degradasi sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil bisa dikurangi atau dapat dikendalikan. Effort (Trip) 120, , ,000 90,000 80,000 70, , Koefisien Degradasi Effort Koefisien Degradasi Gambar 27. Perbandingan laju degradasi dengan effort aktual 5.7 Depresiasi Sumberdaya Perikanan Keseluruhan hasil estimasi parameter biofisik dan ekonomi digunakan untuk menghitung nilai depresiasi sumberdaya. Dengan menggunakan formula perhitungan depresiasi serta menggunakan hasil perhitungan model Gompertz maka nilai depresiasi sumberdaya perikanan dapat dihitung sebagaimana disajikan pada Tabel 17.

15 98 Tabel 17. Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumberdaya perikanan Sust Rev (Rp jt) TC (Rp jt) Sust Rent (Rp jt) PVSRa (Rp jt) PVSRa (Rp jt) PVSRb (Rp jt) PVSRb (Rp jt) Keterangan: Sust Rev = Penerimaan Lestari (Sustainable Revenue) TC = Biaya Total Sust Rent = Rente Lestari (Sustainable Rent) PVRa = Present Value Sustainable Rent dengan δ market=15% PVRb = Present Value Sustainable Rent dengan δ Kulla=4% PVRa = Perubahan Present Value Sustainable Rent (depresiasi) dengan δ market=15% PVRb = Perubahan Present value Sustainable Rent (depresiasi) dengan δ Kulla=4% Dari tabel terlihat bahwa dengan market discount rate sebesar 15% sumberdaya perikanan demersal di Bengkalis mengalami depresiasi pada tahun 1986 dan besaran depresiasi sumberdaya perikanan demersal berkisar Rp 59 juta sampai Rp 3.24 milyar. Sepanjang kurun waktu tersebut, nilai depresiasi

16 99 diestimasi sebesar Rp 3.3 milyar. Dengan rata-rata nilai present value dari rente sumberdaya sebesar Rp 40.4 milyar sepanjang tahun pengamatan. Besaran depresiasi tersebut cukup signifikan mengurangi nilai rente sumberdaya yang sebenarnya. Penghitungan rente sumberdaya perikanan demersal dengan menggunakan discount rate yang lebih konservatif dari Kula (4%) menghasilkan nilai rata-rata present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate yakni sebesar Rp milyar. Dengan discount rate Kula depresiasi sumberdaya perikanan terjadi pada tahun yang sama seperti pada market discount rate, yakni sebesar Rp 12.4 milyar. Suatu nilai kehilangan yang relatif besar. Depresiasi ini seharusnya diperhitungkan dalam statistik pendapatan sektor perikanan di Kabupaten Bengkalis. Jika tidak, maka nilai PDRB dari sektor perikanan ini akan terlalu rendah pada tahun-tahun dimana stok ikan terapresiasi dan terlalu tinggi pada tahun-tahun dimana stok ikan terdepresiasi. Dengan discount rate Kula yang lebih konservatif, seperti yang dipaparkan di atas, ternyata dihasilkan nilai rente present value dan nilai depresiasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan market discount rate yang notabene tidak merefleksikan pertumbuhan ekonomi di wilayah penelitian. Dalam tahapan ini discount rate tidak dihitung berdasarkan Golden Rule sebagaimana seharusnya. Sehingga dampak dari perubahan discount rate terhadap pengelolaan optimal yang berkaitan dengan stok sumberdaya tidak dapat dibahas. Perubahan discount rate di sini hanya merupakan perubahan numeirare, sehingga tidak dapat dipakai sebagai suatu kesimpulan atau dijadikan suatu basis indikator untuk menentukan penyebab terjadinya perubahan nilai rente sumberdaya dan depresiasi berdasarkan stock assessment, sebagaimana yang dilakukan oleh Clark (1990).

