4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Lapisan hipolimnion pada KJA Danau Lido Danau Lido merupakan danau yang menjadi pelopor pelaksanaan kegiatan budidaya ikan dengan teknologi KJA (Keramba Jaring Apung) di Indonesia sejak tahun Saat ini komoditi ikan yang dibudidayakan di Danau Lido adalah ikan nila merah. Umumnya satu petak jaring apung yang digunakan oleh petani ikan berukuran 2 x 2 x 3 m 3. Pada lokasi penelitian, kedalaman maksimum perairan sebesar 8 m dan kedalaman minimum sebesar 4,5 m (Gambar 7). Jarak horizontal 8 m memiliki kedalaman paling rendah (4,5 m) dikarenakan lokasinya dekat dengan outlet danau dan daratan sehingga berpotensi menjadi muara bagi endapan bahanbahan organik dan anorganik. Gambar 7. Kedalaman perairan pada lokasi pengambilan contoh Selain bersumber dari kegiatan budidaya, tekanan lingkungan perairan Danau Lido juga berasal dari aktivitas masyarakat sekitar danau. Terdapat beberapa rumah makan terapung yang membuang limbahnya ke danau. Selain itu, sering dijumpai warga masyarakat yang melakukan aktivitas rumah tangga seperti mencuci pakaian di danau. Limbah yang masuk ke perairan tidak hanya berupa limbah mudah urai, tetapi juga limbah tidak mudah urai seperti deterjen. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas air Danau Lido. Gambaran mengenai kondisi Danau Lido dapat dilihat pada Lampiran 2. Kualitas lingkungan perairan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam ekosistem perairan karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota

2 26 yang hidup dalam ekosistem tersebut. Kondisi lapisan hipolimnion Danau Lido pada kedalaman 4 m disajikan pada Tabel 6. Parameter dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu parameter yang memenuhi dan parameter yang tidak memenuhi baku mutu kualitas air bagi kegiatan perikanan (PP RI No. 82 Tahun 2001) (Lampiran 6). Parameter yang memenuhi baku mutu kualitas air adalah suhu, ph, dan nitrat. Suhu di lapisan hipolimnion relatif stabil. Nilai ph cenderung mendekati netral. Sementara parameter yang tidak memenuhi baku mutu kualitas air adalah COD, oksigen, amonia, dan nitrit. Pada kelima lokasi pengamatan, konsentrasi oksigen terlarut sangat kecil, yaitu sebesar 0,1 mg/l. Konsentrasi COD yang besar menggambarkan banyaknya bahan organik yang berada di lapisan hipolimnion danau. Konsentrasi amonia dan nitrit yang tinggi menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik pada kondisi oksigen terlarut sangat rendah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas perairan adalah dengan melakukan aerasi hipolimnion. Tabel 6. Nilai parameter kualitas air pada lapisan hipolimnion Danau Lido No Parameter Satuan Jarak Horizontal 1 Suhu 0 C 25,7 25,7 25,8 25,7 25,7 2 ph 6,89 6,93 6,93 6,93 6,96 3 Oksigen mg/l 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 4 COD mg/l 34,63 73,76 52,69 55,70 39,14 5 Amonia (NH 3 ) mg/l 0,507 0,336 0,224 0,308 0,284 6 Nitrit (NO 2 -N) mg/l 0,039 0,043 0,043 0,039 0,043 7 Nitrat (NO 3 -N) mg/l 0,161 0,073 0,066 0,110 0, Distribusi amonia (NH 3 -N) pascaaerasi hipolimnion Aerasi hipolimnion yang dilakukan diharapkan mampu menurunkan konsentrasi amonia di perairan. Data konsentrasi amonia (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion ditunjukkan pada Tabel 7. Sementara untuk pola distribusi amonia secara horizontal saat sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan pada data rata-rata konsentrasi amonia pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa konsentrasi amonia mengalami penurunan ketika aerasi dilakukan

3 27 selama 5 jam dan 10 jam. Ketika aerasi dihentikan, konsentrasi amonia kembali mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil uji t (Lampiran 8), aerasi selama 5 jam tidak berperan dalam menurunkan konsentrasi amonia (p>0,05). Konsentrasi amonia baru mengalami penurunan setelah dilakukan aerasi selama 10 jam (p<0,05). Rata-rata konsentrasi amonia kembali meningkat 5 jam pascaaerasi dihentikan (p<0,05). Rata-rata konsentrasi amonia pascaaerasi cenderung lebih besar dibanding saat sebelum aerasi. Tabel 7. Konsentrasi amonia (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion Jarak Sebelum Aerasi Pascaaerasi Horizontal Aerasi 5 jam 10 jam 5 jam 10 jam 15 jam 0 m 0,507 0,323 0,365 0,494 0,286 0,377 1,5 m 0,336 0,208 0,131 0,380 0,298 0,427 3 m 0,224 0,356 0,173 0,333 0,437 0,242 4,5 m 0,308 0,354 0,164 0,197 0,445 0,368 8 m 0,284 0,334 0,247 0,264 0,472 0,414 Rata-rata 0,332 0,315 0,216 0,333 0,388 0,366 Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui perubahan konsentrasi amonia berbeda pada masing-masing jarak horizontal dari titik outlet aerasi. Jarak horizontal dapat dikategorikan dalam dua kelompok berdasarkan kesamaan pola penurunan konsentrasi amonia saat dilakukan aerasi hipolimnion. Kelompok ke-1 adalah jarak 0 m dan 1,5 m (dekat dengan titik outlet aerasi). Kelompok ke-2 adalah jarak 3 m, 4,5 m, dan 8 m (jauh dari titik outlet aerasi). Saat dilakukan aerasi selama 5 jam, penurunan konsentrasi amonia hanya terjadi hingga jarak horizontal 1,5 m. Konsentrasi amonia baru mengalami penurunan hingga jarak horizontal 8 m saat aerasi dilakukan selama 10 jam. Kemampuan sistem aerasi dalam menurunkan konsentrasi amonia dapat diketahui melalui distribusi amonia setelah aerasi dihentikan (pascaaerasi). Ketika aerasi dihentikan diharapkan kandungan amonia tidak serta merta meningkat karena diasumsikan di perairan masih tersedia cadangan oksigen terlarut. Pengamatan 5 jam pascaaerasi menunjukkan hasil bahwa konsentrasi amonia kembali mengalami peningkatan hingga jarak horizontal 8 m. Peningkatan terbesar terjadi pada titik dekat outlet aerasi (0 m). Perbedaan dinamika perubahan konsentrasi amonia terlihat pada pengamatan 10 hingga 15 jam pascaaerasi antara lokasi dekat outlet aerasi dan

4 28 lokasi yang jauh dari outlet aerasi. Pengamatan 10 jam pascaaerasi menunjukkan telah terjadi penurunan konsentrasi amonia pada lokasi dekat outlet aerasi, sedangkan pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi terjadi peningkatan konsentrasi amonia. Hal sebaliknya terjadi saat 15 jam pascaaerasi, yaitu telah terjadi peningkatan konsentrasi amonia pada lokasi dekat outlet aerasi dan penurunan konsentrasi amonia pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi. Sebelum aerasi Aerasi 5 jam Aerasi 10 jam Pascaaerasi (5 jam) Pascaaerasi (10 jam) Pascaaerasi (15 jam) Jarak Horizontal (m) Gambar 8. Pola distribusi amonia secara horizontal

