Vol. 7, No. 5, September 2006 ISSN KEPATUHAN PASIEN : FAKTOR PENTING DALAM KEBERHASILAN TERAPI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Vol. 7, No. 5, September 2006 ISSN 1829-9334 KEPATUHAN PASIEN : FAKTOR PENTING DALAM KEBERHASILAN TERAPI"

Transkripsi

1 InfoPOM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN POM RI Vol. 7, No. 5, September 2006 ISSN KEPATUHAN PASIEN : FAKTOR PENTING DALAM KEBERHASILAN TERAPI Pendahuluan Diagnosa yang tepat, pemilihan obat serta pemberian obat yang benar dari tenaga kesehatan ternyata belum cukup untuk menjamin keberhasilan suatu terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obatnya. Menurut laporan WHO pada tahun 2003, kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50% sedangkan di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah. Kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan terapi utamanya pada terapi penyakit tidak menular (misalnya : diabetes, hipertensi, asma, kanker, dsb), gangguan mental, penyakit infeksi HIV / AIDS dan tuberkulosis Adanya ketidakpatuhan pasien pada terapi penyakit ini dapat memberikan efek negatif yang sangat besar karena prosentase kasus penyakit penyakit tersebut diatas diseluruh dunia mencapai 54% dari seluruh penyakit pada tahun Angka ini bahkan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 65% pada tahun Harus diingat bahwa kepatuhan merupakan fenomena multidimensi yang ditentukan oleh lima dimensi yang saling terkait, yaitu faktor Editorial Pembaca setia Infopom, Berdasarkan hasil pengawasan Badan POM RI pada tahun 2005 dan 2006 dibeberapa propinsi, ditemukan 27 (dua puluh tujuh) merek kosmetik yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kosmetik yaitu Merkuri ( Hg ), Hidrokuinon > 2 %, zat warna Rhodamin B dan Merah K.3. Penggunaan bahan-bahan tersebut dalam sediaan kosmetik jelas-jelas telah dilarang karena dapat membayahakan kesehatan. Dalam Infopom edisi bulan September ini, kami sajikan Public Warning/Peringatan tentang Kosmetik yang Mengandung Bahan dan Zat Warna yang Dilarang. Sedangkan daftar nama ke 27 kosmetik yang dilarang dapat diakses pada website Badan POM Isu strategis terkait dengan evaluasi dan pendafataran produk biologi di Indonesia al. meningkatnya pendaftaran dalam bentuk pararel submission ke Indonesia bersamaan dengan pendaftaran kenegara-negara maju untuk produk biologi seperti vaksin dan produk dengan teknologi rekombinan atau biofarmasetikal, sementara banyak produsen baru produk biologi biosimilar yang berlokasi di emerging countries, dan beberapa produk tesebut diajukan pendaftarannya ke Indonesia. Selain itu adanya ketentuan di Uni Eropa bahwa bahwa jika suatu obat, termasuk produk biologi, tidak dipasarkan di Uni Eropa maka tidak dapat diberikan persetujuan pemasaran walaupun diproduksi oleh produsen yang berlokasi di Uni Eropa. Akibatnya khasiat, keamanan dan mutu /kualitas poduk Uni Eropa tersebut yang dibutuhkan oleh negara berkembang, harus dievaluasi berdasarkan kemampuan negara berkembang tersebut. Untuk itu dalam edisi ini kami sajikan artikel dengan judul Evaluasi Produk Biologi. Tidak kalah menarik artikel dengan judul Kepatuhan Pasien : Faktor Penting Dalam Keberhasilan Terapi serta artikel singkat berisi informasi terkait profil keamanan penghambat pompa proton dan keputusan final FDA tentang Requirements on Content and Format of Labeling for Human Prescription Drug and Biological Products dengan judul Prescribing Information Obat dan Produk Biologi. Selamat menyimak, semoga sajian kami ini dapat memuaskan minat baca saudara. Halaman 1

2 DAFTAR ISI 1. Kepatuhan pasien : Faktor penting dalam keberhasilan terapi 2. Public Warning tentang Kosmetik yang mengandung bahan & zat warna yang dilarang 3. Evaluasi Produk Biologi 4. Penghambat pompa proton dan laporan terbaru tentang nefritis interstitial 5. Prescribing information Obat keras & produk biologi pasien, faktor terapi, faktor sistem kesehatan, faktor lingkungan dan faktor sosial ekonomi. Semua faktor adalah faktor penting dalam mempengaruhi kepatuhan sehingga tidak ada pengaruh yang lebih kuat dari faktor lainnya, seperti digambarkan pada gambar diatas. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah ketidakpatuhan pasien ini, tidak sepenuhnya semua kesalahan ada pada pasien sehingga intervensi hanya dilakukan dari sisi pasien, namun diperlukan juga adanya pembenahan dalam sistem kesehatan dan petugas pelayanan kesehatan. Karena faktor ini juga memberikan pengaruh yang besar terhadap tumbuhnya kepatuhan pasien. Sehingga dalam menyusun strategi dalam membuat intervensi terhadap peningkatan kepatuhan pasien, perlu diterapkan prinsip bahwa tidak ada satupun strategi yang dapat secara efektif menangani semua masalah kepatuhan pasien secara umum. Diperlukan strategi yang berlaku khusus terhadap pasien penyakit tertentu dan dalam mengembangkan suatu intervensi untuk meningkatkan kepatuhan pasien perlu dipertimbangkan juga semua faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain faktor sistem kesehatan dan petugas pelayanan kesehatan, faktor lingkungan dan keluarga pasien juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam menumbuhkan kepatuhan pasien. Diatas semua faktor itu, diperlukan komitmen yang kuat dan koordinasi yang erat dari seluruh pihak (professional kesehatan, peneliti, tenaga perencanaan dan para pembuat keputusan) dalam mengembangkan pendekatan multidisiplin untuk menyelesaikan permasalahan ketidakpatuhan pasien ini. Secara umum, hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat kepatuhan adalah bahwa: 1. Pasien memerlukan dukungan, bukan disalahkan 2. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah tidak tercapainya tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan 3. Peningkatan kepatuhan pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat. 4. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektifitas suatu sistem kesehatan. 5. Memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam penanganan secara efektif suatu penyakit kronis 6. Sistem kesehatan harus terus berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai tantangan baru 7. Diperlukan pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan masalah ketidakpatuhan. Artikel ini akan menyajikan tulisan terkait permasalahan kepatuhan pasien pada penyakit TBC dan Diabetes secara spesifik TBC merupakan communicable disease dengan prevalensi yang cenderung tingi di negara dengan kategori negara miskin (poor country), dimana Halaman 2

