PENGANTAR. Semua tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh seorang individu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGANTAR. Semua tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh seorang individu"

Transkripsi

1 PENGANTAR Semua tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh seorang individu dipengaruhi oleh emosi yang ada dalam dirinya. Hurlock (1980) menyatakan bahwa emosi sangat berpengaruh dalam penyesuaian sosial dan pribadi seseorang. Melalui emosi seseorang belajar untuk merubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran sosial. Selain itu emosi merupakan sebuah bentuk komunikasi, yang berarti bahwa seseorang dapat mengenal jenis perasaan orang lain melalui perubahan fisik dan mimik wajah yang menyertai emosi (Hurlock, 1994). Perkembangan emosi berkaitan erat dengan perkembangan fisik dan mental seseorang. Pada remaja yang sedang mengalami fase peralihan dari masa kanakkanak menuju masa dewasa, perkembangan emosi adalah suatu hal yang dinamis yang bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan remaja (Sulaeman, 1995). Emosi dapat berkembang dengan baik apabila remaja tumbuh di lingkungan yang kondusif, sebaliknya perkembangan emosi dapat terhambat apabila remaja tumbuh di lingkungan yang buruk (Jerslid, 1965). Perkembangan pengendalian emosi pada remaja berkaitan dengan kematangan emosinya. Remaja dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila remaja tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain, tetapi menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih bisa diterima. Remaja sudah dapat berpikir kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional. Ketika kematangan emosional sudah dicapai maka remaja dapat mengendalikan atau mengontrol

2 emosinya sehingga respon emosional yang dimunculkan tepat sasaran atau dengan kata lain sesuai dengan situasi yang dihadapinya (Hurlock, 1973). Kematangan emosi dan kontrol emosi adalah dua hal yang mempengaruhi munculnya respon emosional seseorang. Schneiders (1964) menyatakan bahwa seseorang dapat memberikan respon emosional yang tepat dan sesuai dengan stimulus yang diterima apabila orang tersebut memiliki kesehatan emosi yang baik sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Finkelor (Sujarwo, 1972) seseorang yang dinyatakan sehat emosinya memiliki beberapa tanda, yaitu menyadari kelebihan dan kekurangannya, mengenal reaksi-reaksi emosinya terhadap orang lain dan situasi, mengetahui seberapa banyak tekanan-tekanan luar yang mempengaruhinya, dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan sifat-sifat itu. Akan tetapi tidak semua remaja mengalami kematangan emosional tepat pada waktunya. Remaja yang belum mempunyai kematangan emosi, ketika dihadapkan pada situasi yang sulit akan terganggu emosinya sehingga tidak dapat menyelesaikan masalahnya (Hurlock, 1973). Ketidakmampuan menyelesaikan masalah mendorong remaja untuk melakukan hal-hal negatif, diantaranya mengonsumsi alkohol dan obatobatan terlarang (Sarwono, 2002). Berdasarkan laporan tahunan Badan Narkotika Nasional (BNN) diketahui bahwa kasus penyalahgunaan napza yang dilakukan oleh remaja atau kalangan pelajar dalam kurun waktu lima tahun terakhir terus meningkat (Kompas online, 2007). Hasil survei yang dilakukan oleh BNN (Kompas online, 2007), menunjukkan

3 bahwa kelompok yang paling banyak mengonsumsi narkoba adalah kalangan mahasiswa (9,9 persen), pelajar SLTA (4,8 persen), dan pelajar SLTP (1,4 persen). Penelitian yang dilakukan oleh Hawari (Gunawan, 2006) menemukan bahwa pada umumnya pecandu napza mulai mencoba menggunakan napza sejak usia tahun. Tetapi ada juga yang sudah mengenal napza sejak usia sembilan tahun. Hal ini berarti ketergantungan terhadap napza telah dimulai sejak individu berusia remaja. Pendapat serupa diungkapkan oleh Soeweno (Alfiatin, 2001), bahwa mayoritas pecandu napza adalah remaja usia tahun.. Remaja pecandu napza akan mengalami dampak buruk akibat penyalahgunaan napza. Dampak buruk yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan napza meliputi dampak fisik, psikologis, kognitif, dan sosial. Zat-zat psikoaktif yang terkandung dalam napza memberikan efek ketergantungan secara fisik dan mental bagi pecandu sehingga dirinya tidak dapat mengendalikan perilakunya lagi untuk menggunakan zat tersebut (Maslim, 2002). Salah satu dampak psikologis yang disebabkan oleh penyalahgunaan napza adalah munculnya Gangguan Mental Organik (GMO) yaitu gangguan mental dan perilaku sebagai akibat terganggunya fungsi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) pada sel-sel susunan saraf pusat (Hawari, 2004). GMO mengakibatkan kesehatan emosi remaja pecandu terganggu sehingga memunculkan emosi-emosi negatif seperti mudah marah, perasaan putus asa, merasa rendah diri, dan depresi. Akibat dari terganggunya kesehatan emosi tersebut akan terjadi perubahan perilaku pada remaja pecandu napza antara lain, merosotnya prestasi