5 29 Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 9) diketahui bahwa perbedaan waktu pengamatan berpengaruh terhadap konsentrasi amonia (p<0,05). Waktu yang berpengaruh nyata adalah sebelum aerasi dan aerasi 10 jam (penurunan konsentrasi amonia), aerasi 5 jam dan aerasi 10 jam (penurunan konsentrasi amonia), aerasi 10 jam dan pascaaerasi (peningkatan konsentrasi amonia) (uji BNT). Kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap konsentrasi amonia (p>0,05) Distribusi nitrit (NO 2 -N) pascaaerasi hipolimnion Nitrit umumnya ditemukan dalam jumlah sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) (Novotny & Olem 1994). Data konsentrasi nitrit (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion ditunjukkan pada Tabel 8. Sementara untuk pola distribusi nitrit secara horizontal sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui konsentrasi nitrit mengalami penurunan ketika dilakukan aerasi selama 5 jam dan 10 jam. Ketika aerasi dihentikan, konsentrasi nitrit terus mengalami penurunan khususnya pada lokasi yang dekat dengan titik outlet aerasi. Berdasarkan hasil uji t (Lampiran 8), aerasi selama 5 jam tidak berperan dalam menurunkan konsentrasi nitrit (p>0,05). Konsentrasi nitrit baru mengalami penurunan setelah dilakukan aerasi selama 10 jam (p<0,05). Konsentrasi nitrit tidak meningkat pascaaerasi dihentikan (p>0,05). Rata-rata konsentrasi nitrit saat pascaaerasi cenderung lebih kecil dibanding saat sebelum aerasi (p<0,05). Tabel 8. Konsentrasi nitrit (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion Jarak Sebelum Aerasi Pascaaerasi Horizontal Aerasi 5 jam 10 jam 5 jam 10 jam 15 jam 0 m 0,039 0,025 0,018 0,001 0,022 0,001 1,5 m 0,043 0,032 0,018 0,001 0,015 0,008 3 m 0,043 0,019 0,053 0,013 0,017 0,022 4,5 m 0,039 0,053 0,017 0,025 0,023 0,013 8 m 0,043 0,041 0,015 0,019 0,024 0,036 Rata-rata 0,041 0,034 0,024 0,012 0,020 0,016 Penyebaran nitrit secara horizontal pada Gambar 9 menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi nitrit berlangsung dalam kurun waktu yang tidak sama. Pada

6 30 lokasi yang dekat outlet aerasi, penurunan nitrit berlangsung lebih cepat dibanding lokasi yang jauh dari outlet aerasi. Hal ini dapat dilihat dari perubahan warna yang lebih cepat pada lokasi dekat outlet aerasi. Sebelum aerasi Aerasi 5 jam Aerasi 10 jam Pascaaerasi (5 jam) Pascaaerasi (10 jam) Pascaaerasi (15 jam) Jarak Horizontal (m) Gambar 9. Pola distribusi nitrit secara horizontal Pengamatan sebaran konsentrasi nitrit pascaaerasi hipolimnion secara umum menunjukkan terjadinya penurunan konsentrasi nitrit hingga jarak horizontal 8 m.

7 31 Penurunan konsentrasi nitrit terus berlanjut pada jarak horizontal 0 m dan 1,5 m (dekat outlet aerasi). Pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi, penurunan konsentrasi nitrit tidak terlalu nampak, bahkan terjadi peningkatan pada jarak 8 m. Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 9) diketahui bahwa perbedaan waktu pengamatan berpengaruh terhadap konsentrasi nitrit (p<0,05). Waktu yang berpengaruh nyata adalah sebelum aerasi dan aerasi 10 jam (penurunan konsentrasi nitrit), sebelum aerasi dan pascaaerasi (penurunan konsentrasi nitrit), aerasi 5 jam dan pascaaerasi (penurunan konsentrasi nitrit) (uji BNT). Kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap konsentrasi nitrit (p>0,05) Distribusi nitrat (NO 3 -N) pascaaerasi hipolimnion Nitrat (NO 3 -N) merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi fotosintesis oleh organisme autotrof di perairan. Data konsentrasi nitrat (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion ditunjukkan pada Tabel 9. Sementara untuk pola distribusi nitrat secara horizontal sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan pada rata-rata konsentrasi nitrat pada Tabel 9 terlihat terjadi fluktuasi nitrat di perairan. Aerasi yang dilakukan selama 5 jam berdampak pada penurunan konsentrasi nitrat. Rata-rata konsentrasi nitrat mengalami peningkatan ketika aerasi dilakukan selama 10 jam. Penurunan konsentrasi signifikan terjadi saat 5 jam pascaaerasi. Peningkatan konsentrasi nitrat kembali terjadi saat 10 jam pascaaerasi. Tabel 9. Konsentrasi nitrat (mg/l) sebelum, sesaat, dan pascaaerasi hipolimnion Jarak Sebelum Aerasi Pascaaerasi Horizontal Aerasi 5 jam 10 jam 5 jam 10 jam 15 jam 0 m 0,161 0,065 0,164 0,001 0,127 0,053 1,5 m 0,073 0,069 0,075 0,001 0,087 0,085 3 m 0,066 0,031 0,078 0,065 0,112 0,123 4,5 m 0,110 0,118 0,063 0,030 0,127 0,105 8 m 0,048 0,129 0,088 0,061 0,139 0,098 Rata-rata 0,092 0,082 0,094 0,032 0,119 0,093 Penyebaran nitrat secara horizontal pada Gambar 10 menunjukkan bahwa aerasi selama 5 jam menyebabkan penurunan konsentrasi nitrat pada lokasi dekat outlet aerasi, sedangkan pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi terjadi peningkatan

8 32 konsentrasi nitrat. Peningkatan konsentrasi nitrat pada lokasi dekat dengan outlet aerasi baru terjadi saat aerasi dilakukan 10 jam. Akan tetapi sebarannya tidak jauh dan tidak lebih besar dari konsentrasi awal. Sebelum aerasi Aerasi 5 jam Aerasi 10 jam Pascaaerasi (5 jam) Pascaaerasi (10 jam) Pascaaerasi (15 jam) Jarak Horizontal (m) Gambar 10. Pola distribusi nitrat secara horizontal Distribusi nitrat saat pascaaerasi dihentikan menunjukkan pola yang sama pada masing-masing lokasi. Konsentrasi nitrat mengalami penurunan signifikan saat