3 kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diberikan dokter dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun pada masyarakat luas. Sementara perubahan pola gaya hidup (life style) menyebabkan prevalensi diabetes melitus dibeberapa negara berkembang, terutama didaerah rural cenderung meningkat. PERMASALAHAN KEPATUHAN PASIEN PADA PENYAKIT TUBERKULOSIS Banyak faktor berhubungan dengan kepatuhan terhadap terapi tuberkulosis (TB), termasuk karakteristik pasien, hubungan antara petugas pelayanan kesehatan dan pasien, regimen terapi dan seting pelayanan kesehatan. Faktor struktural dan ekonomi. Tuberkulosis biasanya menyerang masyarakat dari kalangan ekonomi lemah. Tidak adanya dukungan sosial dan kehidupan yang tidak mapan menciptakan lingkungan yang tidak mendukung dalam program tercapainya kepatuhan pasien. Faktor pasien. Umur, jenis kelamin dan suku/ras berhubungan dengan kepatuhan pasien dibeberapa tempat. Pengetahuan mengenai penyakit tuberkulosis dan keyakinan terhadap efikasi obatnya akan mempengaruhi keputusan pasien untuk menyelesaikan terapinya atau tidak. Pada beberapa pasien TB, kondisi kejiwaan juga berperan dalam kepatuhan pasien, terutama pasien dengan kecenderungan penyalahgunaan obat. Kompleksitas regimen. Banyaknya obat yang harus diminum dan toksisitas serta efek samping obat dapat merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian terapi pasien. Dukungan dari petugas pelayanan kesehatan. Empati dari petugas pelayanan kesehatan memberikan kepuasan yang signifikan pada pasien. Untuk itu, petugas harus memberikan waktu yang cukup untuk memberikan pelayanan kepada setiap pasien. Cara pemberian pelayanan kesehatan. Sistim yang terpadu dari pelayanan kesehatan harus dapat memberikan sistem pelayanan yang mendukung kemauan pasien untuk mematuhi terapinya. Dalam sistem tersebut, harus tersedia petugas kesehatan yang berkompeten melibatkan berbagai multidisiplin, dengan waktu pelayanan yang fleksibel. DIABETES Faktor - faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku kepatuhan pada pasien diabetes dapat dikelompokkan dalam empat jenis: 1. Karakteristik dari penyakit dan pengobatannya 2. Faktor intra-personal 3. Faktor inter-personal 4. Faktor lingkungan Karakteristik dari penyakit dan pengobatannya Tiga elemen dari pengobatan (kompleksitas dari pengobatan, lamanya penyakit dan cara pemberian pelayanan) dan penyakit itu sendiri sangat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Secara umum, semakin kompleks regimen pengobatan, semakin kecil kemungkinan pasien akan mematuhinya. Indikator dari kompleksitas dari suatu pengobatan adalah frekuensi pengobatan yang harus dilakukan oleh pasien itu sendiri, misalnya frekuensi minum obat dalam sehari. Pasien akan lebih patuh pada dosis yang diberikan satu kali sehari daripada dosis yang diberikan lebih sering, misalnya tiga kali sehari. Lamanya penyakit tampaknya memberikan efek negatif terhadap kepatuhan pasien. Makin lama pasien mengidap penyakit diabetes, makin kecil pasien tersebut patuh pada pengobatannya. Cara pemberian pelayanan untuk diabetes bervariasi dari perawatan secara intensif yang Bersambung ke halaman 11 Halaman 3

4 PEMERIKSAAN KADAR MERKURI DALAM KRIM PEMUTIH MENGGUNAKAN ATOMIC ABSORPTION SPECTROFOTOMETER

5 PUBLIC WARNING / PERINGATAN NO : KH TANGGAL : 7 SEPTEMBER 2006 TENTANG KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN DAN ZAT WARNA YANG DILARANG 1. Berdasarkan hasil pengawasan Badan POM RI tahun 2005 dan 2006 di beberapa propinsi, ditemukan 27 (dua puluh tujuh) merek kosmetik yang mengandung bahan yang dilarang dilarang digunakan dalam kosmetik yaitu : Merkuri (Hg), Hidroquinon > 2%, zat warna Rhodamin B dan Merah K.3 (daftar terlampir). Penggunaan bahan tersebut dalam sediaan kosmetik dapat membahayakan kesehatan dan dilarang digunakan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/MENKES/PER/V/1998 Tentang Bahan, Zat warna, Substratum, Zat Pengawet dan Tabir Surya pada Kosmetik dan Keputusan Kepala Badan POM No. HK Tentang Kosmetik. 2. Merkuri (Hg) / Air Raksa termasuk logam berat berbahaya, yang dalam konsentrasi kecilpun dapat bersifat racun. Pemakaian Merkuri (Hg) dalam krim peemutih dapat menimbulkan berbagai hal, mulai dari perubahan warna kulit yang pada akhirnya dapat menyebabkan bintik bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit serta pemakaian dengan dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan permanen otak, ginjal dan gangguan perkembangan janin bahkan paparan jangka pendek dalam dosis tinggi juga dapat menyebabkan muntah muntah, diare dan kerusakan paru-paru serta merupakan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) pada manusia. 3. Hidroquinon termasuk golongan obat keras yang hanya dapat digunakan berdasarkan resep dokter. Bahaya pemakaian obat keras ini tanpa pengawasan dokter dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit menjadi merah dan rasa terbakar juga dapat menyebabkan kelainan pada ginjal (nephropathy), kanker darah (leukimia) dan kanker sel hati (hepatocelluler adenoma). 4. Bahan pewarna Merah K.10 (Rhodamiin B) dan Merah K.3 (CI Pigment Red 53 ; D & C Red No. 8 : 15585) merupakan zat warna sintetis yang pada umumnya digunakan sebagai zat warna kertas, tekstil atau tinta. Zat warna ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan dan merupakan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) serta Rhodamin dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada hati. 5. Untuk melindungi masyarakat / konsumen dari risiko tersebut di atas Badan POM telah menginstruksikan kepada produsen / distributor untuk melakukan penarikan produk tersebut dari peredaran dan memusnahkannya. Sebagai hasil tindaklanjutnya telah ditarik dan dimusnahkan 1002 item produk. 6. Kegiatan memproduksi, mengimpor dan atau mengedarkan produk yang tidak memenuhi standar adalah melanggar UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp (seratus juta rupiah). 7. Berkaitan dengan hal tersebut Badan POM menyampaikan kepada masyarakat luas untuk tidak membeli atau menggunakan kosmetik sebagimana tercantum dalam daftar lampiran Public Warning / Peringatan ini. Kepada masyarakat / konsumen yang terkena risiko akibat penggunaan kosmetik tersebut, agar melaporkannya kepada Badan POM RI di Jakarta atau ke Balai Besar / Balai POM di seluruh Indonesai, Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) Nomor Telepon : Demikian peringatan ini disampaikan untuk melindungi keselamatan masyarakat dan diminta perhatian yang sungguh sungguh dari semua pihak. BADAN PENGAWAS OBAT & MAKANAN KEPALA Dr. HUSNIAH RUBIANA THAMRIN AKIB, MS., MKes., SpFk Halaman 5

