BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi adalah tindakan untuk mengeluarkan gigi atau akar gigi

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencabutan gigi adalah tindakan untuk mengeluarkan gigi atau akar gigi dari dalam soket tulang. Pencabutan gigi merupakan prosedur yang paling sederhana dan paling sering dilakukan dalam bidang bedah mulut (Ghosh, 2006; Andersson dkk., 2010). Prosedur ini merupakan indikasi untuk menangani berbagai kasus kedokteran gigi, seperti kerusakan jaringan periodontal, karies gigi, patologi pulpa dan jaringan apikal, impaksi, serta supernumerari dan malposisi gigi. Pada beberapa kasus, pencabutan gigi juga diindikasikan untuk dilakukan sebelum perawatan ortodontik dan prostodontik (Datarkar, 2007). Pencabutan gigi menyebabkan luka pada jaringan lunak maupun jaringan keras di sekitarnya. Luka pasca pencabutan gigi secara fisiologis akan mengalami penyembuhan dengan sendirinya. Proses penyembuhan luka melibatkan interaksi antara peristiwa seluler, molekular maupun vaskuler. Peristiwa tersebut terjadi dalam 3 fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodelling (Ghosh, 2006). Fase inflamasi adalah fase pertama pada proses penyembuhan luka yang biasanya berlangsung selama 4-6 hari (Shai dan Maibach, 2005). Pada fase inflamasi, terjadi konstriksi pembuluh darah dan agregasi platelet untuk menghentikan perdarahan. Pembuluh darah tersebut kemudian mengalami dilatasi dan meningkat permeabilitasnya sehingga plasma dan komponen darah lainnya 1

2 2 dapat keluar ke area luka. Kemudian, sel-sel lekosit bermigrasi untuk memfagositosis mikroorganisme dan material asing pada area luka. Sel lekosit yang pertama kali muncul pada fase inflamasi adalah netrofil yang akan hilang setelah hari ke-3 atau ke-4. Netrofil berperan dalam fagositosis bakteri serta debris seluler. Sel lain yang juga berperan pada fase ini adalah makrofag yang berasal dari monosit. Makrofag muncul 24 jam setelah terjadi luka dan akan tetap berada pada area luka dalam waktu yang lama. Makrofag berperan dalam fagositosis dan pelepasan growth factor yang berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel epitel, angiogenesis, serta aktivasi fibroblas (Hannon dkk., 2010). Fase proliferasi terjadi pada hari ke-2 atau ke-3 setelah terjadinya luka (Hannon dkk., 2010). Pada fase ini terjadi proliferasi fibroblas, neoangiogenesis dan epitelisasi. Fibroblas memproduksi kolagen yang berperan dalam mempertahankan kekuatan dan integritas jaringan ikat. Pada neoangiogenesis terjadi pembentukan pembuluh darah baru yang berperan penting untuk terjadinya transpor nutrisi dan oksigen pada lokasi luka yang sedang mengalami penyembuhan. Proses produksi kolagen dan angiogenesis terjadi secara sinergis. Kapiler baru menyediakan nutrisi bagi kolagen yang sedang berkembang, sedangkan serabut kolagen mendukung anyaman kapiler baru secara struktural. Peristiwa tersebut diikuti oleh proses epitelisasi. Pada proses epitelisasi, epitel mengalami migrasi dan proliferasi dari membrana basalis menuju permukaan luka yang terbuka (Andersson dkk., 2010). Fase ketiga pada proses penyembuhan luka adalah fase remodelling. Fase ini terjadi sekitar 3 minggu setelah terjadinya luka dan berakhir pada bulan ke-6

3 3 setelah luka, tergantung pada kedalaman luka. Fase remodelling ditandai dengan terjadinya penghancuran prekusor kolagen oleh enzim kolagenase yang diikuti oleh sintesis kolagen baru oleh sel-sel fibroblas. Pada fase ini, vaskularisasi luka mulai berkurang dan luka mulai mengalami peningkatan kekuatan tarik (Andersson dkk., 2010; Hannon dkk., 2010). Proses penyembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu faktor nutrisi. Berbagai zat diketahui memiliki peran dalam proses penyembuhan luka, misalnya mineral, lemak, karbohidrat, protein dan vitamin K. Mineral berperan dalam proliferasi fibroblas, sintesis kolagen dan meningkatkan oksigenasi jaringan. Lemak befungsi sebagai sumber energi yang berperan dalam pembentukan komponen jendalan darah. Karbohidrat berperan sebagai sumber energi untuk meningkatkan aktivitas seluler. Protein secara umum berperan dalam pembentukan anyaman jaringan ikat pada luka. Vitamin K berperan pada proses penjendalan darah (Baillie, 2014). Ayam broiler atau sering disebut sebagai ayam ras pedaging merupakan komoditas peternakan yang terus mengalami pertumbuhan. Tingkat konsumsi ayam ras pedaging meningkat sejalan dengan bertambahnya populasi penduduk. Konsumsi ayam ras pedaging di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tingkat konsumsi ayam broiler di Indonesia pada tahun 2010 mencapai angka 8 kg/kapita/tahun, tahun 2011 mencapai 9 kg/kapita/tahun dan tahun 2012 meningkat menjadi 10 kg/kapita/tahun (Ditjen Peternakan Kementan, 2012 sit Sari dkk., 2014).