4 belajar atau bekerja yang semula baik menjadi tidak produktif, perubahan perilaku dari semula berperilaku santun menjadi liar dan tidak bermoral, tidak mematuhi tata tertib dan peraturan, dan tidak menjalankan ibadah agama (Hawari, 2004). Menurut Soewadi (Alfiatin, 2001), penyalahgunaan napza pada remaja mengakibatkan terganggunya kesehatan emosi sehingga membuat mereka mudah kecewa, tidak puas dengan kehidupannya, emosi menjadi tidak stabil dan gampang marah. Meningkatnya kasus perkelahian antar pelajar adalah salah satu contoh dari bentuk gangguan kesehatan emosi tersebut (Kompas online, 2007). Perkelahian pelajar terjadi karena remaja pecandu napza tidak dapat mengontrol emosinya. Dampak psikologis lain yang diakibatkan oleh penyalahgunaan napza adalah timbulnya perasaan takut yang berlebihan dan kecurigaan (paranoid) bagi pecandu, munculnya halusinasi dan delusi, dan euforia yaitu perasaan gembira yang berlebihan (Gunawan, 2006). Munculnya emosi negatif seperti ini menandai bahwa saat dibawah pengaruh napza maka kesehatan emosi remaja pecandu menjadi terganggu. Bastaman (1995) berpendapat bahwa emosi yang tidak sehat akan membuat manusia mengalami kehampaan hidup, selalu berkeluh kesah, putus asa, serba bosan, merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan atas prestasi yang mereka capai. Emosi yang tidak sehat juga meningkatkan resiko bagi pecandu napza untuk mengalami perasaan putus asa, depresi, kecewa dengan keadaan dirinya, dan kehilangan semangat untuk sembuh (Hawari, 2004). Ketergantungan terhadap napza harus segera disembuhkan untuk mengembalikan kesehatan emosi remaja pecandu napza. Ada bermacam-macam cara

5 yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan ketergantungan napza. Salah satunya dengan melakukan metode Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) yang diadaptasi dari terapi agama (religious therapy) dan dikembangkan dengan memperhatikan aspek-aspek pada terapi kognitif (cognitive therapy) dan terapi tingkah laku (behavioral therapy). Metode yang digunakan dalam CBRT adalah metode talqin, dzikir, shalat wajib dan sunnah, serta mandi taubat.. Dzikir diyakini dapat mempercepat proses penyembuhan penyakit. Penelitian di rumah sakit jiwa Taif (Saudi Arabia) menunjukkan bahwa 100 orang pasien ketergantungan napza dapat disembuhkan dengan metode terapi agama, yaitu dengan berdoa, berdzikir, serta menjalankan shalat lima waktu (Hawari, 2004). Penelitian ini diperkuat oleh hasil survey oleh majalah TIME dan CNN tahun 1996 (Hawari, 2004) yang menyatakan bahwa lebih dari 70 pasien mengalami proses penyembuhan yang lebih cepat karena memiliki keimanan yang kuat kepada Tuhan dan selalu melakukan doa dan dzikir. Hawari (2004) mengungkapkan dalam penelitiannya terhadap remaja pasien ketergantungan napza bahwa minat pasien terhadap agama rendah bahkan boleh dikatakan tidak ada sama sekali, hal ini amat berbeda dengan kelompok kontrol yaitu bukan pasien ketergantungan napza. Kesimpulan yang dapat dipetik adalah bahwa remaja yang tingkat religiusitasnya rendah mempunyai resiko lebih tinggi terlibat penyalahgunaan napza. Hasil dari terapi dan rehabilitasi dengan menggunakan metode psikoreligius menunjukkan bahwa jumlah penderita napza yang dirawat ulang (re-hospitalisasi)

6 dapat ditekan dari angka 43,9% menjadi 12,21% dan bila penderita napza itu setelah menjalani terapi taat menjalankan ibadah agama (shalat dan dzikir) maka angka kekambuhan hanya 6,83%, sedangkan yang tidak menjalankan ibadah agamanya angka kekambuhan mencapai 71,67% (Hawari, et.al., 2004). Penelitian Darajat (1993) tentang terapi agama untuk menyembuhkan penyakit gangguan jiwa dengan cara membaca al-qur an juga menunjukkan hasil yang sama. Sebagian besar pasien mengalami proses penyembuhan yang lebih cepat setelah mengikuti terapi tersebut. Posisi duduk yang tenang dihadapan al-qur an dan membaca setiap ayatnya, memberikan perasaan tenang, dan jiwa yang damai dan tentram bagi pasien. Keadaan yang tenang dan jiwa yang tentram memberikan pengaruh teraputik yang penting dalam meredakan syaraf yang timbul akibat berbagai gangguan emosional yang menyebabkan terganggunya kesehatan emosi (Najati, 1985). Najati (1985) mengungkapkan lebih lanjut bahwa keadaan tenang dan santai merupakan sarana yang sering digunakan oleh para ahli psikoterapi modern dalam menyembuhkan berbagai penyakit jiwa, termasuk ketergantungan terhadap zat-zat psikoaktif atau napza. Dzikir, doa, shalat, dan membaca al-qur an adalah rangkaian kegiatan ibadah yang jika dilakukan secara rutin akan menjadi latihan terbaik untuk belajar bersikap tenang. Proses pembelajaran dan latihan untuk menjalankan ibadah secara rutin dapat disebut sebagai bagian dari terapi tingkah laku karena akan membentuk sebuah perilaku baru yaitu rutinitas beribadah. Pada umumnya seseorang yang telah