17 100 Pola depresiasi sumberdaya perikanan mengalami pola yang counter cyclical antara upaya dan produksi aktual. Pada saat tingkat upaya (effort) terjadi penurunan, produksi aktual justru tidak menunjukkan perilaku yang sama, malah sebaliknya. Sebagai contoh ketika upaya menurun dari trip ke trip dari tahun 1987 ke 1988, maka produksi aktual justru meningkat dari ton ke ton. Perilaku counter cyclical ini, menyebabkan penurunan pada tangkap lestari (sustainable yield) sehingga mengakibatkan terjadinya depresiasi rente pada sumberdaya perikanan. Dengan demikian, implikasinya terhadap kebijakan adalah bahwa untuk meningkatkan nilai stok sumberdaya ikan, kebijakan untuk menurunkan level input (effort) adalah merupakan pilihan yang tepat. Pola depresiasi rente sumberdaya perikanan terhadap present value dari rente sumberdaya perikanan dapat dilihat pada Gambar , ,000 Rente (Rp juta) 350, , ,000 50,000-50, PVSR (a) Dep (a) PVSR (b) Dep (b) Gambar 28. Present value rente dan depresiasi Sedangkan keterkaitan antara perkembangan upaya (effort) dengan depresiasi dapat dilihat pada Gambar 29 dan 30.

18 101 Effort (000 Trip) ,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5, ,000-10,000 Depresiasi (Rp juta) Depresiasi Effort Gambar 29. Effort dan depresiasi (Kula 15%) Effort (000 Trip) , , , ,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 Depresiasi (Rp juta) ,000 Depresiasi Effort Gambar 30. Effort dan depresiasi (Kula 4%) Gambar 29 dan 30 memperlihatkan bahwa hubungan antara upaya dengan depresiasi yang tidak terjadi secara seketika. Artinya, ketika upaya tinggi depresiasi sumberdaya perikanan tidak terjadi pada saat itu, melainkan terjadi lag, sehingga depresiasi baru akan terjadi pada periode berikutnya.

19 102 Depresiasi yang terjadi diakibatkan oleh perkembangan effort yang berlebihan pada periode sebelumnya sehingga walaupun effort cenderung menurun pada periode tertentu namun depresiasi sumberdaya perikanan tetap terjadi. 5.8 Pengelolaan Sumberdaya Yang Optimal Sumberdaya perikanan merupakan aset kapital yang dalam pengelolaannya secara optimal juga memerlukan pendekatan kapital, sebagaimana halnya dengan sumberdaya alam lainnya. Dengan demikian dibutuhkan pertimbangan aspek intertemporal dalam analisisnya. Pada pendekatan kapital, biaya korbanan (opportunity cost) untuk mengeksploitasi sumberdaya pada saat ini diperhitungkan melalui perhitungan rente ekonomi optimal (optimal rent) yang seharusnya didapat dari sumberdaya perikanan, jika sumberdaya tersebut dikelola secara optimal. Hasil perhitungan analisis optimal dengan menggunakan real discount rate dari Kula 4% dan market discount rate 15% sepanjang tahun pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai optimal biomass, hasil tangkapan dan effort dengan nilai δ yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 18. Dari tabel di atas diperoleh nilai rata-rata biomass, hasil tangkapan dan input yang optimal pada real discount rate dari Kula 4% berturut-turut yaitu 5l ton, 2l ton dan 408l123 trip. Sedangkan nilai rata-rata biomass, hasil tangkapan dan input yang optimal pada market discount rate 15% berturutturut yaitu 5l ton, 2l ton dan 442l865 trip. Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa dengan menggunakan nilai discount rate yang lebih kecil (real discount rate) dari Kula maka diperoleh nilai optimal biomass yang relatif lebih tinggi dan input yang relatif lebih rendah daripada perhitungan dengan menggunakan market discount rate.

20 103 Tabel 18. Nilai optimal biomass, hasil tangkapan dan effort dengan nilai δ yang berbeda Opt Biomass (Ton) Discount Rate 4% Discount Rate 15% Opt Yield (Ton) Opt Effort (Trip) Opt Biomass (Ton) Opt Yield (Ton) Opt Effort (Trip) Rataan Untuk lebih jelasnya perbedaan nilai biomass dan produksi yang optimal sepanjang tahun pengamatan untuk kedua nilai discount rate dapat dilihat pada Gambar 31.