9 33 5 jam pascaaerasi, khususnya pada lokasi yang dekat dengan outlet aerasi. Peningkatan konsentrasi nitrat kembali terjadi saat 10 jam pascaaerasi. Secara umum diketahui bahwa konsentrasi nitrat cenderung meningkat pascaaerasi dan pada lokasi yang jauh dari titik outlet aerasi. Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 9) diketahui bahwa perbedaan waktu pengamatan berpengaruh terhadap konsentrasi nitrat (p<0,05). Waktu yang berpengaruh nyata adalah penurunan konsentrasi nitrat (sebelum aerasi dan 5 jam pascaaerasi, aerasi 5 jam dan 5 jam pascaaerasi, aerasi 10 jam dan 5 jam pascaaerasi) dan peningkatan konsentrasi nitrat (5 jam pascaaerasi dan 10 jam pascaaerasi, 5 jam dan 15 jam pascaaerasi) (uji BNT). Kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap konsentrasi nitrat (p>0,05) Komposisi nitrogen saat dilakukan aerasi hipolimnion Menurut Novotny & Olem (1994), pada perairan yang aerob nitrogen banyak ditemui dalam bentuk nitrat dan pada lokasi anaerob akan dijumpai akumulasi amonia. Aerasi selama 10 jam diharapkan mampu mencegah akumulasi amonia di perairan. Pengaruh aerasi terhadap perubahan komposisi nitrogen di perairan dapat diketahui dengan melihat perubahan komposisi nitrogen sebelum, sesaat, dan sesudah aerasi (Gambar 11). Berdasarkan pada Gambar 11, diketahui bahwa proporsi amonia lebih besar dibanding nitrit dan nitrat. Aerasi selama 5 jam menyebabkan penurunan proposi amonia di lokasi dekat outlet aerasi dan diiringi dengan peningkatan proporsi nitrit. Aerasi selama 10 jam menyebabkan penurunan proporsi amonia hingga jarak horizontal 8 m. Pada lokasi dekat outlet aerasi, penurunan proporsi amonia diikuti dengan penurunan proporsi nitrit dan peningkatan proporsi nitrat. Pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi, peningkatan proporsi nitrat tidak terlalu besar. Pengamatan saat pascaaerasi dihentikan menunjukkan terjadi peningkatan proporsi amonia secara signifikan pada lokasi dekat outlet aerasi. Saat 5 jam pascaaerasi, nitrat dan nitrit nampak tereduksi sehingga nitrogen dominan berada dalam bentuk amonia. Pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi, penurunan proporsi nitrat tidak terlalu besar. Pengamatan 10 jam pascaaerasi menunjukkan terjadinya penurunan proporsi amonia diikuti dengan peningkatan proporsi nitrat. Proporsi

10 34 amonia kembali meningkat pada pengamatan 15 jam pascaaerasi diikuti dengan penurunan proporsi nitrit dan nitrat. Keterangan: (a) Lokasi dekat dengan outlet aerasi (0 m dan 1,5 m) (b) Lokasi jauh dari outlet aerasi (3 m, 4,5 m, dan 8 m) Gambar 11. Komposisi nitrogen saat dilakukan aerasi hipolimnion Faktor yang mempengaruhi keberadaan amonia saat dilakukan aerasi hipolimnion Penurunan konsentrasi amonia saat aerasi hipolimnion merupakan dampak turunan dari peningkatan kualitas parameter lainnya seperti peningkatan konsentrasi oksigen terlarut (Gambar 12), penurunan konsentrasi bahan organik (COD) (Gambar 14), serta parameter lain seperti suhu dan ph. Penelitian ini dilakukan pada kondisi suhu perairan yang relatif stabil dengan kisaran 25,5-26 C. Nilai ph yang teramati selama penelitian berkisar antara 6,81-7,10. Penyebaran oksigen terlarut secara horizontal pada Gambar 12 menunjukkan bahwa pada lokasi dekat outlet aerasi memiliki konsentrasi oksigen yang lebih tinggi dibanding lokasi yang jauh dari outlet aerasi. Pada jarak horizontal 0 m dan 1,5 m peningkatan oksigen terlarut terjadi seketika saat dilakukan aerasi selama 5 jam dan 10 jam. Pada jarak 3 m, aerasi selama 5 jam belum cukup mampu meningkatkan konsentrasi oksigen. Konsentrasi oksigen baru meningkat setelah dilakukan aerasi selama 10 jam. Sementara pada jarak 4,5 m dan 8 m, tidak terjadi peningkatan ataupun penurunan konsentrasi oksigen terlarut saat dilakukannya aerasi hipolimnion. Saat aerasi dihentikan, konsentrasi oksigen terlarut mengalami penurunan. Penurunan nampak terlihat pada lokasi dekat outlet aerasi. Meskipun

11 35 terjadi penurunan konsentrasi oksigen saat pascaaerasi, tetapi konsentrasinya cenderung lebih besar dibanding saat sebelum aerasi. Sebelum aerasi Aerasi 5 jam Aerasi 10 jam Pascaaerasi (5 jam) Pascaaerasi (10 jam) Pascaaerasi (15 jam) Jarak Horizontal (m) Gambar 12. Pola distribusi oksigen terlarut secara horizontal Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 9), diketahui bahwa perbedaan waktu pengamatan berpengaruh terhadap konsentrasi oksigen terlarut di perairan (p<0,05). Waktu yang berpengaruh nyata adalah sebelum aerasi dan aerasi 10 jam

12 36 (peningkatan konsentrasi oksigen terlarut) (uji BNT). Kelompok jarak horizontal berpengaruh terhadap konsentrasi oksigen terlarut (p<0,05). Kelompok yang berpengaruh nyata adalah 0 m dan 3 m, 0 m dan 4,5 m, 0 m dan 8 m (uji BNT). Keterkaitan antara ketersediaan oksigen terlarut dengan keberadaan amonia dapat disimulasikan pada Gambar 13. Pada kondisi awal sebelum aerasi, amonia berada dalam proporsi yang besar. Saat aerasi selama 5 jam, proporsi oksigen terlarut mengalami peningkatan diiringi dengan penurunan proporsi bagi amonia pada lokasi dekat outlet aerasi. Pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi, tidak terlihat penurunan proporsi amonia. Aerasi selama 10 jam semakin meningkatkan proporsi oksigen terlarut diiringi dengan penurunan proporsi amonia. Akan tetapi, proporsi oksigen terlarut berangsur-angsur terus mengalami penurunan diiringi dengan peningkatan proporsi amonia pascaaerasi dihentikan. Keterangan: (a) Lokasi dekat dengan outlet aerasi (0 m dan 1,5 m) (b) Lokasi jauh dari outlet aerasi (3 m, 4,5 m, dan 8 m) Gambar 13. Keberadaan amonia dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen terlarut Selain oksigen terlarut, faktor lain yang berperan penting dalam perubahan konsentrasi amonia selama dilakukannya aerasi hipolimnion adalah COD. Penyebaran COD secara horizontal pada Gambar 14 menunjukkan telah terjadi penurunan konsentrasi COD pada jarak horizontal 1,5 m, 3 m, dan 4,5 m (p<0,05) saat aerasi selama 5 jam. Aerasi selama 10 jam menyebabkan penurunan konsentrasi COD hingga jarak 8 m dari outlet aerasi (p<0,05). Setelah aerasi dihentikan (5 jam hingga 15 jam pascaaerasi), konsentrasi COD pada seluruh jarak horizontal terus mengalami peningkatan seperti kondisi awal sebelum aerasi (p<0,05) (Lampiran 8).