6 EVALUASI PRODUK BIOLOGI Pendahuluan Isu strategis terkait dengan evaluasi dan pendaftaran produk biologi di Indonesia antara lain, (i) Meningkatnya pendaftaran dalam bentuk parallel submission ke Indonesia bersamaan dengan pendaftaran ke Negara Negara maju untuk produk biologi seperti vaksin dan produk dengan teknologi rekombinan atau biofarmasetikal sepeti cytokines, growth factors, clotting factors, growth hormone, enzymes, monoclonal antibodies dan oligonucleotides, (ii) Banyaknya produsen baru produk biologi (vaksin, produk darah) biosimilar yang berlokasi di emerging countries, dan beberapa produk tersebut diajukan pendaftarannya ke Indonesia, (iii) adanya ketentuan di Uni Eropa bahwa apabila suatu produk obat, termasuk produk biologi, tidak dipasarkan di Uni Eropa maka tidak dapat diberikan persetujuan pemasaran walaupun diproduksi oleh produsen yang berlokasi di Uni Eropa. Akibatnya, khasiat, keamanan dan mutu / kualitas produk Uni Eropa tersebut yang dibutuhkan oleh Negara berkembang harus dievaluasi berdasarkan kemampuan Negara berkembang itu sendiri. Evaluasi terhadap dokumen ilmiah obat termasuk produk biologi dimaksudkan untuk menjamin keamanan, efikasi dan kualitas produk tersebut sebelum dipasarkan. Produk biologi meliputi vaksin, imunosera, antigen, hormone, enzim, produk darah dan produk hasil fermentasi lainnya (termasuk antibody monoclonal dan produk yang berasal dari teknologi rekombinan DNA) yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki system fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan. Secara umum, prosedur evaluasi produk biologi mengikuti prosedur evaluasi produk obat dengan kandungan bahan kimia yang meliputi evaluasi terhadap data non-klinik dan uji pada hewan, data klinik, dan data mutu/kualitas. Namun demikian, ada hal hal yang khusus untuk evaluasi produk biologi, antara lain (i) apakah data uji pada hewan dapat diperoleh apabila tidak ada animal model yang tepat, dan bagaimana diperoleh data non klinik yang akurat, (ii) metodologi dan parameter endpoint untuk uji klinik yang bermakna, (iii) evaluasi kualitas suatu produk biologi tidak dapat hanya dilakukan pada produk akhir dan harus ada data jaminan kualitas yang menyeluruh mulai dari bahan awal. Sumber bahan baku produk biologi yang berasal dari protein atau polisakarida (atau konjugatnya), produk darah, atau produk vaksin yang berasal dari mikroorganisme, menjadikan produk biologi sangat rentan terhadap risiko kontaminasi baik adanya kontaminasi mikrobakteri yang berasal dari produk tersebut, maupun trnsmisi mikroba melalui produk darah terutama blood-borne viruses. Disamping hal hal tersebut, khusus untuk evaluasi vaksin, perlu diperhatikan bahwa produk ini diberikan pada subyek sehat dalam skala besar sehingga dipersyaratkan pertimbangan risk/benefit yang ketat terkait dengan masalah public health. Halaman 6

7 Terkait dengan hal hal tersebut diatas, diperlukan suatu system evaluasi produk biologi yang tangguh (robust) yang mengikuti standard internasional. Dalam hal ini, telah ada harmonisasi evaluasi obat di Negara Negara ASEAN, dimana Indonesia turut dalam framework tersebut. Disamping itu, Indonesia secara aktif ikut berpartisipasi dalam penyusunan pedoman standar produk biologi yang dilakukan oleh WHO. Evaluasi Produk Biologi Produk Biologi termasuk kategori obat baru, walau merupakan biosimilar. Evaluasi produk biologi dilakukan secara komprehensif yang meliputi : Kajian metodologi uji nonklinik dan klinik Kajian risk benefit produk biologi. Identifikasi dan evaluasi keamanan produk biologi. Pemenuhan persyaratan Quality control selama proses produksi dan hasil akhir, termasuk summary protocol dari three consecutive batches dan lot release. Pemenuhan persyaratan fasilitas produksi tahap pengembangan dan produk komersial Kajian lanjutan terhadap data efikasi dan keamanan, data mutu dan labeling, dalam proses pendaftaran. Meskipun kriteria evaluasi produk biologi mengikuti kriteria evaluasi obat pada umumnya, tetapi produk biologi memiliki spesifisitas tersendiri yang meliputi : Sifat zat aktif Sumber bahan baku zat aktif: - Biological material, Cell substrate - Master Cell Bank, Working Cell Bank - Master / working seed - Culture media - Genetic construct In-proses control dan validasi yang harus dilakukan selama proses pembuatan Karakterisasi : Fisikokimia, imunokimia, aktivitas biologi, kemurnian. Stabilitas produk biologi Viral safety untuk produk biologi yang berasal dari mikroorganisme dan produk darah Dokumen penunjang khasiat dan keamanan yang diperlukan antara lain : Uji non-klinik, Uji klinik fase I dan II Paling sedikit 1 uji klinik fase III dengan disain yang baik (Randomized, Double blind, Controlled trial). Keamanan produk biologi mendapat perhatian khusus mengingat keunikan sumber asal produk. Hal ini harus ditunjukkan oleh pengamatan efek samping dan efek samping serius dari data uji klinik. Khusus untuk vaksin, pengamatan reaksi lokal dan sistemik dalam 72 jam pasca-imunisasi dan kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI)serius dapat menggambarka profil keamanan vaksin. Efikasi vaksin dapat ditunjukan oleh nilai GMT dan seroconversion rates pada subyek yang diimunisasi. Nilai ini pada akhirnya dapat menunjukkan korelasi proteksi dan durasi proteksi. Untuk vaksin kombinasi atau vaksin sejenis, diperlukan study non-inferiority yang dibandingkan dengan komponen komponennya atau dengan vaksin inovator. Dari data uji klinik, mutu vaksin dapat dilihat dengan adanya konsistensi lot untuk titer antibody dan imunogenisitas dengan menggunakan metoda tervalidasi untuk pengukuran titer antibodi. Evaluasi mutu produk biologi dilakukan berdasarkan informasi pada : Zat aktif Zat tambahan, termasuk zat warna, preservatives, antioksidan, emulsifiers, thickeners dan lain lain. Proses pembuatan dimulai dari zat aktif sampai dengan produk jadi. Kemasan zat aktif dan produk jadi untuk menjaga kestabilan zat aktif dan produk jadi Data stabilitas zat aktif dan Halaman 7