7 mempelajari sikap dan keadaan tenang dapat melepaskan diri dari ketegangan syaraf yang timbul akibat terganggunya kesehatan emosi seseorang tersebut. Perasaan tenang dan tentram akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam mengatasi masalah, hal ini berarti proses terapi agama apabila dikaitkan dengan terapi tingkah laku akan mempengaruhi fungsi kognitif seseorang. Terapi psikoreligius dalam bentuk berdoa dan berzikir mempunyai nilai psikoterapeutik lebih tinggi daripada psikoterapi psikiatrik konvensional. Seseorang yang sedang menderita kecanduan terhadap napza selain berobat secara medik bila disertai dengan berdoa dan berdzikir akan meningkatkan kekebalan terhadap zat-zat adiktif, menimbulkan harapan (optimisme), pemulihan rasa percaya diri, dan meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan di saat sakaw, sehingga akan mempercepat proses penyembuhan (Hawari, 2002). Metode Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) sangat berkaitan erat dengan relaksasi, yang merupakan perpaduan antara meditasi dan yoga. Meditasi yang digunakan dengan metode CBRT bernaung pada agama Islam dengan bacaanbacaan dzikir yang dapat kita rasakan melalui nafas dan pikiran, dan melalui serangkaian kegiatan lain yang termasuk dalam metode pelatihan CBRT. Berdasarkan beberapa uraian diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa metode CBRT yang dilakukan dalam proses penyembuhan ketergantungan napza bagi remaja pecandu napza diyakini dapat memberikan ketenangan jiwa sekaligus menjaga kesehatan emosi pecandu.

8 TINJAUAN PUSTAKA A. Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza 1. Pengertian Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza a) Pengertian Kesehatan Emosi Sebelum membahas mengenai kesehatan emosi remaja pecandu napza, penulis akan menguraikan pengertian kesehatan emosi dari beberapa pendapat ahli. Menurut Morgan (1986) kesehatan emosi merupakan keadaan emosi seseorang dimana ketika mendapat rangsang-rangsang emosional dari luar tidak menimbulkan gangguan emosional, seperti depresi dan kecemasan. Hal itu disebabkan karena individu dapat mengendalikan dirinya dengan baik. Kesehatan emosi individu dapat dilihat dari perilaku kesehariannya yang tampak pada proses interaksi sosial antar individu. Kesehatan emosi dapat dijaga dengan cara mengekspresikan perasaan dan gejolak emosi yang ada dalam diri kita. Kesehatan emosi juga dapat terwujud apabila kita dapat mengelola emosi dengan baik dan mengekspresikannya secara tepat (Albin, 1986). Guilford (1959) mengatakan kesehatan emosi adalah suatu keadaan emosi seseorang yang mudah bergerak untuk menyesuaikan diri antara dirinya dengan lingkungan sekitar, sehingga apabila orang tersebut mendapat rangsang emosi dari luar dirinya, tidak menunjukkan ketegangan emosional. Ketegangan emosi dapat menyebabkan depresi, kurang semangat, kebingungan, kehilangan kepercayaan pada

9 diri sendiri dan kesadaran terganggu, sehingga orang tidak dapat berpikir secara subjektif. Sehubungan dengan kesehatan emosi, Hurlock (1973) mengatakan bahwa kesehatan emosi memiliki beberapa kriteria. Kriteria pertama, yaitu kontrol emosi yang secara sosial dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang emosinya sehat dapat mengontrol ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial, atau dapat melepaskan dirinya dari belenggu energi mental dan fisik yang terpendam dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Kriteria kedua adalah pemahaman diri. Individu yang memiliki emosi sehat mampu belajar untuk mengetahui besarnya kontrol yang dibutuhkan untuk memuasakan kebutuhan-kebutuhannya, menyesuaikan diri dengan harapan-harapan sosial, serta bersikap emapati yang tinggi terhadap orang lain. Kriteria ketiga adalah penggunaan fungsi kritis mental. Individu yang sehat emosinya dapat menilai situasi secara kritis sebelum memberikan responnya secara emosional, kemudian individu tersebut mengetahui cara yang tepat untuk menghadapi situasi itu. Hurlock (1973) juga menambahkan perlunya keterbukaan diri (self- disclosure) dan asertivitas untuk mencapai kesehatan emosi. McKinney (1950) memberikan definisi kesehatan emosi, ditinjau dari ciricirinya. Dia mengatakan bahwa individu yang mempunyai kesehatan emosi adalah individu yang mampu mengontrol emosinya, bersikap mandiri, tidak egosentris, dan memiliki kemasakan seksual.

10 Berdasarkan beberapa uraian mengenai kesehatan emosi dari para ahli diatas, penulis menyimpulkan bahwa kesehatan emosi adalah suatu keadaan emosi seseorang dimana ketika mendapatkan rangsangan dari luar dirinya, orang tersebut dapat memberikan respon emosional yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, mampu mengontrol emosi sehingga tidak terjadi ketegangan emosional, serta dapat menampilkan respon emosional yang tidak berlebihan. b) Faktor-faktor Kesehatan Emosi Schneiders (1964) mengemukakan bahwa kesehatan emosi didukung oleh tiga faktor kesehatan emosi dan penyesuaian emosi yang terdiri dari, yaitu (1) Kematangan emosi (2) Kontrol emosi (3) Adekuasi emosi. 1) Kematangan Emosi Kematangan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menampilkan respon emosional yang sesuai dengan rangsangan yang diterima. Kematangan emosi menuntut adanya suatu perkembangan yang memadai sehingga mampu menjadi dasar penyesuaian yang baik. Seseorang yang matang emosinya mampu bereaksi secara emosional sesuai dengan tingkat perkembangan kepribadiannya. Seorang anak kecil akan menangis, merengek, memukul, atau mengumpat ketika dia tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Perilaku tersebut disebabkan karena emosinya yang belum matang dan tidak tahu cara mengatasinya. Apabila hal ini dilakukan oleh orang dewasa, maka dapat dikatakan bahwa emosi orang tersebut belum matang atau kekanak-kanakan.