13 37 Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 9) dapat diketahui bahwa perbedaan waktu pengamatan berpengaruh terhadap konsentrasi COD di perairan (p<0,05). Waktu yang berpengaruh nyata adalah sebelum aerasi dan aerasi 10 jam (penurunan konsentrasi COD), aerasi 5 jam dan pascaaerasi (peningkatan konsentrasi COD), aerasi 10 jam dan pascaaerasi (peningkatan konsentrasi COD) (uji BNT). Kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap konsentrasi bahan organik di perairan (p>0,05). Sebelum aerasi Aerasi 5 jam Aerasi 10 jam 0 m 1,5 m 4 m 4,5 m 8 m Pascaaerasi (5 jam) Pascaaerasi (10 jam) Pascaaerasi (15 jam) Jarak Horizontal (m) Gambar 14. Pola distribusi COD secara horizontal

14 38 Keberadaan amonia, COD, dan oksigen terlarut selama aerasi hipolimnion dapat terlihat pada Gambar 15. Peningkatan konsentrasi okigen terlarut mulai terlihat saat aerasi mulai dilakukan hingga 10 jam aerasi. Peningkatan oksigen terlarut diiringi dengan penurunan konsentrasi COD dan amonia. Hal sebaliknya terjadi pascaaerasi dihentikan, konsentrasi oksigen terlarut mengalami penurunan diiringi dengan peningkatan konsentrasi COD dan amonia. 30 Mulai Aerasi Aerasi Dihentikan Konsentrasi relatif (%) jam 5 jam 10 jam 15 jam 20 jam 25 jam Waktu Pengamatan (jam) Amonia COD Oksigen Gambar 15. Keberadaan amonia, COD, dan oksigen selama aerasi hipolimnion Keberadaan amonia di perairan nampak jelas dipengaruhi oleh keberadaan oksigen terlarut dan dapat diduga dengan menggunakan persamaan regresi linear sederhana (Lampiran 10). Pada lokasi dekat outlet aerasi keberadaan amonia diduga dengan persamaan NH 3 = 0,179DO + 0,505 (r = 0,85 dan R 2 = 75,5%). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diduga konsentrasi oksigen terlarut yang teramati agar konsentrasi amonia memenuhi baku mutu kualitas perairan untuk kegiatan perikanan (0,02 mg/l), yaitu rata-rata sebesar 2,71 mg/l oksigen terlarut. Pada lokasi yang jauh dari outlet aerasi keberadaan amonia diduga dengan persamaan yaitu NH 3 = 1,154DO + 0,425 (r = 0,87 dan R 2 = 75,6%). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diduga konsentrasi oksigen terlarut yang termati agar konsentrasi amonia memenuhi baku mutu kegiatan perikanan (0,02 mg/l), yaitu rata-rata sebesar 0,35 mg/l oksigen terlarut.

15 39 Selain itu, keberadaan amonia juga dipengaruhi oleh keberadaan bahan organik. Hal ini dapat diduga dengan persamaan regresi linear sederhana (Lampiran 11), yaitu NH 3 = 0,004COD + 0,101 (r = 0,87 dan R 2 = 75,5%). Berdasarkan nilai b yang positif pada persamaan tersebut, dapat diduga bahwa peningkatan konsentrasi COD akan menyebabkan peningkatan konsentrasi amonia di perairan Penurunan konsentrasi amonia (NH 3 -N), nitrit (NO 2 -N), dan COD dengan dilakukannya aerasi hipolimnion Pada penelitian ini diharapkan konsentrasi amonia (NH 3 ), nitrit (NO 2 -N), dan COD mengalami penurunan setelah dilakukan aerasi hipolimnion. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan amonia dan nitrit di perairan dapat bersifat toksik bagi organisme akuatik serta mengindikasikan bahwa perairan dalam kondisi anoksik (miskin O 2 ). Begitu pula dengan COD yang menggambarkan jumlah bahan organik di perairan. Proses aerasi diharapkan mampu mempercepat proses dekomposisi secara aerob dan mencegah terjadinya akumulasi bahan organik di perairan. Penurunan konsentrasi parameter kualitas air disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan informasi yang tersaji pada Tabel 10, aerasi selama 5 jam mampu menurunkan konsentrasi amonia, nitrit, dan COD. penurunannya sangat kecil terutama untuk parameter amonia. Akan tetapi persentase Penurunan yang cukup besar terjadi ketika aerasi dilakukan selama 10 jam. Akan tetapi persentase penurunan tidak mencapai 50%. Penurunan konsentrasi amonia semakin berkurang dengan semakin bertambahnya jarak dari titik outlet aerasi. Penurunan terbesar pada jarak 1,5 m dari outlet aerasi, yaitu sebesar 61%, sedangkan penurunan terkecil pada jarak 8 m dari outlet aerasi, yaitu sebesar 13%. Tabel 10. Penurunan konsentrasi (mg/l) amonia, nitrit, dan COD Parameter Lama Aerasi Nilai rata-rata Nilai rata-rata sebelum aerasi saat aerasi Penurunan (%) Amonia 5 jam 0,33 0,31 5,11 10 jam 0,33 0,22 34,97 Nitrit 5 jam 0,04 0,03 17,92 10 jam 0,04 0,02 41,86 COD 5 jam 32,00 22,60 29,38 10 jam 32,00 19,00 40,63

16 Peningkatan konsentrasi oksigen (O 2 ) dan nitrat (NO 3 -N) dengan dilakukannya aerasi hipolimnion Pada penelitian ini diharapkan konsentrasi oksigen (O 2 ) dan nitrat (NO 3 -N) mengalami peningkatan dengan dilakukannya aerasi hipolimnion (Tabel 11). Sebagaimana diketahui bahwa oksigen merupakan parameter yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup organisme akuatik karena oksigen tidak hanya dimanfaatkan untuk respirasi, melainkan juga untuk proses perombakan bahan organik. Begitu pula dengan nitrat yang berperan sebagai nutrien bagi proses fotosintesis. Keberadaan nitrat sangat bergantung pada ketersediaan oksigen terlarut karena proses pembentukannya berlangsung aerob. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tabel 11, aerasi selama 5 jam mampu meningkatkan rata-rata konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 50%. Peningkatan yang lebih besar terjadi ketika aerasi dilakukan selama 10 jam, yaitu sebesar 79,17 %. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama aerasi dilakukan, peningkatan konsentrasi oksigen terlarut di perairan akan semakin besar. Peningkatan konsentrasi nitrat di perairan baru terlihat ketika aerasi dilakukan selama 10 jam dan pascaaerasi. Tabel 11. Peningkatan konsentrasi (mg/l) oksigen terlarut dan nitrat Parameter Lama Aerasi Nilai rata-rata Nilai rata-rata sebelum aerasi saat aerasi Peningkatan (%) Oksigen 5 jam 0,10 0,24 58,33 10 jam 0,10 0,48 79,17 Nitrat 5 jam 0,092 0, jam 0,092 0,094 2,10 Pascaaerasi (10 jam) 0,094 0,119 21, Pembahasan Keramba jaring apung (KJA) di Danau Lido telah ada sejak tahun 1978 (Basmi 1991). Aktivitas budidaya ikan dalam KJA diduga telah menyebabkan penurunan kualitas perairan (Simarmata 2007). Salah satu indikasi penurunan kualitas perairan adalah rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dan tingginya konsentrasi bahan toksik seperti amonia. Penurunan kualitas perairan Danau Lido telah teramati pada penelitian sebelumnya oleh Amalia (2010), yang menunjukkan bahwa kualitas perairan pada lokasi non KJA lebih baik dibanding lokasi KJA. Hal