8 produk jadi termasuk diluent, jika ada, sebagai pembuktian shelf life-nya. Untuk mendukung penilaian ini, industri harus menyerahkan summary protocol of three consecutive batches dimulai dari source material sampai produk jadi. Khusus untuk produk darah, dokumen lock back procedure harus disertakan untuk melihat bagimana industri dapat menelusuri riwayat donor apabila diketemukan adanya virus dalam produk darah tersebut. Keseluruhan aspek evaluasi mutu ini mengacu pada dokumen dokumen mutu standard yaitu WHO Technical Report Series (WHO TRS) dan farmakope Indonesia. Khusus untuk vaksin, WHO telah menetapkan 7 fungsi kontrol yang harus dipenuhi oleh suatu negara dalam rangka pemenuhan standar WHO untuk prekualifikasi suplai vaksin melalui UNICEF (WHO prequalification). Tujuh fungsi kontrol vaksin tersebut adalah National regulatory system, Marketing Authorization and liscencing, AEFI, Lot release, Laboratory access, Regulatory inspection, dan approval / authorization of clnical evaluation. Dalam assessment yang dilakukan WHO ke Badan POM tahun 2001, 2003 dan 2005 dinyatakan bahwa Badan POMsudah memenuhi persyaratan seluruh aspek fungsi control tersebut. Kesimpulan Evaluasi produk biologi, termasuk biosimilar, dikategorikan sebagai obat baru dan kajian ilmiah yang dilakukan merupakan satu kesatuan antara evaluasi terhadap dokumen klinik dan mutu, dengan hasil pengujian laboratorium dan pemenuhan GMP suatu industri. Standar evaluasi produk biologi, baik terhadap data klinis maupun data mutu, mengacu pada standar WHO dan pedoman internasional lainnya. (Lucky S. Slamet) Pustaka : 1. WHO : Guidelines for national authorities on quality assurance for biological Konsultasi Gratis Telp / Fax Seni - Jumat, Jam Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) Badan POM Mengenai Obat, Makanan, Obat tradisional, PKRT dan NAPZA ATAU HUBUNGI ULPK di Kantor Balai Besar / Balai POM di Seluruh Indonesia products. WHO TRS (1992). No.882 (annex 2). pp Badan Pengawas Obat dan Makanan : Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, WHO : Guidelines on clinical evaluation of vaccines : regulatory expectations. WHO TRS (2004).No. 924 (annex 1).pp The European Agency for the Evaluation of Medicinal Products (EMEA): Note for guidance on 5. clinical evaluation of new vaccines. CPM;/EWP/463/97 5. US FDA: Code of Federal Regulation (2004). No. 21 (parts ) Halaman 8

9 PRESCRIBING INFORMATION OBAT KERAS DAN PRODUK BIOLOGI Sebelum disetujui beredar, obat harus didaftarkan dan dinilai berdasarkan khasiat, kemanan dan mutu. Selain itu, obat yang disetujui beredar harus memenuhi kriteria penandaan (approved labeling) yang berisi informasi yang lengkap dan objektif yang dapat menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman. Pada bulan Januari 2006, terkait dengan penandaan ( approved labeling ) atau biasa juga disebut package insert, FDA menerbitkan keputusan final berjudul Persyaratan Isi dan Format Penandaan Obat Keras dan Produk Biologi (Requirements on Content and Format of Labeling for Human Prescription Drug and Biological Products), dalam rangka penanganan risiko penggunaan obat yang lebih baik dan untuk mengurangi kesalahan medikasi obat keras. Ketentuan ini hanya berlaku untuk obat keras (obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter), tidak berlaku untuk obat bebas. Ketentuan ini juga tidak merubah isi atau format FDAapproved patient information, termasuk Medication Guides. Untuk itu, FDA merevisi peraturan tentang isi dan format informasi obat dan produk biologi (21 CFR dan ). Secara prinsip, perbedaan yang signifikan adalah pencantuman Highlight dan Content. Highlight akan menyediakan akses langsung terhadap berbagai informasi yang banyak dirujuk dan dianggap sangat penting oleh tenaga kesehatan. Highlight dan Content memiliki perbedaan, dimana highlight menyajikan informasi singkat (summary) yang paling penting terkait manfaat dan kemanan penggunaan obat, yang merujuk pada informasi rinci dalam FPI (full prescribing information). Sedangkan Content lebih berfungsi sebagai alat penunjuk dalam merujuk semua judul, sub judul dalam prescribing information yang belum/tidak tercantum dalam Highlight. Pada highlight harus dicantumkan Box Warning, namun Box Warning pada highlight berbeda dengan yang tercantum dalam FPI, karena Box Warning dalam Highlight hanya berupa summary, disajikan dalam bentuk dot 20 baris dan terletak dihalaman paling depan (dalam format setengah halaman) diikuti oleh Content, berbeda dengan Box Warning dalam FPI yang mencantumkan informasi secara rinci. Dengan demikian, tidak ada duplikasi Box Warning antara yang tercantum dalam Highlight dan dalam FPI. Selain itu perubahan ini juga mencakup penyusunan kembali (reordering) beberapa bagian, perubahan kecil dari isi serta standard format tampilan, dengan perubahan yang paling signifikan meliputi : a Informasi yang paling dirujuk oleh tenaga kesehatan dan dipertimbangkan sebagai yang paling penting ( mis Boxed Warning, Indications and Usage, Dosage and Administration, and Dosage Forms and Strengths, separated from Storage and Handling) akan di letakkan di halaman muka prescribing information a Informasi risiko akan disatukan. Klim Adverse Reactions akan diletakkan sesudah Warning and Precautions, sehingga memudahkan pemahaman risiko efek samping a Informasi lain yang tadinya di bawah klim Precautions akan dipindahkan di bawah klim Use in Specific Populations, Drug Interactions, and Patient Counseling Information a Penambahan Patient Counseling Information a Pengaturan penebalan huruf, spasi, ukuran huruf untuk tercapainya penekanan terhadap informasi-informasi penting. Manfaat revisi Prescribing Information Dengan adanya revisi ini, maka akan mempermudah para profesi kesehatan dalam mengakses dan memanfaatkan informasi yang ada dalam prescribing information, sehingga meningkatkan kepercayaan mereka bahwa untuk memperoleh informasi yang objektif, mereka bisa mempercayai prescription information ini. FDA percaya bahwa revisi ini akan meningkatkan keamanan dan pemanfaatan penggunaan obat keras, sehingga juga akan menurunkan jumlah efek samping obat akibat kesalahan medikasi karena kesalah pahaman atau ketidak tepatan pemanfaatan informasi obat. Requirements on Content and Format of Labeling for Human Prescription Drug and Biological Products ini mulai berlaku pada tanggal 30 Juni Untuk informasi lengkap dan detil terkait pesyaratan informasi yang harus dicantumkan sebagai prescription information dapat dilihat pada /physlabel. (Dra. Reri Indriani) Pustaka : 1. WHO Drug Information, volume 20, number 1, Halaman 9