11 Seseorang yang belum matang emosinya juga dapat dilihat dari sikapsikapnya, antara lain tetap bergantung kepada orangtua walaupun sudah dewasa, mempunyai rasa iri terhadap nasib baik orang lain, merasa takut berada di tempat yang gelap, serta menertawakan kemalangan yang menimpa orang lain. McKinney (1950) mengatakan bahwa seseorang yang emosinya matang akan belajar menerima kritik, mampu menangguhkan respon-responnya, dan memiliki saluran sosial bagi energi emosinya seperti bermain, mengembangkan hobi, dan sebagainya. 2) Kontrol Emosi Kontrol emosi ini adalah kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengendalikan emosi. Kontrol emosi yang kurang, maupun yang berlebihan akan menghambat penyesuaian sosial. Sikap dan perilaku individu yang menunjukkan kurangnya kontrol emosi, antara lain kemarahan yang meledak-ledak yang ditunjukkan dengan perilaku emosional, seperti membanting barang, memukul orang lain, atau berkelahi. Kontrol emosi berlebihan yang disertai dengan perkembangan emosi yang kurang memadai dan adanya pengalaman traumatik dapat menyebabkan emosi menjadi dingin atau kaku. Keadaan ini akan menghambat penyesuaian diri dan kesehatan mental seseorang. Orang yang mempunyai sifat psikopatik yang tidak dapat merasakan simpati dan penyesalan, atau orang yang dingin dalam hal seksual merupakan contoh dari keadaan emosi yang kaku tersebut. 3) Adekuasi Emosi

12 Adekuasi emosi adalah kemampuan seseorang untuk menampilkan respon emosional dengan kadar yang tepat, tidak berlebihan ataupun kurang. Respon emosi ini menyangkut isi emosi atau macamnya emosi, arah emosi atau kepada siapa emosi itu ditujukan. Emosi ada yang adekuat dan ada juga yang tidak adekuat. Emosi yang adekuat ditunjukkan dengan sikap yang sesuai dengan harapan-harapan sosial, seperti sikap suka menolong, ramah, dan menghormati orang lain. Sebaliknya emosi yang tidak adekuat ditunjukkan dengan sikap apatis, tidak mau mencintai, tidak suka menolong, tidak mau menerima bantuan, memiliki selera humor yang buruk, dan adanya perasaan bermusuhan yang kuat. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan emosi memiliki tiga faktor, yaitu kematangan emosi, kontrol emosi, dan adekuasi emosi. Kematangan emosi berkaitan dengan sikap reaksi emosi yang dewasa sesuai dengan tingkat perkembangan kepribadiannya. Kontrol emosi berkaitan dengan kemampuan individu dalam mengatur atau mengendalikan emosinya. Sedangkan adekuasi emosi berkaitan dengan isi dan arah dari respon-respon emosional. c) Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza Remaja pecandu napza adalah individu yang berada dalam fase peralihan dari kehidupan masa kanak-kanak ke masa dewasa (Sulaeman, 2005), yang sedang berkembang dalam aspek biologis, kognitif dan sosial emosional (Santrock, 2003), dan dalam fase peralihan itu individu tersebut mengalami ketergantungan fisik dan

13 psikologis terhadap suatu obat bius (Chaplin, 2002), diantaranya narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat-zat adiktif lainnya atau biasa disingkat napza (Sugito, 2004). Remaja pecandu napza memiliki karakteristik tertentu yang membedakan perilakunya dengan remaja normal atau bukan pecandu napza. Adapun karakteristik remaja pecandu napza menurut Karsono (2004), antara lain : (1) Adanya perubahan tingkah laku yang tiba-tiba, baik dirumah maupun di sekolah, lingkungan keluarga, dan teman sebaya, (2) Munculnya perilaku marah yang tidak terkendali, (3) Pembangkangan terhadap disiplin, (4) Sering menipu orang lain, (5) Berat badan menurun secara drastis, (6) Suka melamun dan berhalusinasi, (7) Munculnya perilaku suka mencuri, (8) Sering membolos dan tidak dapat berkonsentrasi ketika menerima pelajaran, (9) Daya tahan tubuh menurun, (10) Melakukan perilaku seks bebas. Penyalahgunaan napza dapat menyebabkan remaja mengalami gangguan emosional sehingga membuat mereka mudah kecewa, tidak puas dengan kehidupannya, emosi menjadi tidak stabil dan gampang marah (Soewadi dalam Alfiatin, 2001). Berdasarkan pengertian dan karakteristik remaja pecandu napza dan pengertian kesehatan emosi di pembahasan sebelumnya maka penulis menyimpulkan bahwa kesehatan emosi remaja pecandu napza adalah suatu keadaan emosi seseorang yang berada dalam fase peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang sedang mengalami ketergantungan fisik dan psikologis terhadap napza sehingga menyebabkan kesehatan emosinya terganggu akibat penyalahgunaan napza tersebut.