21 Biomass & Yield Opt_biomas (4% ) Opt_biomas (15% ) Opt_yield (4% ) Opt_yield (15% ) Gambar 31. Nilai optimal biomass dan produksi dengan nilai δ yang berbeda (10 ton) Gambar 31 menunjukkan bahwa sepanjang tahun pengamatan nilai optimal biomass pada real discount rate dari Kula 4% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan optimal biomass pada market discount rate 15%. Namun sebaliknya nilai produksi optimal pada market discount rate relatif lebih tinggi dibandingkan dengan produksi optimal pada real discount rate. Menurut Clark (1971) dalam Hanesson (1987) dan Clark (1990), nilai discount rate yang lebih tinggi akan menyebabkan peningkatan laju optimal dari eksploitasi pada sumberdaya yang terbaharukan, dengan demikian kemungkinan akan terjadi kepunahan akan semakin besar. Lebih jauh lagi Hanesson (1987) menyatakan bahwa seperti juga pada sumberdaya tidak terbaharukan, pada dasarnya dampak discount rate terhadap laju eksploitasi dan standing stock biomass dari sumberdaya terbaharukan tidak pasti (ambiguous), dan ketidakpastian ini tergantung pada peran ganda dari discount rate. Pada sisi lain, discount rate menggambarkan laju nilai dari aset. Untuk sumberdaya terbaharukan seperti perikanan, yang memiliki fungsi pertumbuhan berbentuk cembung (concave), discount rate yang lebih tinggi akan menyebabkan stok

22 105 biomass menjadi lebih sedikit. Pada sisi lain, discount rate juga mengekspresikan opportunity cost dari kapital untuk diinvestasikan pada peralatan produksi. Semakin tinggi discount rate, akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi. Pada akhirnya akan menyebabkan produksi intensif optimal menjadi lebih rendah dari stok yang semakin tinggi. Dari hasil penelitian ini, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, mengindikasikan bahwa terjadi penurunan level biomass pada discount rate yang lebih tinggi. Hal ini dapat dipahami karena penelitian ini menggunakan parameter real cost yang disesuaikan dengan indeks harga konsumen, sehingga price ratio menjadi relatif konstan. Dengan demikian, yang lebih berpengaruh dalam hal ini adalah fungsi produksi itu sendiri yang menyebabkan penurunan biomass pada tingkat discount rate yang lebih tinggi. Dengan mengetahui nilai optimal ketiga variabel tersebut, maka akan dapat dibandingkan kondisi pengelolaan sumberdaya perikanan baik pada kondisi aktual, lestari maupun optimal. Perbandingan dari sisi produksi antara ketiga kondisi tersebut menggunakan real discount rate dan market discount rate dapat dilihat pada Gambar 32 dan Gambar Produksi (10 Ton) Prod_Aktual Prod_Lestari Prod_Optimal Gambar 32. Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=4%)

23 106 Dari gambar terlihat bahwa pada awal-awal periode, produksi aktual masih di bawah kondisi lestari maupun optimal. Namun mulai tahun 1988 sampai akhir tahun pengamatan, produksi aktual sudah melampaui produksi lestari. Namun secara keseluruhan kondisi aktual masih di bawah kondisi optimal, walaupun demikian terlihat bahwa produksi aktual cenderung mengalami peningkatan dan tentu saja jika tidak dikelola dengan baik suatu saat akan dapat melebihi produksi pada kondisi optimal Produksi (10 Ton) Prod_Aktual Prod_Lestari Prod_Optimal Gambar 33. Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=15%) Jika sumberdaya perikanan dikelola secara optimal maka produksi harus mengikuti trajektori optimal (garis kuning), yaitu sekitar ton (real discount rate) dan ton (market discount rate). Untuk melihat perbandingan antara input aktual dan optimal pada kedua kondisi discount rate dapat dilihat pada Gambar 34.