10 PENGHAMBAT POMPA PROTON DAN LAPORAN TERBARU TENTANG NEFRITIS INTERSTITIAL Nefritis interstitial dapat disebabkan baik oleh infeksi, autoimunitas, kelainan glomerulus ataupun karena hipersensitif terhadap obat-obat tertentu. Golongan obat yang paling sering menyebabkan nefritis interstitial adalah antibakteri dan OAINS. Sedangkan obat - obat yang paling sering dilaporkan menyebabkan nefritis interstitial akut adalah meticilin, penisilin, sulfonamid, kotrimoksazol, sefalosporin, rifampisin, fenoprofen, asam mefenamat, alopurinol, fenitoin and diuretik tiazid. Oleh karena itu, sulit menentukan penyebab nefritis interstitial. Gangguan fungsi ginjal akut karena nefriti interstitial sangat jarang terjadi serta sulit didiagnosa, karena gejala dari gangguan fungsi ginjal yang terjadi bersifat tidak spesifik. Gejala yang muncul dapat berupa peningkatan konsentrasi kreatinin dalam plasma, ruam, atralgia, malaise, demam, mual, letargi, penurunan berat badan, erupsi kulit dan eosinofilia Untuk nefritis interstitial yang terkait dengan omeprazol, sejak dipublilasikannya informasi tentang hal tersebut pada tahun 2000, berbagai kasus terus dilaporkan. Di New Zealand, dimana Omeprazol telah digunakan secara luas, Centre for Adverse Reactions Monitoring (CARM) New Zealand telah menerima berbagai laporan nefritis interstitial terkait pengunaan omeprazol ini. Dari 21 kasus yang telah dilaporkan, 9 diantaranya dilaporkan selama tahun Selain itu, menurut Medsafe, nefritis interstitial juga telah dilaporkan pada penggunaan pantoprazol dan lansoprazole. Bahkan untuk pantoprazol, CARM telah menerima 3 laporan nefritis interstitial. Oleh karena itu, menurut Medsaf, pada pasien yang mengalami gejala - gejala seperti disebut diatas, tanpa ada penyebab lain selain pemberian omeprazol, harus diidentifikasi gangguan pada fungsi ginjalnya yang hanya dapat dilakukan berdasarkan uji biokimia (dipstick examination) dan periksaan urin secara mikroskopi. Jika terjadi abnormalitas, pemberian omeprazol harus segera dihentikan. Pasien umumnya memberikan respon secara cepat jika omeprazol dihentikan, tetapi pemulihan fungsi ginjal memerlukan waktu sekitar 2 3 bulan, bahkan kadang kadang bisa lebih. (Dra. Reri Indriani) Pustaka : 1. WHO Pharmaceuticals Newsletter WHO no.4, SOAL OBAT JANGAN KIKUK, TANYA APOTEKER YUK! PUSAT INFORMASI OBAT NASIONAL (PIO Nas) Telp : ; Fax : Hp 24 jam : Halaman 10

11 Sambungan dari halaman 3 diberikan oleh tim diabetes multidisiplin hingga perawatan rawat jalan dari pelayanan kesehatan primer (dokter umum). Pasien yang dilayani pada klinik dokter keluarga, lebih banyak mengunjungi dokternya dengan tujuan untuk mendapatkan konseling terapinya daripada untuk memeriksakan dirinya karena terserang penyakit yang akut. Masalah biaya pelayanan juga merupakan hambatan yang besar bagi pasien yang mendapat pelayanan rawat jalan dari klinik umum. Hambatan terhadap akses pelayanan juga berhubungan dengan buruknya kontrol metabolik. Faktor Intra-personal Tujuh faktor intra-personal penting yang berhubungan dengan kepatuhan adalah umur, jenis kelamin, penghargaan terhadap diri sendiri, disiplin diri, stres, depresi dan penyalahgunaan alkohol. Umur Umur berpengaruh terhadap kepatuhan dalam menerapkan terapi non farmakologi berupa aktivitas fisik. Pada kasus diabetes, pasien yang lebih muda lebih banyak melakukan terapi fisik sehingga mengeluarkan kalori lebih banyak daripada pasien yang lebih tua. Orang dewasa tua lebih mematuhi regimen pengobatannya daripada dewasa muda. Faktor inter personal Dua hal penting dalam faktor inter personal : kualitas hubungan antara pasien dan petugas pelayanan kesehatan dan dukungan keluarga. Komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan sangat memperbaiki kepatuhan pasien. Faktor lingkungan Dua faktor lingkungan yaitu sistem lingkungan dan situasi dengan risiko tinggi, berhubungan dengan buruknya kepatuhan pasien diabetes. Perilaku pengaturan pengobatan oleh diri sendiri terjadi dalam lingkungan yang berubah secara rutin, misalnya dari lingkungan rumah, lingkungan kerja, lingkungan masyarakat dan sebagainya, yang berhubungan dengan kebutuhan dan prioritas yang berbeda-beda. Setiap ada perubahan lingkaran kegiatan rutinya, setiap orang akan perlu melakukan penyesuaian. Situasi yang menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan disebut situasi dengan risiko tinggi. Sebagai contoh, situasi lingkungan yang cenderung membuat pasien diabetes melanggar aturan diet makanannya adalah pada saat liburan, adanya kegiatan pesta atau makan diluar rumah, pada saat sedang sendiri dan merasa bosan, ada permasalahan interpersonal, dan sebagainya. Sistem lingkungan yang mempengaruhi kepatuhan pasien misalnya sistem ekonomi, sistem politik, budaya, ekologi, geografi, dan sistem kesehatan. Adanya jenis makanan fast-food dengan kandungan lemak, garam dan kalori yang tinggi, yang tersedia dengan mudah dan murah serta perubahan sistem tranportasi sehingga mengurangi aktifitas fisik, telah membuat tingginya kasus obesitas dan diabetes tipe 2 seperti yang terjadi sekarang ini. (Dra. Tri Asti I, MPharm) Pustaka : 1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Penata Laksanaan Diabetes Melitus Terpadu, WHO, Adherence to Long- Term Therapies Evidence for Action, Halaman 11