14 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Emosi Menurut Young (1950) faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan emosi antara lain : a) Faktor Lingkungan Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi keadaan emosi seseorang. Yang dimaksud dengan faktor lingkungan ialah lingkungan dimana individu itu hidup, termasuk didalamnya lingkungan keluarga dan masyarakat. Keadaan keluarga yang tidak harmonis dan penuh konflik, akan menimbulkan perasaan tidak bahagia dan ketidaktentraman pada anggota keluarga. Seorang anak yang cukup mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya akan mempunyai rasa aman. Perasaan ini akan membantunya dalam menghadapi problem-problemnya dan dalam usahanya mempertahankan keseimbangan emosinya. Sebaliknya seseorang yang berasal dari keluarga yang tidak bahagia, kurang kasih sayang, kurang rasa aman, mengakibatkan proses menuju kesehatan emosinya terhambat. Begitu pula lingkungan sosial yang tidak mendukung dan tidak memberikan rasa aman seperti banyak terjadinya kasus tindak kriminalitas, misalnya pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan sebagainya akan mengganggu kesehatan emosi individu. b) Faktor Pengalaman Faktor pengalaman sangat berpengaruh pada kesehatan emosi seseorang. Pengalaman yang tidak menyenangkan apabila selalu terulang akan menyebabkan

15 perkembangan emosi terganggu. Sebagai contoh yaitu orang yang mengalami penganiayaan oleh orangtuanya, orang yang mengalami pelecehan seksual, atau orang yang menderita penyakit sejak kecil. Orang-orang tersebut memerlukan waktu yang lama untuk memantapkan emosinya. Gejala yang muncul bisa pula sebaliknya, orang yang sudah terbiasa dengan pengalaman-pengalaman negatif menjadi tahan banting dengan guncangan yang dialaminya. Emosinya tetap stabil dalam kondisi apapun. Kebahagiaan tidak akan membuat emosinya meluap-luap, kesedihanpun akan dihadapinya dengan tegar. c) Faktor Individu Yang dimaksud dengan faktor individu yaitu kepribadian yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang mempunyai ketahanan mental yang kuat, apabila menghadapi masalah akan dapat menyesuaikan diri sehingga masalah itu tidak mengganggu kesehatan emosinya. Sedangkan orang yang mempunyai mental yang lemah akan cepat merasa putus asa sehingga kesehatan emosinya dapat terganggu. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan emosi dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor pengalaman, dan faktor individu. Faktor lingkungan adalah tempat dimana individu tinggal, termasuk didalamnya lingkungan keluarga dan masyarakat. Faktor pengalaman meliputi peristiwa atau kejadian-kejadian yang dialami oleh individu semasa hidupnya. Sedangkan faktor individu berkaitan dengan karakter dan bentuk kepribadian individu tersebut.

16 B. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) 1. Pengertian Terapi Sebelum membahas mengenai Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT), penulis akan menjelaskan pengertian dari terapi terlebih dahulu. Terapi adalah pemberian satu perlakuan, perawatan, dan pengobatan yang langsung ditujukan pada penyembuhan suatu kondisi secara patologi ( Chaplin, 2000). Menurut Corey (2005) terapi merupakan suatu rangkaian proses penyembuhan terhadap penyakit fisik maupun psikis, yang dapat dilakukan secara medis (klinis), agama (religius), ataupun psikologis. 2. Bentuk-bentuk Terapi Terapi-terapi psikologis dapat dilakukan dalam berbagai metode, tergantung kepada pendekatan teori yang digunakan dan disesuaikan dengan kondisi subyek yang akan menjalani terapi (Corey, 2005). Jenis-jenis terapi yang sering digunakan oleh para terapis psikologi adalah, sebagai berikut : a) Terapi Kognitif (Cognitive Therapy) Terapi kognitif adalah sebuah terapi psikologis yang menganalisis pikiranpikiran seseorang dan mengubah pikiran yang bersifat destruktif menjadi pikiran positif sehingga membuat hidup seseorang menjadi lebih efektif (Semiun, 2006). Terapi kognitif mengungkapkan bahwa tingkah laku-tingkah laku dan emosi-emosi yang bermasalah disebabkan oleh proses pikiran dan kepercayaan yang salah (Semiun, 2006). Terapi kognitif dapat diaplikasikan dalam berbagai jenis, antara lain:

17 1. Terapi Rasional Emotif (TRE) Terapi Rasional Emotif (TRE) diperkenalkan oleh Albert Ellis pada tahun 1950, dengan tujuan untuk menangani orang yang mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi (Semiun, 2006). TRE adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat (Corey, 2005). Dalam TRE ini terapis berperan dalam membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya (Corey, 2005).. 2. Terapi Kognitif Beck Terapi kognitif ini ditemukan oleh Aaron Beck pada tahun Perbedaan terapi kognitif Beck dengan TRE adalah Beck memilih pendekatan yang jauh lebih aktif dengan klien-kliennya dan berusaha secara langsung berkonfrontasi dengan mengubah tingkah laku-tingkah laku yang ada kaitannya dengan kognisi-kognisi yang negatif. Bentuk perlakuan yang diberikan dalam terapi ini adalah dengan diberikannya tugas-tugas pekerjaan rumah yang menghendaki klien untuk mencatat pikiran dan respons-respons emosionalnya (Semiun, 2006). b) Terapi Tingkah Laku (Behavioral Therapy) Terapi tingkah laku atau biasa disebut modifikasi tingkah laku adalah penerapan secara sistematis teknik-teknik yang diambil dari prinsip-prinsip belajar (pengondisian dan teori belajar sosial) untuk membantu orang-orang melakukan