24 107 Effort (1000 Trip) Std_Effort Opt_effort (4% ) Opt_effort (15% ) Gambar 34. Perbandingan input aktual dan optimal Gambar 34 menunjukkan bahwa upaya optimal pada kondisi market discount rate 15% relatif lebih tingggi dibandingkan dengan kondisi real discount rate dari Kula 4%. Namun demikian sepanjang tahun pengamatan kondisi tingkat upaya optimal pada kedua discount rate tersebut relatif masih lebih tingggi dibandingkan dengan tingkat upaya aktual (standard effort). Input harus mengikuti trajektori optimal pada level 408l123 trip/tahun (garis pink) untuk real discount rate dan level 442l865 trip/tahun (garis kuning) untuk market discount rate. Selanjutnya akan diperoleh nilai sustainable rent optimal sepanjang tahun pengamatan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 19. Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai optimal rent pada market discount rate 15% relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan real discount rate dari Kula 4%. Namun sebaliknya nilai present value optimal rent pada kondisi real discount rate lebih tinggi dibandingkan pada kondisi market discount rate.

25 108 Tabel 19. Sustainable rent optimal dengan nilai δ yang berbeda OR 4 (Rp juta) PVOR 4 (Rp juta) OR 15 (Rp juta) PVOR 15 (Rp juta) Keterangan: OR 4 = Optimal rent δ 4 % PVOR 4 = Present value optimal rent δ 4 % OR 15 = Optimal rent δ 15 % PVOR 15 = Present value optimal rent δ 15 % Tabel 19 memperlihatkan bahwa optimal rent pada real discount rate 4% berkisar dari Rp milyar sedangkan pada market discount rate 15% berkisar dari Rp milyar. Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa optimal rent pada real discount rate relatif lebih tinggi dibandingkan pada market discount rate. Untuk lebih jelasnya perbandingan sustainable rent optimal pada kedua kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 35.

26 109 70,000 60,000 Rente (Rp juta) 50,000 40,000 30,000 20,000 10, OR (4%) OR (15%) Gambar 35. Sustainable rent untuk pengelolaan optimal (Rp juta) Perbandingan rente ekonomi yang diperoleh antara annual sustainable rent dan rente dalam kondisi pengelolaan optimal dapat dilihat pada Tabel 20. Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai present value optimal rent (PVOR) real discount rate dari Kula 4% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan present value optimal rent pada market discount rate 15%. Selanjutnya perbedaan present value rente optimal dan sustainable pada kondisi real discount rate dari Kula 4% menunjukkan trend yang sama yang relatif lebih tinggi dibandingkan pada market discount rate 15%. Tabel 20. Perbedaan present value rente optimal dan sustainable PVSR (Rp juta) (a) PVOR (15%) (Rp juta) (b) PV Rent (Rp juta) (b-a) PVOR (4%) (Rp juta) ( c ) PV Rent (Rp juta) (c-a)

27 110 PVSR (Rp juta) (a) PVOR (15%) (Rp juta) (b) PV Rent (Rp juta) (b-a) PVOR (4%) (Rp juta) ( c ) PV Rent (Rp juta) (c-a) Keterangan: PVSR = Present value sustainable rent PVOR = Present value optimal rent Untuk lebih jelasnya gambaran tentang perbedaan present value rente optimal dan sustainable dapat dilihat pada Gambar Rente (Juta Rupiah) PV Rent (15%) PV Rent (4%) Gambar 36. Perbedaan present value rente optimal dan sustainable (Rp juta)

28 111 Perbedaan effort aktual dan optimal serta sustainable rent dan optimal dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Perbandingan effort aktual dan optimal serta sustainable rent dan optimal (δ=15%) Std Effort (Trip) Sust Rent (Rp juta) Effort Optimal (Trip) Rente % Perbedaan Optimal (Rp juta) Effort Rente Dari hasil analisis seperti terlihat pada tabel menunjukkan bahwa jika sumberdaya perikanan dikelola secara optimal maka rente ekonomi yang diperoleh secara keseluruhan lebih besar daripada annual rent. Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan rente yang besar, yang akan berimplikasi pada pengendalian input yang baik yang masih dimungkinkan dilakukan. Pengendalian input ini diperlukan, karena selama kurun waktu terlihat bahwa persentase perbedaan antara effort aktual dan optimal cenderung semakin mengecil (Gambar 37).