12 INFOPOM Penasehat : Drs. H. Sampurno, MBA; Penanggung Jawab: Dra. Mawarwati Djamaluddin; Pimpinan Redaksi : Dra. Aziza Nuraini MM; Sekretaris Redaksi : Dra. Reri Indriani; Tim Editor : Dra. Rosmulyati Ilyas, Dra. Srihariyati, MSc, Dra. Dedeh Endawati, Drs. Siam Subagyo, MSi, Dra. Darmawati Malik, Drs. Bowo Waluyo, MKes, Dra. Endang Susigandhawati, MM, Dra. Yunida Nugrahanti, Judhi Saraswati, SP, Irhamahayati, SSi; Redaksi Pelaksana : Dra. Yuniar Marpaung, Dra. T. Asti Isnariani M.Pharm, Wardhono Tirtosudarmo, Ssi, Yulinar, SKM, Indah Widiyaningrum, SSi; Sirkulasi : Surtiningsih, Watinah Alamat Redaksi : Pusat Informasi Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jl. Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat, Telp , Fax , informasi@pom.go.id Redaksi menerima naskah yang berisi informasi yang terkait dengan obat, makanan, kosmetika, obat tradisonal, komplemen makanan, additif dan bahan berbahaya. Kirimkan melalui alamat redaksi dengan format MS. Word 97 spasi ganda maksimal 2 halaman kuarto. Redaksi berhak mengubah sebagian isi naskah untuk diterbitkan. ISSN

PUBLIC WARNING / PERINGATAN. No : KH Tanggal : 7 September 2006 TENTANG KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN DAN ZAT WARNA YANG DILARANG

PUBLIC WARNING / PERINGATAN. No : KH Tanggal : 7 September 2006 TENTANG KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN DAN ZAT WARNA YANG DILARANG PUBLIC WARNING / PERINGATAN No : KH.00.01.3352 Tanggal : 7 September 2006 TENTANG KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN DAN ZAT WARNA YANG DILARANG 1. Berdasarkan hasil pengawasan Badan POM RI pada tahun 2005

Lebih terperinci

Volume 10, No.4 Juli 2009 ISSN

Volume 10, No.4 Juli 2009 ISSN InfoPOM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN POM RI Volume 10, No.4 Juli 2009 ISSN 1829-9334 KAJIAN KHASIAT & KEAMANAN DAERAH ABU-ABU ANTARA OBAT DAN MAKANAN : Bagaimana Kebenaran Disampaikan

Lebih terperinci

InfoPOM PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DIKAITKAN DENGAN RESIKO KANKER PAYUDARA. Editorial ISSN Vol. 5, No. 1, Januari 2004

InfoPOM PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DIKAITKAN DENGAN RESIKO KANKER PAYUDARA. Editorial ISSN Vol. 5, No. 1, Januari 2004 InfoPOM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA Vol. 5, No. 1, Januari 2004 ISSN 1829-9334 Editorial Pembaca yth, Setelah berganti tahun, Infopom kali ini hadir dengan tampilan baru. Jumlah

Lebih terperinci

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir.

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir. Uji Pra-Klinik Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai. Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dasar Disamping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dasar Disamping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kesehatan adalah masalah kompleks yang merupakan hasil dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. Datangnya penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetik berasal dari kata Yunani kosmein artinya berhias. Kosmetik digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetik berasal dari kata Yunani kosmein artinya berhias. Kosmetik digunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kosmetik telah menjadi bagian kehidupan manusia sejak zaman dahulu. Kosmetik berasal dari kata Yunani kosmein artinya berhias. Kosmetik digunakan secara luas baik untuk

Lebih terperinci

merupakan campuran dari beragam senyawa kimia, beberapa terbuat dari sumbersumber alami dan kebanyakan dari bahan sintetis (BPOM RI, 2003).

merupakan campuran dari beragam senyawa kimia, beberapa terbuat dari sumbersumber alami dan kebanyakan dari bahan sintetis (BPOM RI, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Acara Serta Kendala Implementasinya. Cet.1(Jakarta: Kencana 2008). Hal.1.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Acara Serta Kendala Implementasinya. Cet.1(Jakarta: Kencana 2008). Hal.1. 2 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan pembangunan nasional diiringi dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat memicu meningkatnya kebutuhan masyarakat akan produk barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a natural state or in a manufactured or preparedform, which are part of human diet. Artinya adalah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.29, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Penerapan. Farmakovigilans. Industri Farmasi. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.1.23.12.11.10690

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, di satu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN HK.00.05.3.00914 TENTANG PEMASUKAN OBAT JALUR KHUSUS KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN HK.00.05.3.00914 TENTANG PEMASUKAN OBAT JALUR KHUSUS KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.05.3.00914 TENTANG PEMASUKAN OBAT JALUR KHUSUS KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Menimbang a. bahwa untuk keadaan tertentu, diperlukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 983/MenKes/SK/XI/1992, rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran / polusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran / polusi digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengaruh globalisasi disegala bidang, perkembangan teknologi dan industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, produk kosmetik khususnya. yakni di pusat perbelanjaan, maupun di klinik kecantikan.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, produk kosmetik khususnya. yakni di pusat perbelanjaan, maupun di klinik kecantikan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, produk kosmetik khususnya kosmetik wanita memberikan suatu peluang bisnis. Mempunyai kulit wajah dan tubuh serta memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola penyakit sekarang ini telah mengalami perubahan dengan adanya transisi epidemiologi. Proses transisi epidemiologi adalah terjadinya perubahan pola penyakit dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Asuhan kefarmasian atau disebut pharmaceutical care merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam aspek pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Asuhan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan. Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam struktur kesehatan, apotek termasuk salah satu pilar penunjang yang sering menjadi korban ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan apotek yang menganggap

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor HK

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor HK KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor HK. 00.06.42.0255 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN ALPHA HYDROXY ACID (AHA) DALAM KOSMETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Indikator WHO 1993 Indikator WHO 1993 adalah suatu metode untuk melihat pola penggunaan obat dan dapat secara langsung menggambarkan tentang penggunaan obat yang tidak sesuai.