18 tingkah laku yang adaptif (Semiun, 2006). Berlandaskan pada teori belajar, terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku (Corey, 2005). Terapi tingkah laku pada umumnya dilakukan berdasarkan teori classical conditioning dan teori operant conditioning oleh terapis-terapis tingkah laku seperti Pavlov, Skinner, dan Watson. Teknik classical conditioning dan operant conditioning biasanya digunakan untuk menangani masalah-masalah klinis seperti gangguan makan, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, kecanduan merokok, dan kelainan orientasi seksual (Kazdin, 2001). Menurut Semiun (2006) secara singkat proses dalam terapi ini dapat dijelaskan dalam paradigma berikut :? SN (berpasangan dengan)? ST? membangkitkan? RB? SN? menjadi? SK? menimbulkan? RK Keterangan : 1. SN : Stimulus Netral 2. ST : Stimulus Tak Terkondisi 3. RB : Respons Bawaan 4. SK : Stimulus Terkondisi 5. RK : Respons Terkondisi c) Terapi Agama (Religious Therapy) Terapi agama adalah sebuah metode terapi yang dikembangkan berdasarkan suatu keyakinan atau kepercayaan pada ajaran atau syariat suatu agama, yang digunakan sebagai metode terapi untuk menunjang terapi medis pada masalah-

19 masalah klinis seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan ketergantungan alkohol (Hawari, 2004). Terapi agama menekankan pada aspek keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan dilaksanakan dengan cara melaksanakan ibadah-ibadah agama secara rutin dalam proses penyembuhan penyakit (Hawari, 2004). Bentuk terapi agama yang umum dilakukan di Indonesia untuk menangani masalah penyalahgunaan napza adalah dengan menggunakan metode dzikir, shalat wajib dan sunnah serta mandi taubat (hydro therapy) (Haryanto. 1999). 3. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) a) Pengertian Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) Pada penelitian ini penulis menggabungkan ketiga metode terapi diatas menjadi sebuah metode terapi baru yang dinamakan Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT). CBRT adalah sebuah metode terapi yang bertujuan untuk merubah fungsi kognitif atau cara berpikir seseorang yang tidak rasional menjadi pikiran rasional, merubah tingkah laku seseorang yang maladaptif menjadi perilaku adaptif, dan dilaksanakan dengan menggunakan metode terapi agama antara lain dengan metode talqin, dzikir, shalat wajib dan sunnah, serta mandi taubat.. CBRT akan digunakan untuk menangani masalah penyalahgunaan napza yang menggangu kesehatan emosi pada subyek penelitian ini.

20 b) Aspek-aspek Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) memiliki dua aspek yang terdiri dari: a) Perubahan fungsi kognitif Perubahan fungsi kognitif dalam pelatihan CBRT menekankan pada perubahan fungsi kognitif negatif menjadi fungsi kognitif yang positif, atau dengan kata lain merubah keyakinan atau pikiran-pikiran subyek yang tidak rasional dan tidak tepat menjadi suatu keyakinan yang rasional dan tepat (Semiun, 2006). Keyakinan subyek yang tidak rasional dalam penelitian ini ditunjukkan pada pemikiran bahwa masalah-masalah yang dialami dalam hidupnya dapat diatasi atau dilupakan dengan mengonsumsi napza. Keyakinan yang tidak rasional ini dalam penelitian akan dirubah menjadi keyakinan yang rasional bahwa mengonsumsi napza tidak akan dapat mengatasi masalah namun justru semakin menambah masalah bagi diri subyek. b) Perubahan tingkah laku Pelatihan CBRT menekankan pada aspek perubahan tingkah laku dari tingkah laku yang maladaptif seperti kebiasaan mengonsumsi napza menjadi perilaku yang adaptif yaitu terbebas dari ketergantungan terhadap napza. Selain itu dalam CBRT ini setiap subyek akan dilatih untuk melaksanakan ibadah agama secara rutin sehingga membentuk sebuah perilaku baru yang berdampak positif bagi perkembangan jiwa subyek penelitian. Salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari perilaku rutin beribadah yaitu dapat mengurangi resiko subyek untuk menyalahgunakan napza

21 kembali karena telah timbul kesadaran pada diri subyek untuk menaati ajaran agama atau dalam ilmu psikologi disebut kesadaran beragama (religion consciousness). C. Pengaruh Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) Terhadap Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza Penyalahgunaan napza memberikan pengaruh yang buruk terhadap remaja, antara lain dapat menyebabkan remaja mengalami gangguan emosional sehingga membuat mereka mudah kecewa, tidak puas dengan kehidupannya, emosi menjadi tidak stabil dan gampang marah (Soewadi dalam Alfiatin, 2001). Akibat dari terganggunya kesehatan emosi bagi remaja pecandu adalah menjadi mudah tersinggung, berperilaku agresif, kontrol emosi menurun, dan muncul perasaan gelisah atau cemas tanpa alasan yang jelas (Hawari, 2004). Terganggunya kesehatan emosi membuat remaja tidak dapat mengendalikan amarahnya sehingga cenderung berperilaku agresif dan bersikap antisosial dengan lingkungan sekitarnya (Gunawan, 2006). Remaja pecandu napza mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosinya saat berada di bawah pengaruh napza (Hawari, 2004). Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat kontrol emosi pada remaja pecandu napza rendah sehingga remaja tersebut menampilkan respon emosional yang tidak adekuat, misalnya berperilaku agresif dan munculnya perasaan cemas dan gelisah tanpa penyebab yang jelas.