29 112 Perbedaan Effort (%) Effort Gambar 37. Persentase perbedaan effort aktual dan optimal Gambar 37 menunjukkan bahwa upaya aktual sudah mendekati ke titik optimal. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan suatu saat akan dapat melampaui titik optimal. Untuk rente sumberdaya ikan, memperlihatkan bahwa persentase perbedaan rente annual (sustainable rent) dengan optimal memiliki nilai positif, hal ini mengindikasikan bahwa rente pada dasarnya masih dapat ditingkatkan (Gambar 38) Perbedaan Rente (%) Rente Gambar 38. Persentase perbedaan rente sustainable dan optimal

30 Analisis Dinamis Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang bersifat dinamis, demikian juga gangguan terhadap keseimbangan sistem yang terjadi pada sumberdaya tersebut baik berupa hubungan langsung antara catch dan effort maupun hubungan tidak langsung antara keduanya merupakan sistem yang bersifat dinamis. Untuk itu perlu dilakukan analisis dinamis untuk melihat interaksi antara komponen-komponen tersebut. Dengan menggunakan parameter biologi dan ekonomi, yaitu nilai r, K, q, harga (p) dan biaya (c) yang telah dihitung sebelumnya, maka dihasilkan trajektori dinamis antara effort dan biomass seperti terlihat pada Gambar 39 berikut. Gambar 39. Trajektori effort dan biomas Gambar 39 memperlihatkan hubungan timbal balik antara effort dan biomass sepanjang waktu, trajektorinya membentuk pola dump occilation. Pada awal periode, ketika tingkat effort masih rendah level biomass relatif tinggi. Ketika kemudian effort mengalami peningkatan biomass mengalami penurunan sampai kemudian mencapai steady state pada t > 90. Tingkat steady state effort

31 114 akan dicapai pada t yang relatif lebih kecil. Selanjutnya analisis phase plane disajikan pada Gambar 40. Gambar 40. Analisis phase plane effort dan biomass Dari gambar terlihat bahwa phase plan antara upaya dan biomass memiliki keseimbangan stable focus dimana keseimbangan sistem akan dicapai dengan melalui penyesuaian antara upaya dan biomass. Artinya, peningkatan biomass hanya bisa dicapai jika upaya dikurangi. Hal ini menunjukkan bahwa apabila tingkat upaya yang ada melebihi kapasitas optimum mengakibatkan keseimbangan akan dapat dicapai dalam kurun waktu yang relatif lama pada saat biomass sudah mengalami penurunan Rezim Pengelolaan Perbandingan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan pada kondisi maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY) dan open access untuk biomass, upaya, produksi dan rente ekonomi dapat dilihat pada Gambar 41 dan 42. Proses perhitungan pengelolaan optimal pada ketiga kondisi tersebut, dapat dilihat pada Lampiran 9.

32 Biomass (10 Ton) MEY MSY Open acces Rezim Pengelolaan Gambar 41. Rezim pengelolaan biomass Produksi (10 Ton) MEY MSY Open acces Rezim Pengelolaan 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 - Rente Ekonomi (Rp Juta) Effort Produksi Rente Ekonomi Gambar 42. Rezim pengelolaan effort, produksi dan rente ekonomi Gambar 41 memperlihatkan bahwa biomass tertinggi terdapat pada kondisi maximum economic yield (MEY) (7l320.1 ton) dan terendah pada kondisi open acces (3l098.6 ton). Selanjutnya pada Gambar 42 memperlihatkan bahwa pada kondisi maximum economic yield (MEY) menghasilkan input (effort) yang jauh lebih kecil yaitu 200l960 trip dari solusi open acces (401l930 trip) serta maximum sustainable yield (MSY) (274l720 trip). Di sisi lain solusi