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi masalah utama di dunia termasuk Indonesia karena angka prevalensinya dari tahun ketahun semakin

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN, Menimbang : Mengingat : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN, a. bahwa untuk melindungi masyarakat dari

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Hidrokinon dalam Kosmetik

Hidrokinon dalam Kosmetik Hidrokinon dalam Kosmetik Kita ketahui bahwa kosmetik sangat beragam jenisnya, mulai dari kosmetik untuk wajah, kulit, rambut, hingga kuku. Namun diantara ragam jenis kosmetik tersebut, yang sering menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta adanya perubahan paradigma kefarmasian, yaitu Pharmaceutical Care, konsekuensi dari perubahan orientasi tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. meningkatnya potensi risiko untuk menderita penyakit kronis seperti diabetes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. meningkatnya potensi risiko untuk menderita penyakit kronis seperti diabetes BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adanya peningkatan populasi lansia pada suatu daerah, sejalan dengan meningkatnya potensi risiko untuk menderita penyakit kronis seperti diabetes mellitus, penyakit

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.00.05.23.3644 TE N TA N G KETENTUAN POKOK PENGAWASAN SUPLEMEN MAKANAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi bisa diumpamakan seperti pohon yang terus. Hipertensi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (SBP, 140

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi bisa diumpamakan seperti pohon yang terus. Hipertensi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (SBP, 140 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi bisa diumpamakan seperti pohon yang terus berkembang dari tahun ke tahun dan membuahkan banyak komplikasi. Hipertensi yang didefinisikan sebagai tekanan darah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR : HK.00.05.3.1950 TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa untuk melindungi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan terapi, paradigma pelayanan kefarmasian di Indonesia telah bergeser dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug

Lebih terperinci

PERMENKES No.949 Th 2000

PERMENKES No.949 Th 2000 PERMENKES No.949 Th 2000 PERATURAN MENKES RI. No.949/MENKES/PER/VI/2000 Tentang REGISTRASI OBAT JADI Menimbang : a Bahwa untuk melindungi masyarakat dari peredaran obat jadi yang tidak memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN OBAT BARU

PENGEMBANGAN OBAT BARU PENGEMBANGAN OBAT BARU Pengembangan dan penemuan obat baru diperlukan untuk menjawab tantangan pelayanan kesehatan, baik untuk tujuan promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Obat modern dikembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini,

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi dituntut adanya perubahan berbagai aspek, termasuk perubahan dalam dunia kesehatan. Adanya ketimpangan kualitas di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. sakit yang berbeda. Hasil karakteristik dapat dilihat pada tabel. Tabel 2. Nama Rumah Sakit dan Tingkatan Rumah Sakit

BAB IV PEMBAHASAN. sakit yang berbeda. Hasil karakteristik dapat dilihat pada tabel. Tabel 2. Nama Rumah Sakit dan Tingkatan Rumah Sakit BAB IV PEMBAHASAN A. Karakteristik Sampel Penelitian ini bertujuan untuk Rumah Sakit Umum Daerah Lombok untuk melihat gambaran Penerapan Farmasi Klinik rumah sakit sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu penggunaan, umur dan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu penggunaan, umur dan jumlah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kosmetika dikenal sebagai penunjang penampilan agar tampak lebih menarik. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, beragam kosmetika muncul di pasaran.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di UPT. Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Sumatera Utara yang berlangsung sejak tanggal 30 Januari hingga 03 Februari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merubah warna kulit sehingga menjadikan kulit putih bersih dan bersinar

BAB 1 PENDAHULUAN. merubah warna kulit sehingga menjadikan kulit putih bersih dan bersinar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Kosmetik pemutih merupakan suatu sediaan atau paduan bahan yang digunakan pada bagian luar badan yang berfungsi untuk mencerahkan atau merubah warna kulit sehingga

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA MENIMBANG : bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor HK

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor HK KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor HK. 00.06.42.0255 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN ALPHA HYDROXY ACID (AHA) DALAM KOSMETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seperti tumbuhan yang sudah dibudidayakan maupun tumbuhan liar. Obat herbal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seperti tumbuhan yang sudah dibudidayakan maupun tumbuhan liar. Obat herbal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat herbal didefinisikan sebagai obat-obat yang dibuat dari bahan alami seperti tumbuhan yang sudah dibudidayakan maupun tumbuhan liar. Obat herbal adalah salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demografi, epidemologi dan meningkatnya penyakit degeneratif serta penyakitpenyakit

BAB I PENDAHULUAN. demografi, epidemologi dan meningkatnya penyakit degeneratif serta penyakitpenyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan zaman membawa dampak yang sangat berarti bagi perkembangan dunia, tidak terkecuali yang terjadi pada perkembangan di dunia kesehatan. Sejalan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di dunia, dimana penderita HIV terbanyak berada di benua Afrika dan Asia. Menurut World Health Organization

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kronis menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kronis menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan dapat menyebabkan kematian terbesar di seluruh dunia, salah satunya adalah diabetes melitus (DM). Diabetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Indonesia sering terdengar kata Transisi Epidemiologi atau beban ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kulit merupakan suatu organ yang berada pada seluruh permukaan luar

BAB I PENDAHULUAN. Kulit merupakan suatu organ yang berada pada seluruh permukaan luar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kulit merupakan suatu organ yang berada pada seluruh permukaan luar tubuh manusia. Kulit memiliki fungsi yang sangat penting untuk perlindungan organ tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome. (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus

BAB I PENDAHULUAN. penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome. (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir dekade ini telah di jumpai berbagai macam penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan obat didefinisikan oleh World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan obat didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai pemasaran, distribusi, resep, dan penggunaan obat-obatan dalam masyarakat, dengan penekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO) tahun 2011 jumlah penyandang diabetes melitus di dunia 200 juta jiwa, Indonesia menempati urutan keempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya,

Lebih terperinci

TANYA JAWAB PEDOMAN TEKNIS FARMAKOVIGILANS BAGI INDUSTRI FARMASI

TANYA JAWAB PEDOMAN TEKNIS FARMAKOVIGILANS BAGI INDUSTRI FARMASI TANYA JAWAB PEDOMAN TEKNIS FARMAKOVIGILANS BAGI INDUSTRI FARMASI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA 1 P a g e Definisi Farmakovigilans 1. T: Apakah perbedaan antara Farmakogivilans dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITATIF MERKURI PADA KRIM PEMUTIH WAJAH TANPA NOMOR REGISTRASI YANG DIJUAL DI PASAR TAMBAN KABUPATEN BARITO KUALA

ANALISIS KUALITATIF MERKURI PADA KRIM PEMUTIH WAJAH TANPA NOMOR REGISTRASI YANG DIJUAL DI PASAR TAMBAN KABUPATEN BARITO KUALA INTISARI ANALISIS KUALITATIF MERKURI PADA KRIM PEMUTIH WAJAH TANPA NOMOR REGISTRASI YANG DIJUAL DI PASAR TAMBAN KABUPATEN BARITO KUALA Herliana 1 ; Noor Aisyah 2 ; Ratih Pratiwi Sari 3 Kosmetik merupakan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PERMASALAHAN