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN KECEMASAN DALAM MENGHADAPI MASA PENSIUN PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN KECEMASAN DALAM MENGHADAPI MASA PENSIUN PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN KECEMASAN DALAM MENGHADAPI MASA PENSIUN PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Ganang Septian Pradono Santi Esterlita Purnamasari Fakultas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003). 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Remaja 1. Pengertian Remaja Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003). Masa remaja disebut

Lebih terperinci

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KECERDASAN EMOSI SISWA KELAS V SD SE-GUGUS II KECAMATAN UMBULHARJO YOGYAKARTA SKRIPSI

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KECERDASAN EMOSI SISWA KELAS V SD SE-GUGUS II KECAMATAN UMBULHARJO YOGYAKARTA SKRIPSI PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KECERDASAN EMOSI SISWA KELAS V SD SE-GUGUS II KECAMATAN UMBULHARJO YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Lebih terperinci

GAYA HIDUP PADA MAHASISWA PENDERITA HIPERTENSI SKRIPSI

GAYA HIDUP PADA MAHASISWA PENDERITA HIPERTENSI SKRIPSI GAYA HIDUP PADA MAHASISWA PENDERITA HIPERTENSI SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh: RAMADHA WAHYU PUSPITA F 100 030 148 Kepada FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

GRIEF PADA REMAJA AKIBAT KEMATIAN ORANGTUA SECARA MENDADAK

GRIEF PADA REMAJA AKIBAT KEMATIAN ORANGTUA SECARA MENDADAK GRIEF PADA REMAJA AKIBAT KEMATIAN ORANGTUA SECARA MENDADAK SKRIPSI Disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Sarjana Psikologi oleh Adina Fitria S 1550408014 JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN STRATEGI COPING STRES DALAM MENGALAMI KESULITAN BELAJAR PADA SISWA MAN MALANG I SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN STRATEGI COPING STRES DALAM MENGALAMI KESULITAN BELAJAR PADA SISWA MAN MALANG I SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN STRATEGI COPING STRES DALAM MENGALAMI KESULITAN BELAJAR PADA SISWA MAN MALANG I SKRIPSI Oleh : ZHURIA ROCHMATUS SA ADAH NIM : 04410043 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: Nama NIM PGPAUD

SKRIPSI. Oleh: Nama NIM PGPAUD SKRIPSI UPAYA PENINGKATANN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN PADAA KELOMPOK A TAMAN KANAK-KANAK PERTIWI JATIROKEH SONGGOM BREBES Di ajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

Oleh Mery Fanada,SPd,SKM,M.Kes Widyaiswara Muda Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan

Oleh Mery Fanada,SPd,SKM,M.Kes Widyaiswara Muda Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan PERAWAT DALAM PENERAPAN THERAPI PSIKORELIGIUS UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRESS PADA PASIEN HALUSINASI PENDENGARAN DI RAWAT INAP BANGAU RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG 2012 Oleh Mery Fanada,SPd,SKM,M.Kes

Lebih terperinci

KECEMASAN PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI. ANAK TERLAMBAT BICARA (Speech Delay) DI RSUD Dr. M. ASHARI PEMALANG

KECEMASAN PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI. ANAK TERLAMBAT BICARA (Speech Delay) DI RSUD Dr. M. ASHARI PEMALANG KECEMASAN PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK TERLAMBAT BICARA (Speech Delay) DI RSUD Dr. M. ASHARI PEMALANG SKRIPSI disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi oleh Inas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEJADIAN INSOMNIA PADA LANJUT USIA DI KARANG WERDHA SEMERU JAYA KECAMATAN SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEJADIAN INSOMNIA PADA LANJUT USIA DI KARANG WERDHA SEMERU JAYA KECAMATAN SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER i HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEJADIAN INSOMNIA PADA LANJUT USIA DI KARANG WERDHA SEMERU JAYA KECAMATAN SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh Ericha Aditya Raharja NIM 062310101038 PROGRAM

Lebih terperinci

Peran Orang Tua dalam Pengembangan Kepribadian Anak di Era Globalisasi

Peran Orang Tua dalam Pengembangan Kepribadian Anak di Era Globalisasi Peran Orang Tua dalam Pengembangan Kepribadian Anak di Era Globalisasi Evany Victoriana Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung Abstract This writing examine theoretically about parental

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Religiusitas 1. Pengertian Religiusitas Menurut etimologi kuno, religi berasal dari bahasa Latin religio yang akar katanya adalah re dan ligare yang mempunyai arti mengikat kembali.

Lebih terperinci

MENINGKATKAN TANGGUNG JAWAB BELAJAR DENGAN LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL BERBASIS SELF-MANAGEMENT

MENINGKATKAN TANGGUNG JAWAB BELAJAR DENGAN LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL BERBASIS SELF-MANAGEMENT MENINGKATKAN TANGGUNG JAWAB BELAJAR DENGAN LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL BERBASIS SELF-MANAGEMENT PADA SISWA KELAS XI DI SMK NEGERI 1 PEMALANG TAHUN PELAJARAN 2013/2014 SKRIPSI diajukan dalam rangka menyelesaikan

Lebih terperinci

penting dalam pengertian belajar, yaitu sebagai berikut:

penting dalam pengertian belajar, yaitu sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Hasil Belajar Akuntansi a. Pengertian Hasil Belajar Akuntansi Belajar merupakan suatu kebutuhan mutlak setiap manusia. Tanpa belajar manusia tidak dapat bertahan

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Bersama

Tanggung Jawab Bersama Tanggung Jawab Bersama Ven. Sri Paññāvaro Mahāthera Ven. Dr. K. Sri Dhammananda Daftar Isi Tanggung Jawab Bersama 5 Engkau Bertanggung Jawab 14 Tanggung Jawabmu Menciptakan Saling Pengertian 17 Jangan

Lebih terperinci

MATA KULIAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

MATA KULIAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK MATERI KULIAH MATA KULIAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK Oleh: Maryati, M.Pd SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) BIMA JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