33 116 MEY juga menghasilkan rente ekonomi yang paling tinggi sebesar Rp 8.1 milyar dibandingkan dua rezim pengelolaan yang lain, rente pada kondisi MSY sebesar Rp 7.0 milyar sedangkan pada kondisi open access nilai rentenya hampir mendekati nol Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Perikanan Hasil analisis interaksi antara ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan memperlihatkan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi terhadap produksi sumberdaya perikanan. Interaksi keduanya digambarkan oleh persamaan model Fozal berikut: 2 h t = E E. Hasil perhitungan model Fozal dan peta sebaran mangrove dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11. Perbedaan produksi antara kondisi baseline dan model Fozal dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Perbedaan antara produksi sumberdaya perikanan baseline dengan Model Fozal Effort (Trip) Produksi Lestari Baseline (Ton) Mangrove (Ha) Produksi Lestari SDP dari Mangrove (Ton) Perbedaan Produksi (Ton) Rata-rata %

34 117 Selanjutnya trajektori produksi lestari sumberdaya perikanan baseline dan produksi dari kontribusi mangrove (Model Fozal) dapat dilihat pada Gambar Produksi (10 Ton) Baseline Mangrove (Fozal) Gambar 43. Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun Dari Gambar 43 memperlihatkan bahwa mangrove di Kabupaten Bengkalis memberikan kontribusi sebesar 44.18%. Besar kecilnya kontribusi mangrove terhadap sumberdaya perikanan demersal diduga tergantung dari pola distribusi dan hubungan rantai makanan dengan ekosistem mangrove. Dari data produksi ikan demersal terlihat bahwa ikan senangin merupakan ikan yang dominan yang tertangkap dan alat tangkap yang dominan digunakan adalah jaring insang hanyut. Alat tangkap ini umumnya beroperasi di wilayah laut yang agak jauh ke tengah yang relatif jauh dari kawasan mangrove. Peta sebaran alat tangkap yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 12, sedangkan kurva lestari dari produksi sumberdaya perikanan baseline dan Model Fozal dapat dilihat pada Gambar 44.

35 118 Baseline Mangrove Gambar 44. Kurva sustainable yield baseline dan Model Fozal Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung kehidupan berbagai organisme akuatik. Disamping sebagai habitat bagi berbagai jenis organisme akuatik yang berasosiasi dengannya, ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai tempat memelihara larva, tempat bertelur dan tempat untuk mencari makan bagi berbagai organisme akuatik. Menurut Ruitenbeek (1992), nilai net benefit tahunan mangrove di Indonesia sekitar US$l235. Dari keseluruhan nilai tersebut kegiatan perikanan (fisheries) memberikan kontribusi terbesar sekitar US$l117 (49.79 %), diikuti oleh kegiatan kehutanan (forestry) sekitar US$l67 (28.51 %), pemanfaatan oleh masyarakat lokal (local uses) sekitar US$l33 (14.04 %), fungsi keanekaragaman hayati (biodiversity) US$ 15 (6.38 %), dan fungsi penahan erosi US$ 3 (1.28%). Selanjutnya Alikodra (1999) menyatakan bahwa nilai penting lain dari ekosistem mangrove adalah dalam bentuk fungsi-fungsi ekologi yang vital, termasuk pengendalian terhadap erosi pantai, stabilisasi sedimen, perlindungan bagi terumbu karang di dekatnya terhadap padatan-padatan tersuspensi, perlindungan bagi tataguna lahan di wilayah pantai dari badai dan tsunami, pencegahan terhadap intrusi garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap polusi, suplai detritus organik dan hara untuk perairan patai di dekatnya, serta