4 4 Peningkatan konsumsi ayam di beberapa negara ASEAN termasuk Indonesia berdampak pada peningkatan jumlah limbah yang dihasilkan dari peternakan. Bagian kepala, kulit dan ceker ayam adalah bagian tubuh ayam yang dianggap sebagai limbah oleh masyarakat. Masyarakat tidak menyadari bahwa berbagai kandungan nutrisi masih dapat ditemukan pada salah satu bagian tubuh ayam yang seringkali dianggap sebagai limbah tersebut, yaitu bagian ceker ayam (Hashim dkk., 2011). Ekstrak ceker ayam mengandung berbagai komponen yang bermanfaat. Hashim dkk. (2014) dalam penelitiannya mengenai metode ekstraksi kolagen dari ceker ayam menyebutkan bahwa ekstrak kolagen ceker ayam mengandung protein yang tersusun dari berbagai jenis struktur asam amino, diantaranya diantaranya glisin (32,66%), metionon (1,21%) dan sistein (0,19%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dhyantari dkk., (2014) menyebutkan bahwa ekstrak ceker ayam mengandung mineral (abu) sebanyak 22,2 %, lemak sebanyak 13,57%, protein 47,47%, dan glukosamin 14,08%. Data dari United State Departement of Agriculture (2015) juga menyebutkan bahwa terdapat 0,2 µg vitamin D, 0,200 mg vitamin B2 (riboflavin) dan 0,400 mg vitamin B3 (niasin) dalam 100 gram ceker ayam. Kandungan nutrisi pada ceker ayam memiliki berbagai manfaat bagi proses penyembuhan luka. Kandungan vitamin B2 (riboflavin), vitamin B3 (niasin), dan vitamin D (kalsitriol) dapat mempengaruhi salah satu fase pada proses penyembuhan luka yaitu fase inflamasi. Vitamin B2, vitamin B3 serta bentuk aktif dari vitamin D mempengaruhi proses inflamasi dengan menghambat

5 5 pembentukan sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6. Penghambatan pembentukan kedua sitokin tersebut akan mengurangi migrasi makrofag ke area luka pada fase inflamasi (Mazur dkk., 2008; Si dkk., 2014; Yin dan Agrawal, 2014). Riboflavin juga berperan pada fase inflamasi karena dapat mengurangi infiltrasi sel lekosit (Iwanaga dkk., 2007 sit Sanches dkk., 2014). Selain vitamin, ceker ayam juga memiliki kandungan lain yang mampu mempengaruhi proses penyembuhan luka. Penelitian Dhyantari dkk., (2014) membuktikan bahwa ceker ayam mengandung glukosamin yang mampu mempengaruhi fase inflamasi pada proses penyembuhan luka. Pada penelitian tersebut, terbukti bahwa ekstrak glukosamin ceker ayam konsentrasi 25% dengan dosis 100 mg/kgbb efektif menghambat terjadinya edema pada luka kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan. Proses penghambatan edema ini, dapat terjadi karena glukosamin merupakan bahan antiinflamasi yang mampu mencegah produksi prostaglandin, mediator inflamasi yang berperan dalam proses infiltrasi lekosit (Ricciotti dan FitzGerald, 2011). Peningkatan konsumsi ayam broiler yang diikuti dengan peningkatan jumlah limbah ceker ayam dapat menjadi tantangan maupun peluang bagi masyarakat dan lingkungan dalam hal pengelolaannya. Masyarakat membutuhkan suatu cara agar peningkatan jumlah limbah ceker ayam tidak menjadi ancaman bagi lingkungan. Pemanfaatan ceker ayam sebagai alternatif bahan yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah peningkatan jumlah limbah ceker ayam. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai pemanfaatan

6 6 ceker ayam di bidang kedokteran gigi sebagai alternatif obat untuk mempercepat proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi. B. Rumusan Masalah Bagaimana pengaruh aplikasi topikal gel ekstrak ceker ayam broiler (Galus gallus) konsentrasi 25% terhadap jumlah sel makrofag dan sel netrofil pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi marmut (Cavia cobaya)? C. Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu dilakukan oleh Hashim dkk. (2014) mengenai metode isolasi kolagen dari ceker ayam. Penelitian ini membuktikan bahwa ekstrak kolagen ceker ayam mengandung protein yang tersusun dari berbagai struktur asam amino. Dhyantari dkk. (2014) meneliti mengenai efektivitas ekstrak glukosamin ceker ayam dengan konsentrasi 25% dengan dosis 25 mg/kgbb, 50 mg/kgbb dan 100 mg/kgbb dalam menghambat terjadinya edema pada luka kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak glukosamin ceker ayam 25% dengan dosis 100 mg/kgbb merupakan dosis paling efektif untuk menghambat edema pada luka kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan. Penelitian mengenai peran gel ekstrak ceker ayam broiler (Gallus gallus) konsentrasi 25% terhadap respon inflamasi pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi marmut (Cavia cobaya), sejauh penulis ketahui belum pernah dilakukan sebelumnya.

7 7 D. Tujuan Penulisan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi topikal gel ekstrak ceker ayam broiler (Gallus gallus) konsentrasi 25% terhadap jumlah sel netrofil dan makrofag pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi marmut (Cavia cobaya). E. Manfaat Penelitian 1. Untuk membuktikan pengaruh aplikasi topikal gel ekstrak ceker ayam broiler (Gallus gallus) terhadap jumlah sel netrofil dan makrofag pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi marmut (Cavia cobaya). 2. Memberikan informasi ilmiah bagi penelitian selanjutnya mengenai pengaruh aplikasi topikal gel ekstrak ceker ayam broiler (Gallus gallus) terhadap jumlah sel netrofil dan makrofag pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi. 3. Dapat meningkatkan nilai guna ceker ayam broiler (Gallus gallus) sebagai bahan untuk mempercepat proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi. 4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan dalam bidang Kedokteran Gigi sebagai obat untuk mempercepat penyembuhan luka pasca eksodonsia.