Lebih terperinci

METODE BIMBINGAN ISLAM BAGI LANJUT USIA DALAM MENINGKATKAN KUALITAS IBADAH DI RUMAH PERLINDUNGAN LANJUT USIA JELAMBAR

METODE BIMBINGAN ISLAM BAGI LANJUT USIA DALAM MENINGKATKAN KUALITAS IBADAH DI RUMAH PERLINDUNGAN LANJUT USIA JELAMBAR METODE BIMBINGAN ISLAM BAGI LANJUT USIA DALAM MENINGKATKAN KUALITAS IBADAH DI RUMAH PERLINDUNGAN LANJUT USIA JELAMBAR Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Pola Asuh Orang Tua a. Pengertian Pola Asuh Orang Tua Secara epistimologi kata pola diartikan sebagai cara kerja, dan kata asuh berarti menjaga (merawat dan

Lebih terperinci

PENGARUH HUKUMAN TERHADAP TINGKAH LAKU SISWA

PENGARUH HUKUMAN TERHADAP TINGKAH LAKU SISWA PENGARUH HUKUMAN TERHADAP TINGKAH LAKU SISWA Studi Kasus di Sekolah Dasar Islam Terpadu Meranti Senen Jakarta Pusat Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai

Lebih terperinci

II. KAJIAN PUSTAKA. Berbicara tentang tokoh dalam sebuah fiksi, kita harus memahami sampai pada

II. KAJIAN PUSTAKA. Berbicara tentang tokoh dalam sebuah fiksi, kita harus memahami sampai pada II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Tokoh Utama Berbicara tentang tokoh dalam sebuah fiksi, kita harus memahami sampai pada hubungan antara tokoh fiksi itu dengan elemen-elemen cerita lainnya sebagai sebuah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Tingkah Laku Menyimpang. Tingkah laku menyimpang adalah tingkah laku tercela, yang dilakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Tingkah Laku Menyimpang. Tingkah laku menyimpang adalah tingkah laku tercela, yang dilakukan 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tingkah Laku Menyimpang 1. Pengertian Tingkah Laku Menyimpang Tingkah laku menyimpang adalah tingkah laku tercela, yang dilakukan oleh individu yang timbul akibat adannya faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ratih Pertiwi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ratih Pertiwi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa di mana remaja berada pada periode yang penting, periode peralihan, periode perubahan, masa mencari identitas, usia yang menimbulkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN MINAT BELAJAR SISWA DENGAN HASIL BELAJAR IPS DI SD GUGUS 1 KABUPATEN KEPAHIANG SKRIPSI

HUBUNGAN MINAT BELAJAR SISWA DENGAN HASIL BELAJAR IPS DI SD GUGUS 1 KABUPATEN KEPAHIANG SKRIPSI HUBUNGAN MINAT BELAJAR SISWA DENGAN HASIL BELAJAR IPS DI SD GUGUS 1 KABUPATEN KEPAHIANG SKRIPSI Oleh: RESSA ARSITA SARI NPM : A1G009038 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

MASA AWAL KANAK-KANAK

MASA AWAL KANAK-KANAK MASA AWAL KANAK-KANAK Masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kirakira usia dua tahun sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira tiga belas tahun untuk

Lebih terperinci

PENGARUH EFEKTIVITAS PROSES PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK TERHADAP MINAT BELAJAR SISWA KELAS VI DI MI YASPI LOSARI 1 PAKIS MAGELANG TAHUN 2012 SKRIPSI

PENGARUH EFEKTIVITAS PROSES PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK TERHADAP MINAT BELAJAR SISWA KELAS VI DI MI YASPI LOSARI 1 PAKIS MAGELANG TAHUN 2012 SKRIPSI PENGARUH EFEKTIVITAS PROSES PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK TERHADAP MINAT BELAJAR SISWA KELAS VI DI MI YASPI LOSARI 1 PAKIS MAGELANG TAHUN 2012 SKRIPSI DiajukanuntukMemperolehGelar SarjanaPendidikan Islam

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF ILMU PENGETAHUAN. (kepribadian, pikiran, pengetahuan dan lain-lain). 1 Sedangkan menurut istilah,

BAB II PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF ILMU PENGETAHUAN. (kepribadian, pikiran, pengetahuan dan lain-lain). 1 Sedangkan menurut istilah, BAB II PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF ILMU PENGETAHUAN A. Pengertian Perkembangan Peserta Didik Secara bahasa, perkembangan adalah proses menjadi bertambah sempurna (kepribadian, pikiran,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 28 BAB II KAJIAN PUSTAKA 3. Hasil Belajar Matematika 3. Hasil Belajar Kemampuan untuk melakukan suatu kegiatan belajar semua diperoleh mengingat mula-mula kemampuan itu belum ada. Maka terjadilah proses

Lebih terperinci

SKRIPSI oleh : ARI EKA ASTUTI X8406001

SKRIPSI oleh : ARI EKA ASTUTI X8406001 HUBUNGAN ANTARA PERAN ORANG TUA DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN SOSIOLOGI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 KARANGDOWO, KLATEN TAHUN AJARAN 2009/2010 SKRIPSI oleh : ARI EKA ASTUTI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Error! Bookmark not defined. Error! Bookmark not defined. Error! Bookmark not defined. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI Error! Bookmark not defined. Error! Bookmark not defined. Error! Bookmark not defined. Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI Materi inti 1. PEDOMAN PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA DI PUSKESMAS... 2 Materi inti 2. JEJARING KERJA SAMA DALAM PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (PKPR)... 23 Materi Inti 3 TUMBUH KEMBANG

Lebih terperinci