17 41 ini dapat dilihat dari konsentrasi oksigen terlarut pada lokasi non KJA yang berkisar antara 5,51-7,94 mg/l, sementara pada lokasi KJA berkisar antara 2,06-4,19 mg/l. Konsentrasi oksigen terendah berada pada kedalaman kompensasi, namun pada lokasi non KJA konsentrasi oksigen terlarut masih lebih besar dari 3 mg/l. Berbeda halnya dengan lokasi KJA, konsentrasi oksigen terlarut pada lapisan permukaan masih lebih rendah dibanding pada lapisan kompensasi non KJA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi oksigen di lokasi KJA lebih besar dibanding lokasi non KJA. Sebaran oksigen terlarut secara vertikal pada lokasi KJA dan non KJA disajikan pada Lampiran 12. Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion (kedalaman 4 m) Danau Lido sangat kecil, yaitu 0,1 mg/l. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion disebabkan oleh tingginya kebutuhan oksigen untuk mendekomposisikan bahan organik yang terakumulasi di lapisan hipolimnion. Sumber utama bahan organik di lokasi KJA berasal dari sisa pakan (pelet) budidaya yang dibuang setiap hari ke danau. Masukan bahan organik berlangsung terus menerus ke lapisan hipolimnion danau tanpa diimbangi pasokan oksigen terlarut yang memadai. Aktivitas fotosintesis yang menghasilkan oksigen hanya terpusat di lapisan epilimnion yang terdapat cahaya matahari. Pasokan oksigen yang terbatas ini menjadi semakin terbatas dikarenakan pakan ikan yang terbuang ke danau berkontribusi meningkatkan kekeruhan di perairan. Hal ini dapat menyebabkan sinar matahari dan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan menjadi terbatas dan berpengaruh pada proses fotosintensis. Ketebalan lapisan oksik di perairan akan berkurang dan transfer oksigen ke lapisan hipolimnion akan semakin kecil. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion mengakibatkan terakumulasinya amonia di perairan. Proses amonifikasi (perombakan nitrogen organik menjadi amonia) di perairan dapat terjadi dalam kondisi aerob dan anaerob (Wielgosz et al. 2010). Dalam kondisi anaerob, amonia yang terbentuk tidak dapat dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga amonia akan terakumulasi di lapisan hipolimnion. Pada lokasi KJA, akumulasi amonia ini akan semakin bertambah dengan adanya amonia yang bersumber dari metabolisme organisme akuatik (urine dan feses ikan budidaya) (Boyd 1989). Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010),

18 42 konsentrasi amonia di Danau Lido pada lokasi KJA lebih besar dibanding lokasi non KJA. Konsentrasi amonia pada lokasi KJA berkisar antara 0,354-0,706 mg/l, sementara pada lokasi non KJA berkisar antara 0,182-0,235 mg/l. Konsentrasi amonia tertinggi berada pada lapisan kompensasi perairan. Sebaran amonia, nitrit, dan nitrat secara vertikal di lokasi KJA dan non KJA disajikan pada Lampiran 12. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi akumulasi amonia di perairan, salah satunya adalah dengan menerapkan aerasi hipolimnion. Proses aerasi hipolimnion memiliki dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung berupa peningkatan konsentrasi oksigen. Dampak tidak langsung berupa penurunan konsentrasi amonia. Penurunan konsentrasi amonia termasuk ke dalam dampak tidak langsung karena keberadaan amonia di perairan mengikuti dinamika siklus nitrogen yang dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen terlarut. Berdasarkan hasil penelitian, aerasi selama 10 jam yang dilakukan di lapisan hipolimnion Danau Lido menyebabkan penurunan konsentrasi amonia rata-rata sebesar 34,97%. Penurunan terbesar pada jarak 1,5 dari titik outlet aerasi, yaitu sebesar 61% dan penurunan terkecil terjadi pada jarak 8 m dari titik outlet aerasi, yaitu sebesar 13% (Gambar 8). Pengamatan juga dilakukan saat aerasi baru berlangsung selama 5 jam. Penurunan konsentrasi amonia relatif kecil, yaitu sebesar 5,11% dan hanya terjadi pada lokasi dekat outlet aerasi (0 m dan 1,5 m). Penghilangan amonia di lapisan hipolimnion dapat terjadi secara fisika dan biologi. Proses fisika berupa penguapan (volatilisasi) diharapkan terjadi ketika air dari lapisan hipolimnion mengalami sirkulasi pada talang aerasi. Proses ini optimum pada ph 9 atau lebih (Boyd 1998). Pada penelitian ini, penurunan konsentrasi amonia secara fisika diduga sangat kecil terjadi. Hal ini disebabkan karena ph perairan yang teramati kurang dari 9, yaitu berkisar antara 6,81-7,10. Berdasarkan hasil penelitian Burgess et al. (2003), aerasi mampu menurunkan konsentrasi amonia hingga 80 % pada saat ph sebesar 10. Saat ph 4 hingga 8, hanya terjadi penurunan konsentrasi amonia sebesar 27 %. Penurunan konsentrasi amonia secara biologi merupakan dampak turunan dari peningkatan konsentrasi oksigen terlarut yang diharapkan mampu memicu proses nitrifikasi, yaitu oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrit menjadi nitrat. Berdasarkan hasil penelitian, aerasi yang dilakukan selama 10 jam mampu

19 43 meningkatan konsentrasi oksigen terlarut hingga 79,17%, yaitu dari 0,1 mg/l menjadi 1,0 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut hasil aerasi masih tergolong kecil dan belum memenuhi baku mutu kualitas perairan bagi kegiatan perikanan (3 mg/l). Berbeda halnya dengan alat aerasi Limnotek 3.1 yang diujicobakan pada Situ Bojongsari mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut hingga lebih dari 4 mg/l hingga 17 m dari titik outlet aerasi (Hartoto 1993). Meskipun konsentrasi oksigen terlarut masih relatif kecil, akan tetapi peningkatannya yang lebih besar dari 50% mampu menyebabkan penurunan konsentrasi COD hingga 40,63%. Penurunan konsentrasi COD mengindikasikan telah terjadinya proses perombakan bahan organik secara aerob di lapisan hipolimnion oleh mikroba dekomposer (Uhlmann 1977 in Sudaryanti 1991). Bahan organik nitrogen akan dirombak menjadi amonia melalui proses amonifikasi. Dalam kondisi aerob (oksigen tersedia), proses amonifikasi akan dilanjutkan dengan proses nitrifikasi. Berdasarkan hasil penelitian Hartoto (1995), penurunan kandungan bahan organik akibat aerasi menyebabkan penurunan jumlah bakteri amonifikasi. Hal ini disebabkan karena penurunan kandungan bahan organik yang berperan sebagai substrat bagi bakteri. Sama halnya dengan aerasi yang dilakukan pada air limbah (Wielgosz et al. 2010), menunjukkan hasil bahwa jumlah bakteri amonifikasi lebih banyak pada air limbah yang tidak diaerasi. Nitrifikasi merupakan oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrit menjadi nitrat yang dilakukan oleh mikroba nitrifikasi (Novotny & Olem 1994). Peristiwa ini dapat ditunjukkan dengan penurunan proporsi amonia diiringi dengan peningkatan proporsi nitrat. Meskipun pada saat aerasi 10 jam terjadi penurunan konsentrasi amonia sebesar 34,97%, namun peningkatan konsentrasi nitrat yang terjadi tidaklah besar, yaitu 2,10% dan terjadi lokasi yang dekat dengan outlet aerasi. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa nitrifikasi terjadi tidak seketika. Berdasarkan hasil penelitian Yusoff et al. (2003), amonia mengalami penurunan signifikan disertai dengan peningkatan nitrit dan nitrat setelah aerasi dilakukan selama 14 hari. Aerasi yang dilakukan pada Danau Black menyebabkan penurunan konsentrasi amonia setelah dilakukan aerasi selama 13 hari dan peningkatan konsentrasi nitrat sebesar 58,33% baru terjadi saat aerasi dilakukan selama 2 bulan (Ashley 1981). Hal serupa juga terjadi pada aerasi yang dilakukan pada air limbah dengan sistem rawa buatan