36 119 penyediaan pakan, pemeliharaan larvae dan perkembangbiakan ikan dan kehidupan lainnya. Kawaroe et al. (2001) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika ekosistem pesisir dan laut, terutama perikanan pantai sehingga pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem mangrove merupakan salah satu alasan untuk tetap mempertahankan keberadaan ekosistem tersebut. Peran ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan laut dapat dihubungkan dengan fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang keberadaan biota menurut beberapa aspek antara lain adalah fungsi fisik, biologi, dan sosial ekonomi. Salah satu alasan yang menjadikan ekosistem mangrove sangat terkait dengan perairan di sekitarnya adalah keunikan ekosistem mangrove yang merupakan batas yang menghubungkan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga dapat mempengaruhi proses kehidupan biota (flora dan fauna) di wilayah tersebut. Berbeda dengan ekosistem darat, mangrove adalah ekosistem terbuka, yang dihubungkan dengan ekosistem laut melalui arus pasang surut. Keterkaitan ekosistem mangrove dengan sumberdaya ikan telah dibuktikan oleh Paw dan Chua (1989) yang melakukan penelitian di Filipina, dan menemukan hubungan positif antara area mangrove dan penangkapan udang penaeid. Di Indonesia, Martosubroto dan Naamin (1977) membuktikan hubungan yang positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Tetapi Chansang (1979), menyatakan hubungan yang ada tidak linear dan terdapat hubungan negatif antara mangrove dan hasil panen udang pada setiap unit area yang merupakan produktivitas mangrove. Mengingat peran penting ekosistem mangrove terhadap sumberdaya perikanan maka perlu dilakukan upaya-upaya pengelolaan terhadap kawasan mangrove. Apa yang terjadi di Easter Island dimana hutan-hutan dieksploitasi untuk dijadikan bahan pembuat kapal-kapal penangkap ikan dan berbagai kebutuhan lainnya tanpa mengindahkan kelestarian sumberdaya tersebut. Akibatnya berdampak negatif terhadap sumberdaya perikanan yang mengalami

37 120 collaps dan dibutuhkan waktu lebih kurang 200 tahun untuk pemulihan (recovery) sumberdaya perikanan. Menurut Imran et al. (2002), secara umum permasalahan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia, yaitu : (1) Kurangnya intensitas perlindungan (protection), perawatan, dan perbaikan terhadap kondisi hutan mangrove baik itu oleh institusi kehutanan maupun masyarakat di sekitarnya. (2) Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan kawasan ekosistem hutan mangrove sebagai kawasan yang kaya akan natural resources yang apabila digali dan dimanfaatkan secara bijaksana dapat memberikan input bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan pada masyarakat sendiri. (3) Kurangnya pembinaan dan kerja sama antar seluruh stakeholder dalam menjaga dan memperbaiki kondisi ekosistem hutan mangrove. (4) Belum jelasnya penataan wilayah pengelolaan hutan mangrove di setiap daerah, sehingga menyebabkan ketidakjelasan pemanfaatan hutan mangrove bagi masyarakat, baik itu untuk budidaya perikanan berupa daerah pertambakan, maupun untuk keperluan bahan baku. (5) Pemerintah masih kurang melibatkan stakeholder yang berkepentingan terhadap pengelolaan ekosistem hutan mangrove, mulai dari tahap perumusan, perencanaan, pelaksanaan hingga ke tahap evaluasi dan monitoring kegiatan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove. (6) Kebijakan yang dilaksanakan dalam pengelolaan ekosistem mangrove masih bersifat sentralistik. Artinya, kebijakan pengelolaan masih diseragamkan hampir di setiap daerah, tanpa memperhatikan aspek sosial-budaya serta potensi lokal wilayah tersebut. (7) Dikaitkan dengan otonomi, maka pengelolaan ekosistem mangrove masih memperhatikan batas administratif atau wilayah dan tidak berdasarkan aspek ekologi. Hampir setiap daerah membuat kebijaksanaan pengelolaan hutan mangrove secara sendiri-sendiri. Sehingga pengelolan tersebut lebih banyak menghasilkan dampak