BAB 4 ANALISIS PERMASALAHAN 54 BAB 4 ANALISIS PERMASALAHAN 4.1 Permasalahan Yang Dihadapai Konsumen Akibat Penggunaan Produk Plastik Sebagai Kemasan Pangan Plastik merupakan kemasan pangan yang banyak digunakan oleh pelaku usaha

Lebih terperinci

Pemberdayaan Apoteker dalam Peningkatan Efektifitas Pengawasan Iklan Obat Tradisional

Pemberdayaan Apoteker dalam Peningkatan Efektifitas Pengawasan Iklan Obat Tradisional Pemberdayaan Apoteker dalam Peningkatan Efektifitas Pengawasan Iklan Obat Tradisional disampaikan oleh: Drs. Ondri Dwi Sampurno, M.Si, Apt. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat

I. PENDAHULUAN. sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di zaman yang semakin berkembang, tantangan. terhadap pelayanan kesehatan ini mengisyaratkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di zaman yang semakin berkembang, tantangan. terhadap pelayanan kesehatan ini mengisyaratkan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman yang semakin berkembang, tantangan terhadap pelayanan kesehatan ini mengisyaratkan bahwa mekanisme pasar didominasi oleh organisasi kesehatan yang mampu memberikan

Lebih terperinci

TUGAS POKOK DAN FUNGSI

TUGAS POKOK DAN FUNGSI Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001, Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur,

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur, BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur, tempat pencegahan dan penyembuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Salah satu sarana untuk penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini. Penyakit hepatitis merupakan suatu kelainan berupa peradangan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini. Penyakit hepatitis merupakan suatu kelainan berupa peradangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hepatitis telah menjadi masalah global, dimana dipengaruhi oleh pola makan, kebiasaan merokok, gaya hidup tidak sehat, penggunaan obat-obatan, bahkan tingkat ekonomi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656]

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 55 Barangsiapa dengan sengaja: a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan,

Lebih terperinci

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya Swamedikasi Pemilihan dan penggunaan obat-obatan oleh individu, termasuk

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Stroke atau cedera serebrovaskular adalah berhentinya suplai darah ke

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Stroke atau cedera serebrovaskular adalah berhentinya suplai darah ke BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Stroke atau cedera serebrovaskular adalah berhentinya suplai darah ke bagian otak sehingga mengakibatkan hilangnya fungsi otak (Smeltzer & Suzane, 2001). Hal ini dapat

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN BAHAN KOSMETIK

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN BAHAN KOSMETIK PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.00.05.1.42.4974 TENTANG PENGAWASAN PEMASUKAN BAHAN KOSMETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan meningkatkan derajat kesehatan. Kegiatan ini hanya diselenggarakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. dan meningkatkan derajat kesehatan. Kegiatan ini hanya diselenggarakan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Transfusi darah merupakan salah satu bagian penting pelayanan kesehatan modern. Bila digunakan dengan benar, transfusi dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan

Lebih terperinci

KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO

KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO. 1197/MENKES/ SK/X/2004 PADA RESEP PASIEN RAWAT JALAN DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH WONOGIRI BULAN JUNI 2008

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Defenisi Rumah Sakit BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat dari peningkatan taraf hidup dan Umur Harapan Hidup (UHH) / Angka Harapan Hidup (AHH).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strategi pemerintah dalam pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tertentu dalam darah. Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi pankreas

BAB 1 PENDAHULUAN. tertentu dalam darah. Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi pankreas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia. Glukosa dibentuk di hati dari makanan

Lebih terperinci

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh adanya infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menunjang penampilan seseorang, bahkan bagi masyarakat dengan gaya

BAB I PENDAHULUAN. untuk menunjang penampilan seseorang, bahkan bagi masyarakat dengan gaya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kosmetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sudah ada dan semakin berkembang dari waktu ke waktu, disamping itu pula kosmetik berperan penting untuk menunjang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah keadaan progresif lambat yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah stroke dan tuberkulosis dan dikategorikan sebagai the silent disease

BAB I PENDAHULUAN. setelah stroke dan tuberkulosis dan dikategorikan sebagai the silent disease BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang berada diatas batas normal. Joint National Committee

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : HAPSARI MIFTAKHUR ROHMAH K 100 050 252 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai hal yang menyusahkan, bahkan membahayakan jiwa. Namun di era

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai hal yang menyusahkan, bahkan membahayakan jiwa. Namun di era BAB 1 PENDAHULUAN 1.I. LATAR BELAKANG Penyakit hipertensi termasuk penyakit yang banyak diderita orang tanpa mereka sendiri mengetahuinya. Penyakit hipertensi dapat mengakibatkan berbagai hal yang menyusahkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan kebutuhan hidup yang diwujudkan dan dilaksanakan dalam mencapai kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan faktor primer ketiga yang dapat menyebabkan lebih dari 7 juta kematian dini setiap tahunnya setelah jantung koroner dan kanker. Prevalensi hipertensi

Lebih terperinci

INDIKATOR KESEHATAN SDGs DI INDONESIA Dra. Hj. Ermalena MHS Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Disampaikan dalam Diskusi Panel Pengendalian Tembakau dan

INDIKATOR KESEHATAN SDGs DI INDONESIA Dra. Hj. Ermalena MHS Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Disampaikan dalam Diskusi Panel Pengendalian Tembakau dan INDIKATOR KESEHATAN SDGs DI INDONESIA Dra. Hj. Ermalena MHS Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Disampaikan dalam Diskusi Panel Pengendalian Tembakau dan Tujuan Pembangunan Indonesia The 4th ICTOH Balai Kartini,

Lebih terperinci

Bab 11 Bagaimana menjelaskan kepada dokter saat berobat

Bab 11 Bagaimana menjelaskan kepada dokter saat berobat Bab 11 Bagaimana menjelaskan kepada dokter saat berobat Bab 11 Bagaimana menjelaskan kepada dokter saat berobat Waktu memeriksa ke dokter menerangkan secara jelas beberapa hal dibawah ini 1.Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) tahun

BAB I PENDAHULUAN. Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) tahun 2003, hipertensi adalah peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang banyak diderita oleh penduduk dunia dan hingga saat ini belum ditemukan pengobatan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk menunjang kesehatannya. Semua orang rela mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan kesehatan, bahkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan taraf kehidupan yang disetujui oleh para pemimpin dunia pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 No.206, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia hingga saat ini. TB menjadi penyakit infeksi penyebab kematian terbesar kedua di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993

Lebih terperinci