20 44 yang dilengkapi aerasi. Sistem ini dapat menurunkan konsentrasi amonia pada air limbah hingga 93,3%. Penurunan konsentrasi amonia diiringi dengan peningkatan konsentrasi nitrat terjadi setelah 13 hari aerasi (Jamieson et al. 2003). Aerasi pada limbah domestik perkotaan menyebabkan penurunan konsentrasi amonia sebesar 98% selama 2 bulan aerasi (Sotirakou et al. 1999). Peristiwa nitrifikasi tidak dapat terjadi seketika karena kelimpahan mikroba nitrifikasi umumnya lebih rendah dibandingkan mikroba dekomposer. Mikroba nitrifikasi bersifat aerob sedangkan mikroba dekomposer bersifat aerob dan anaerob. Hal ini menyebabkan ketika perairan mendapat pasokan oksigen dari proses aerasi, mikroba dekomposer akan bersaing dengan mikroba nitrifikasi sehingga amonia masih ditemukan dalam jumlah yang besar (Rheinhamer 1985 in Sudaryanti 1990). Selain itu, pada tahap awal aerasi sebagian besar amonia dapat lepas ke atmosfer (volatilisasi) ketika mengalami sirkulasi di talang aerasi. Hanya sebagian kecil yang dikonversi menjadi nitrit dan nitrat (Ashley 1981). Kasus yang sama juga ditemukan saat aerasi dilakukan di Danau Amisk dan Waduk Camanche, yaitu terjadi penurunan konsentrasi amonia sebesar 58,33% (Danau Amisk) dan 85,71% (Waduk Camanche) tanpa disertai dengan peningkatan nitrat. Hal ini disebabkan karena aerasi menyebabkan penurunan kandungan nitrogen organik di lapisan hipolimnion (Beutel 2006). Transformasi amonia menjadi nitrat dilalui secara bertahap, diawali dengan proses perubahan amonia menjadi nitrit dan dilanjutkan dengan perubahan nitrit menjadi nitrat. Berdasarkan hasil penelitian ini, aerasi menyebabkan penurunan konsentrasi nitrit hingga 41,86%. Nitrit dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil di lapisan hipolimnion disebabkan karena laju oksidasi amonia menjadi nitrit lebih cepat dibanding laju oksidasi nitrit menjadi nitrat (Novotny & Olem 1994). Selain itu, proses aerasi ternyata mampu mempercepat proses pembentukan nitrit. Aerasi yang dilakukan di Situ Bojongsari dengan alat Limnotek 3.1 (Hartoto 1995) menunjukkan bahwa nilai TRF-NO 2 (Time Duration Required to Finish Nitrite Formation) semakin kecil dengan semakin lamanya waktu aerasi. Setelah aerasi dihentikan, pasokan oksigen terlarut ke lapisan hipolimnion dari proses aerasi terhenti. Hal ini secara langsung menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut di perairan. Penghentian aerasi juga berdampak pada peningkatan

21 45 konsentrasi COD seperti kondisi awal sebelum aerasi bahkan lebih besar (p<0,05). Peningkatan COD secara simultan ini menyebabkan kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi semakin besar. Peningkatan konsentrasi COD (bahan organik) tanpa disertai peningkatan konsentrasi oksigen terlarut berdampak pada peningkatan konsentrasi amonia karena proses amonifikasi tidak dapat dilanjutkan dengan proses nitrifikasi. Pengamatan pascaaerasi dilakukan bertepatan dengan jadwal petani ikan memberikan pakan pelet pada ikan-ikan budidaya. Tidak semua pakan yang dibuang ke perairan akan dimakan oleh ikan, sebagian besar akan terbuang ke dasar perairan. Selain itu pakan ikan yang terbuang tersebut banyak mengandung nitrogen (Ryding & Rast 1989). Hal tersebut juga diduga berpotensi menyebabkan peningkatan konsentrasi amonia pascaaerasi dihentikan. Pengamatan yang dilakukan saat 5 jam pascaaerasi menunjukkan bahwa proporsi nitrat dan nitrit menurun signifikan. Nitrogen dominan berada dalam bentuk amonia. Pada saat ini diduga telah terjadi proses denitrifikasi, yaitu proses reduksi secara biologis nitrat (NO 3 -N) menjadi nitrit (NO 2 -N) dan amonia (NH 3 -N) oleh bakteri heterotrof fakultatif yang terjadi saat konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah. Proses denitrifikasi dapat terjadi karena dekomposisi bahan organik terus berlanjut saat oksigen terlarut di perairan tidak tersedia (Boyd 1998). Bakteri fakultatif akan memperoleh oksigen dengan cara mengambil oksigen yang terikat pada molekul nitrat (NO 3 -N). Beberapa jenis bakteri anaerob fakultatif yaitu Psedudomonas, Achromobacter, Escherichia, Bacillus, dan Micrococcus (Alexander 1961 in Wetzel 2001). Berdasarkan penelitian Wielgosz et al. (2010), diketahui bahwa pada air limbah yang tidak diaerasi terdapat bakteri denitrifikasi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan air limbah yang diaerasi. Peristiwa denitrifikasi ternyata tidak hanya dapat terjadi pada kondisi anoksik. Berdasarkan penelitian Zhang et al. (2011), bakteri Pseudomonas stutzeri YZN-001 mampu melakukan denitrifikasi dan nitrifikasi pada kondisi aerob. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan konsentrasi nitrit dan nitrat disertai dengan penurunan konsentrasi amonia. Pengamatan yang dilakukan saat 10 jam pascaaerasi menunjukkan perubahan proporsi nitrogen di perairan akibat peningkatan konsentrasi nitrat hingga 21,06%. Peningkatan konsentrasi nitrat dibarengi dengan penurunan konsentrasi amonia pada

22 46 lokasi dekat outlet aerasi. Pada saat ini diduga pada lokasi dekat outlet aerasi tengah terjadi proses nitrifikasi. Peningkatan konsentrasi nitrat pada saat ini lebih besar dibanding saat aerasi 10 jam disebabkan karena nitrifikasi pada air mengalir sulit untuk terjadi (Tuffey, Hunter, & Matulewich 1974 in Novotny & Olem 1994). Saat aerasi, air didorong kuat sehingga tidak ada kesempatan bagi bakteri nitrifikasi untuk melakukan proses biologis ini. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa nitrifikasi tidak dapat terjadi seketika. Peristiwa nitrifikasi yang terjadi pada saat ini merupakan dampak turunan dari aerasi yang dilakukan selama 10 jam yang berdampak langsung pada peningkatan konsentrasi oksigen terlarut. Proses nitrifikasi selain membutuhkan oksigen juga tergantung pada keberadaan bakteri nitrifikasi. Waktu yang dibutuhkan untuk generasi bakteri Nitrosomonas sekitar 7-24 jam, sedangkan bakteri Nitrobacter membutuhkan waktu sekitar jam (Bock et al in Strauss 2000). Peningkatan konsentrasi oksigen yang terjadi saat aerasi 10 jam diduga memicu generasi bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter 10 jam kemudian. Selain itu menurut Tuffey, Hunter, & Matulewich 1974 in Novotny & Olem 1994, proses nitrifikasi pada air mengalir jarang sekali terjadi. Optimalisasi proses nitrifikasi dapat ditingkatkan dengan peningkatan konsentrasi oksigen terlarut dan keberadaan substrat tempat menempel bakteri nitrifikasi yang cenderung senang menempel ke sedimen atau permukaan keras (Krenkel & Novotny 1980 in Novotny & Olem 1994). Meskipun setelah aerasi dihentikan konsentrasi amonia kembali mengalami peningkatan, namun dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa aerasi yang dilakukan di lapisan hipolimnion KJA Danau Lido mampu memperbaiki kualitas perairan dengan penurunan konsentrasi amonia. Sebelum diaerasi, lapisan hipolimnion Danau Lido berada dalam kondisi anoksik dan berpotensi mengalami proses biologis anaerob menyebabkan akumulasi bahan toksik seperti amonia. Konsentrasi amonia pada lapisan bawah perairan yang umumnya lebih besar dibanding lapisan di atasnya dapat membahayakan biota budidaya jika terjadi proses pencampuran sempurna (holomictic) (Pratiwi 2009). Peristiwa ini dapat berpotensi membahayakan jika terjadi di Danau Lido karena water retention time danau (waktu tinggal air) relatif lama, yaitu 163 hari (Tambunan 2010). Dalam kurun waktu