38 121 negatif dari pada dampak positifnya, khususnya bagi masyarakat sekitarnya. (8) Penegakkan dan penerapan hukum masih sangat lemah, sehingga masih jarang orang yang dihukum akibat merusak ekosistem mangrove. Selanjutnya menurut Bengen (2001b), salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka pengupayaan perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai kawasan hutan konservasi, dan sebagai suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil, contohnya area wilayah P. Rambut dan Pulau Dua (Jawa Barat) yang ditunjuk sebagai suatu kawasan suaka marga satwa, yaitu kawasan habitat burung. Contoh lain adalah penunjukan areal Taman Nasional Tanjung Putting di Kalimantan Tengah, dan kawasan Sali di Bali Barat, dimana sebagian dari kedua kawasan tersebut merupakan kawasan hutan mangrove. Dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor : KB.550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor : 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984, dimana di antaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat Keputusan Bersama ini dibuat, selain dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove di antara instansi-instansi yang terkait. Surat Keputusan Bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 507/IV_BPHH/1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu selebar 200 m di sepanjang pantai, dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Penentuan lebar sabuk hijau sebagaimana disebutkan di atas lebih dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden No Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai. Kriteria

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Perikanan Kabupaten Agam Aktifitas kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Agam hanya terdapat di satu kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Mutiara. Wilayah ini terdiri atas

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 68 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Data Produksi Perikanan Untuk menganalisis komponen biologi dalam penelitian ini, telah digunakan data time series produksi dan effort perikanan Pantai Utara Jawa

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat 27 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat (Lampiran 1). Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2011. Penentuan

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan alasan dan kriteria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi prime mover bagi pemulihan ekonomi Indonesia, karena prospek pasar komoditas perikanan dan kelautan ini terus meningkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya memiliki 570 jenis spesies ikan tawar dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu jenis ikan endemik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU Berkala Perikanan Terubuk, November 2016, hlm 111 122 ISSN 0126-4265 Vol. 44. No.3 ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru 5.1.1 Alat tangkap Purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Purse

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 3 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dari tanggal 17 April sampai 7 Mei 013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru. 3 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 009 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar - Perairan Selat Bali, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perairan Selat Bali terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya udang laut yang sangat besar, yakni sekitar 78 800 ton per tahun yang terdiri dari 74 000 ton per tahun untuk

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- CpUE Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- By. Ledhyane Ika Harlyan 0.400 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 Schaefer y = -0.000011x

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini ditujukan terhadap kegiatan penangkapan unit alat tangkap jaring udang di wilayah pesisir Cirebon. Penelitian ini mencakup aspek aspek yang

Lebih terperinci

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas Vokasi Volume 9, Nomor 1, Februari 2013 ISSN 1693 9085 hal 1-10 Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas LA BAHARUDIN Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, Politeknik Negeri Pontianak, Jalan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia telah menjadi krisis multidimensional yang dampaknya masih dirasakan dalam setiap aspek kehidupan bangsa. Untuk itu agenda

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BULUNGAN

MANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BULUNGAN MANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BULUNGAN Disusun oleh : Syam Hendarsyah, S.P. E-mail : syam.darsyah@yahoo.co.id Hp : 081346412689 I. LATAR BELAKANG Allah S.W.T telah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010) 37 3 METODOLOGI UMUM Penjelasan dalam metodologi umum, menggambarkan secara umum tentang waktu, tempat penelitian, metode yang digunakan. Secara spesifik sesuai dengan masing-masing kriteria yang akan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun Cacth (ton) 46 4 HASIL 4.1 Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Jumlah dan nilai produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru yang didaratkan di PPP Muncar dari tahun 24 28 dapat dilihat pada Gambar 4 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam dan jenis endemiknya sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara dengan

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari PENDAHULUAN Latar Belakang ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya

Lebih terperinci