23 47 tersebut, bahan toksik akan terus terakumulasi di lapisan bawah danau. Pada perairan tropis holomictic dapat terjadi sesudah hujan lebat karena pada saat tersebut suhu di permukaan menjadi lebih rendah dibandingkan suhu dasar perairan. Kondisi tersebut mengakibatkan massa air yang ada di permukaan menjadi lebih berat dan akan turun ke dasar perairan. Massa air yang turun tersebut akan mendesak massa air yang ada di dasar danau untuk naik ke permukaan. Dengan demikian bahan organik dan anorganik serta gas-gas beracun akan terdistribusi ke permukaan perairan dan berdampak buruk bagi ikan budidaya yang dipelihara di KJA. Oleh karena itu, perbaikan kualitas perairan melalui aerasi hipolimnion dapat dijadikan alternatif untuk pencegahan terjadinya dampak negatif akibat proses holomictic di danau. Efektivitas penurunan konsentrasi amonia di lapisan hipolimnion sangat ditentukan oleh kemampuan sistem aerasi dalam meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion serta kemampuannya menyebar dari outlet alat aerasi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh volume air hipolimnion yang diaerasi serta konsentrasi oksigen terlarut dari air yang diaerasi sebelum dikembalikan ke kedalaman hipolimnion. Dalam penelitian ini diketahui bahwa aerasi mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut cukup besar di talang aerasi, yaitu 5 mg/l. Setelah dikembalikan ke lapisan hipolimnion, air tersebut akan bercampur dengan air danau yang memiliki konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah. Selain itu, penambahan oksigen ke lapisan hipolimnion memicu terjadinya proses dekomposisi dan nitrifikasi. Hal ini menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut yang teramati di lapisan hipolimnion selama aerasi masih cenderung kecil, yaitu 0,4-1 mg/l hingga jarak 3 m dari outlet alat aerasi dan pada jarak 4,5-8 m tidak mengalami peningkatan konsentrasi oksigen terlarut. Pendugaan hubungan antara oksigen terlarut dan amonia menunjukkan bahwa jika ingin mencapai konsentrasi amonia yang memenuhi baku mutu (0,02 mg/l), maka konsentrasi oksigen terlarut yang teramati di lapisan hipolimnion harus mencapai 2,7 mg/l (pada lokasi dekat outlet aerasi) dan 0,35 mg/l (pada lokasi jauh dari outlet aerasi). Nilai tersebut hampir mendekati baku mutu konsentrasi oksigen terlarut untuk kegiatan perikanan, yaitu 3 mg/l. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan lamanya waktu aerasi. Semakin lama aerasi dilakukan, maka

24 48 semakin banyak pula air yang akan mengalami penambahan oksigen akibat sirkulasi di talang aerasi. Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut (3 m dari outlet aerasi) dengan lamanya waktu aerasi dapat diduga dengan persamaan regresi linear sederhana, yaitu DO = 0,03 t aerasi + 0,05 (r = 0,86 dan R 2 = 75%). Berdasarkan persamaan tersebut, dapat diduga lamanya waktu aerasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut hingga mencapai 3,0 mg/l pada jarak 3 m dari outlet aerasi, yaitu selama 98,33 jam aerasi dengan flow rate sebesar 24 liter/menit. Dalam kurun waktu tersebut, diduga volume air yang telah diaerasi sudah mencapai liter. Perhitungan pendugaan lamanya waktu aerasi disajikan pada Lampiran 13. Akan tetapi, pendugaan lamanya waktu aerasi ini belum dapat sepenuhnya dijadikan acuan bagi penerapan aerasi di Danau Lido karena dari hasil penelitian ini diketahui bahwa pascaaerasi dihentikan, konsentrasi oksigen terlarut, COD, dan amonia akan kembali ke kondisi awal sebelum diaerasi. Hal ini menunjukkan bahwa beban bahan organik dan anorganik di lapisan hipolimnion Danau Lido cukup besar karena aktivitas budidaya ikan di KJA berlangsung sejak tahun Hal serupa juga terjadi pada Danau Hald dan Danau Vetdsed yang menerapkan oksigenasi lapisan hipolimnion selama 10 tahun dan 20 tahun. Ketika oksigenasi dihentikan, kualitas perairan kembali menurun seperti kondisi awal sebelum oksigenasi (Liboriussen et al. 2009). Oleh karena itu, aerasi hipolimnion hendaknya dilakukan secara terus menerus (24 jam/hari) hingga akumulasi beban hipolimnion habis. Dalam kurun waktu 24 jam diduga konsentrasi oksigen terlarut pada jarak 3 m baru mencapai 0,77 mg/l. Jika ingin mencapai konsentrasi oksigen 3 mg/l, maka volume air yang diaerasi selama 24 jam harus sama dengan volume air yang diaerasi selama 98,33 jam, yaitu liter. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan flow rate air yang diaerasi, yaitu 98,33 liter/menit (Lampiran 14). Peningkatan flow rate hingga 4 kali lipat ini diduga dapat meningkatkan jangkauan distribusi oksigen terlarut hingga radius lebih dari 3 m. Hal ini hanya dapat tercapai dengan melakukan modifikasi alat aerasi, karena alat aerasi yang digunakan dalam penelitian ini dirancang dengan flow rate air aerasi maksimum sebesar 30 liter/menit. Biaya pembuatan dan

25 49 operasional alat aerasi hipolimnion yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam melakukan modifikasi alat aerasi (Lampiran 15). Secara umum, teknologi aerasi hipolimnion yang diterapkan dalam penelitian ini dapat digunakan di KJA Danau Lido untuk memperbaiki kualitas perairan danau. Aerasi di lapisan hipolimnion juga diharapkan mampu memperluas habitat bagi biota akuatik di danau, khususnya ikan, sehingga tidak akan terjadi perebutan ruang dan relung ekologis yang dapat berdampak negatif pada kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan reproduksi dari ikan tersebut. Dampak positif dari penerapan teknologi aerasi hipolimnion dapat ditingkatkan dengan tidak menambah jumlah beban masukan bahan organik di perairan, yaitu dengan tidak melakukan penambahan unit KJA di Danau Lido dan pengendalian pemberian pakan sesuai dengan biomassa ikan yang dipelihara di unit KJA.

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Lido 2.2. Lapisan Hipolimnion Danau

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Lido 2.2. Lapisan Hipolimnion Danau 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Lido Danau Lido terletak pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS, Desa Tugujaya, Kecamatan Cigombong, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berbentuk

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Pelaksanaan Penelitian Penentuan stasiun

METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Pelaksanaan Penelitian Penentuan stasiun 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei Agustus 2011 di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido terletak pada koordinat posisi 106 48 26-106 48

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian LAMPIRAN 55 56 Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Kegiatan Alat Bahan Pengambilan contoh Alat aerasi hipolimnion Generator System GPS Van Dorn water sampler Tali berskala ph meter

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, aktivitas pengurangan amonium oleh bakteri nitrifikasi dan anamox diamati pada dua jenis sampel, yaitu air limbah industri dan lindi. A. Pengurangan amonium

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen Kualitas air merupakan salah satu sub sistem yang berperan dalam budidaya, karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau Danau merupakan perairan tergenang yang berada di permukaan tanah, terbentuk akibat proses alami atau buatan. Danau memiliki berbagai macam fungsi, baik fungsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Keberadaan amonium di alam dapat berasal dari dekomposisi senyawa-senyawa protein. Senyawa ini perlu didegradasi menjadi gas nitrogen (N2) karena amonium menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai ekonomis tinggi dan merupakan spesies asli Indonesia. Konsumsi ikan gurami (Osphronemus gouramy)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Resirkulasi Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang sudah digunakan dengan cara memutar air secara terus-menerus melalui perantara sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi terdapat kendala yang dapat menurunkan produksi berupa kematian budidaya ikan yang disebabkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

KEBERADAAN H 2 S PASCAAERASI HIPOLIMNION PADA KAWASAN KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT MARTHIN ALEXANDER POLITON

KEBERADAAN H 2 S PASCAAERASI HIPOLIMNION PADA KAWASAN KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT MARTHIN ALEXANDER POLITON KEBERADAAN H 2 S PASCAAERASI HIPOLIMNION PADA KAWASAN KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT MARTHIN ALEXANDER POLITON DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2011 di kawasan KJA Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat (Lampiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terbagi atas 6 bagian, yaitu : 1. Analisa karakteristik air limbah yang diolah. 2.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Budidaya ikan hias dapat memberikan beberapa keuntungan bagi pembudidaya antara lain budidaya ikan hias dapat dilakukan di lahan yang sempit seperti akuarium atau

Lebih terperinci

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN 8.1. Fotosintesis Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan organik merupakan salah satu indikator kesuburan lingkungan baik di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan kualitas tanah dan di perairan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Bakteri Penitrifikasi Sumber isolat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sampel tanah yang berada di sekitar kandang ternak dengan jenis ternak berupa sapi,

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)  HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri 11 didinginkan. absorbansi diukur pada panjang gelombang 410 nm. Setelah kalibrasi sampel disaring dengan milipore dan ditambahkan 1 ml natrium arsenit. Selanjutnya 5 ml sampel dipipet ke dalam tabung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya ikan lele merupakan salah satu jenis usaha budidaya perikanan yang semakin berkembang. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan teknologi budidaya yang relatif

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas

I. PENDAHULUAN. Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan laut Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi baik di pasar domestik maupun global. 77%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dibicarakan karena mengancam masa depan dari kehidupan di bumi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dibicarakan karena mengancam masa depan dari kehidupan di bumi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim dewasa ini menjadi isu yang paling hangat dibicarakan karena mengancam masa depan dari kehidupan di bumi termasuk manusia. Pelepasan gas-gas yang disebabkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian terletak di belakang Perumahan Nirwana Estate, Cibinong yang merupakan perairan sungai kecil bermuara ke Situ Cikaret sedangkan yang terletak di belakang Perumahan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah satu unsur yang dapat mempengaruhi kualitas air yakni unsur karbon (Benefield et al., 1982).

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA 825 Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap... (Moch. Nurdin) PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA Mochamad

Lebih terperinci

SIKLUS OKSIGEN. Pengertian, Tahap, dan Peranannya

SIKLUS OKSIGEN. Pengertian, Tahap, dan Peranannya SIKLUS OKSIGEN Pengertian, Tahap, dan Peranannya Apa yang terbesit dalam pikiran anda bila mendengar kata oksigen? Seperti yang kita tahu, oksigen bagian dari hidup kita yang sangat kita butuhkan keberadaannya.

Lebih terperinci

a.daur Air/H2O (daur/siklus hidrologi)

a.daur Air/H2O (daur/siklus hidrologi) Daur Biogeokimia : - pertukaran atau perubahan yang terus menerus, antara komponen biosfer yang hidup dengan tak hidup. - Dalam suatu ekosistem, materi pada setiap tingkat trofik tidak hilang. - Materi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas.

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air (DO, suhu, ph, NH 3, CO 2, dan salinitas), oxygen transfer rate (OTR), dan efektivitas

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL KAJIAN HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA IKAN NILA DI DANAU LIMBOTO KABUPATEN GORONTALO

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL KAJIAN HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA IKAN NILA DI DANAU LIMBOTO KABUPATEN GORONTALO LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL KAJIAN HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA IKAN NILA DI DANAU LIMBOTO KABUPATEN GORONTALO OLEH: RIVAL S. NAKI NIM. 631409029 1 KAJIAN HUBUNGAN ANTARA

Lebih terperinci

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT ARIF RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. rumah tangga dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan. Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang

PENDAHULUAN. rumah tangga dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan. Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang 16 PENDAHULUAN Latar Belakang Rawa sebagai salah satu habitat air tawar yang memiliki fungsi yang sangat penting diantaranya sebagai pemancingan, peternakan, dan pertanian. Melihat fungsi dan peranan rawa

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 85 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisa Karakteristik Limbah Pemeriksaan karakteristik limbah cair dilakukan untuk mengetahui parameter apa saja yang terdapat dalam sampel dan menentukan pengaruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bidang preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif maupun

I. PENDAHULUAN. bidang preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif maupun I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah sakit merupakan institusi pelayanan bidang kesehatan dengan bidang preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif maupun promotif (Kusumanto,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Denpasar dengan kondisi awal lumpur berwarna hitam pekat dan sangat berbau. Air

BAB VI PEMBAHASAN. Denpasar dengan kondisi awal lumpur berwarna hitam pekat dan sangat berbau. Air BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pembibitan (Seeding) Lumpur Aktif Pembibitan (seeding) lumpur aktif dilakukan dengan mengambil sedimen lumpur dari tiga sumber (lokasi). Sumber lumpur pertama adalah IPAL Suwung Denpasar

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada

Lebih terperinci

KINERJA ALGA-BAKTERI UNTUK REDUKSI POLUTAN DALAM AIR BOEZEM MOROKREMBANGAN, SURABAYA

KINERJA ALGA-BAKTERI UNTUK REDUKSI POLUTAN DALAM AIR BOEZEM MOROKREMBANGAN, SURABAYA Program Magister Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya KINERJA ALGA-BAKTERI UNTUK REDUKSI POLUTAN DALAM AIR BOEZEM MOROKREMBANGAN,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 34 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 4.1 Analisa Kualitas Air Seperti yang di jelaskan di bab bab sebelumnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran penuruan kadar yang terkandung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan kebutuhan pangan salah satunya protein ikan akan turut memicu perkembangan produksi akuakultur. Produksi ikan nila

Lebih terperinci